Rabu, Maret 28, 2012

LOGIKA USIA

Dikala senja yang begitu romantis, tidak panas dan tidak pula dingin, ditambah hembusan angin yang begitu ramah, menjadikan suasana senja begitu nikmat. Saya duduk sendiri di Beranda Masjid kampus Undip yang megah. Hiruk pikuk mahasiswa dihalaman masjid begitu dinamis. Mereka menjalankan aktivitasnya masing-masing entah urusan apa saja yang mereka kerjakan saya tidak tahu. Ada yang bergegas mengambil air wudhu bersegera menunaikan ibadah solat, ada yang sedang asik bercengkrama, ada yang serius mengerjakan tugas-tugas kuliah, ada yang sedang "menikmati" syuro disetiap pojok beranda. Dan ada pula yang sedang "ngelamun" atau merenung seperti saya.

Gemuruh kendaraan seakan tak pernah habis-habisnya memekakkan telinga. Walaupun demikian, saya tetap merasakan ketentraman yang begitu 'lezat' menyelimuti rongga dada. Apakah perasaan tentram itu berasal dari dalam diri saya sendiri ataukah disebabkan karena efek dari paduan suasana yang ada dari luar? Ataukah paduan dari keduanya? Yang pasti suasana senja itu waktu itu terasa begitu nikmat.

Disaat menikmati suasana yang begitu syahdu, kedua mata ini mengarah kepada seorang renta yang sedang terlelap tidur di beranda masjid. Sepertinya ia amat kelelahan. Rambutnya hampir semuanya memutih, kulitnya terlihat sudah menunjukan kekenduran alias keriput. Dan beberapa lama saya pandangi si renta tersebut, dalam hati saya "Masya Alloh mungkin suatu saat nanti saya akan seperti dia". Saya pandangi sekali lagi, saya perhatikan kakinya, kulitnya, wajahnya yang keriput itu. Sesekali saya bandingkan dengan kulit saya yang masih kencang. Entah mengapa bulu kuduk saya merinding, saya merasa takut, seperti "tidak rela" jika harus mengalami fase renta seperti si renta tersebut dan meninggalkan masa muda. Tiba-tiba saya terpikir akan suatu hal yang sering saya lupakan yakni perihal "kematian". Woow.... Saya pribadi bisa dikatakan amat jarang mengingat-ingat kematian. Karena saya pikir, semua orang pasti akan mati. Tanpa berpanjang-panjang renungan perihal kematian.

Memang yang namanya "kematian" bagi makhluk itu adalah hak prerogatif Allah. Tapi mengapa sepertinya saya menciptakan konstruksi usia saya sendiri? Seakan-akan kematian itu harus melulu melalui tahapan-tahapan. Kemudian dibenak saya seolah telah tertanam bahwa yang namanya kematian itu suatu hal yang amat jauh dan tidak dekat? "saya masih muda kok, masih segar bugar, masih jauh dengan yang namanya mati" begitu kurang lebih bisikan hati saya. Disitulah dialektika tiba-tiba dibenak saya mulai berkecamuk, apakah harus melulu yang namanya mati itu melalui proses-proses "alamiah" seperti kelahiran, masa kanak-kanak, remaja,dewasa, tua, sakit-sakitan, lalu mati? Jika memang demikian mengapa ada seorang bayi yang ketika dilahirkan tetapi berumur pendek? Mengapa ada sahabat saya yang usianya lebih muda dari saya bahkan saya dipagi harinya sempat bercengkrama dengannya tapi disore hari ia wafat secara tidak diduga-duga karena kecelakaan yang mungkin kecelakaan itu tidak dipikirkan oleh sahabat saya sendiri sebelumnya. Tapi mengapa ada pula seorang yang umurnya hampir menginjak satu abad tapi belum juga wafat-wafat?.
Nah dari situ saya berkesimpulan bahwa yang namanya "kematian" itu tidak melulu melalui tahapan-tahapan "alami"yang selama ini saya bayangkan (saya logika-kan). Tapi kematian itu memang "tak terduga" dan bisa dialami siapa saja, kapan dan dimana saja tidak ada makhlukpun yang tahu kapan dan dimana ia akan mati selain Dia. Sering kali saya berfikiran bahwa mati itu masih jauh "wong saya masih muda kok, masih segar bugar masa harus mati"?

Namun itulah sesungguhnya kelemahan dan ketidak-kuasaan kita sebagai hamba yang tidak cukup menalar kamatian. Kematian seseorang tidak bisa dinalarkan dan hanya sebatas prediksi-prediksi bahwa ukuran usia manusia sekian dan sekian. Tapi itu hanyalah perkiraan belaka. Karena disekitar kita banyak sekali hal-hal yang berkaitan kematian yang terjadi diluar perkiraan. Oleh sebab itu marilah sama-sama kita manfaatkan kesempatan hidup ini dengan sebaik-baiknya. Apalagi sebagai seorang muslim yang mempercayai rukun Iman dan rukun Islam. Semoga sharing ini bermanfaat.


"waktu cepat sekali berlalu bahkan sekejap, dahulu kita masih kanak-kanak eh tahu-tahu kini sudah punya anak, dahulu usia kita masih belasan tahun eh tahu-tahu kini sudah puluhan tahun. Maka disitulah cerdasnya orang yang beriman, menyadari bahwa waktu begitu cepat berlalu bahkan sekejap, maka diolahlah waktu yang sekejap itu menajdi berarti" (Ust. M. Arifin Ilham via MP3)

Bercermin dengan Kejujuran


Rangkuman
Tragedi 1965 adalah tragedi besar dalam sejarah Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian banyak kalangan. Perhatian-tidak hanya sekedar perhatian saja. Namun perhatian yang harus diiringi oleh i’tikad baik dalam rangka membangun bangsa kedepan. Tragedi 1965 telah menimbulkan banyak perpecahan dikalangan anak bangsa. Persoalan-persoalan tersebut antara lain: terjadinya stigmanisasi dalam masyarakat terhadap golongan tertentu (PKI) secara masif dan berlebihan. Rezim telah melakukan propaganda-propaganda yang tidak proporsional bahkan menyuburkan api permusuhan antar golongan masyarakat. Dengan kekuasaannya, rezim telah menanamkan kepada generasi muda kisah sejarah sepihak dalam upaya melanggengkan kekuasaanya. Rezim dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan bangsa demi pembangunan, telah menumpulkan daya intelektual masyarakat secara tersistematis. Beratus-ratus ribu bahkan ada yang mengatakan jutaan orang yang di cap sebagai penghianat, harus mendapatkan perlakuan diskriminatif secara turun temurun, padahal secara hukum mereka belum terbukti sebagai pihak yang paling bertangung jawab atas peristiwa tersebut. Namun hak-hak mereka sangat dibatasi. Walaupun pemerintahan saat ini telah mencabut pendiskriminasian tersebut dan mengembalikan hak-hak mereka seperti warganegara yang lainnya, namun secara sosial masih belum membuahkan hasil. Mayoritas masyarakat masih belum bisa menerima mereka. Kemudian konflik-konflik kerap kali terjadi secara sengit. Masyarakat rupanya belum bisa menerima mereka walupun secara undang-undang telah ditetapkan. Solusi dari permasalahan tersebut antara lain; pertama, lewat jalur hukum seperti pencabutan TAP-TAP MPR yang masih mendiskriminasikan. Kemudian dengan melalui jalur-jalur pematangan intelektual seperti menghidupkan diskusi-diskusi akademis dikalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Kemudian bisa dengan jalur seni seperti pembuatan film, karya sastra (novel) dan kompetisi dikalangan masyarakat dalam mengupas tragedi 1965.
PENDAHULUAN

Selama ini, yang menjadi perdebatan sengit para ahli sejarah maupun dikalangan masyarakat awam mengenai tragedi 1965 pasca runtuhnya rezim Orde Baru adalah mengenai siapakah yang menjadi dalang peristiwa berdarah G30S. Munculnya kembali pertanyaan mengenai keabsahan cerita sejarah versi penguasa yang selama tiga dasawarsa ‘dipaksakan’ kepada seluruh anak negeri oleh rezim Orde Baru, serentak membuat bingung generasi muda. Kebingungan tersebut disebabkan cerita sejarah yang selama ini mereka yakini kebenarannya melalui guru-guru sejarah, buku-buku pelajaran sejarah, film, seminar-seminar yang diselenggarakan di sekolah dari SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi harus didekonstruksi kebenarannya. Hal ini menimbulkan Shock bagi mereka. Mereka semakin bertanya-tanya yang mana sesungguhnya cerita sejarah yang bisa dipercaya?. Kebingungan tersebut sangat wajar dan cukup beralasan, karena sebagai anak bangsa, tentunya mereka ingin mengetahui perjalanan sejarah bangsanya. Rasa ingin tahu mereka sangat besar dengan munculnya banyak pertanyaan-pertanyaan penting seperti; mengapa peristiwa itu terjadi, siapakah pihak-pihak yang terlibat, bagaimana peristiwa itu terjadi, apa dampak-dampak dari peristiwa itu? dsb. Rasa ingin tahu itu membuktikan bahwa mereka selalu membutuhkan penjelasan sejarah dalam upaya pemuasan rasa ingin tahu mereka. Pertanyaan itu akan selalu muncul bagi mereka-mereka yang ingin mengetahui peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya.
Kisah sejarah versi penguasa sudah terlampau kuat bersemayam dibenak mereka khususnya mengenai tragedi 1965, hingga merekapun meyakininya sebagai sebuah kebenaran mutlak, dan mereka sulit menerima kebenaran-kebenaran yang lain selain kisah sejarah versi penguasa. Landasan berfikir mereka dalam memahami sejarah versi penguasa (Orde Baru) sudah terlanjur terpatri kuat. Selama tiga dasawarsa rezim telah mencuci otak anak bangsa dengan kisah-kisah sejarah sepihak dan tidak proporsional. Kisah yang hanya membesarkan pihak-pihak tertentu dan mengecilkan pihak-pihak yang menjadi lawannya. Pemerintah dengan powernya menutup rapat-rapat upaya penafsiran sejarah yang dilakukan pihak lain dengan dalih stabilitas keamanan dan pembangunan. Akhirnya rakyat yang jadi korban kemanusiaan.
Kekuatan sejarah inilah yang menarik mereka, dan membuat mereka selalu ingin tahu apa yang terjadi pada masa lalu. Tentunya rasa ingin tahu mereka bukan tanpa tujuan. agar mereka dapat bercermin dan mengambil pelajaran dari para pendahulu mereka dalam menjalani hidup. Mereka berusaha mengambil pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa masa lalu yang dianggap penting dan berharga, dan berusaha sebisa mungkin menghindari hal-hal buruk yang terjadi pada masa lalu agar tidak terulang lagi dimasa yang akan datang. Namun sangatlah tidak mungkin sebagai mereka mengambil pelajaran masa lampau untuk dijadikan pijakan untuk menapaki masa depan bersandarkan pada kisah sejarah yang penuh dengan prasangka-prasangka. Seolah-olah mereka yang hidup saat ini harus menanggung beban sejarah yang cukup berat dan membuat mereka seperti kehilangan arahan.
Generasi muda saat ini sebagian besar merupakan generasi yang pernah merasakan hegemoni sebuah rezim, khususnya rezim Orde Baru. Namun ada juga yang sama sekali belum pernah mengalaminya, tetapi masih merasakan pengaruh-pengaruh dari kebijakan-kebijakannya. Karena tidak lagi disebut sebagai genaerasi muda jika ukuran mudanya dihitung dari rezim sebelumnya yaitu rezim Orde Lama. Orde Baru secara resmi lahir tahun1969 dan berakhir tahun 1998 yang dilengserkan dengan kekuatan mahasiswa, sehingga jika seseorang yang lahir pada awal tahun berdirinya Orde Baru, maka usianya kira-kira tiga puluhan tahun-an. Oleh karena itu seseorang yang lahir pada tahun tersebut masih bisa digolongkan sebagai generasi muda, apalagi yang lahir pada tahun tujuh puluhan, delapan puluhan, atau sembilan puluhan. Generasi yang lahir pada masa awal pembentukan rezim Orde Lama, tahun 1959-an sampai dengan tahun 1966, mungkin tidak dapat digolongkan sebagai generasi muda lagi, karena jika dilihat dari usianya yang sudah tidak bisa di golongkan muda.
Pengolongan usia tersebut dalam mengkategorikan muda dan tua dalam sebuah generasi dirasa cukup penting untuk mengetahui persepsi-persepsi mereka terhadap sebuah peristiwa, khususnya peristiwa G30S. Generasi-generasi yang lahir pada masa pra Orde Baru sebagian besar mengalami dan melihat secara langsung peristiwa berdarah tersebut. Sedangkan generasi yang lahir pada masa Orde Baru hanya mengetahui peristiwa tersebut melalui cerita-cerita baik secara lisan maupun dari buku-buku sejarah atau film-film yang dibuat pada masa itu. Karena mereka merupakan generasi yang tidak melihat dan mengalami secara lansung peristiwa 1965.
Selanjutnya generasi yang lahir pada awal berdirinya rezim Orde Baru mengkonsumsi kisah-kisah sejarah yang dibuat oleh penguasa lewat buku-buku sejarah dan film-film. Dimana rakyat diwajibkan menonton film wajib “G30S/PKI” dengan embel-embel partai politik yang dijadikan sasaran propaganda pemerintah, yang mengatakan bahwa partai tersebut adalah yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa berdarah 1965, bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka dicap mengerikan sebagai setan, penghianat, pembunuh sadis, bahkan atheis oleh pemerintah. Namun rezim yang sukses melakukan propaganda dan cuci otak tiga generasi anak bangsa tersebut, harus kandas ditelan zaman akibat ulah dan perbuatannya sendiri dan akhirnya rezim tersebut dilengserkan oleh kekuatan mahasiswa. Padahal ketika awal berdirinya rezim, menurut catatan sejarah didirikan dengan bantuan para mahasiswa dan dari golongan agama.
Pembahasan mengenai kebenaran sejarah peristiwa 1965 mulai marak sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru. Sedikit demi sedikit fakta sejarah mulai menemukan jalan terangnya. Buku-buku serta artikel bak jamur yang tumbuh dimusim semi. Hal ini mungkin terlihat aneh bahkan mustahil terjadi pada zaman Orde Baru masih berkuasa. Buku-buku yang secara khusus menyingkap tragedi berdarah tersebut dengan argumennya masing-masing berdasarkan bukti-bukti sejarah, saling menentang satu dengan yang lainnya. Munculnya banyak penerbit yang menerbitkan buku tentang tragedi tesebut yang disertai analisisnya mengenai siapakah pihak yang paling bertanggung jawab semakin membuat bingung generasi muda.
Memang hal ini dapat dimaklumi bahwa rezim pada masa itu dengan dalih menjaga stabilitas negara, membungkam pihak-pihak yang ‘dianggap’ dapat menggangu stabilitas negara, melarang kebebasan pers dan dengan sangat protektif bahkan tidak segan-segan melakukan pembredelan serta ‘mengamankan’ pihak-pihak yang mengkritik setiap kebijakan-kebijakannya. Media digunakan hanya untuk memberitakan hal-hal yang baik mnurut mereka saja, sedangkan kebobrokan mereka ditutup-tutupi. Memang stabilitas pemerintahan bisa terwujud, namun hanya bersifat semu dan hanya kamuflase belaka, karena memang pemerintah memiliki kekuatan untuk memadamkan pergolakan, sehingga terlihat seolah-olah stabil. Namun ternyata keadaan tersebut menjadi bom waktu dan memang terbukti bom tersebut meledak dan yang menjadi korban adalah rezim Orde Baru sendiri dan juga rakyat yang tidak tahu menahu.
Rezim yang telah abai bahwa selama ini telah meninggalkan pendidikan kekerasan bagi generasi selanjutnya. Sehingga lihat saja negara yang selama 32 tahun terlihat aman, makmur, ramah-tamah penduduknya namun setelah Orde Baru lengser, budaya-budaya kekerasan nampak mulai terlihat, seperti kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei bahkan hingga sekarang, dimana rakyat seolah-olah tidak memperoleh pendidikan ke-Bhinekaan sama sekali, tawuran antar desa, suku, pelajar bahkan mahasiswa. Padahal semboyan pemerintah Orde Baru adalah mengamalkan Pancasila Secara Konsekuen. Lantas apa hasilnya selama 32 tahun dengan semboyannya itu, bahkan secara berkala dan kontinyu memberikan doktrinasi ke-Pancasila-an dengan P4 nya?.
Apalagi mengenai tragedi 1965 dimana dampak setelah peristiwa tersebut sampai hari ini masih dirasakan baik oleh para simpatisan PKI. Dimana walaupun saat ini pemerintah lewat undang-undangnya telah mengembalikan serta menyetarakan hak-hak mereka sebagaimana warga negara biasanya. Namun secara sosial, mereka masih belum diterima secara baik oleh masyarakat. Pemarjinalan terhadap mereka masih cukup kuat. Kemudian stereotype dalam masyarakat masih cukup subur, bahwa orang-orang yang pernah dikategorikan sebagai golongan ‘kiri’, komunis, atau PKI adalah orang-orang yang kejam, sadis, anti Pancasila, bahkan atheis. Stereotype tersebutlah yang hingga saat ini yang menjadi pandangan umum dalam masyarakat, sehingga dengan dasar pandangan tersebut, masyarakat menganggap bahwa tidak mungkin ada konsensus diantara mereka. Hal inilah yang sampai saat ini selalu menimbulkan konflik berkepanjangan. Pihak-pihak yang bertikai seperti golongan Komunis (PKI) versus Tentara, Komunis versus Islam, bagaikan minyak didalam air, tidak pernah bisa menyatu. Masing-masing golongan mengklaim secara subjektif kebenaran masing-masing tanpa ada usaha konsolidasi. Bahkan Satu dengan yang lainnya terjadi saling serang dan ingin menghabisi satu dengan yang lainnya. Padahal golongan-golongan tersebut adalah unsur penting bagi negara Indonesia. Seandainya mereka bisa saling toleransi dan bekerjasama untuk membangun Indonesia kedepan, mungkin bangsa ini akan lebih baik. Dimana perbedaan-perbedaan bisa saling dikompromikan.

  1. Rekonstruksi tragedi 1965 secara objektif sebagai upaya rekonsiliasi
Berbicara mengenai rekonsiliasi berarti berbicara mengenai sebuah harapan atau keinginan-keinginan yang bisa dikompromikan atau dipertemukan sehingga pihak-pihak yang saling bertikai memperoleh kesepakatan dan kesepahaman untuk kembali menata kehidupan bersama dengan mengurangi ego masing-masing, serta saling terbuka dan mengormati satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini peristiwa sejarah yang memberikan dampak perselisihan serta permusuhan yaitu peristiwa 1965. Kemudian harus jelas pula siapa-siapa yang terkena dampak dari peristiwa 1965 tersebut, sehingga proses rekonsiliasi mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas mengenai siapa-siapa yang harus direkonsiliasi. Tanpa menentukan pihak-pihak yang harus direkonsiliasi dan hanya melakukan rekonsiliasi secara sepihak atau tidak melibatkan salah satu pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut, maka usaha rekonsiliasi bisa dikatakan sebagai usaha yang kontraproduktif.
Semua pihak khususnya generasi muda harus bersikap terbuka terhadap informasi dan jangan sekali-kali menutup diri. Jangan biarkan kebebasan kita sebagai manusia ditutup-tutupi oleh ketidaktahuan kita sendiri, sehingga membuat kita eksklusif dan tidak berusaha mendengar pendapat orang lain. Dengan sikap terbuka dan bersedia mendengar pendapat orang lain, maka kita sebagai manusia telah memberikan kesempatan bagi diri sendiri untuk menggunakan akal budi dalam menimbang suatu kebenaran yang disampaikan menurut orang lain. Setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda-beda dalam memahami sebuah fenomena, oleh karena itu sebagai makluk sosial kita di tuntun harus menekan ego kita dan secara terbuka berusaha menghormati pendapat-pendapat yang disampaikan orang lain.
Tragedi 1965 merupakan tragedi bersejarah dimana sebagian besar mungkin seluruh rakyat Indonesia sudah mengetahuinya, walaupun mungkin ada juga yang belum secara mendalam mengetahui latar belakang peristiwa tersebut, dan hanya sekedar mengetahui bahwa pada tahun 1960-an pernah terjadi peristiwa bersejarah lewat buku-buku sejarah versi penguasa. Disini, pelajaran sejarah memiliki peran penting dalam membangun karakter dan pola pikir masyarakat (pelajar, mahasiswa dan masyarakat secara umum). Dimana guna sejarah selain memberikan pendidikan juga akan memberikan ispirasi bagi yang mempelajarinnya. Inspirasi yang diperoleh oleh seseorang akan menentukan pola pikir serta sikap berdasarkan kisah sejarah. Begitu pentingnya penafsiran yang jernih terhadap sejarah, akan sangat berguna bagi seseorang untuk dijadikan pijakan serta arahan-arahan untuk menafsirkan masa depan dengan berbagai macam tantangannya.
Oleh karena itu menurut saya, penulisan sejarah terlepas dari siapa yang menulis perlu diberikan kebebasan. Dengan demikian hasil-hasil penulisan sejarah akan menemukan bentuknya masing-masing. Mungkin setiap orang punya pandangan yang berbeda-beda dan mengklaim ‘keabsahannya’ masing-masing. Tapi itulah proses pendewasaan tanpa bersikap demikian, bangsa ini selamanya akan menjadi bangsa yang kerdil dan kekanak-kanakkan. Mungkin para penulisnya adalah pihak yang memenangkan dan mengambil kekuntungan-keuntungan dari peristiwa tersebut, namun penulisnya ada juga dari pihak yang dikalahkan atau korban, mungkin juga penulisnya berasal dari pihak yang terfitnah dan termanfaatkan oleh salah satu pihak yang bertikai. Dalam hal ini semuanya akan menjadi serba mungkin, dan wajah penulisan sejarah yang dihasilkanpun akan bermacam-macam sesuai masing-masing perspektif penulis.
Perang informasi menurutku adalah hal yang wajar dan memang eranya saat ini adalah perang dalam bentuk demikian. Namun demikian tentunya dampak yang diakibatkan sangat besar karena akan menimbulkan pertentangan-pertentangan. Pertentangan dalam kehidupan adalah sebuah hal yang wajar tinggal bagaimana kita menggunakan sarana-sarana yang ada untuk merekonsiliasikan pertentangan-pertentangan tersebut. Setiap orang akan selalu terikat dengan kepentingan-kepentingan. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah mengkompromikan kepentingan-kepentingan itu, dan mencari titik-titik persamaan bukan perbedaan-perbedaannya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memang diciptakan beragam, hal tersebut merupakan hal yang kodrati dan kita tidak bisa menyalahinya.
Dengan demikian untuk mengungkap kemelut sejarah gelap 1965, masyarakat (ahli sejarah, baik akademis maupun amatiran) perlu diberikan kebebasan dan perlindungan hukum untuk mengekspresikan kebebasannya dalam manafsirkan peristiwa sejarah. Apalagi saat ini dimana bayang-bayang Orde Baru walaupun masih terasa namun pengaruhnya tidak sekuat dahulu. Sehingga sangat mungkin para penulis sejarah mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah dengan membuat undang-undang khusus penulisan sejarah.
Memang kepentingan politik dan penulisan sejarah sulit dipisahkan dan terkadang peristiwa sejarah sebagai hal yang “suci” dalam pengkisahannya sering dimuati kepentingan-kepentingan. Mungkin ada benarnya juga ungkapan yang mengatakan “sejarah itu milik penguasa”. Memang sejak zaman kerajaan-kerajaan, tulisan sejarah selalu dijadikan alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaan. Oleh karena itu untuk mengimbangi sejarah yang identik dengan kepentingan penguasa maka sejarah yang ditulis oleh rakyat yang independen perlu mendapat perlindungan hukum yang tegas !. Hal ini penting untuk mengantisipasi agar tidak terjadi politisasi dalam tulisan sejarah, sebab jika tulisan sejarah telah terpolitisasi, tentu akan memberikan dampak yang cukup serius dan menyesatkan bagi masyarakat. Kemudian pemerintah juga harus menindak tegas pihak-pihak yang masih melakukan sweeping terhadap buku-buku yang dianggap ‘kiri’ atau ‘komunis’ karena tindakan tersebut merupakan tindakan pembodohan bagi masyarakat. Di zaman sekarang, aksi-aksi pembakaran tersebut sudah tidak berlaku. Masyarakat harus mengetahui dan menimbang secara cerdas sebuah ajaran atau paham sehingga mereka dapat mempertimbangkan baik-buruknya. Masyarakat jangan dipaksa menghindari sesuatu ajaran dimana mereka sendiri belum tahu atas dasar apa mereka menghindarinya. Jangan biarkan masyarakat diajarkan untuk berbuat taqlid buta (pembebek).
Kemudian yang paling utama bagi seluruh anak bangsa harus memiliki pandangan yang jauh kedepan dan berfikir jangka panjang. Indonesia harus menapaki masa depan dengan segala tantangan besar. Luka masa lampau harus segera diobati, karena jika luka tersebut dibiarkan saja membusuk tanpa ada upaya pengobatan dan penyembuhan, maka selama-lamanya Indonesia akan mengalami cacat mental yang berlarut-larut tak berkesudahan. Dalam sebuah artikelnya Witaryono S. Reksoprodjo membagi 3 permasalahan pokok dalam melihat Tragedi 1965:
Guna lebih mudah memahami tragedi '65 dalam prespektif saat ini, maka kita harus melihatnya dalam rangkaian persoalan-persoalan yang secara pokok terbagi atas 3 (tiga) masalah besar, yakni:
Masalah Pertama menyangkut peristiwanya itu sendiri, yakni adanya Gerakan 30 September 1965 dengan terjadinya tindakan penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal/perwira TNI Angkatan Darat yang kemudian dikenal sebagai para Pahlawan Revolusi.
Masalah Kedua adalah tragedi pasca peristiwa G30S/1965, yakni pada kurun waktu September 1965 sampai dengan sekitar tahun 1970, dimana terjadinya aksi-aksi penculikan, penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan hak-hak pribadi, pemerkosaan, pembunuhan, pembantaian serta pelanggaran-pelanggaran HAM berat terhadap para anggota PKI dan mereka yang dituduh simpatisan komunis serta kaum nasionalis para pendukung Bung Karno.
Masalah Ketiga adalah terjadinya pemberian stigma dan proses diskriminasi, yang masih berlangsung secara terus menerus hingga saat ini, terhadap mereka yang dianggap terlibat G30S/1965 atau mereka yang dituduh sebagai kaum komunis maupun Soekarnois, termasuk isteri-suami, anak-cucu beserta seluruh keluarganya.“1
Mungkin juga sebagai sebuah usaha untuk mendamaikan dan memudahkan dalam memahami tragedi rumit 1965, perlu juga melakukan upaya membuka misteri itu dari titik akibat-akibat yang ditimbulkannya. Seperti yang di ungkapkan oleh Budiawan dalam pengantar yang ditulis oleh Dr. Asvi Warman Adam:
sebaiknya debat tentang siapa yang menjadi dalang tragedi 1965 itu dikurangi, dan perhatian lebih dialihkan pada dampak sesudahnya, yakni pembantaian massal dan penahanan massal tanpa proses pengadilan pada 1965-1966 (dan dampak sosial-psikologisnya pada tahun-tahun selanjutnya bahkan sampai hari ini).2
Penggalian peristiwa dengan menggunakan menganalisis akibat-akibat, seperti pembantaian missal pasca tragedi, serta diskriminasi-diskriminasi yang dialami oleh pihak-pihak yang “tertuduh” hingga keperistiwa awal dalam tragedi 1965 mungkin bisa menjadi alternatif baru dan lebih memudahkan pemahaman kita mengenai motif apa saja dibalik pembunuhan-pembunuhan para jendral tersebut, kemudian akibat-akibat itu juga sangat membantu pihak-pihak mana saja yang memiliki kepentingan-kepentingan dan diuntungkan atau juga pihak yang paling dirugikan dari peristiwa tersebut. Akibat-akibat dalam peristiwa ini merupakan konsekuensi atau mungkin juga tujuan-tujuan yang hendak diperjuangkan oleh pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itu perlu adanya pemetaan-pemetaan atau juga upaya menginventaris akibat-akibat yang ditumbulkan dari peristiwa 1965. Penginventarisan permasalahan mengenai dampak, bisa dilakukan dan dimulai saat ini. Karena keadaan saat ini merupakan produk-produk masa lampau. Wajah Indonesia saat ini adalah produk-produk yang dibuat oleh para senior dimasa lampau.
Upaya-upaya konkret yang harus segera pemerintah lakukan:
Sejujurnya menurut penulis, peristiwa mengenai tragedi 1965 sudah menemukan titik terangnya, tinggal menunggu saja keberanian dari pemerintah untuk melaksanakan rekonsiliasi. Pemerintah harus meminta maaf sedalam-dalamnya kepada para korban. Ungkapan maaf secara lisan saja belumlah cukup, karena para korban telah terlampau lama menderita. Para korban mengalami keterasingan dari lingkungan masyarakat, diskriminasi, stigma yang cukup buruk oleh saudara sebangsa sendiri selama bertahun-tahun! Seolah-olah mereka keberadaan mereka tidak diakui dinegaranya sendiri. Kemudian belum lagi para korban yang berada diluar negeri yang terpaksa tidak bisa pulang, mereka berpisah selama bertahun-tahun dengan keluarga tercinta di Indonesia. Hak kewarganegaraan mereka dicabut, sehingga mereka dengan segala perjuangannya harus hidup diluar negeri tanpa jaminan yang jelas, mereka hidup terkatung-katung. Oleh karena itu atas nama bangsa rekonsiliasi sangat perlu diwujudkan. Seandainya memungkinkan dan tidak menimbulkan polemik besar dalam masyarakat, rekonsiliasi bisa diawali lewat jalur perundang-undangan terlebih dahulu yang lebih substansi. Penulis sangat mendukung sekali pendapat yang disampaikan oleh M.D.Kartaprawira, dalam melaksanakan tahap-tahap rekonsiliasi:
  1. Pertama, harus dicabut TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pencopotan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Sebab akibat dari pelaksanaan TAP tersebut Bung Karno beserta banyak pendukung-pendukungnya ditahan tanpa proses hukum. TAP tersebut tidak saja merupakan legitimasi kudeta Soeharto, tapi juga merupakan pelanggaran HAM.
  2. Kedua, harus dicabut TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya beserta ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Sebab pelarangan sesuatu ideologi adalah merupakan pelanggaran HAM seseorang dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
  3. Ketiga, semua peraturan-peraturan hukum diskriminatif terhadap para korban pelanggaran HAM 1965-66 harus dihapus secara tuntas dan konsekuen. Tanpa pecabutan peraturan-peraturan tersebut sama saja melanjutkan kesempatan tindakan pelanggaran HAM seperti telah terjadi di masa lalu. 3
Tiga poin tahap-tahap tersebut sangat fundamental dan strategis dalam upaya rekonsiliasi. Selanjutnya yang paling penting adalah pemerintah saat ini harus sesegera mungkin melakukan rehabilitasi bagi korban-korban, kemudian mengembalikan hak-hak mereka sebagai warga negara sebagaimana warga lainnya, tidak mendiskriminasikan mereka dalam berbagai aspek, toh sampai saat ini juga masih banyak tarik ulur mengenai kebenaran peristiwa berdarah tersebut. Jika sikap diskriminasi masih terus diberlakukan bagi mereka yang “tertuduh” sebagai simpatisan PKI atau Komunis yang melakukan pemberontakan, berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena secara tidak jernih memberlakukan hukum secara serampangan dimana pemberlakuan hukum tersebut memberikan dampak serius bagi pihak-pihak yang baru menyandang status “tertuduh”. Lagi pula seandainya para simpatisan komunis yang terbukti melakukan pemberontakan, apakah hukuman mereka sedemikian berat dan harus dimusnahkan dari bumi Indonesia, kemudian anak serta keturunan mereka harus menerima perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah?. Kemudian perlu juga dingat bahwa keadaan politik internasional pun memiliki andil yang cukup besar terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia, karena sebagaimana kita tahu bahwa pada masa itu masih dalam suasana perang dingin, dimana terjadi perebutan pengaruh yang cukup seru antara blok barat dengan blok timur. Blok barat dengan ideologi liberalismenya yang dikomandoi oleh Amerika Serikat, dan blok timur dengan ideologi komunismenya yang dikomandoi oleh Uni Soviet. Kemudian hal ini perlu mendapatkan sorotan dari pemerintah. Indonesia merupakan objek yang diperebutkan dari kedua Blok yang bertikai tersebut.
Kemudian pemerintah juga dalam upaya pelurusan sejarah dan paradigma masyarakat perlu melakukan upaya-upaya serupa seperti halnya rezim Orde Baru melakukan Brain Wash kepada rakyat untuk mengimbangi doktrin-doktrin yang menyimpang dari peristiwa 1965. Memang dalam upaya mengimbangi dan merubah paradigma masyarakat yang telah terlanjur terdoktrin oleh kisah sejarah versi penguasa perlu tahap-tahap dan kontinuitas dalam pelaksanaanya.
Usaha-usaha yang bisa dikategorikan radikal bisa ditempuh dengan jalur merubah sistem pendidikan:
  1. Pemerintah, lewat Mentri Pendidikan harus memformat kembali silabus pelajaran sejarah khusunya mengenai peristiwa 1965.
Buku-buku pelajaran sejarah versi Orde Baru yang di jadikan bahan ajar di sekolah-sekolah mulai dari SD, SMP, SMA, sampai dengan Perguruan Tinggi perlu di format ulang. Subjektivitas kisah sejarah versi Orde Baru perlu diluruskan dengan analisis-analisis yang lebih objektif dan proporsional. Walaupun sejarah sebagai kisah tidak bisa objektif seratus persen, namun analisis-analisis yang lebih proporsional terhadap tragedi 1965 perlu dilakukan dan dituliskan. Kisah sejarah versi Orde Baru terlihat sekali hanya dijadikan alat pembenaran sepihak oleh penguasa, dan hanya dijadikan alat propaganda untuk mematikan lawan poliknya (PKI dan Sukarnois) dengan mengabaikan fakta-fakta dilapangan yang ternyata banyak sekali kontradiksi-kontradiksi antara fakta dengan kisah yang diberitakan pemerintah (Orde Baru). Pemerintah mewajibkan kepada guru-guru sejarah untuk menggunakan pedoman buku ajar yang baru dalam memberikan pengajaran.
  1. Pemerintah secara serius melakukan lokakarya dan pelatihan kepada guru-guru sejarah se-Indonesia secara berkala, serta dimasukan kedalam program pemerintah.
Penyuluhan dan pelatihan dalam menyampaikan sejarah terhadap guru-guru sejarah merupakan upaya yang sangat penting dimana guru sejarah memiliki peran yang sangat strategis dalam mentransfer nilai-nilai dan karakter kepada siswa lewat kisah sejarah. Penyuluhan dimulai dari guru-guru tingkat SD, SMP, SMA, bahkan sampai keperguruan tinggi. Penyuluhan ini adalah upaya menyamakan persepsi tentang bagaimana peristiwa sebenarnya. Adakalanya sebagian guru-guru kurang mengikuti perkembangan-perkembangan analisa sejarah ter up date dan menganggap sejarah sebagai kisah yang statis. Hal tersebut berdampak mandegnya informasi yang disampaikan terhadap siswa. Para siswa menerima begitu saja penyampaian kisah sejarah yang disampaikan oleh guru-guru mereka, padahal guru tersebut mengalami ketertinggalan informasi mengenai perkembangan analisa sejarah terbaru. Bisa juga guru-guru tesebut dalam menyampaikan kisah sejarah hanya dari satu sumber. Padahal untuk memahami sejarah, perlu melihat berbagai hasil analisis dengan mengkaji berbagai literatur. Singkatnya guru-guru sejarah harus kaya akan sumber literatur. Dengan demikian maka upaya penyamaan persepsi antar guru sejarah akan berjalan dengan baik dan merata.
  1. Pemerintah khususnya Menteri Pendidikan melalui programnya harus secara berkala melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat umum.
Sebagian besar masyarakat masih awam terhadap peristiwa 1965. Masyarakat juga perlu mendapatkan pemahaman yang benar mengenai peristiwa 1965. Sampai saat ini masyarakat masih apriori jika mendengar istilah ‘kiri’, ‘komunis’, dan ‘PKI’. Istilah-istilah tersebut menimbulkan stereotype dalam masyarakat. Rezim Orde Baru telah mempolitisasi istilah-istilah tersebut secara berlebihan dengan pendekatan budaya dan agama dalam masyarakat. Istilah-istilah yang terpolitisasi tersebut perlu ditafsirkan kembali secara benar agar masyarakat tidak terkecoh dan emosional dengan membabi buta melakukan tindakan anarki terhadap para korban (para simpatisan PKI). Bentuk penyuluhan dapat berupa mengadakan seminar-seminar didesa-desa.
  1. Pemerintah harus serius memproduksi film-film sejarah khusunya mengenai peristiwa 1965.
Pembuatan film sejarah ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan karakter masyarakat. Dimana telah terbukti bahwa penyampaian pesan lewat film akan lebih mudah di tangkap dan dipahami oleh masyarakat. Masyarakat akan lebih mampu memahami peristiwa yang rumit namun menyenangkan, sehingga upaya pemerintah dalam pemebentukan paradigma masyarakat akan lebih efektif. Memang pasti membutuhkan biaya yang cukup besar dan pertimbangan apakah banyak pihak didalam negeri yang mau menjadi sponsor?. Jika kendalanya biaya, mungkin pemerintah bisa mencari sponsor-sponsor dari luar negeri. Hal ini pernah dilakukan oleh negara Amerika Serikat dalam upaya membangun kepercayaan diri bangsanya. Sejarah mencatat bahwa tentara Amerika serikat mengalami kekalahan total dan misinya mengalami kegagalan dalam upaya penumpasan Khmer Merah di Vietnam. Namun untuk membangun kesan positif dan kepercayaan diri rakyatnya, maka dibuatlah film berseting peperangan di Vietnam. Dimana dalam tokoh utamanya “Ramboo” merupakan tentara yang cukup tangguh di medan perang, dan selalu memperoleh kemenangan. Padahal faktanya tidak demikian, namun film tersebut berhasil mengebalikan kepercayaan diri rakyatnya. Kemudian contoh selanjutnya bahwa film memiliki peran strategis dalam penyampaian pesan dan nilai-nilai dalam masyarakat di buktikan oleh negara Cina. Film-film klasik dan kontemporer Cina cukup berhasil membentuk karakter masyarakatnya. Banyak sekali produksi film-film Cina seperti Wong Fei Hung, Confusius, Yip Man, Bruce Lee, dsb. Dimana masyarakat tidak hanya semakin kuat rasa nasionalisnya namun juga masyarakat akan semakin mencintai kebudayaannya. Oleh karena itu pembuatan film berlatar sejarah yang membangkitkan nasionalisme, kepercayaan diri, semangat persatuan dan kesatuan perlu diusahakan. Melihat minat baca rakyat Indonesia masih tergolong rendah maka upaya ini merupakan alternatif yang efektif.
Usaha-usaha yang lebih evolutif bisa dilakukan dengan mempertajam aspek intelektual (congnitif) masyarakat dengan cara:
  1. Pemerintah lebih memfasilitasi masyarakat untuk membudayakan diskusi, bisa dengan mendatangkan pihak-pihak yang berkonflik. Pemerintah bisa menghadirkan para pelaku sejarah atau lintas generasi dengan mengundang generasi tua atau generasi yang hidup pada masa Orde Lama. Dimana generasi tua tersebut memberikan informasi kepada generasi muda yang lahir pasca rezim Orde Baru berdiri bagaimana keadaan pada masa 60-an dimana pertarungan politik cukup panas. Sehingga generasi muda semakin cerdas dalam menilai kemudian menghilangkan kesalahpahaman dalam menilai masing-masing pihak.
  2. Pemerintah juga mendorong para sastrawan untuk menovelkan kisah-kisah sejarah bangsa khususnya peristiwa 1965. Peran sastrawan cukup strategis dalam upaya pencerdasan bangsa dan membentuk karakter. Saat ini cukup marak novel-novel berlatar sejarah dan mulai banyak digemari oleh masyarakat, tinggal dioptimalkan dan pemerintah tentunya perlu mensupport mereka dalam berkarya. Bisa juga pemerintah mengadakan kompetisi penulisan novel sejarah khusunya peristiwa 1965. Upaya ini mungkin akan semakin menambah semangat para sastrawan dalam berkarya.

PENUTUP
Bangsa ini harus segera bangkit dan harus dewasa, harus segera berbenah diri, jangan menjadi bangsa yang hanya bisa dimanfaatkan dan hanya dijadikan alat. Seiring berjalannya waktu kita juga telah menyaksikan runtuhnya sebuah ideologi besar pada akhir abad 20, dimana dahulu ideologi yang dibanggakan dan oleh sebagian orang itu menjanjikan mimpi indah. Namun toh kita bisa melihatnya sekarang. Setelah komunisme runtuh, maka yang menjadi pemenang adalah Amerika dengan kapitalismenya. Imperialisme dan kapitalisme inilah sesungguhnya yang menjadi “musuh bersama”. Kemudian seharusnya kita sebagai generasi penerus harus peka dan sadar diri bahwa hingga saat ini negara kita belum merdeka sepenuhnya, atau menurut istilah Bung Karno belum berdikari (berdiri di kaki sendiri). Dengan melihat kenyataan ini semua, kita akan melihat sebuah pola gerakan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memiliki kekayaan negara kita, dalam hal ini pihak yang mengusung ideologi kapitalisme, dimana sampai saat ini negara kita belum mandiri secara ekonomi lebih-lebih dalam bidang politik.
Hal yang sangat penting untuk didiskusikan bagi kita dalam rangka menyamakan persepsi adalah berdasarkan perjalanan sejarah, kita melihat pada masa era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin), Bung Karno banyak sekali mengungkapkan tentang berbahayanya cengkraman imperialisme. Kemudian jika kita melihat fakta hari ini Indonesia dipenuhi oleh produk-produk buatan asing khususnya Amerika dan Jepang. Investasi-investasi kedua negara besar tersebut mencengkram Indonesia. Sumber daya alam Indonesia yang luar biasa ternyata tidak mampu dikelola dengan baik oleh bangsa ini. Namun justru Indonesia menjadi surga bagi kedua negara maju tersebut. Sumber daya alamnya dari hari-kehari semakin habis bukan untuk kemakmuran bangsa sendiri. Sejarah seharusnya telah menjadi petunjuk bagi kita agar berhati-hati terhadap cengkraman imperialisme. Namun sampai saat ini bangsa kita masih belum mampu mejadikan sejarah sebagai guru terbaik. Ironis!

CATATAN KAKI

1 Witaryono S. Reksoprodjo, “Rehabilitasi Para Korban ’65 dalam Persfektif Rekonsiliasi dan Kepentingan Nasional, dimuat dalam Bunga Rampai Cyntha Wirantaprawira: “Menguak Tabir 1 Oktober 1965 Mencari Keadilan: Lifting the Curtain of the Coup of Oktober 1 st 1965 Suing of the Justice. (Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia :46-47), Jerman.
2 Budiawan, dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam pengantar karya Robert Cribb (editor),
Indonesian Killing Of 1965-1966, (Mata Bangsa: xxii-xxiii), Yogyakarta



DAFTAR PUSTAKA

Wirantaprawira, Chyntha.2005. Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 Mencari Keadilan : Lifting the Curtain of the Coup of Oktober 1 st 1965 Suing of the Justice. Jerman: Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia
Cribb, Robert (editor). 1990. Indonesian Killing Of 1965-1966. Australia: Monash University diterjemahkan oleh Erika S dkk. 2004 (cetakan ke-4). Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata Bangsa
Soedjono, Imam. 2006. Sang Berlawan: Membongkar Tabir Pemasluan Sejarah PKI. Yogyakarta: Resis Book
Ricklef. 2005 (cetakan ke-2). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Scott. “Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno”. Dalam Journal Pasifik Affair no.58. English Departement University Of California, Barkeley United States of America. Dialih bahasakan oleh Waluyo Subagyo Kartanegara (cetakanke-2). 2003