Saya akan membeli “Es Kelapa”
Sekilas dua kalimat di atas tidak jauh berbeda. Kalimat pertama saya tulis memakai
bahasa Inggris dalam penyebutan ‘es kelapa’, dan pada kalimat kedua saya tulis dengan
bahasa Indonesia. Dua–duanya bertujuan sama yakni menerangkan bahwa Saya akan
membeli ‘es kelapa’. Dalam bahasa tulis, mungkin belum begitu terasa
pengaruh “emosinya”, namun akan nampak terasa
bagi pemakai dan pendengar jika diungkapkan secara lisan. Ternyata berbahasa
bukan hanya perkara kata-kata, akan tapi juga mengandung “rasa/emosi” sesuai
konteksnya.
Berbahasa tidak bisa dilepaskan oleh hegemoni suatu bangsa. Bahasa Inggris
merupakan bahasa internasional yang digunakan banyak negara-negara maju. Bahasa
juga melambangkan identitas. Pemakaian kata Coconut Ice bisa
berimplikasi lebih prestisius dibandingkan kata Es Kelapa. Apalagi masyarakat
umumnya menganggap bahwa menggunakan bahasa Inggris menyimpan keistimewaan
tersendiri. Bahasa Inggris melambangkan kemajuan dan kemodern-an. Bisa
dikatakan bahwa bahasa erat kaitannya dengan mentalitas.
Lalu apa kaitannya bahasa dengan pemberantasan korupsi?. Penegakan hukum di
negara kita masih terkesan tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ada ungkapan
menarik di masyarakat, seorang “maling” ayam harus babak belur dihakimi massa,
namun “koruptor” yang mencuri milyaran uang rakyat masih bisa tersenyum, bahkan
hingga di bui pun terkadang masih memperoleh perlayanan yang istimewa. Padahal
konteksnya sama-sama mengambil hak orang
lain.
Politik Bahasa Pada Masa Pergerakan
Begitu penting fungsi bahasa dalam membentuk
karakter bangsa, tokoh pendiri bangsa H. Agus Salim (1884-1954) dalam sidang Volksraad
tahun 1920-an di Batavia berpidato menggunakan bahasa Indonesia (dulu Melayu). Menggunakan
bahasa Melayu pada waktu itu merupakan hal yang biasa, apalagi di sampaikan
dalam sidang Volksraad. Ada kejadian menarik ketika ia sedang
menyampaikan pidato. Dalam Pidatonya, terdapat perkataan “Ekonomi” kemudian
ditanya oleh Bergmeyer (wakil dari Zending di Volksraad). Sambil
mengejek ia bertanya kepada H. Agus Salim "Apa kata ekonomi dalam bahasa
Melayu?". H. Agus Salim membalas "Coba tuan sebutkan apa Belandanya?”.
Dalam bahasa Belanda sendiri istilah ekonomi tidak ada dan Bergmeyer pun
tertohok. Usaha H. Agus Salim ini kemudian diikuti pula oleh pemimpin-pemimpin
pergerakan lainnya yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia sehingga
mendorong lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Salah satu
kesepakatannya adalah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak boleh
di kesampingkan begitu saja dalam membentuk moral bangsa. Bahkan dalam upaya
membentantas korupsi, “politik bahasa” merupakan kebijakan yang sangat
strategis. Terdapat 200 juta-an lebih masyarakat Indonesia yang menggunakan Bahasa
Indonesia. Itu artinya Bahasa Indonesia memiliki kekuatan yang besar dalam
membangun bangsa. Tidak berlebihan
kiranya ungkapan Laksamana Hang Tuah, bahasa
menunjukan bangsa.
Perkuat Kontrol Sosial
Selama ini upaya pemberantasan korupsi terlihat
begitu formal dan ekslusif. Masyarakat seakan-akan hanya menjadi penonton dalam
upaya pemberantasan korupsi oleh segelintir penegak hukum. Memang masyarakat
dihimbau agar bersama-sama memberantas korupsi namun baru sekadar formalitas
belum sampai ke jantung masyarakat. Bahasa Indonesia terbukti mampu
mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam. “Politik Bahasa” yang
dilakukan para pendiri bangsa juga terbukti mampu membawa bangsa ini menuju kemerdekaan.
Korupsi merupakan penyakit bangsa yang harus disembuhkan, dan sudah saatnya
Bahasa Indonesia ada di garda terdepan
Mengikut sertakan masyarakat luas dalam
memberantas korupsi yang sistemik tidak cukup hanya formal yuridis yang
bersifat jangka pendek semata, namun juga harus menggunakan strategi kultural
yang berjangka panjang. Tidak semua masyarakat ahli hukum dan memahami
detail-detail proses hukum bagi tersangka korupsi. Istilah-istilah seperti “Maling”, “Pencuri”, “Perampok”, “Pencopet” merupakan kata-kata yang
menunjukan tindakan seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kata-kata
tersebut berasal dari serapan bahasa-bahasa daerah. Tekanannya memberikan stigma lebih negatif ketimbang
penyebutan dengan bahasa Inggris (Korupsi/koruptor). Stigma negatif itu amat
berguna untuk menumbuhkan budaya malu atas perilaku yang tercela yang kian
biasa dalam masyarakat kita.
Semarang 18
Juli 2012 di revisi di Bogor Tanggal 27 Juli 2014