Senin, Oktober 24, 2011

Petromak tuk melangkah di kegelapan


Begitu dalam ungkapan yang disabdakan Rosulullah “ilmu itu laksana cahaya” begitu agung firman Allah dalam Al-Quran. Allah berulang-ulang dalam firman-Nya menegaskan bahwa tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang bodoh. Tentunya bodoh disitu banyak sekali yang menafsirkan. Namun aku berkeyakinan bodoh yang dimaksud adalah bodoh yang memang benar-benar bodoh, dalam artian ia tidak memperoleh ilmu dengan sebenar-benarnya ilmu. Ilmu yang jika seseorang memperolehnya maka akan terbukalah tabir kegelapan, hilanglah keraguan dalam diri, jelaslah hal-hal yang masih samar. Ilmu yang jika diperoleh akan semakin mendekatkan kepada sumber ilmu yang hakiki yaitu Allah. 
 
Aku belum sepenuhnya sepakat kepada tokoh-tokoh tertentu yang sering di cap sebagai ilmuan jika ilmu-ilmu yang diperolehnya tidak membuatnya semakin mengenali sumber ilmu yang hakiki. Memang didunia ini ada banyak manusia yang memiliki pendapat mengenai arti dari ilmu itu sendiri. Tapi sejauh apapun cangkupan ilmu yang dimaksud jika ilmu yang diperoleh manusia belum mampu menyingkap tabir kebenaran, menghilangkan segala keraguan kepada keyakinan yang seyakin-yakinnya, memberikan kejelasan dengan sejelas-jelasnya, mengenali kepada sumber ilmu yang hakiki itu sendiri maka menurutku manusia tersebut belumlah memperoleh ilmu secara utuh. 
 
Didalam Al-quran Allah berfirman dalam surat Al-Mujadalah ayat 11; “Allah akan mengangkat orang yang beriman dan berilmu diantara kamu beberapa derajat”. Aku berusaha memahami ayat itu bahwa kata “beriman” saja didahulukan dari kata “berilmu”. Aku juga masih belum sepenuhnya memahami mengapa kata beriman didahulukan dari pada kata berilmu. Aku berusaha menangkap makna ayat tersebut bahwa kata beriman didahulukan dari pada kata berilmu karena ada beberapa kemungkinan. Yang pertama, bukan terjadi dikotomi antara orang yang beriman dengan orang yang berilmu secara kaku. Orang yang beriman merupakan orang yang berilmu. Karena ilmu juga bukan berarti tidak dimiliki oleh orang-orang yang beriman. Dengan keimanannyalah maka samudra ilmu senantiasa ia peroleh. Yang kedua, kata beriman didahulukan untuk menegaskan bahwa orang yang beriman lebih utama dari pada orang yang hanya berilmu saja. Berilmu disini maksudnya bisa jadi orang yang berilmu tapi ilmu yang diperolehnya tidak mengantarkannya agar beriman kepada Allah sebagai sumber ilmu yang hakiki. Bisa jadi orang yang berilmu tersebut justru semakin menjauh dan mengingkari keberadaan Allah. 
 
Jika berilmu yang dimaksud adalah berilmu yang terpisah dengan embel-embel beriman atau berilmu tidak harus selalu beriman, sejatinya manusia tersebut telah mempersempit hakekat ilmu itu sendiri. Nah mungkin karena itulah kata beriman lebih didahulukan dibandingkan kata berilmu. Karena derajat yang dimaksudkan jika antara konsep beriman dan berilmu tidak terjadi dikotomi, maka parameter derajat yang dimaksud adalah parameter derajat yang hanya bersumber dari sisi Allah saja. Namun jika konsep beriman dan berilmu dimaknai sebagai dua hal yang masing-masing berbeda dan terpisah, maka derajat yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa jadi tidak lagi bersumber dari parameter yang Allah tentukan, namun parameter untuk mengukur derajat itu ditentukan oleh manusia. Singkatnya, Allah akan menaikan derajat manusia secara hakiki dan ada yang sementara. Secara hakiki maksudnya manusia yang dinaikan derajatnya dengaan mendapatkan tempat yang tinggi dimata Allah dan dimata manusia. Derajat inilah yang didapatkan oleh orang-orang yang beriman dan berilmu, dimana keimanannya kepada Allah mampu menyingkap kebesaran-kebesaran Allah dengan menyampaikan pengetahuan-pengetahuan yang diperolehnya untuk kemaslahatan manusia. Sedangkan manusia yang diangkat derajatnya hanya dimata manusia dan ilmu-ilmu yang diperolehnya walaupun untuk kemaslahatan umat manusia, namun hanya sebatas itu saja dan tidak mengajak kepada manusia untuk mengenal lebih jauh hakekat ilmu dan sumber ilmu yang hakiki yaitu Allah, tidak mengenalkan bahwa sedikit ilmu-ilmu Allah yang telah diungkapnya untuk menunjukan kebesaran Allah, maka sebetulnya orang yang disebut berilmu menurut kebanyakan orang itu belumlah digolongkan orang yang berilmu secara utuh. 


Parung Juli 2011 

Risalah kematian seekor Nyamuk


Malam itu hari terasa sangat panas sekali, padahal baru saja turun hujan. Tembalang pada tanggal 20 Oktober di guyur hujan lumayan deras. Hati-hati yang sedang galaupun mulai tenang kembali. Hujan memberikan kabar gembira dan optimisme dalam menjalani kehidupan. Setidaknya tidak lagi menumpang mandi dissumur tetangga sebelah. 
 
Malam itu saya lelah sekali. Ingin rasanya merebahkan tubuh sejenak untuk meremajakan kembali otot-otot yang tegang. Padahal dalam keadaan lelah, tapi entah mengapa mata saya tidak bisa terpejam. Kepala saya seakan-akan mengulang-ulang peristiwa yang telah kujalani seharian. Pikiran saya terus-menerus membayangkan hal-hal yang bermunculan secara acak. Ditambah nyamuk-nyamuk ganas dikamar bagaikan vampire ganas tak kenal ampun menghisap darah. Teriakannya amat mengganggu. Bising sekali ditelinga, serasa ingin membunuh saja semua nyamuk-nyamuk ganas itu. 
 
Hampir separo malam saya tidak bisa tidur. Dari mulai posisi terlentang duduk, berdiri kemudian terlentang kembali serasa semua posisi itu tidak memberikan rasa nyaman. Binatang-binatang kecil penghisap darah itu benar-benar membuat saya terganggu. Kulit saya penuh dengan bentolan-bentolan akibat gigitannya. Aroma darah terasa amis ketika aku berhasil membunuh nyamuk yang perutnya penuh dengan darah. Saya berhasil membunuh banyak sekali nyamuk-nyamuk ganas itu. sehingga telapak tanganku dipenuhi lumuran-lumuran darah segar. Saya perhatikan satu demi satu nyamuk-nyamuk yang telah berhasil aku bunuh itu dengan saksama. Nasibnya nahas!

Hingga terlintas dalam pikiran saya “ni nyamuk militan amat! sampai segitunya ia berjuang menghisap darahku, padahal nyawa taruhannya. Tapi kok nekat sekali, ia terus-menerus mencari celah agar bisa menghisap darahku sambil berusaha menghindar dari pukulanku”
 
Nah pada saat itulah saya menjadi begitu kagum dengan binatang ini. Malam itu saya tiba-tiba mendapat pelajaran yang begitu berharga. Saya merasa malu dengan binatang yang satu ini. Mungkin ia berbuat demikian atas dasar insting belaka. Tapi sekali lagi perlu direnungkan seekor nyamuk saja begitu bersemangat, pantang menyerah, ditengah-tengah ancamanpun. Ia masih tetap berusaha selama isi perutnya belum penuh dengan darah, ia tetap terus menacari celah meghisap darah hingga perutnya terisi penuh. Dan memang demikianlah seekor nyamuk ia di takdirkan mencari penghidupan dengan cara menghisap darah. Dan ia menyempurnakan ikhtiarnya dengan sempurna hingga ajal menjemputnya atau ia yang menjemput ajalnya sendiri. Sontak saya teringat dengan tentara jepang yang amat terkenal itu yaitu tentara Kamikaze. 
 
Tentara kamikaze adalah tentara jepang yang berani mati demi membela negaranya, membela untuk kepentingan-kepentingan negaranya. Mati dimedan pertempuran untuk kaisar dan negara adalah mati yang amat terhormat. Hingga tetes darah penghabisan mereka berjuang. Mereka seakan-akan diliputi oleh keberanian yang luarbiasa. Ketika terdesak mereka memilih bunuh diri sebagai jalan terakhir. Bunuh diri untuk kepentingan negara dan tidak menyerah terhadap lawan adalah lebih terhormat dibandingkan menyerah kepada lawan dan menjadi budak lawan. Begitulah keyakinan tentara Kamikaze. 
 
Jika dibandingkan dengan manusia, tentunya manusia jauh lebih sempurna daripada seekor nyamuk. Dalam Al-quran Allah berfirman:

Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk” (At-Tin :3).

Manusia juga diberikan keistimewaan dengan akalnya, yang dengan akal tersebut manusia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Yang dengan akalnya tersebut manusia mampu menciptakan kebudaayaan. Kemudian dalam Surat Al-Baqarah:30 dengan segala keistimewaan yang diberikan kepada manusia Allah AWT memberikan amanah kepada manusia agar menjadi khalifah di muka bumi.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Manusia diciptakan untuk menjadi pemimpin yang membawahi dan mengelola makhluk-makhluk lainnya di dunia. Allah telah menganugrahkan kepada kita KEHORMATAN diantara makhluk-makluk lainnya seperti malaikat, iblis, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Allah pun telah meyakinkan kepada para malaikat yang awalnya pesimis. Kemudian malaikat dan iblis pun diperintahkan oleh Allah untuk SUJUD KEPADA MANUSIA. Namun iblis menolak dan disitulah awal pembangkangannya kepada Tuhan. 
 
Lagi-lagi Allah telah menunjukan kepada saya pelajaran yang amat berharga dari peristiwa malam itu. Peristiwa itu hadir begitu saja ketika dinding-dinding ketakutan dan ketidakberdayaan memenuhi seluruh ruang didada saya. Tanpa merenungi lebih mendalam bahwa saya diciptakan dengan segala kemampuan yang amat luarbiasa. Allahlah yang menjamin itu. Allah yang menjamin dan meyakinkan kepada makhluk-makluk yang lainnya bahwa persangkaan-persangkaan mereka tidak benar. Dan Dia-lah yang Maha Mengetahui.

Lalu seharusnya saya malu dengan semalu-malunya kepada Allah, malu kepada pencipta saya yang telah menciptakan kita dengan menganugrahkan potensi yang lebih serta kehormatan diantara makhluk-makhluk yang lainnya. Apakah selama ini kita telah memanfaatkan kesempatan hidup ini secara optimal ataukah minimal? Hanya masing-masing diri kita yang tahu. Allah telah memberikan modal awal yang sama kepada seluruh manusia yaitu akal pikirannya. Ketika dilahirkan didunia seorang manusia sama-sama dalam keadaan telanjang tidak membawa apa-apa. Orang yang kita pandang sukses luarbiasa saat ini (katakanlah orang yang kaya secara materi) juga dilahirkan dalam keadaan yng sama. Memang lingkungan amat mempengaruhi jalan hidup seseorang dalam menjalani hidupnya. Tapi kita tidak ingin itu menjadi alasan yang menghambat kita untuk sukses. Dan saat inilah kita menyadari KEKUATAN KITA. Lalu apakah kita ingin mencari seribu alasan lagi factor-faktor penyebab ketidaksusesan/ketidakberhasilan kita???

Sebagai seorang muslim kita patut berbahagia dimana segala kebaikan-kebaikan yang kita lakukan akan dinilai oleh Allah bernilai IBADAH dan jika kita gagal karena suatu hal dalam jalan kebaikan itu kita akan mendapatkan gelar SYAHID! 
 
Seorang ayah yang meninggal dunia ketika sedang bekerja untuk menafkahi keluarga akan mendapatkan gelar kehormatan ini. Seorang yang berniat menunut ilmu namun ditengah perjalanan ia meninggal dunia juga akan memperoleh gelar kehormatan ini. Lalu bagaimana mungkin kita bersedih ketika diberikan dua pilihan yang menguntungkan ini?. 
 
Mungkin saja nyamuk-nyamuk yang kita bunuh setiap malam itu adalah makhluk yang mendapatkan gelar syahid. Karena mereka telah secara sempurna menjalankan perintah Allah dengan apa yang sudah Allah perintahkan kepada mereka. Binatang nyamuk saja amat militan dan bersemangat dalam menjalankan IBADAH. Padahal kita tahu hingga nyawa taruhannya. Saya rasa kita sebagai manusiapun demikian. Mungkin ada sebagian yang tidak terlaku seekstrim seperti perjuangan nyamuk dalam mempertahankan hidup, tapi ada juga memang yang bekerja hingga fisiknya terkuras bahkan nyawa taruhannya. Jika nyamuk saja yang ada di bawah kita sedemikian militant menjalankan ibadah mengapa kita sebagai manusia dengan segala potensinya mengapa kita tidak?

Semoga bagi kita yang masih hidup tidak pernah berhenti untuk selalu memperbaiki diri. Mari bersama-sama kita percepat momentum kita dengan mengoptimalkan proses yang kita lalui. Sehingga kita benar-benar siap menerima kemenangan itu.

Victory loves preparation
Kemenangan milik siapa yang siap!

Semarang
Wisma Zaid Bin Tsabit, 24 Oktober 2011

Rabu, Oktober 19, 2011

Cerita di atas Kereta Api Ekonomi 3-5 Januari 2011


 
Waktu itu pukul 14.00 aku berangkat dengan hati sedikit kecewa dengan orang tuaku. Aku berangkat menuju Semarang dengan menggunakan jasa kereta api ekonomi jurusan Pasar Senen-Malang (Jawa Timur). Sebenarnya aku seharusnya berangkat ke Semarang menggunakan kereta api jurusan Pasar senen- Stasuin Poncol (Semarang) pukul 21.30, namun karena aku kehabisan tiket, dan ter lihat tulisan di loket jurusan yang ke Stasuin Poncol “TUTUP tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”. Aku menyakinkan lagi dengan bertanya kepada petugas loketnya dan Satpam yang berdiri didepan loket, ternyata memang tidak ada. Kalaupun ada, aku harus membeli tiket kelas bisnis dengan harga Rp. 150.000 itupun tidak dapat tempat duduk, alias berdiri. Padahal harga normalnya Rp 100.000 dan sudah dapat tempat duduk. Dalam hati aku bergumam “beuh mahal bangeet, berdiri lagi, ogah ah”. Akhirnya aku harus menerima kekecewaan yang kedua kalinya. Hatiku semakin galau, rongga dada ini semakin sesak, seperti ada sesuatu yang menekan. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa aku harus mengalami kejadian ini semua? Apakah kejadian ini sungguhan? Mengapa kejadian ini harus aku alami ketika mendekati ujuan akhir semesterku tanggal 6 Januari besok? Aku seperti tidak percaya dengan kejadian yang aku alami. Biasanya aku tidak pernah kehabisan tiket ketika berangkat dari Jakarta. Tapi kejadian ini benar-benar harus aku alami, dan ini adalah pengalaman pertamaku kehabisan tiket. tetapi aku diberi tahu oleh pak Satpam bahwa besok (tanggal 5 Januari) ada kereta Jurusan ke Stasiun Poncol Semarang, nama keretanya “Matraman Jaya” pukul 2 siang dan sampai ke Stasiun Poncol pukul 10 malam, ia sambil menunjukan telunjuknya ke arah papan loket. Luarbiasa keramaian di stasiun Senen waktu itu. Mungkin karena suasana mudik atau arus balik pasca tahun baru sehingga harga tiket melambung. Dengan hati yang sedikit tenang karena masih ada kesempatan berangkat besok pukul 2 siang, Rasa kecewa yang menyelimuti hati pun sedikit terobati.
Tubuhku yang dalam keadaan sedikit melemah segera menjauhi loket, kulihat di depan loket ada kursi panjang dan seorang pedagang asongan sedang duduk menggendong dagangannya. Dalam keadaan sedikit kecewa aku duduk di kursi panjang itu tanpa permisi kepada pedagang asongan itu. Jiwaku sendiri dalam keramaian. Aku masih membayangkan peristiwa-peristiwa yang mengiringku hingga sampai ke Stasiun Senen. Perjalanan dari rumah yang diantar ayahku hingga ke Masjid Riyadlus Shalihin (Marisha) Parung dengan sepeda motor Honda Legenda “Jadul” kesayangannya, mencium dengan hangat tangan ayah, Stasiun Lebak Bulus yang sumpek, perjalanan ke Stasiun Senen dengan kemacetannya yang menyiksa masih hangat terekam oleh ingatanku. Aku seperti mengulang peristiwa-peristiwa yang ku alami dalam sendiri. Dalam kesibukan dengan pikiranku, tiba-tiba aku disapa oleh si Pedagang asongan usia 40an yang ada disampingku. Perawakannya kurus, hitam, tapi sangat ramah. Spontan saja aku terkejut. Ia bertanya dalam bahasa Jawa “ajeng ten pundi Mas?” (artinya mau kemana mas?). Kemudian aku jawab “ke Semarang Pak tapi kehabisan tiket”. Mendengar aku berbicara dalam bahasa Indonesia, kemudian dia bertanya lagi dalam bahasa Indonesia “Semarangnya dimana, kerja?” aku jawab “Semarangnya di daerah Tembalang, enggak pak, saya masih kuliah semester 6 di Undip”. Dia menjawab lagi “owh mau kuliah…” dalam hatiku aku menduga sepertinya pedagang asongan ini kurang tahu banyak tentang Semarang dan segala hal mengenai perkuliahan, karena dia hanya cukup menjawab singkat seperti itu. Karena aku sering ditanya seperti itu oleh sesama penumpang kereta api dengan pertanyaan yang tidak jauh berbeda tapi pertanyaanya lebih variatif dan jawabannyapun tidak sederhana mulai dari bertanya mau kemana, asalnya dari mana, pekerjaan, fakultas adan jurusan, tempat kost, bahkan berlanjut sampai bercerita lebar tentang pengalamannya, saudara atau anaknya yang kuliah. Tapi itu hanya dugaanku saja bisa jadi si pedagang asongan itu memang sedang tidak ingin banyak bicara.
Untungnya aku mempunyai kakak perempuan yang menikah dengan orang Tanah Abang, langsung saja aku segera menelepon kakaku yang di Tanah Abang dan memberitahu perihal yang aku alami, juga agar ia bisa menampungku untuk menginap semalam dirumahnya. Teleponku pun diangkatnya dengan nada sedikit prihatin dan khawatir, akhirnya kakak iparku bersedia menjemputku dan diminta untuk menunggu.
Obrolanku dengan si Pedagang asonganpun berlanjut. Kali ini pembicaraan menjadi semakin mencair, dan akupun merasa lega. Kemudian sambil makan Pop Mie yang aku beli darinya aku mulai bertanya perihal jati diri pedagang asongan itu. “nama bapak siapa dari mana asalnya? Ia memberitahu namanya tapi aku lupa siapa namanya. Ia berasal dari Jawa Timur tepatnya Madiun. Lalu aku Tanya lagi “sudah berapa lama di Jakarta Pak”? ia menjawab “wah sudah lama mas, sudah lima belas tahun saya merantau” lalu aku menjawab lagi “ wah lama juga ya pak”. Dengan sendirinya ia bercerita ngalor ngidul. Aku lantas menjadi pendengar yang baik, selintas aku mendengar istilah “mencari sesuap nasi”, “pekerjaan yang sulit dikampung”, “demi keluarga”. Aku selalu senang mendengar cerita atau pengalaman orang-orang ketika bercerita di Stasiun. Bagiku mendengar pengalama-pengalaman orang yang lebih dahulu merasakan asam garam kehidupan adalah sesuatu yang sangat berharga. Oleh sebab itu jika ada orang yang bercerita, aku dengan semangat mendengarkannya. Dengan mendengar pengalaman-pengalan orang yang hidup lebih dahulu dariku, aku berharap banyak pelajaran berharga yang aku peroleh, sisi positifnya akan aku ambil dan sisi negatinya cukup aku ketahui saja dan tidak aku tiru. Semoga jika suatu saat aku mengalami peristiwa yang serupa, aku mampu bertindak lebih arif. Rasa kecewa ku hilang seketika ketika ia bercerita panjang lebar tentang sisi-sisi kehidupannya. Apakah aku ia jadikan sebagai teman curhatnya? Aku juga tidak mengerti. Yang pasti ia bercerita mulai dari latar belakang keluarganya, anak dan istrinya, pertama kali ia datang ke Jakarta dan meninggalkan keluarga di Madiun. Aku sempat terfikir terkadang seseorang memang butuh didengar, dimengerti dan juga perlu berbagi dengan yang lain. Mungkin akulah salah satu orang yang kebetulan dicurhati si pedagang asongan itu.
Mendengar panjang lebar ceritanya, aku merasa semakin tentram, damai, sejuk, malu dengan diriku sendiri karena selama ini aku kurang bersyukur dengan keadaan. Ternyata setiap orang memang memiliki sisi-sisi kehidupan yang berbeda-beda. Dan aku merasa si pedagang asongan itu tidak lebih beruntung dari kehidupan yang aku alami. Ia hanya tamat SD, sedangkan aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk merasakan suasana perkuliahan dikelas, diberi uang saku, menikmati ceramah dosen, berorganisasi dsb. Sedangkan jika mendengar cerita si pedagang asongan itu lagi-lagi aku merasa sangat jauh berbeda seperti apa yang ia alami. Tapi dengan semangat ia tidak menyerah, ia hijrah ke Jakarta untuk memperbaiki hidupnya, iapun menikah dan punya anak. Ia jalani setahap demi setahap fase-fase kehidupan, berjualan dari pagi buta hingga malam untuk menghidupi keluarga di kampung. Bahkan yang lebih miris lagi ia jarang pulang, ia pulang jika ada hal-hal yang ia anggap wajib seperti hajatan keluarga, lebaran, lahiran istri, dan jika ada keluarga seperti anak dan istrinya yang sakit parah. Bahkan ia bercerita dengan bangga suatu ketika ia bertarung dengan waktu karena ia harus menjadi wali dalam pernikahan adik perempuannya, ia tidak sayang mengeluarkan uang banyak membeli tiket kereta kelas bisnis. Jawabnya sederhana “demi keluarga uang tak jadi soal”. Dalam hati aku terhenyak “orang Indonesia memang luar biasa”.
Kakak iparkupun datang. Kulihat dari jauh ia terlihat sedang mencari-cari seseorang, padahal jarakku dengannya cukup dekat, mungkin saking ramainya ia sampai tidak mengenalku. Aku langsung memanggil-manggilnya sambil melambaikan tangan. Sambil mengucapkan permisi, akupun naik motor kakak iparku dan aku dibawa menginap dirumahnya.
Keesokan harinya tepat pukul 07.30 akupun diantar lagi oleh kakak iparku untuk membeli tiket untuk pemberangkatan pukul 14.00 siang. Jarak antara kediaman kakaku dengan Stasiun lumayan jauh dan aku merasa sudah cukup merepotkan kakak iparku. Aku tidak ingin menjadi bebannya untuk bolak-balik mengantarkanku dari rumahnya kestasiun nanti akan sangat membuang waktu dan tenaga. Akhirnya aku meminta agar kakak nanti tidak usah menungguku mengantri membeli tiket, kakak cukup kembali lagi saja kerumah bekerja lagi di Bengkel. Aku menjelaskan kepadanya untuk masalahku selama menunggu pemberangkatan pukul dua tidak usah terlalu difikirkan. Iapun mengiayakan permintaaku, ia kembali kerumahnya.
Setelah mendapatkan tiket, tujuanku selanjutnya adalah menuju masjid dekat Pasar Senen, aku lupa nama masjidnya. Setelah sampai didepan pintu masjid, aku terkejut melihat gerbang masjid di gembok dan dengan kondisi masjid yang sangat sepi. “waduh istirahat dimana ini?” gumamku. Setelah aku mondar-mandir disekitar masjid, aku bertanya kepada petugas parkir didekat masjid, “permisi pak numpang tanya, kok gerbang masjid di kunci ya?”. Ia menjawab “lewat belakang mas, belok ke kanan trus ada pintu kecil masuk”. Aku heran dengan keadaan disekitarku. Dalam hati aku bertanya-tanya motor-motor banyak sekali parkir dibelakang masjid tapi masjidnya kok sepi?. Aku merasa lain sendiri, banyak orang disekitarku berduyun-duyun berkendara motor untuk memakirkan motornya tapi aku dengan PD nya berjalan kaki melewati motor demi motor kearah pintu kecil di belakang masjid. Setelah melewati pintu kecil itu, aku langsung duduk diserambi kiri masjid. “Masjid yang aneh, kok gak ada orang yang singgah dan sholat duha sama sekali ya? udah sepi, adem pula” gumamku. Setelah merebahkan tubuh tiba-tiba menyusul seseorang dengan mata yang tertuju kearahku, namun ketika pandangan mataku berpapasan dengan pandangannya ia seolah-olah tidak sedang memperhatikanku. Aku tidak kenal siapa orang itu, tapi sepertinya aku melihatnya ketika sedang sibuk memakirkan motor. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan didalam masjid, terkadang ia masuk, terkadang ia keluar, juga ia seperti sedang sibuk mengecek mesin-mesin mobil yang terparkir didalam masjid. Hanya ada aku dan dia yang ada didalam masjid, tanpa bicara sepatah katapun. Akhirnya aku bosan berdiam diri, aku segera mencairkan suasana dan mulai mengajak bicara “pak, kok didalem sepi bangeet ya, kok jam segini pintu gerbang depan dikunci?” ia menjawab “begini mas jadi disini tuh sering terjadi kehilangan, dan antisipasi saja supaya preman dan pengemis itu tidak masuk kedalam masjid, yaa karena sering kehilangan, dan gerbang senagaja dikunci nanti dibuka ketika sholat dzuhur”. Dari kalimatnya saja aku langsung paham sebenarnya aku sedang diawasi atau mungkin juga sedang dicurgai. Tanpa panjang lebar aku langsung berkemas-kemas sambil berkata kepada orang itu “owh begitu pak, wah maaf pak saya tidak tahu”. Dengan rasa malu bercampur jengkel aku langsung meninggalkan masjid itu. Dalam hati aku kesal sekali “mengapa gak bilang aja pak,, klo jam sgitu masjid gak boleh dimasukin malah gw kayak pencuri diawasin, heeeuh!!! Apa susahnya sih ngomong “mas gak boleh masuk masjid jam sgitu karena aturannya memang seperti itu dan untuk mengantisipasi terjadinya banyak kehilangan barang-barang masjid”. Dalam perjalanan menuju kestasiun yang berada 100 m di dekat masjid, aku benar-benar merasa jengkel kepada petugas parkir yang merangkap sebagai takmir itu. Mungkin dia segan dan tidak enak dengan ku, tapi sikap segannya benar-benar menjengkelkan. Lebih baik menerima penolakan secara tegas dari pada penolakan yang ditutup-tutupi dengan dalih untuk menghormati.
Seperti gelandangan aku mencari-cari mushola disekitar Stasiun. Tubuhku benar-benar lelah. Ingin rasanya tidur sejenak menghilangkan pegal-pegal yang ada di sekitar pergelangan pinggang dan punggung. Dengan kemurahan Allah akhirnya mushola itu ku temukan jauh dipojok Stasiun. Tentunnya seperti pepatah dalam bahasa Inggris “nothing free lunch in this world” tidak ada makan siang gratis didunia ini apa lagi di Jakarta. Aku harus mengeluarkan uang retrbusi, karena memang di mushola itu ada penunggunya yaitu petugas penjaga mushola.
Didalam mushola tertulis dengan jelas “DILARANG TIDUR DI DALAM MUSHOLA!”. Padahal mata ini ibarat bola lampu seperti lampu ukuran lima watt “keyap-kreyep”. Ada seorang wanita setengah tua tidak menghiraukan larangan itu sama sekali, ia tidur saja tanpa merasa berdosa, akibatnya si petugas yang lumayan sangar itu segera menegurnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya “mbak.. mbak.. mbak bangun mbak, jangan tidur!” katanya. Kontan saja aku yang masih dalam posisi duduk dengan mata yang redup senja terkejut dan takut. Aku punya siasat dan aku beruntung juga diberi kebiasaan buruk atau mungkin menurut sebagian orang baik, aku tidur dalam posisi duduk. Dalam posisi duduk aku tidak terlalu di curigai tidak seperti mbak yang baru saja ditegur oleh petugas yang bagaikan reptil melintang diatas sajadah. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam akhirnya berlalu. Setelah sholat dzuhur, dzikir, SMS-an, baca majalah politik yang aku beli di sekitar Stasiun, cukup menjadi teman setiaku menunggu tiba pukul 2 siang. Akupun naik kereta “Matraman Jaya” dan alhamdulillah aku dapat tempat duduk. Didalam kereta keadaanya seperti biasa ramai, berdesak-desakan, panas, dan gaduh. Kegaduhan berasal dari para penumpang dan juga dari pedagang asongan yang menggoda-goda penumpang dengan berbagai macam barang dagangannya. Ada yang menjual koran bekas, koran baru, TTS (teka-teki silang), boneka anak-anak, minuman, makanan ringan, senter, batu batere handphon, dan macam-macam. Aku sudah tenang dengan kursi yang ku tempati. Aku hanya melihat-lihat saja penumpang-penumpang lain yang masih sibuk mencari kursi.
Ketika aku sedang merebahkan punggungku ke kursi, datanglah seorang anak kecil usianya sekitar 8-9 tahun duduk disekitarku menawarkan kipas anyaman yang terbuat dari bambu seharga Rp 2000. Aku menggelengkan kepala tanda tidak ingin membeli kipasnya. Majalah politik aku letakkan di atas pahaku. Sikap aneh anak itu baru aku sadari ketika kepala anak itu semakin mendekat kearah pahaku, sambil mengeja-ngeja tulisan yang terdapat dalam majalah. Aku terkejut dan aku sapa si anak kecil itu “suka baca dik?” ia mengangguk lemah. Aku bertanya lagi “masih sekolah? Kelas berapa? Ia menjawab dengan suara yang agak serak ia menjawab pertanyaanku “masih, di Senen, kelas 5”.
Sambil melihat-lihat keramaian didalam dan diluar aku tersadar bahwa si adik kecil penjual kipas ini masih belum beranjak dari kursi yang ada didekatku, aku kembali bertanya ”dik, jual kipas dengan siapa?” ia menoleh kearahku, dan menjawab “sama ayah”. Sambil memegang uang yang disimpan di plastik bening transparan dan terlihat sekali lipatan-lipatan uang seribuan, lima ribu, sepuluh ribu, serta sejumlah uang logam. Dengan mata yang sedikit kuyu, ia masih bersemangat menawarkan kipas-kipas itu kepada penumpang yang sedang duduk dikursinya masing-masing. Dasar anak kecil aku langsung menasihatinya agar lebih hati-hati dalam menyimpan uang, aku minta ia merapihkan lipatan-lipatan uang yang berantakan tak karuan itu. Aku kasihan dan khawatir uang yang sudah diperolehnya dengan panas-panasan didalam kereta nanti hilang atau dirampas pencuri. Lalu ia sedikit merapihkan uang-uang itu walaupun aku perhatikan masih terlihat kacau. Tak lama kemudian ia berhenti menawarkan kipas-kipasnya. Ia kelelahan dan tidur diatas kursi yang belum berpenumpang dengan posisi tertelungkup. Wajahnya ia sandarkan ke atas pahanya, sedangan kipas-kipas dagangannya masih ia genggam kuat di tangannya. Ia tertidur. Aku dengan bapak-bapak penumpang yang posisinya di depanku tersenyum melihat anak kecil itu. Aku pandangi anak kecil itu dengan seksama dalam hati aku bergumam “luarbiasa, sekecil itu ia sudah harus bekerja keras membantu ayahnya menjajakan kipas-kipas bambu itu, ia kelelahan. Tapi ia mampu menjualnya dan hampir terjual semua kipas-kipasnya. Aku membandingkan dengan diriku ketika seumurannya, sepertinya aku belum pernah mengalami ataupun terbayang harus berjualan di tempat-tempat ramai seperti itu. Apakah aku sanggup? yang ada dalam pikiran waktu itu adalah bermain dan bermain, senang-senang tak terpikir sedikitpun bagaimana kerasnya ayah mencari uang untuk mencukupi kehidupanku”.
Melihat anak kecil itu aku merasa kasihan ataukah kagum sulit membedakannya, karena kedua rasa itu bercampur. Lagi-lagi kereta ekonomi itu selalu memberiku pelajaran berharga mengenai kehidupan. Hatiku menjadi sejuk, tentram dan tenang, betapa aku beruntung sekali dibesarkan dalam keluarga yang mungkin lebih baik dari keluarga si kecil itu. Ketika aku masih di Sekolah dasar ayah dan ibuku tak mengijinkan aku bekerja. Pernah aku meminta kepada ayah aku ingin membantunya bekerja di ladang, tapi apa reaksi ayah “udah Anton belajar aja yang bener gak usah mikirin bapak, bapak mah udah biasa”. Seorang anak yang sudah bisa melihat dan berfikir tentunya terketuk hatinya ketika melihat kerasnya orang tua bekerja, dan ingin sekali bisa membantu meringankan pekerjaanya. Tapi itulah uangkapan kasih sayang orang tua ia hanya ingin anaknya bahagia, berkecukupan, dan bagaimanapun jenis pekerjaannya yang penting halal, ia akan melakukannya demi anak.
“Dik bagun! Kereta sudah mau jalan ntar kebawa ke Jawa lho” ucapku. Si adik itu terkejut dan tanpa banyak celoteh ia segera bangkit dan bangun lalu ia beranjak kearah depanku. Iapun luput dari pandanganku, tak tahu lagi kemana ia pergi. “Terimakasih dik kamu telah memberi pelajaran berharga kepadaku tentang kehidupan” gumamku dalam hati. Sekitar 5 menit kemudian kereta berwarna kuning itupun berangkat. Kursi disebelahku langsung ditempati oleh penumpang yang belum mendapatkan tempat duduk. Ia adalah penumpang yang tidak mendapatkan kursi. Namun karena penumpang yang booking tempat duduk itu belum muncul, jadi untuk sementara kursi itu ia tempati sambil menunggu penumpang asli datang. Aku menduga penumpang asli itu kemungkinan naik dari Stasiun Jatinegara atau Bekasi.
Dugaanku ternyata benar, ketika kereta Matraman Jaya singgah di Stasiun Jatinegara untuk menjemput penumpang, penumpang itu naik kereta dari Sasiun Jatinegara. Pria berumur 40 tahun-an itu berperawakan sedang menggunakan topi, jaket kulit hitam, celana jeans dan berkumis tebal. Awalnya aku agak sedikit takut dengan pria yang bertampang sangar itu. Sambil mencocokan huruf tempat duduk ia berkesimpulan bahwa kursinya ada disebelah kursiku yang sedang diduduki pria muda yang sedikit gaul itu. Sambil berkata dengan sopan ia memberi tahu kepada pria muda itu “maaf mas tempat duduk saya” ucap pria berkumis itu sambil menunjuk kode huruf kursi yang terdapat diatas kursi. Langsung saja pria muda itu segera bangkit dan beranjak dari kursinya, ia sadar pria berkumis itu lebih berhak duduk dikursi setelah ia menunjukan kode huruf kursi. Begitulah suka dukanya naik kereta ekonomi senang atau tidak senang kita harus mengikuti aturan main yang sudah berlaku. Lalu pria muda itu nanti duduk dimana? Ya terserah, mau duduk lesehan di bawah ataupun lesehan didekat pintu masuk itu sudah menjadi risiko.
Pria berkumis itu duduk disampingku. Tak tanggung tanggung ia langsung mengeluarkan 2 hape sekaligus yang satu Blackberry, dan yang satunya lagi Nokia tipe berapa aku tidak terlalu paham, yang pasti 2 hapenya keren sekali. Ia sibuk SMS-an, juga layaknya seperti customer service ia sibuk mengangkat telepon dan juga menelepon. “ni orang sibuk amat sih”? gumamku dalam hati. Hampis setengah jam ia sibuk SMS, telpon sana-telpon sini, dan juga terlihat penumpang yang lainpun memperhatikannya dengan sekasama.
Akhirnya pria itu memecah kesunyian dengan menyapa kita semua yang duduk saling hadap berhadapan, berbasa-basi bertanya asal dan tujuan pemberangkatan dan kitapun tengelam dalam obrolan-obrolan seputar apapun. Ia bertanya tentang asalku dan tujuan pemberangkatanku. Pertanyaanya aku jawab seperti biasa. Ternyata ia adalah seorang wartawan harian “pilar”, sebuah harian yang ada di Provinsi Jawa Timur. Aku agak kurang percaya, masak seorang wartawan dan juga seorang koordinator wartawan Jawa Timur mau naik kereta ekonomi?. Dari gaya bicaranya memang ia aktif sekali ketika kami tenggelam dalam suasana ngobrol. Wawasannya terlihat luas sekali, kritis sehingga memunculkan rasa kagum bagi kami semua. Ia menceritakan bahwa ia wartawan khusus yang menangani masalah-masalah hukum dan kriminal. Aku sangat tertarik dengan cerita-ceritanya. Muncul banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutku suka duka mejadi wartawan. Ia panjang lebar bercerita pengalamannya ketika pertama kali ia bergabung dengan harian “Pilar”. Dan yang paling membuatku terkejut adalah ia seorang lulusan Teknik Industri. Tapi ia mempunyai minat dengan dunia jurnalis. Akhirnya dengan nekat dan percaya diri ia mendaftar ke redaksi harian pilar. aku kurang tahu pasti bagaimana secara detail kisahnya, namun yang pasti ia bisa diterima bergabung dengan harian “pilar”. Pria berkumis itu sangat senang bercerita. Ia memberitahukan ia tidak hanya berprofesi sebagai wartawan saja, tapi ia juga merupakan agen yang mengirimkan tenaga kerja ke Brunai, ia memiliki cabang di Brunai. Nah inilah alasan dia mengapa memilih naik kereta ekonomi, katanya untuk menghemat biaya, karena ia mengajak 5 calon pekerja yang akan dikirim ke Brunai.
Ia bercerita bahwa jaman sekarang, lulusan perguruan tinggi apapun tapi tidak menguasai informasi dan jaringan, maka akan kesulitan memperoleh pekerjaan. Makannya mumpung masih kuliah kamu belajar yang serius, apa lagi basic kamu sastra dan tertarik dengan duania jurnalisme pula. mumpung masih muda kamu harus mencari sebanyak mungkin pengalaman dan perluas jaringan. Dan juga satu keterampilan lagi yang harus kamu kuasai adalah marketing. Ia bercerita dengan logat Jawa Timur yang keras dan bersemangat.
Ia juga menjelaskan kepadaku ada beberapa tipe wartawan, yang pertama wartawan foto, yang kedua wartawan tulis, yang ketika wartawan gambar. Maksud gambar disini adalah ia merekam momen-momen unik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kamu tinggal tentukan saja minat kamu dimana. Dengan percaya diri ia bercerita “gampang kok mencari uang, kamu beli handycam yang murah saja merk Cina juga gak apa-apa, kamu rekam saja momen-momen unik di sekitarmu” kemudian sambil mengeluarkan handycam ia mencontohkan kepadaku contoh hasil suntingan gambarnya. Aku dengan saksama melihatnya, terlihat ia merekam peristiwa kemacetan diasuatu tempat tanpa suara dan hanya gambar bergerak saja. Sambil menjelaskan aspek-aspek gambar yang penting yang harus aku ambil. Hatiku senang bukan kepalang didalam kereta pengap itu ada orang yang sangat berbaik hati berbagi ilmu kepadaku.
Ia berujar lagi katanya “sekarang jika mau jadi wartawan gak usah masuk jurusan komunikasi juga bisa, nah contohnya saya, saya dari teknik tapi bisa jadi wartawan. Yang penting kamu harus tahu informasi, percaya diri dengan kemampuan,dan nekat saja. Ia mengajarkan lagi kepadaku teknik-teknik ketika diwawancara. Intinya ketika diwawancara kita dalam menjawab pertanyaan jangan gugup, percaya diri, jangan terlihat minder, tunjukan saja kemampuan terbaik kita dan gunakan bahasa-bahasa yang meyakinkan ketika menjawab pertanyaan. Ia mencontohkan salah satu pernyataan ketika ia ditanya oleh intervewer mengapa ia mendaftar di harian “pilar” ia menjawab dengan bahasa meyakinkan “saya ingin bergabung dengan harian ini pak”. Akhirnya aku benar-benar merasa nyaman duduk disamping seorang wartawan ini. Dalam hati “yaa Allah beruntung sekali aku berangkat hari ini banyak sekali hikmah dan ilmu yang kudapatkan” aku berkesimpulan memang terkadang kita sering berperasangka dengan keadaan yang Allah berikan kepada kita jika keadaan itu menurut kita tidak menyenangkan tapi bagi Allah yang Maha Tahu keadaan yang tidak menyenangkan itu adalah yang terbaik, namun kita belum menyadarinya dan lebih banyak berprasangka buruk kepada Allah.
Beginilah ceritanya…
Berita gembira namun miris itu aku dapatkan setelah aku ditelepon oleh adik perempuanku. Sebuah berita gembira, karena memang berita inilah yang selalu aku nantikan. Kata adikku lewat telepon, aku ingin dibelikan laptop baru, wow kontan saja aku yang sedang makan di warteg depan kontrakan, sejenak aku pending. Kemudian masih lewat telepon aku diminta pulang untuk menentukan merk apa yang akan dipilih. Aku yang masih di Semarang tentunya memilih laptop dengan merk dan kualias terbaik, wong disuruh milih kok. Aku meminta kepada adikku agar laptopnya dikirim lewat jasa pengiriman berhubung sudah mendekati ujian, juga karena bertepatan dengan arus balik mahasiswa ke kampus. Tapi adik dan ayahku bersikeras agar aku pulang walaupun hanya sehari saja. Akhirnya tanpa berfikir panjang aku segera membeli tiket kereta ekonomi jurusan Stasiun Poncol- Jakarta. Pukul 11.00 aku ditelpon oleh adikku dan pada hari itu pula tepatnya pukul 12.30 aku berangkat ke Stasiun. Sampai di stasiun aku harus sedikit sabar menunggu petugas loket, karena loket baru akan dibuka pukul 14.00, aku tidak tahu mengapa harus dimulai pada pukul tersebut.
Aku menghabiskan waktu dari kontrakanku menuju stasiun dengan menggunakan jasa bus sekitar satu jam. Sehingga aku harus menunggu loket dibuka sekitar setengah jam.
Setelah loket dibuka dan mengantri dibelakangi beberapa orang, aku berhasil membeli tiket kereta dan mendapat tempat duduk. Alhamdulillaah aku senang sekali. Setelah tiket kudapatkan akupun lantas bergegas kembali ke kontrakan untuk berkemas-kemas. Aku harus mengejar sang waktu agar aku bisa kembali ke Stasiun minimal satu jam sebelum pemberangkatan pukul 19.00.
Setelah sampai diwisma aku langsung beres-beres dan mencari teman yang bisa mengantarkanku sampai stasiun. Sudah meminta sana dan meminta sini aku belum mendapatkan seorangpun yang bersedia mengantarkanku ke Stasiun. Padahal aku sudah memberi tahu untuk bensin aku yang tanggung. Tapi waktu sudah menunjukan pukul 14.00 aku belum mendapatkan seseorang yang bersedia mengantarkanku. Aku semakin panic, jika terus-terusan menghabiskan waktu untuk mencari seorang kesana-kesini nanti waktuku akan habis, dalam hati apakah aku harus naik bus saja? Padahal menunggu bus pun butuh waktu yang cukup lama, melihat jarangnya bus yang lewat.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah ada seorang teman yang bersedia mengantarkaku sampai stasiun namanya Mas Cahyudi teman satu kontrakanku, jurusannya adalah Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP angkatan 2007. Ia asli Lombok Nusa Tenggara Barat. Ia bersedia mengantarkanku menuju stasiun Poncol.
Tembalang hari itu mendung sekali seolah-olah hujan mau tumpah ruah, tapi anehnya tidak tumpah-tumpah, hanya gerimis kecil saja. Akhirnya sekitar pukul 16.10 kita berangkat dari Tembalang menuju Stasiun Poncol dan kurang dari setengah jam kita sudah sampai disana. Aku sangat berterima kasih sekali kepada Mas Cahyudi yang sudah berbaik hati dan bersedia mengantarkanku sampai ke Stasiun. Akupun berjabat tangan dan berpelukan dengannya. Ia kembali ke tembalang, kulihat ia berbalik arah, menjauh dan semakin menjauh hingga tak terlihat lagi sosoknya. Aku langsung masuk kedalam Stasiun. Aku duduk-duduk di kursi yang disediakan. Sambil menunggu shalat magrib, aku menikamati suasana hiruk pikuk stasiun. Ada yang terburu-buru mengejar kereta yang dianggapnya mau berangkat padahal belum berangkat. Ada penjual nasi, minuman, dan lalu lalang petugas kereta api. Sesekali aku membaca buku. Untungnya aku membawa buku, jika tidak mungkin waktuku akan terbuang sia-sia untuk melamun dan memperhatikan hiruk pikuk stasiun saja. Aku membaca buku “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1” kumpulan surat dan memoar Imam Asy Syahid Hasan Al- Banna dari Mesir. Akhirnya magrib pun tiba. Usai solat, aku langsung naik kereta. Duduk di kursi yang disediakan sesuai kode huruf yang kudapat. Waktu itu menunjukan pukul 18.30. Setengah jam lagi aku berangkat. Sambil meletakan barang-barangku ditempat barang yang disediakan tidak jauh dari kursi. Aku seperti biasa menyapa penumpang lain yang berhadapan denganku bertanya asal dan tujuan pemberangkatan. Akhirnya pukul 19.05 keretapun berangkat.
Pukul 03.30 dini hari kereta sampai di Stasiun Senen. Seperti biasa aku langsung menuju mushola sholat subuh. Alhamdulillah aku sudah menjama solat Isya ketika sholat magrib di Stasiun Poncol. Setelah solat aku menuju kearah tempat KOPAJA yang seperti biasa membawa penumpang kearah Lebak Bulus. Dengan keadaan fisik yang sedikit remuk karena hampir semalaman berada didalam kereta, sudah pasti aku tidak bisa tidur dengan nyaman, karena aku harus selalu waspada dengan barang-barang bawaanku. Rasa kantukpun menemaniku ketika dalam perjalanan menuju terminal Lebak Bulus. Sesekali aku tertidur dan terbangun didalam KOPAJA butut itu. Kota Jakarta dipagi hari cukup sepi dan hening KOPAJA butut itu melesat cepat, rata-rata dengan kecepatan 80 km/jam. Aku salut dengan Pak Supir yang edan itu. Sepertinya ia sudah tak sayang lagi dengan KOPAJA bututnya, ia melaju cepat sekali, ada lubang kecilpun ia libas, sehingga terdengar keras sekali bunyi-bunyi besi beradu. Sesekali kepalaku terantuk besi yang ada di depan kursiku, sakit sekali. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa protes, mungkin penumpang-penumpang yang lain juga berfikiran sama denganku. Hanya menyimpan rasa jengkelnya didalam hati. Jakarta dipagi hari cukup megah, dikanan kiriku berdiri bagunan-bangunan megah bertingkat tingkat menunjukan kesombongannya. Tapi walaupun megah tetaplah ia Jakarta, Kota keras yang menyimpan banyak seribu cerita pedih bagi mereka-mereka yang tidak mampu hidup dan bersaing.
Aku menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Setelah sampai di Terminal Lebak Bulus, aku langsung disambut dengan angkot biru kearah Parung dengan nomor trayek 106. Haripun semakin siang. Lalu lalang kendaraanpun semakin ramai dengan angkutan-angkutan umum dan juga kuda besi. Perjalananku dari Lebak Bulus kearah Parung tidak semulus seperti dari arah Stasiun Senen ke Lebak Bulus. Lalu lalang kendaraanku mulai bermunculan. Serbuan kendaraan roda dua dari arah Bogor seperti prajurit-prajurit perang, ramai sekali. Namun demikian akhirnya aku sampai ke Perempatan Pasar Parung dengan keadaan selamat.
Dari Pohon Jublek yang menjadi ikon si Pasar Parung, aku berjalan kaki kearah Ciseeng. Menuju arah Ciseeng, ayahku sudah menungguku didepan bengkel mesin jahit. Dari kejauhan ayahku sedang memarkirkan motornya, sepertinya ia juga sedang memperhatikanku dari kejauhan. Akupun mendekat, sambil mengucapkan salam, ku jabat dan ku cium tangan yang sudah mulai keriput itu. Tanpa banyak bicara sebagaimana ciri khas ayahku, ia langsung memboncengiku sampai rumah. Setelah sampai dirumah sekitar pukul 06.45, seperti biasa ibu dan keluarga menyambutku, bertanya-tanya perihal perjalananku.
Akupun langsung menuju kamar dan ambruk di tempat tidur. Sejenak cerita selesai karena aku dalam keadaan tidur, hehe. Siang pukul 11.00 aku terbangun dan mulai bertanya-tanya perihal laptop baru yang dijanjikan itu. Aku hanya punya kesempatan dirumah hanya dua hari. Tanggal 3 ketika aku sampai adalah hari Jumat. Aku kira sales laptop yang menawarkan laptop itu selalu stand by jika orang tuaku menghubungi dan meminta laptop itu di bawa kerumah, namun ceritanya menjadi lain, si Sales itu sedang tidak berada dirumah. Akupun memberitahu tentang perihal keberangkatanku kembali ke Semarang, namun ia benar-benar belum bisa mengabulkan membawakan laptop hari Jumat sedangkan hari sabtu minggu perusahaannya laptopnya tutup. Aku juga menjadi jengkel sendiri entah kepada diriku yang saking bahagianya sampai tidak terpikirkan aku pulang disaat yang kurang tepat. Aku juga mempersalahkan adik dan ayahku mengapa mereka memaksa menyuruhku pulang.
Dirumah aku hanya menggigit jari. Tidak jelas apa yang harus aku lakukan. Ujian sudah dekat, mata kuliah pada hari pertama yang diujikan adalah Bahasa Belanda. Jujur saja aku benar-benar kesulitan belajar Bahasa Belanda, gelap sekali. Banyak kosakata yang belum aku pahami, sedangkan buku-bukuku tertinggal di Semarang, lalu bagaimana aku memantapkan mata kuliah itu untuk ujian besok? Aku belum sepenuhnya siap. Tapi ketika aku berada dirumah, aku menghabiskan waktu untuk mendalami “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin” dan alhamdulillah hampir setengah jilid buku yang tebalnya 336 halaman itu aku selesaikan.
Tanggal 4 Januari pukul 14.00 dengan hati dongkol, aku pamit dan kembali ke Semarang. Uang saku yang tersisa aku pakai untuk ongkos ke Semarang. Sehingga ayah tidak perlu memberi uang tambahan lagi. Seperti biasa sebelum ayah mengantarkan aku ke Masjid Riyadlu Shalihin (Marisha). Sesuai dengan pesan nenek yang rumahnya tidak jauh dengan rumah kami, aku mempir sejenak kerumah nenek yang sudah sangat renta. Pendengarannya pun sudah lemah sekali. Sehingga aku harus mengeluarkan tangan ekstra keras sekali. Kulihat nenek sedang berada dibelakang rumah, menyapu halaman belakang. Aku hampiri nenek yang membelakangiku. Ia tidak menghiraukan aku sama sekali mungkin karena pendengarannya lemah, jadi ia tidak merasakan kedatanganku. Ia seperti biasa menyapu. Karena aku harus berpacu dengan waktu, aku menyapa nenek dengan mengucapkan salam terlebih dahulu, tentunya dengan suara yang sedikit menggelegar. “Assalaamu’alaikum! sapaku. Baru ia nengok “eh ntong mau balik lagi ke Semarang? Kok cepet benerr? Sambil kujabat tangan nenek aku menjawab pertanyaan nenek “IYA YOT SAYA BESOK ADA UJIAN JADI HARUS PULANG KE SEMARANG LAGI”. Ia terlihat sedikit menyayangkan kepulanganku ke Semarang yang super singkat itu. oyot (panggilan untuk nenek dan engkong panggilan untuk kakek) lantas mengeluarkan uang disakunya sebesar 20.000 rupiah dan memberikannya kepadaku. “udah simpen aja yot buat jajan oyot aja, klo saya mah udah ada” jawabku. Ia lantas berujar lagi dengan logat Betawi “ati-ati yaa tong, ntong kan mau pergi jauh ntar ntong ora sempet nemuin oyot lagi” katanya. “nanti juga saya balik lagi yot” ia berujar lagi “oyot mah takut kayak engkong dulu” katanya.
Memang dahulu ketika aku pertama sekali ke Semarang aku sempat berpamitan dengan kakekku ketika ia masih hidup. Aku ingat sekali kata-kata terakhir yang kakek ucapkan kepadaku “ntong sekola jauh amaat di Jawa, engkong mah lagi sakit sakitan, engkong di atas kasur melulu sekarang mah moga-moga aja nanti pas pulang ntong masih sempet nemuin engkong lagi, engkong mah takut nanti pas pulang engkong dah mati”. Kakeku seolah-olah sudah merasakan bahwa ajalnya memang tidak akan lama lagi. Dan ucapannya ternyata benar ketika hari pertama ujian, aku mendapat kabar dari ayahku via telepon bahwa kakek sudah menutup mata. Aku kaget bukan kepalang. Jika saat itu belum ujian mungkin aku langsung pergi ke Stasiun untuk membeli tiket pulang. Namun karena masih minggu-minggu ujian terpaksa aku harus fokus terlebih dahulu dengan ujian. Dan setelah ujian usai aku baru pulang dan aku merayakan tahlilan pada saat hari yang ke tujuh.
Setelah berpamitan dengan nenek aku langsung menuju perempatan Pasar Parung. Disana ngkot biru jurusan Lebak Bulus dengan nomor trayek 106 sudah siap menunggu. Seperti biasa aku mencium tangan ayahku sebagai tanda perpisahan. Ayahku yang tidak banyak bicara hanya berucap “ati-ati loe!” aku menjawab singkat “Ya”. Ia langsung berbalik arah dan menghilang. Setelah menunggu sekitar lima menit akhirnya angkot yang ku tunggu-tunggu datang juga.
Sore itu suasana ramai sekali waktuku terbuang sia-sia dijalan, aku terjebak macet. Kemacetan mulai aku rasakan di sekitar Pondok Cabe Jakarta Selatan. Dengan kesabaran hati akhirnya aku sampai si Terminal Lebak Bulus Pukul 18.30. Biasanya pukul 18.30 seharusnya aku sudah berada di Terminal Pukul 18.00 jadi aku terlambat sekitar.
Tidak berapa lama dari terminal aku langsung naik KOPAJA jurusan Lebak Bulus-Pasar Senen. Kopaja yang tampangnya sudah usang itu melesat dengan cepat. Namun dasar memang Jakarta saat itu bertepatan dengan arus balik karyawan dari Jakarta menuju Bogor dan sekitanya, sehingga aku sesekali terjebak kemacetan. Hal yang paling membosankan adalah ketika dalam keadaan terjebak macet. Asap kenalpot dan udara Jakarta yang panas membuat kepalaku sedikit pening. Ditambah dengan banyaknya pengamen-pengamen jalanan yang kerak masuk KOPAJA. Dari Lebak Bulus hingga Stasiun Senen, sudah tiga pengamen masuk bus. Mulai dari pengamen yang benar-benar menghibur dengan indah dan merdu suaranya, sampai engamen yang bernyanyi tanpa nada alias buruk sekali suaranya. Muncul firasat tidak enak didalam pikiranku, apakah aku dapat tiket nanti?.
Akupun tiba di Stasiun pukul 20.30 dengan fisik yang mulai melemah, ditambah barang-barang bawaan yang beratnya sekitar 2 kg semakin menguras fisikku. Padahal aku hanya membawa 2 stel pakaian dan 2 stel celana ditambah 1 buku. Tapi terasa berat sekali. Dan firasaku benar 100% aku kehabisan tiket kereta api Tawang Jaya. Aku menguatkan hati dengan kata-kata yang tertulis “TUTUP tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”.
*SEKIAN*


Belajar Itu Asyik


Manusia merupakan makhluk pembelajar. Hal ini dapat kita lihat hingga saat ini manusia sebagai makhluk yang dibekali akal oleh Sang Pencipta selalu membuat pembaharuan dan pembaharuan, baik dari sisi sains dan teknologi. Pembaharuan-pembaharuan ini terjadi karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu selalu ingin tahu. Manusia sebagai makhluk berbudaya selalu bertanya tentang segala sesuatu yang ada disekeilingnya. Rasa ingin tahu dan selalu bertanya itulah yang semakin membuatnya penasaran, kemudian dari rasa penasarannya maka timbul keinginan untuk belajar dan mengkaji untuk mengungkap setiap misteri yang senantiasa menghantui benaknya.
Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, maka dorongan untuk belajar dan mengkajipun kian dinikmati. Ia tidak akan merasa puas selama tembok-tembok misteri yang menghalanginya masih angkuh menutupinya dari kebenaran. Ia akan terus dan terus mencari sampai ia menemukan apa yang ia cari yaitu kebenaran yang hakiki.
Untuk mencari kebenaran yang hakiki itulah, maka manusia dalam proses pencariannya melakukan berbagai macam usaha-usaha untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya mengenai sesuatu yang ia cari. Salah satu usaha-usaha dalam proses pencarian itu adalah belajar.
Saat ini makna belajar telah direduksi. Belajar sering dimaknai sebagai sebuah aktivitas yang identik dengan institusi sekolah dengan waktunya yang dibatasi. Padahal belajar ya belajar, kapanpun dan dimanapun, oleh siapapun dan dari siapapun. Kegiatan belajar bukan disekolah saja, kegiatan belajar ada dimana-mana, di rumah, di jalan, di hutan, di pantai dan sebagainya. Dan waktunya pun bisa dilakukan dalam kondisi apapun tidak hanya ketika pada hari-hari biasa saja, namun juga bisa dilakukan di hari-hari libur.
Belajar itu Asyik apa lagi yang kita pelajari adalah sesuatu yang kita minati dari lubuk hati. Belajar itu Asyik apa lagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah orang yang kita senangi. Belajar itu Asyik apalagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah seorang yang mengajarkannya dengan hati, belajar itu Asyik apalagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah seorang yang membimbing dengan penuh pengertian bukan menuntut apalagi menghakimi.
Menurut hemat penulis, Asyik dan tidak Asyiknya dalam proses belajar sesungguhnya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
  1. Cara Guru dalam menyampaikan materi
Di sekolah formal maupun non formal, sosok guru dalam proses tidak dapat dipisahkan. Guru siapapun orangnya dan dari mana asalnya merupakan sosok yang memiliki ilmu yang “lebih” dari murid-muridnya. Baik dari kapasitas ilmunya, keteladanannya maupun pengalamannya. Ia adalah sosok rujukan bagi para murid, tidak hanya dijadikan rujukan dalam sisi intelektualitas saja, namun juga dari sisi keteladan sikapnya. Asyik dan tidak Asyiknya dalam proses belajar sesungguhnya lebih kepada proses penyampaian bukan isinya. Karena materi pelajaran adalah sesuatu yang netral. Materi pelajaran akan diterima dengan baik oleh para murid jika proses penyampaiannya pun baik begitupun sebaliknya materi pelajaran akan sukar diterima oleh para murid jika proses penyampainnya kurang baik. Hendaknya para guru tidak hanya berpatokan dengan kuantitas materi pelajaran yang disampaikan atau jumlah pertemuan yang dilakukan, tapi para guru hendaknya mempertimbangkan kualitas penyampaian materi. Para guru hendaknya introspeksi diri, sudahkan ia secara sepenuh hati dalam menyampaikan materi? Sudahkah ia menyelami dunia para murid-muridnya? Sudahkan ia menyampaikan dengan hati yang tulus?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih sebatas proses penyampaian belum lagi mempertanyakan kapasitasnya secara intelektual sebagai seorang pendidik. Kapasitas intelektual seorang guru sangat mempengaruhi dalam proses penyampaian materi pelajaran. Karena seorang guru yang kurang memahami materi yang akan disampaikan akan mempunyai kecendrungan kurang menarik dalam proses penyampaiannya. Kecendrungan guru-guru seperti itu hanya menyampaikan materi seperti benda mati kering tanpa makna. Hal inilah yang menimbulkan kejenuhan dikalangan murid-murid. Sebagian guru sering kali tidak mengabaikan kondisi psikologis para murid-muridnya. Seolah-olah menjadi seorang guru hanya sebatas menggugurkan kewajiban saja. Datang ke sekolah secara rutin kemudian menyampaikan materi-demi materi hanya sekedar mengejar target layaknya sebuah industri. Dari sebagian guru yang rutin itu jika di analisis lagi hanya berapa persen dimulai dari proses penyampaian serta kapasitasnya sudahkan berkualitas ?. Bahkan celakanya ada sebagian guru yang jarang masuk ke sekolah dan jika masuk pun hanya sekedar menyalin catatan dari buku pelajaran ke papan tulis, kemudian memerintahkan murid-muridnya untuk menghafalkannya. Jika kita jeli memperhatikan perilaku murid-murid dalam menilai guru tentunya bisa kita jadikan landasan untuk mengambil kebijakan dalam menilai guru. Kita sering melihat jika dipenghujung kelulusan para murid akan menceritakan pengalaman mereka mengenai guru-guru kesayangan dan guru-guru yang paling membosankan. Biasanya guru-guru yang menjadi idola adalah tipe guru yang selalu memposisikan diri sebagai teman dan tidak mengambil jarak dengan murid-muridnya. Ia senantiasa hadir dan memiliki perhatian terhadap kondisi murid-muridnya. Dengan kata lain seorang guru adalah sahabat yang keberadaanya tidak hanya menstransfer ilmu saja, namun ia menjadi orang tua yang senantiasa membimbing dan merasuk kedalam relung-relung emosi murid-muridnya.
Memang sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang guru yang ideal. Namun hendaknya seorang guru adalah manusia-manusia yang berkualitas dan menjadi sosok-sosok inspirator bagi murid-muridnya. Karena dari sosoknyalah penerus-penerus bangsa ini akan dilahirkan. Seorang guru hendaknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam petuahnya yang terkenal Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madio Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang artinya di depan harus memberi teladan, ditengah-tengah membangun karsa atau ide, dan di belakang memberi dorongan atau motivasi. Jelas pesan tersebut lebih memanusiakan manusia bukan menjadikan manusia menjadi alat produksi seperti robot.
  1. Suasana dan tempat belajar
Seperti saya sudah paparkan diatas bahwa belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Belajar tidak hanya terkungkung dalam bangunan sekolah saja. Belajar bisa dilakukan di alam terbuka, ditengah-tengah masyarakat, dirumah, di tempat-tempat bersejarah dan sebagainya. Adakalanya kejenuhan ditimbulkan karena suasana belajar yang monoton. Tidak terjadi dinamisasi dalam proses belajar dan mengajar baik dari pihak guru dalam menyampaikan maupun dari suasana tempat belajar. Sehingga kejenuhanpun tidak bisa dihindari lagi. Kondisi jenuh inilah yang seharusnya segera di antisipasi oleh pengelola pendidikan juga khususnya oleh para guru. Jangan biarkan kejenuhan menghantui murid dalam belajar. Karena perasaan jenuh menyebabkan tidak terserapnya pengetahuan-pengetahuan secara optimal oleh murid.
Kondisi tempat belajar sangat berpengaruh terhadap antusiasme murid. Tentunya akan terasa berbeda ketika belajar didalam kelas dengan belajar di alam terbuka. Belajar tidak hanya dimaknai mendengarkan dan menghafalkan pelajaran-pelajaran yang ada didalam buku. Belajar bisa dilakukan dengan Learning By Doing ( belajar melalui tidakan ) seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah alam. Menurut hemat penulis, sekolah-sekolah formal perlu meniru sistem yang diterapkan dalam sekolah alam. Belajar dengan secara langsung dipraktekan akan lebih berkesan dan tidak mudah dilupakan oleh murid. Para murid diasah karakter dan mentalnya melalui permainan-permainan yang mendidik. Bukan hanya diasah menjadi manusia-manusia ahli teori dan siap pakai seperti robot. Namun mereka lebih di bangun karakternya seperti kedisiplinan, kejujuran, rela berkorban, keberanian dan sebagainya. Suasana belajar harus egaliter tidak diskriminatif karena setiap murid memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Belajar di alam terbuka tidak harus selalu mengeluarkan biaya besar. Jika letak sekolah kebetulan terletak didesa, belajar dialam terbuka justru akan semakin mudah karena suasana desa yang masih asri. Namun jika letak sekolah berada di kota, belajar dialam terbuka bisa dilakukan di taman-taman kota, tempat-tempat bersejarah yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya jika seorang guru adalah orang yang kreatif dan memiliki kemauan maka akan lebih menghidupkan dan memberi semangat kepada murid sehingga belajarpun akan terkesan menyenangkan dan mengasyikan.
Seperti saya sudah jelaskan dalam alinea-alinea sebelumnya bahwa asyik atau tidak asyiknya proses belajar bagi para murid, lebih karena persoalan metode bukan isi. Oleh sebab itu perlakukanlah murid-murid kita dengan cara terbaik, sebagaimana kita juga ingin diperlakukan demikian. Berilah perhatian kepada mereka dengan sepenuh hati layakna kita juga ingin diperhatikan. Kita jangan pernah menganggap murid-murid sebagai “objek” anggaplah mereka sebagai “subjek”. Hal ini dengan sangat tajam telah di ajarkan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walaupun hingga saat ini tidak sedikit pula orang-orang melupakannya.

Melihat kembali makna pendidikan serta perkembangannya


Latar Belakang 
 
Janji negara :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Memajukan kesejahtraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa dimata dunia internasional. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Daoed Joesoef tentang betapa pentingnya pendidikan: “pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam membina dan memilih hidup yang baik,yang sesuai dengan martabat manusia”. Pendidikan akan terasa gersang apa bila tidak berhasil mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas (baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh factor-faktor pendidikan. Negara maju seperti Amerika tidak akan menjadi negara yang ditakuti dunia bila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan kita. Kemudian Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya mengapa Jepang menajdi Negara berteknologi tinggi?. Jepang adalah negara yang menghargai pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan daripada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan.
Belakangan ini banyak masyarakat yang mengeluhkan sistem pendidikan di Indonesia. Seolah-olah pendidikan di Indonesia tidak pernah habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli dengan pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya wacana-wacana serta kritik-kritik terhadap lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan dianggap belum mampu mencetak generasi-generasi yang berkarakter dan bermoral baik. Bisa dikatakan pendidikan sudah jauh melenceng dari hakikat pendidikan yang sebenarnya dan sama sekali tidak sesuai dengan yang dicita-citakan para pejuang-pejuang pendidikan terdahulu salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1999. Lembaga survey internasional The Polotical and Economic Risk Consultancy (PERC), menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup dikawasan Asia. Dalam laporan surveinya yang ditunjukan dalam skala 0 (nol) hingga 10, dimana nilai nol menunjukan kondisi paling ideal, Singapura mencatat angka rata-rata 1,55 untuk korupsi dan 2,75 untuk kronisme. Hongkong masing-masing mencatat angka 4,56 dan 3,68. Sementara Jepang mencatat angka masing-masing 4,25 dan 4. Disisi lain Indonesia mencatat skor paling buruk, yakni 9.91 untuk korupsi dan 9.09 untuk kronisme.
Kemudian berdasarkan salah satu tulisan di Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2006 disebutkan bahwa dari tahun ke tahun pendidikan Indonesia selalu menempati urutan ke sekian ratus dari ratusan negara yang di survei. Misalnya pada tahun 2003, mutu pendidikan negara kita menurut hasil penelitian Human Depelopment Index (HDI) pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara. Padahal di era 50-an Malaysia mengimpor guru dari negara kita tercinta dan sekarang menempati urutsn ke- 58. Kemudian Singapura menempati urutan ke-28. Padahal Singapura mencontoh konsep pendidikan yang di idekan oleh Ki Hajar Dewantara. 
 
Rumusan Masalah 
 
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis berusaha merumuskan masalah yang nanti akan berusaha di jawab dalam Bab Pembahasan. Rumusan masalah tersebut antara lain:
  1. Bagaimana pendidikan dimaknai dari waktu ke waktu?
  2. Bagaimana arah tujuan pendidikan pemerintah?
Tujuan Penulisan 
 
Makalah ini ditulis bertujuan untuk menguraikan dinamika pendidikan dari waktu ke waktu, guna mencari permasalahan mendasar yang selalu menjadi momok bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga dengan melihat masalah-masalah mendasar tersebut akan di peroleh rumusan-rumusan solusi untuk menangani permasalah pendidikan di Indonesia. 
 
Kepustakaan 
 
Dalam makalah sederhana ini penulis menggunakan sumber-sumber buku dan artikel baik dari sumber cetak maupun sumber elektronik. Salah satu buku yang penulis jadikan pedoman ialah tulisan M. Joko Susilo yang berjudul Pembodohan Siswa Tersistematis. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang dikutip dari berbagai media khususnya artikel serta reportase mengenai seluk beluk pendidikan di Indonesia. Didalam buku tersebut juga terdapat tawaran-tawaran mengenai konsep pendidikan untuk masa depan. Selain itu karena penulis mengalami keterbatasan sumber literature, maka penulis mencari sumber alternatif yaitu sumber-sumber dari internet. Dalam bahasan mengenai sejarah pendidikan, penulis banyak mengutip artikel-artikel dari internet. 
 
Pembahasan 
 
Makna Pendidikan

Freitz R Tambunan (2004) menjelaskan bahwa kata pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harfiah berarti “menarik keluar dari” sehingga pendidikan adalah sebuah aksi membawa seseorang pais (anak atau peserta didik) keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung, kesituasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab. Pendidikan yang demokratis tidak bertujuan menciptakan manusia siap kerja, tetapi membentuk manusia matang dan berwatak yang siap belajar terus, siap menciptakan lapangan kerja (Job Creator), dan siap mengadakan transformasi diri lewat pendidikan. Maka pendidikan adalah sebuah proses pedagogis (dari kata Yunani pais-paidea) dimana seorang pais dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi seorang Human – manusia matang, intelek, dan Kultural. John Dewey (1916), dalam Freitz Tambunan (2004) menyampaikan pesan revolusioner: masyarakat yang demokratis harus menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua warganya serta kualitas yang sama. Kemudian Horance Mann berpendapat bahwa hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan. Tujuan pendidikan dalam suatu negara demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan lainnya.

Sejarah Pendidikan di Indonesia

Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha

Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Pada masa Hindu-Budha, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.


Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai (1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.
Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin beroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan adalah sistem pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan); (2) Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran); (3) Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan). Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu; (2) Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain; (3) Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid; (4) Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.

Pendidikan di Zaman Kolonial Portugis

Penjelajahan bangsa Portugis, seperti disebutkan B. Schrieke, hingga sampai ke Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbenturan antara dunia Islam –dunia Barat sejak abad pertengahan dan juga dukungan kemajuan bidang militer dan kemaritiman mereka. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatari hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis; (4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor. Dari catatan Ismatu Ropi, Katholik Roma ini merupakan fase kedua masuknya Kristen ke Indonesia melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Fase pertama adalah masuknya Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16 juga. Sedangkan fase ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.

Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.

Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang

 

 

Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Pendidikan Pasca Kemerdekaan
Dinamika formulasi cita-cita pendidikan nasional
Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4) Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5) Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka yang kurang mampu.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu: (1) Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6) Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7) Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9) Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.
Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan. Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI (Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi mudanya.
Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”
Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat. Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan pendidikan yang ada.

formulasi cita-cita pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini:

Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional (Pasal 3).
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4).

Paradigma Pendidikan Masa Depan

Bagi negara, pendidikan merupakan salah satu tugas yang terpenting, karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang intimewa. Pendidikan merupakan hak manusia yang berakar dalam aneka kebutuhan pokok manusia sebab manusia tidak bisa mengembangkan hidupnya tanpa pendidikan minimum dan bermutu. Jika transfer cultural terjadi secara alamiah seperti pada masyarakat primitif, manusia akan tetap terbelakang dan tidak akan terjadi sebuah transformasi social yang perlu untuk meningkatkan mutu kehidupan. Sebagai makhluk budaya, manusia harus mengalami transfer cultural karena hanya dengan cara itulah manusia dapat mengatasi berbagai keterbatasan kodratnya. Tanpa pendidikan manusia akan tetap kerdil, tergilas kekuatan dan kekuasaan alam, terpenjara pesona magis misteri, dan seperti kata Asinov, tingkat kesadarannya hanya sebatas ide curiousity (instink) binatang dan tidak akan berubah menjadi creative curiousityi, cirri orang terdidik. Dengan demikian hak pendidikan bukan hanya sekedar kebutuhan pokok fisik, tetapi juga kebutuhan pokok yang khas manusiawi yang akhirnya didasarkan atas martabat manusia yang tidak bisa ditawar.
Begitu pentingnya pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa. Sindhuanata (2001) dalam Fretz R Tambunan (2004) mernerangkan bahwa pada tahun 1972 The International Comission For Education Development daru UNESCO sudah mengingatkan bangsa-bangsa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki kehidupan sebuah bangsa, harus dimulai dengan pendidikan, karena pendidikan adalah kunci. Tanpa kunci itu egala usaha akan sia-sia. Kesadaran akan pendidikan inilah yang membuat negara maju memberikan prioritas tinggi terhadap pendidikan, mengadakan modernisasi dan penyempurnaan lembaga-lembaga pendidikan, tidak segan-segan mengadakan pembaharuan, termasuk meningkatkan anggaran pendidikan secara progresif.
Negara-negara maju melihat investasi di bidang pendidiakan akan menghasilkan high rate of return dimasa depan. Kini kemajuan disebuah negara makin diukur dengan semakin murahnya pendidikan yang bermutu sehingga tidak menjadi beban bagi warganya. Di Indonesia pendidikan masih menjadi beban berat, bahkan sudah distigma sebagai “kegelisahan disepanjang zaman”.
Pendidikan adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Tentu untuk menjalani proses tersebut tidak mudah, apalagi satus sekolah kita menurut Waras Kamdi (2004) “dibangun” dibawah subsuktural industry dan dunia usaha. Akibatnya terjadi diferensiasi pengetahuan disekolah-sekolah yang mendudukan siswa-siswa sekolah sebagai alat produksi. Mengarahkan pendidikan hanya untuk memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat sekolah tidak jauh berbeda dengan pabrik-pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri yang ingin memartabatkan manusia dengan pengembangan berbagai macam kemampuan, bakat, talenta yang dimilikinya secara maksimal. Melaui paradigm baru pendidikan akan membawa arah perubahan baru pendidikan nasional. Pembaharuan itu akan berimplikasi sangat luas. Waras Kamdi (2004) menambahkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga ranah yang akan mengalami perubahan mendasar.
Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi social kekurikulum yang fleksibel dan egaliter, atau dalam sebutan lain dari watak kurikulum industrial kapitalistik ke demokratis. Kurikulum efisiensi social yang berakar pada tradisi pendidikan kita dikembangkan atas dasar kebutuhan spesifik masyarakat (ekonomik-industrial).
Ketika masyarakat mendefinisikan lapangan kerja (area okupasi) dan lembaga pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja dimasyarakat, kurikulum pendidikan disusun berdasarkan okupasi yang ada. Wujud nyatanya adalah KBK. Dengan demikian apa yang dikerjakan lembaga pendidikan sebagai instrument produksi menjadi terfokus dan efisisen. Karakteristik utamanya adalah manajemen keilmuan dan sekolah dikelola seperti pabrik, tujuan pendidikan dirumuskan dengan rigid berdasarkan analisis pekerjaan, muatan kurikulum bersifat utilitarian dan antgonisme terhadap muatan akademik tingkat tinggi, membedakan kurikulum berdasar pada prediksi peran social, dan pengukuran bersifat eksak dan standar yang cermat.
Sedangkan kurikulum yang fleksibel dan egaliter lebih sebagai strategi untuk membelajarkan orang, mengembangkan potensi individu. Karakteristik utamanya membuat semua siswa dapat belajar, subjek matter dituukan pada pencapaian (analisis, sintesis, dan evaluasi) dan kecakapan pemecahan masalah, member kesempatan yang sama kapada siswa yang beragam, mendidika anak kedalam wacana yang praktik disiplin akademik, otentik dalam hubungan atara belajar didalam dan diluar sekolah, pengembangan watak yang penting dan kebiasaan berfikir yang produktif, dan mendorong tumbuhnya praktik demokratik dimasyarakat.
Kedua, prubahan pada ranah pembelajaran. Praktik pembelajaran yang kini dikuasai oleh teknik asosiasi dan behavioristik akan digeser teori belajar kognitif dan konstruktivistik. Praktik belajar yang berbasis teori asosiasi dan behavioristik ditandai: konsepsi bahwa pikiran terbentuk oleh asosiasi stimulus-respons, belajar merupakan akumulasi butiran atomistic pengetahuan, belajar melalui irutan yang ketat, setiap tujuan pembelajaran dinyatakan secara eksplisit, test-teach-test sebagai pola umum jaminan belajar, tes isomorfis dengan belajar, dan motivasi berdasarkan reinforcement positif dalam tahapan belajar.
Dengan paradigma baru, praktik pembelajaran seperti itu akan digeser oleh praktik pembelajaranyang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan cultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pegetahuannya sendiri dalam konteks social, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perpektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat belajar tingkat tinggi, dalam hal ini proses dinilai sama penting dengan hasil belajar, dan berfikir cerdas dikonsepsikan mencangkup “mentakognisi” atau kemampuan memonitor belajar dan berfikir sendiri. Seperti kerangka pikir Steven (1970), pembelajaran mengandung 2 hal, formation dan information. Pembelajaran ukan hanya mengusung informasi, tetapi juga proses membangun watak dan identitas personal.
Ketiga, prubahan strategi dan fungsi penilaian. Pengukuran yang eksak dan berstandar presisi dan teknik tes (objektif) terstandar dan isomorfis serta perannya sebagai alat untuk “menghakimi” siswa mengakar kuat pada tradisi pendidikan kita kini.
Paradigma baru yang mengajarkan kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukanlah terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendudkung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.