Kamis, November 17, 2011

Akankah Lahir “Keajaiban” Tanpa Keterbatasan?

Pernahkah kita sejenak berimajinasi seolah-olah kita hidup di zaman terdahulu membayangkan sebuah dimensi kehidupan yang berbeda? Dimensi kehidupan yang sungguh berbeda tidak seperti yang kita alami saat ini. Pernahkah sekali waktu kita membayangkan suasana masyarakat di Jawa pada abad X Masehi (tahun 900-an), pernahkah kita membayangkan kehidupan masyarakat Jawa pada abad XV, XIX ? pernahkah kita membayangkan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari, misalkan ketika mereka harus berkomunikasi dengan kerabat yang berjauhan, membuat pakaian, menempuh perjalanan dari tempat yang satu ketempat yang lainnya? Ketika mereka ingin mengarungi luasnya samudra? Ketika mereka harus beraktifitas dimalam hari dalam suasana gelap dikarenakan penerangan yang sangat minim? Dikala mereka harus memindahkan barang-barang dagangan mereka dari tempat satu ketempat yang lainnya? Ketika mereka kesulitan menuliskan pengalaman-pengalaman mereka kedalam sebuah kertas? Ketika mereka ingin melihat kehidupan dasar laut seperti ikan? Ketika mereka ingin terbang bebas diangkasa seperti burung?

Sepanjang sejarah, manusia selalu akan kita temukan persoalan-persoalan yang seakan-akan tidak akan pernah selesai. Namun manusia juga mampu setahap demi setahap menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Dengan segala daya dan upaya keinginan-keinginan yang awalnya hanya sebatas kinginan belaka, perlahan-lahan namun pasti bisa terwujudkan. Dikala manusia ingin seperti burung yang mampu terbang kesana kemari namun mereka menyadari bahwa itu adalah hal yang mustahil, karena mereka tidak memiliki sayap. Lalu seiring berjalannya waktu kemustahilan itupun lenyap berubah menjadi sebuah kenyataan. Dahulu menusia ingin seperti ikan yang mampu hidup didalam air serta bisa melewati luasnya samudra. Kini hal itupun bisa manusia lakukan dengan ditemukannya kapal selam, dan lain sebagainya.

Saya membayangkan seandainya manusia diciptakan dengan segala kelebihannya misalkan ia bisa terbang kesana kemari seperti burung, bisa menghilang dengan sekejap seperti malaikat, bisa bertahan berlama-lama didalam air, bisa melihat objek-objek yang jauh seperti elang, bisa mengangkat benda-benda berat seperti superman, bisa berkomunikasi jarak jauh, lalu apa yang akan terjadi? Akankah saat ini akan tercipta benda-benda canggih semacam mobil, motor, pesawat, hand phone, traktor, kapal selam, dan sebagainya jika semua fungsi semua benda tersebut mampu dilakukan manusia? 

Jika kita perhatikan, seandainya manusia tidak diberikan keistimewaan oleh Allah berupa akal, manusia tidaklah jauh berbeda dengan binatang-binatang seperti burung, kambing, kerbau dan binatang- binatang yang lainnya. Burung yang diciptakan hanya bisa terbang, sejak dahulu tidak pernah berkeingin agar bisa berenang, kerbau yang makanannya rumput-rumput hijau tidak pernah berkeinginan agar bisa makan daging, ikan yang hanya mampu hidup di air tidak pernah berkeinginan agar mampu hidup didarat. Semuanya memiliki “kelebihan” dan kekuarangan masing-masing.
Nah pada titik inilah kita menyadari perbedan tipis yang akhirnya melahirkan perbeadan tajam antara kita (manusia) dengan mereka (binatang) terletak pada adanya akal. Akal inilah yang memberikan nilai lebih antara kita dengan binatang. Buktinya kita semua mengerti banhwa kita semua dalam posisi penuh dengan keterbatasan-keterbatasan. Untungnya keterbatasan-keterbatasan yang kita alami itu tertutupi satu demi satu dengan potensi akal kita. Keinginan-keinginan itulah lahir dari keterbatasan yang kita alami. Seorang “pemimpi besar” itu umumnya hidup ditengah-tengah ligkungan serba terbatas. Seseorang amat terobsesi menjadi hartawan karena umumnya latar belakangnya yang “miskin” sehingga ia bermimpi ingin menjadi seorang yang kaya. Bahkan mungkin mimpinya seorang yang hidup serba berkecukupan tidak lebih ambisisus dibandingkan seorang yang hidup serba kekurangan. Mustahil O’ Wright bersaudara terpikirkan untuk menciptakan pesawat terbang jika semua manusia bisa terbang, mustahil James Watt terpikirkan untuk membuat mesin uap jika manusia memiliki kemampuan bekerja serba cepat dan serba kuat dan lain sebagainya. Sehingga potensi akal yang menutup segala kekurangan kita. Dan perlu kita ingat, hanya kitalah yang diberi kelebihan itu. Lihat burung, kerbau, Ular, dan sebagainya, hingga saat ini mereka tidak mengalami perkembangan tidak seperti manusia. Hal ini karena mereka tidak berpotensi menciptakan “keinginan-keinginan” yang nantinya lahir sebagai kebudayaan.


Nah, disitulah saya ingin menjelaskan bahwa sepanjang perjalanan manusia, memang selalu dihadapkan dengan berbagai persolan-persoalan. Persoalan itu lahir karena antara keinginan dan kenyataan tidak seiring sejalan. Padahal segala keterbatasan yang selalu dianggap buruk oleh sebagian orang, justru akan melahirkan “keajaiban-keajaiban” karena potensi akal inilah semakin terasah untuk berfikir bagaimana caranya persoalan itu mampu diselesaikan. Potensi akal inilah yang justru melahirkan “keinginan-keinginan” untuk menutup keyataan yang tidak seiring dan sejalan itu. 

Apa yang kita rasakan saat ini, kemudahan-kemudahan fasilitas, berbagai macam teknologi semuanya merupakan hasil “mimpi” atau ide gila para pendahulu kita dari segala keterbatasan di zamannya. Sehingga segala kesulitan yang mereka alami mungkin tidak pernah kita alami pada saat ini, semuanya telah mereka antisipasi untuk memudahkan kehidupan yang selanjutnya. Dan itu semua lahir dari keterbatasan.

Finnally, kita melihat dan merasakan sendiri bagaimana keterbatasan-keterbatasan akan mampu menciptakan sebuah keajaiban-keajaiban. Oleh sebab itu kita harus selalu bersyukur untung kita masih diberi banyak keterbatasan. Sehingga kita sangat berpotensi memaksimalkan chip yang Allah anugrahkan kepada kita. Dan segala keterbatasan-keterbatasan yang kita alami sejatinya nanti akan membentuk kita menjadi makhluk yang lebih matang dan bernilai.

“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ( At-Tin:4)


Anton
Mahasiswa Sejarah 2008

Selasa, November 08, 2011

Kisah Andre dan Aisyah “Terpenjara oleh masa lalu”

Suatu ketika seorang Guru Sekolah Dasar memberikan pertanyaan kepada murid-muridnya yang masih kelas 3 SD “anak-anak siapa yang yang tahu nama Presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia?” dengan bersemangatnya berberapa muridnya mengangkat tangan dan Sang Guru pun memilih murid yang paling sigap mengacungkan tangan paling tinggi untuk menjawab terlebih dahulu “iya Andre silakan jawab ucap Guru tersebut “Pak Harto Bu…” tanpa tedeng aling Sang Guru mematahkan jawaban Si Murid begitu saja “Salah!!! Tertawalah seluruh teman-temannya sekelas membuat Andre jadi kikuk dan malu sehingga wajahnya yang putih itu kian memerah. Kemudian Sang Guru beralih ke murid yang lain “Iya Aisyah silahkan jawab! Ucap Sang Guru, Aisyah menjawab “SBY bu!” Sang Guru dengan tawa sinis mematahkan Si Murid “salah! Ini lagi malah SBY!!! Akhirnya lagi-lagi Aisyah menjadi bahan tertawaan teman-temannya sekelas yang hanya bisa menertawakan.

Andre dan Aisyah memang murid yang lumayan aktif di kelas, ucapannya ceplas-ceplos serta paling aktif dalam menyampaikan pertanyaan walaupun pertanyaannya terkesan aneh dan lucu. Sayangnya semakin sering mereka bertanya, semakin sering pula mereka jadi bahan tertawaan baik oleh Sang Guru maupun teman-temannya yang lain. “Aduh-aduh Andre pertanyaan kamu ini ada-ada saja” ucap Sang Guru sambil tertawa pada suatu ketika. Begitupun perlakuannya terhadap Aisyah.

Simpel sekali Sang Guru mengomentari pertanyaan muridnya seakan-akan tanpa beban. Padahal Sang Murid selalu teringat tentang peristiwa yang menimpanya ketika mereka dijadikan bahan tertawaan serta ejekan teman-temannya yang lain. Dalam perjalanan pulang mereka merenungi detik-detik peristiwa “memalukan” tersebut. Dan merekapun menjadi frustasi dan sikap “kehati-hatipun” mulai tertanam dalam diri mereka. Sikap kehati-hatian itu cendrung terselimuti oleh perasaan khawatir dan takut yang berlebihan. Mereka takut jika akan mengulangi kesalahan yang kedua kalinya, mereka khawatir jika nanti akan dijadikan bahan tertawaan lagi oleh Guru dan teman-temannya yang lain. Mereka telah sukses membangun raksasa ketakutan didalam pikirannya sendiri. Sehingga rasa percaya diri mereka mulai goyah, dan ketika ada pertanyaan-pertanyaan, mereka mulai sangat hati-hati apakah sudah yakin betul pertanyaan itu akan mampu dijawab dengan benar apa tidak. Padahal sebenarnya ia ingin menjawab dan sudah tahu jawabannya tapi hati mereka masih “ciut” takut lagi-lagi jawabannya keliru. Akhirnya mereka hanya bisa gigit jari dan dengan pelan menjawab pertanyaan Sang Guru sebatas bibir mereka. Sayang seribu sayang tembok-tembok ketakutan sudah terlalu tebal menutup pita suara mereka sehingga lidah mereka kelu dan mereka hanya bisa menjawab didalam hati ….”yah klo jawabannya seperti itu tadi seharusnya aku yang jawab” tapi semuanya sia-sia karena mereka tidak berani menjawab pertanyaan.

Kini Andre dan Asiyah telah menjadi anak yang “aman” dari bahan omongan teman-temannya dan juga bahan omongan guru-gurunya. Tapi satu hal yang hilang dari mereka. Mareka telah berubah menjadi anak yang sedikit pendiam. Mereka cendrung menjadi anak yang pasif, hingga menjelang kelas 6 mereka semakin terbiasa dengan sikap baru mereka. Dimana sikap itu sebenarnya bukanlah karakter mereka yang sesungguhnya. Mereka semakin menikmatinya. Dan secara tidak sadar cap “pendiam” pun telah melekat dalam dirinya.

Andre dan Aisyah kini sudah dewasa. Mereka memang beruntung bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. Mereka kuliah di Universitas yang berbeda. Mereka memang anak yang pintar secara akademik, tapi mereka cukup pendiam yang bersahaja. Sepertinya mereka masih menikmati keheningan sikap dalam bergaul. Dan terhadap dosen pun mereka cukup baik walaupun kurang terlalu populer dan dikenal. Mereka tetap terpenjara oleh masa lalunya.

Teman-teman pernahkah kita mengalami peristiwa seperti Andre dan Aisyah? Tanpa sadar mungkin sikap kita saat ini masih dibayang-bayangi oleh trauma masa lalu. Mungkin karakter kita saat ini bukanlah karakter kita yang sesungguhnya, melainkan sebuah pelarian. Mungkin ketika pada masa TK, SD, SMP, SMA, dimana ada moment-momen tertentu yang amat berpengaruh terhadap sikap kita, sehingga moment itu btelah merubah sikap kita. Oleh karena itu marilah sama-sama kita kembalikan jatidiri kita yang mungkin sudah lama terkubur oleh masa lalu yang suram. Marilah kita renungkan kembali diri kita ketika masa-masa kecil kita masa-masa keemasan yang tiba-tiba terampas oleh “guru-guru” serta lingkungan kita sendiri yang secara tidak sengaja membunuh karakter kita.

AYO BANGKIT KEMBALIKAN KEPERCAYAAN DIRI YANG TELAH TERAMPAS!!!!!
Note: Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tokoh itu hanya kebetulan semata. Dan tidak semua guru memiliki berperilaku seperti cerita diatas, hehehe^_^

Semarang, 5 November 2011
Wisma Zaid Bin Tsabit
Anton