Rabu, April 25, 2012

Menyusuri Setapak Jejak Langkahku… Ini Ceritaku, Mana Ceritamu?



“Dakwah, Ukhuwah, dan Jihad”. Istilah-istilah yang empat tahun lalu terasa biasa-biasa saja ditelingaku bahkan berkonotasi negatif. Dan saat  mendengarnya-pun aku serasa hampa. Ibarat angin lalu ia datang dan pergi begitu saja tanpa makna.  Ia tidak memberi kesan mendalam. Tak penting kiranya mendramatisasi kata “Dakwah, Ukhuwah dan Jihad” hingga melahirkan emosi didalam dada. Berulang kali kata itu diiucapkan oleh teman-teman disaat acara-acara keislaman di SMA. Aku kira kata itu hanya sekedar “pemantas” saja agar acara ke-Islaman menjadi lebih khidmat. Sinisme didalam hati bagaikan bara dalam sekam. Walau tak terlihat nyalanya, ia tetap merah membara didalam dada. Semacam ada resistensi (penolakan) secara halus.
 Disatu sisi sebagai seorang muslim aku mengerti dan menginginkan Islam menjadi rahmat bagi semua namun disisi lain aku tidak perduli bagaimana agar semua itu bisa terwujud. Bahkan menunjukan simbol-simbol agamapun di lingkungan teman-teman masih tidak percaya diri. Ditengah ketidakpastian sikap itulah langkah-langkahku tak menentu. Setengah hati tepatnya. Masih kuat diingatanku ketika harus selalu “dikompor-kompori” oleh kawan-kawan agar ikut bergabung dalam perkumpulan Rohis (Rohani Islam) SMA. Mengikuti serangkaian kegiatan yang pada waktu itu seperti hanya membuang-buang waktu. Jika mereka mengajak, aku akan ikut, dan jika tidak ya aku tidak perduli. Rasanya waktu itu aku berpendapat bahwa tak perlulah dakwah harus diperjuangkan sedemikian rupa.
Bisa dibilang dalam bergaul waktu itu aku tidak memiliki pendirian yang tegas. Disatu sisi aku masih senang bermain-main, nongkrong-nongkrong ria tanpa terlalu peduli dengan batasan-batasan. Teman perempuan dan laki-laki dari kalangan non-Rohispun banyak. Pada waktu itu ada semacam stigma didalam benakku bahwa berorganisasi itu hanya membuang-buang waktu dan akan membuatku tidak fokus dengan mata pelajaran di Sekolah. Waktu itu pragmatisme sudah muncul dalam diriku. Entah asalnya dari mana, mungkin dari lingkungan keluarga yang sama sekali tidak memberi motivasi kepadaku mengenai pentingnya aktif beroganisasi atau karena faktor ekonomi keluarga yang pas-pasan, dan ongkos sekolah yang pas-pasan juga. Yang pasti dua faktor itu membuat sikapku semakin apatis untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di Sekolah. Fokusku hanya satu yakni belajar yang rajin. Apalagi  keluargaku menekankan bahwa yang namanya belajar ya belajar. Dan alhasil setiap pelajaran disekolah usai, aku langsung bergegas pulang.
Kemudian, entah kapan pastinya aku mulai akrab dengan anak-anak Rohis Sekolah. Aku ingat waktu itu ada seorang sahabat yang memberikan undangan acara secara langsung kepadaku (waktu itu aku belum memiliki hape). Undangan itu adalah acara peringatan hari besar Maulid Nabi Muhammad Saw. Akupun mengikutinya dari awal hingga akhir. Hubungan pertemanan-pun terus terjalin. Ketika aku sedang serius membuka-buka buku di Perpustakaan, kawan baruku itu sering menghampiri walau hanya sekedar tanya kabar, berdiskusi seputar mata pelajaran. Hingga pada suatu saat ia mengajakku datang dalam sebuah acara Mentoring. Atas dasar tidak enak untuk menolak ajakannya, akupun datang dalam acara tersebut. Apa itu mentoring? Waktu itu tidak terlalu penting untuk dipikirkan, paling hanya sekedar ngaji-ngaji biasa saja. Akhirnya setelah pulang sekolah pada saat terik matahari waktu itu aku datang dalam acara mentoring. Kurang lebih ada sepuluh orang waktu itu. Memang ketika pertama kali mengikuti mentoring, kesan pertamaku biasa-biasa saja, bahkan aku sempat meremehkan “Kok yang ngajarin ngaji masih muda sekali, dan jarang sekali gunain dalil al-Quran, bahasanya juga kok umum-umum saja dan ketika ada yang bertanya dia seperti kurang menguasai materi?”. Tentu sebagai pelajar yang sudah mengerti arti “menghargai” aku tidak mencelanya secara langsung. Yang pasti kesanku terhadap acara mentoring waktu itu kurang bagus.
Atas dasar itulah ketika mendengar ajakan mentoring hatiku hampa-hampa saja. Bahkan pernah suatu ketika aku mengajak teman sekelasku (waktu itu aku masih kelas dua SMA) ijin agar tidak usah mengikuti mentoring. Penolakan terhadap acara mentoring begitu kuatnya, hingga pada saat Pementor masih menyampaikan materi aku langsung mangajukan diri untuk ijin tidak mengikuti mentoring. Dan itu berlangsung beberapa kali. Dan yang membuatku heran adalah kawan-kawanku yang dari rohis tidak memusuhiku bahkan terus-menerus memotivasiku agar tetap menghadiri kegiatan mentoring. Nah disitu aku mulai bertanya-tanya seberapa penting sih mentoring?. Pada kesempatan lain aku juga mengikuti kembali kegiatan mentoring. Waktu itu hanya sekedar eksis-eksis-an, apalagi teman perempuanku yang juara kelas dengar-dengar ikut kegiatan mentoring juga. Jujur saja saat itu aku memang “menyimpan rasa” dengan teman perempuan itu. Sehingga aku ikut kembali kegiatan mentoring. Sungguh materi yang disampaikan waktu itu sangat menyentuh, apalagi Pementorku waktu itu mempertontonkan video masyarakat Palestina yang sedang dibombardir oleh tentara-tentara Israel. Hatiku tersentuh, air mataku menetes, betapa menyedihkan sekali nasib kaum muslimin diluar sana. Aku menyaksikan keberanian Muhammad Al-Fatih dan saat-saat terakhir bersama ibunya sebelum ia turun ke medan jihad melawan Israel dan syahid atas peperangan tersebut. Pada saat itu hatiku memperoleh sedikit “pencerahan” setelah mengikuti mentoring.
Aku mulai aktif mengikuti Mentoring dan terkadang sering mengikuti kegiatan-kegiatan rohis lainnya selain mentoring. Setelah bergabung di Rohis memang aku bukanlah penggeraknya, aku hanya sebatas penggembira saja. Aku tidak memiliki impian yang jelas ketika bergabung di Rohis. Itu berlangsung hingga menjelang kelulusan. Dan ketika dalam forum syuro pun aku lebih banyak diam. Walaupun demikian aku sering diminta bantu-bantu terkait perlengkapan dan menata-nata ruangan jika ada acara-acara besar keagamaan. Saat itu hatiku memang masih “menyimpan rasa” dengan teman perempuanku.
Setelah lulus memang aku tidak terlalu aktif lagi di Rohis, tetapi dalam acara-acara tetentu mantan-mantan pengurus selalu diundang untuk meramaikan acara. Sering pada waktu-waktu tertentu aku mengikuti acara-acara Mabit (menginap) di masjid sekolah. Hingga pada suatu saat aku mendapatkan info bahwa aku diterima menjadi Mahasiswa di Universitas Diponegoro S1 Ilmu Sejarah. Memang sebelumnya aku telah mendaftar ke beberapa Universitas. Padahal sejujurnya aku masih belum yakin apakah bisa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi melihat kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.
            Setelah melewati tawar menawar yang cukup alot dengan orang tua khususnya ibu, akhirnya beliau mengijinkan aku melanjutkan studi di Universitas Diponegoro Semarang. Sungguh ketika sampai di Semarang, sama sekali tidak terpikirkan untuk mengikuti mentoring lagi seperti di Sekolah. Dan aku pikir kegiatan mentoring cukup hanya di sekolah saja. Tetapi lagi-lagi aku dipertemukan dengan lingkungan dengan aktivitas-aktivitas keislaman kampus. Kebetulan aku satu kontrakan bahkan satu kamar dengan Sekretaris Umum Rohis Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Ketua KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Teknik Universitas Diponegoro. Setiap hari mau tidak mau aku harus berinteraksi dengan para aktifis Rohis kampus yang sering berkunjung ke kontakan untuk mengadakan syuro-syuro. Dengan sendirinya budaya-budaya interaksi anak Rohis mulai merasuk kedalam pribadiku seperti cara mereka menyapa sambil (jika sesama laki-laki) bersalaman, mengucapkan salam, kata-kata sapaan seperti “Akhi” dan “Ukhti”, “ikhwan dan akhwat”, syukron, afwan dan sebagainya. Terkadang aku diajak mengikuti agenda-agenda mereka seperti ikut Tatskif, Dzikir Al-Ma’Tsurat, Munasharah Palestin dan lain-lain.
Aku tidak mengerti. Semuanya ku ikuti dengan serta dan pada saat-saat tertentu aku merasa ingin keluar dari zona itu yang kurasa telah melenceng dari tujuan awal ketika pertama kali aku menginjakan di Semarang. Disisi lain sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah aku sering berinteraksi dengan teman-teman yang pemikirannya cukup ekstrem dan kritis tentang budaya-budaya anak rohis. Teman-temanku bisa dikatakan cukup sinis sambil mereka memaparkan argumen-argumen tajam. Sempat aku terpengaruh dalam menentukan dalam beberapa bulan. Argument-argumen mereka sedikit banyaknya cukup mempengaruhi pola pikirku. Dan sempat aku berupaya berontak dengan sikap kritisku mempertanyakan budaya-budaya yang ada disekelilingku seperti mengapa jika rapat harus selalu memakai hijab yang rapat, mengapa akhwat sangat protektif sekali terhadap laki-laki hingga dilarang berboncengan, mengapa harus menggunakan istilah-istilah arab dalam berbicara, mengapa kumandang takbir selalu dipekikan keras-keras yang terkadang membuat aku “merinding”. Pertanyaan-pertanyaan itu pada saat-saat tertentu sering aku sampaikan saat-saat mengikuti kajian hingga terkadang membuat forum menjadi kurang nyaman. Sempat aku ditegur oleh beberapa kawan yang ‘gemas’ dengan sikapku. Dan aku justru semakin puas jika banyak yang merespon sikapku. “Untuk apa kamu berbuat seperti itu?”. Namun justru aku semakin sinis karena aku tidak memperoleh jawaban yang memuaskan.
Hingga pada suatu saat aku menemukan sebuah momen yang sungguh menggetarkan hati. Lagi-lagi aku diajak dalam sebuah acara nonton bareng. Awalnya aku menolak, aku benar-benar merasa ilfeel dengan anak-anak Rohis. Jujur aku memang ada rasa arrogant. Aku menilai mereka hanya ikut-ikutan saja tanpa tahu dasar dalam bertindak. Aku menolak diajak nonton bareng. Namun seniorku dikontrakan selalu membujukku bahkan akan bersedia membayari tiketnya. Dengan setengah hati aku mengiyakan. Karena ia senior akupun jadi tidak enak hati. Kamipun langsung berangkat dari kontrakan menuju kampus untuk menonton film. Aku duduk dibarisan terdepan. Kebetulan kami datang tepat waktu. Beberapa menit kemudian banyak sekali mahasiswa yang berdatangan, ku tengok kebelakang, para jilbaber sudah memenuhi kursi. Hingga dalam hati aku bertanya-tanya, “bagaimana sih ceritanya kok sepertinya banyak sekali yang antusias menyaksikan film ini?”
Sang Murobbi… itu judul filmnya, dan subhanalloh tak terasa aku terhanyut dalam alur cerita tersebut betapa besar pengorbanan seorang dai. Waktu, harta dan pikirannya tersita untuk dakwah disaat gerakan Islam dikebiri oleh kebijakan pemerintah yang represif. Dengan segala upaya disaat kondisi yang sangat beresiko, aktifitas dakwah tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui intel.
Subhanalloh hatiku benar-benar tersentuh, seakan-akan aku terasa lahir kembali dengan semangat baru. Pada saat itulah ku camkan dalam-dalam dihatiku bahwa aku harus bergabung dalam barisan dakwah ini, aku tidak bisa hanya sebagai penonton bahkan pengkritik saja. Segera aku mencari-cari informasi mengenai Rohis di Jurusanku, aku ingin bergabung dalam kelompok mentoring. Namun sayang seribu sayang disaat benih-benih semangat dakwah ini bersemi, Rohis di Jurusanku belum memiliki departemen mentoring. Bahkan agenda-agenda keislamanpun ternyata sering kali tidak dirayakan. Benar-benar ujian keimanan pertama bagiku. Aku dihadapkan dengan kondisi medan yang demikian terjal. Dan disitu aku dipertemukan Allah dengan seorang akhwat yang begitu gigih berdakwah disana. Kebetulan ia adalah seniorku. Pernah suatu ketika ia berbicara kepadaku. “Dek beginilah keadaan kampus kita, hampir 3 tahun kondisinya seperti ini. Dan adek adalah orang yang mbak rasa mampu membantu mbak untuk membimbing teman-teman dan adik-adik kelas pada masa yang akan datang. Dan mbak berharap aktivitas mentoring bisa hidup kembali, mbak ingin adek yang menjadi penanggung jawab mentoring di jurusan ” Dengan penuh pengharapan ia berbicara kepadaku. Sontak saja aku terkejut, tetapi dengan yakin aku menjawabnya “Insya Alloh mbak, saya akan membantu mbak, mohon bimbingannya”.
Pada saat itulah perjalanan dakwahku berawal. Sempat aku jatuh bangun, bahkan sempat meneteskan air mata. Setiap fase-fase keadaan aku lewati, tantangan demi tantangan benar-benar mendidikku menjadi pemuda yang tegar. Dauroh-dauroh sering aku ikuti, pemahamanku, akhlakku kian hari kian terkendali. Dan satu demi satu pertanyaan-pertanyaan saat dahulu aku lontarkan mulai terjawab. Aku merasakan ketentraman dan kenyamanan dalam barisan dakwah ini. Kedewasanku dari hari-kehari semakin tumbuh. Dan aku harus mengajak sebanyak-banyaknya teman-teman agar bisa bersama-sama bergabung dalam barisan dakwah ini!.
Semarang, 20 April 2012
Anton

Selasa, April 24, 2012

Kekuatan Dakwah Melalui Pena


Sejak kita duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) Hingga Perguruan Tinggi, guru-guru Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa secara garis besar pembabakan sejarah di Indonesia terbagi menjadi 2 yakni Zaman Pra-Sejarah dan Zaman Sejarah. Zaman Pra-Sejarah dicirikan dengan zaman yang masih sangat terbelakang, barbar, berperadaban rendah dan belum mengenal tulisan. Sedangkan zaman sejarah dicirikan dengan zaman yang lebih maju dan telah mempunyai tingkat peradaban yang lebih tinggi yang dicirikan dengan telah ditemukannya tulisan dalam sebuah prasasti di Kalimantan Timur pada abad ke-5 M. Sedangkan Bangsa Cina, Mesir, dan Yunani, jauh berabad-abad sebelum Masehi telah mengenal tulisan. Sejarah bangsa Cina tercatat dimulai tahun + 2500 SM, Mesir 4000 SM, Yunani 800 SM.
Mengapa para ahli kebudayaan menjadikan tulisan sebagai pembeda antara zaman Pra-Sejarah dengan zaman Sejarah, bukan lukisan, bangunan, ataupun patung-patung? Jawabannya adalah karena tulisan merupakan hasil karya masyarakat yang telah berkebudayaan tinggi. Banyangkan saja mengapa tulisan dijadikan pembeda yang menandai telah terjadinya sebuah revolusi kebudayaan? Hal ini menandakan bahwa tulisan bukanlah perkara sepele dalam kehidupan manusia.
 Tradisi Menulis dalam Islam
Menulis merupakan tradisi ulama dan intelektual muslim. Tradisi ini merupakan konsekuensi logis dari dorongan Islam yang sangat menekankan arti penting penguasaan ilmu dalam kehidupan. Menulis dalam Islam merupakan suatu kewajiban setelah perintah untuk membaca (belajar, meneliti dan menelaah). Menulis berarti menyimpan apa yang telah kita baca dalam sebuah media yang bisa diakses oleh siapa saja. Dalam perkembangannya, menulis memiliki peran yang sangat urgen dalam sejarah kejayaan umat Islam beberapa abad silam. Semua ulama yang menjadi arsitek kejayaan Islam masa lalu adalah para penulis ulung yang telah menghasilkan berbagai buah karya mereka yang sampai saat ini masih menjadi rujukan umat Islam sedunia dalam berbagai disiplin keilmuan. kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena tradisi membaca dan menulis yang pernah dipopulerkan oleh para ulama masa lalu telah ditinggalkan.
Menulis Sebagai Ibadah
Carilah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim”, “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina”, dan lain-lain. Para ulama terdahulu rupanya telah begitu menghayati sabda Rosulullah tersebut. Dorongan itu telah menggerakan para ulama melakukan aktivitas ilmiah dan menulis karya-karya intelektual. Imam Syafi’i, misalnya. Kendati lahir dari keluarga sederhana, namun hidupnya sangat kaya dengan karya. Contoh lainnya adalah Ibnu Taimiyyah. Produktivitas karya Ibnu Taimiyyah jauh lebih banyak ketimbang bilangan usianya. Yang menjadi luar biasa adalah para ulama-ulama tersebut tidak hanya menulis dalam satu bidang ilmu saja, namun menulis dalam beberapa bidang keilmuan.
Hasan Al-Banna pendiri organsisasi ”Ikhwanul Muslimin” di Mesir juga pernah menulis berbagai wasiatnya kepada umat Islam. Tulisan-tulisan yang pada akhirnya dibukukan itu sanggup membangkitkan semangat dan gelora pergerakan Islam(Harakah Islamiah) diberbagai di berbagai belahan penjuru dunia untuk bangkit mengejar ketertinggalan dengan tanpa melepaskan nilai-nilai Islam sebagai prinsip hidup yang konsepsional dan fundamental. Kita tahu, bahwa kumpulan tulisan Hasan Al-Banna dalam bentuk surat wasiat yang kemudian diberi nama ”Majmu’ Rasail” itu, ternyata sanggup membangkitkan kembali semangat jihad umat Islam melawan berbagai bentuk penjajahan. Saat ini, hampir semua pergerakan Islam di dunia lahir karena terinspirasi dari kekuatan perjuangan, teladan dan surat wasiat Hasan Al-Banna tersebut.
Di  Indonesia tercatat ulama-ulama Indonesia yang ketajaman penanya telah menghasilkan karya buku yang berbobot, seperti Hamka, Aboebakar Atjeh, Mahmud Yunus, A Hasan, Tengku Hasbie Ash-Shiediqie, Munawar Cholil, dan lain-lainnya. Hal itu menunjukkan kepada kita, bahwa para ulama, pada masa dan di mana pun mereka bertempat, telah memiliki etos dan tradisi menulis yang kuat. Hal itu sebagai manifestasi dan implementasi dari ajaran Islam itu sendiri yang menekankan arti penting ilmu dalam kehidupan.  
Dengan demikian, menulis memiliki peran yang sangat strategis dalam transformasi kehidupan masyarakat dan menulis merupakan tradisi yang dalam Islam yang menjadi salah-satu kekuatan dalam mensyiarkan Islam. (Dari berbagai sumber)

Kisah kasih kisruh dengan Pak Sopir Angkot



Hari itu tanggal 23 November 2011. Mentari seakan-akan abadi. Pagi itu sinarnya begitu cerah. Bintik-bintik halus kabut memperlihatkan seolah-olah spectrum warna putih sinar menyapa setiap helai daun rindang yang kokoh tertanam di depan kontrakanku. Mungkin ia bahagia dengan kehangatan sinar itu, dan mungkin pula ia tersenyum dan mengucapkan berterima kasih Kepada Allah yang menciptakan mentari yang setia menyinarinya. Entahlah hanya Allah Sang Pencipta yang Maha Tahu bahasa kedua makhluk itu.
            Burung-burung seperti biasa menyambut pagi dengan paduan suara yang anggun. Kiacauannya mengingatkan kepada seluruh makhluk bahwa hari memang masih pagi. Mungkin juga ia sedang bertasbih menagungkan asma Allah.  Mungkin juga ia sedang menertawakan manusia-manusia yang masih terlelap tidur dikala mentari sudah meninggi. Entahlah.
     “donat-donat”… suara itu begitu menggema. Suara itu terdengar dari depan kontrakanku. Semakin lama suara itu semakin menggema keras dan mendekat.  “Dia adalah penjual donat keliling yang disiplin” gumamku dalam hati dari balik jendela. Masih dari balik jendela kuperhatikan sosok pemuda itu. Ia memang masih cukup muda. Mungkin usianya sekitar 25 tahun-an. “Apakah ia sudah berkeluarga?” lagi-lagi pertanyaan itu terbersit dalam benakku.
Sedikit membandingkan dengan diriku, juga kawan-kawan dikonrakan yang masih bersantai-santai atau mungkin “bermalas-malasan” dikamar. Lagi-lagi batinku sedikit tersindir oleh si Penjual donat itu. “Ah.. pikiran gw aja yang terlalu ambil pusing. Setiap orang pasti punya cerita masing-masing! Ku mencoba meng cover dialog didalam batinku yang kian menjadi.
            Jam dinding menunjukan pukul 06.00 tepat. Waktu yang masih cukup leluasa tuk bersantai-santai pagi. Hari ini aku ada kelas pukul 08.40. Masih ada kesempatan 2 jam 40 menit. Tapi pukul 07.00 syuro  telah menantiku. Seperti biasa ku lihat Handphoneku mengecek inbok yang masuk untuk hanya sekedar meyakinkan diri sendiri bahwa hari ini memang ada syuro. SMS itu dari seorang akhwat yang  bersemangat sekali.
--------------------------
From: Al-Ukh
22.11.2011
19:40
Asslkum…
Kpd sluruh panitia DM1
KAMMI JARSAT SOSIAL FIB-FISIP-FH-FEB
Tuk hadir dlm syuro persiapan DM
Bsok 23 November @ Masjid Kampus pukul 07.00.
Agenda : Fiksasi pembicara, Jmlh Peserta, transpotasi, dll
Harap on time!
Berrsemangat!
Allohuakbar!
----------------------------
Setelah mandi dan rapi. Aku bersiap-siap menuju jalan besar Banjarsari. Kebetulan kontrakanku berada di Gang Gayamsari No 27 A. Jarak antara kontrakanku dengan jalan besar sekitar 50 meter. Suasanapun sudah terlihat lebih ramai. Teriakan-terikan motor menggemakan sudut-sudut lorong jalan yang dikanan-kiri nya merupakan bangunan bertingkat. Bagunan bertingkat itu adalah rumah kost.  Aku berjalan kaki menuju jalan besar. Allah belum memperkenankan aku dibelikan motor oleh ortu. Entahlah… namun aku yakin bahwa Allah akan memberikannya pada saat yang tepat. Aku teringat pesan guru spiritualku yang menyampaikan sebuah nasehat. Katanya kurang lebih begini:  “Allah Maha Tahu kapasitas Iman Hamba-hamba-Nya. Ia memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya sesuai kepasitas. Bisa jadi terbaik menurut manusia tapi belum tentu terbaik menurut Allah begitu juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap manusia tidak baik tapi menurut Allah itu merupakan yang terbaik baginya”.
            Menunggu beberapa saat akhirnya “jemputanku” datang juga. “Kampus Mas” seru Pak Sopir. Aku menganggukkan kepala dan segera masuk kedalam. ternyata didalam sudah terlihat sesak sekali. Hanya kursi depan yang terlihat masih kosong. Lalu aku pilih didepan saja dekat dengan pak Sopir. “wow beruntung sekali aku dapet kursi depan, longgar dan leluasa!” gumamku dalam hati. Ku tengok kebelakang ternyata penuh sekali bahkan jika berdasarkan ukuran kapasitas mungkin sudah tidak layak. Kadang aku suka jengkel dengan sopir-sopir angkot maupun bus yang terlalu memaksakan kapasitas penumpang.
    Pernah suatu ketika aku sempat bersitegang dengan seorang supir angkot di Patung Kuda daerah Ngesrep. Penumpang-penumpang yang ada didalam juga terlihat “jengkel” dengan tingkah Pak Sopir yang “maksa”.  Mereka terlihat menggerutu didalam mobil namun masih terlihat segan. Aku juga tidak bisa terima dengan kebijakan Pak Sopir. Tanpa bisa ku kendalikan, akhirnya uneg-unegku terungkap secara verbal. “Pak Ini sudah penuh! Jangan ditambah lagi donk mau ditaro dimana tuh penumpang!” Akhirnya dengan wajah yang sama-sama jengkel Pak Sopir tidak menerima para penumpang itu. Itulah pengalaman tidak mengenakkanku dengan sopir angkot.
        Dan semoga Pak Sopir yang ada disampingku ini tidak seperti sopir yang dahulu bersitegang denganku. Namun terkadang aku juga merasa prihatin dengan nasib para sopir yang berlomba-lomba dengan sopir yang lain dalam mencari penumpang. Pernah aku juga memikirkan kembali sikapku terhadap sopir yang bersitegang denganku dahulu. Apakah sikapku sudah berlebihan?. Mungkin aku bisa memprotes sikap Pak Sopir yang menurutku “kelewatan” itu Karena aku tidak di posisi dia sebagai Sopir. Aku juga belum pernah merasakan menjadi seorang kepala keluarga yang harus mencari nafkah mencukupi kebutuhan sitri dan anak-anakku. Aku belum pernah merasakan betapa tangisan seorang anak yang minta jajan kepada bapaknya itu sungguh menjadi pikiran sang ayah. Terkadang aku berimajinasi seandainya aku dalam posisi dia mungkinkah aku juga akan bersikap seperti dia. Ya Allah… betapa masih belum seberapa pengalamanku dalam mengarungi hidup ini.
Angkotpun terus berjalan disekitar Masjid Al Hidayah Tembalang. Dari Kejauhan ku lihat ada seorang akhwat yang sedang berdiri dipinggir jalan. Sepertinya ia memang ingin pergi ke kampus. Pikir punya  pikir aku juga mulai panic. Di belakang penumpang sudah sangat penuh berdesakan. Di depan hanya ada aku dengan Pak Sopir. “Waduh ni kayaknya mau dipaksain juga duduk didepan nih… wah gawat kii, walaupun jujur ada sebersit “kegembiraan” (haha^^). Terjadilah pertempuran batin yang cukup sengit dalam diri ini  “klo seandainya ni sopir maksain tuh akhwat duduk didepan dampingan sama gw, bisa bahaya, ntar muncul cerita macem-macem. Klo pun misal dalam kondisi yang ky gtu dibolehin tapi gw masih ragu dalam hukum fiqihnya. Terpaksa gw kudu ngalah!”.
Dan ternyata benar dugaanku. Pak Sopir mengajak si Akhwat itu naik didepan. Apa yang terjadi? Alhamdulillah, walaupun sedikit dipaksa oleh Pak Sopir bahwa kursi masih bisa longgar dan layak ditempati 2 orang. Tapi ia masih bersih keras tidak mau naik. Lega hatiku. Dan aku sangat salut kepada akhwat itu yang tegas menjaga iffahnya (kesuciannya). “mantaaaaap” gumamku dalam hati. Akhirnya si akhwat dengan jaket hitam itu mundur bebarapa langkah kebelakang. Dan kembali keposisi ketempat duduk pelsteran tempat ia tadi menunggu angkot. Ketika mundur ia sedikit balik kanan menyerong. Dan aku melihat tulisan dijaketnya  “MUSLIM NEGARAWAN”.  Dan akhirnya aku sampai di depan Masjid Kampus. “kirrri Pak”! “disini mas?”  “iya pak” jawabku. Aku keluarkan uang sebesar 2000 rupiah. Pak Sopir itu terlihat senang dan tersenyum riang.
Sekian
Wisma Zaid bin Tsabit, 6 Januari 2012

Jumat, April 13, 2012

Se-romantis Pantai Tjilatjap 6 April 2012

Lagit saat itu begitu cerah. Tirai awan semakin terbuka lebar. Awan putih itu semakin menipis tatkala datang sempurnanya sinar mentari. Ia pergi dan terus mengilang entah kemana. Yang ditinggalkan hanyalah selapis awan yang terwarnai bersihnya biru langit. Satu persatu jiwa-jiwa berdatangan terpesona oleh lukisan alam itu. Ia tertarik mendekat, dan berusaha bercengkrama dengan eksotisme alam.
Memandang laut lepas dari pinggir pantai memang sungguh menentramkan hati. Ia terhampar seluas mata memandang. Gulungan ombak datang silih berganti menghempas kokohnya karang. Hempasannya melahirkan semburat putih terpancar halus keudara disaat terjadi benturan yang tak terelakkan. Gemuruh ombak menggema tak habis-habisnya. Suaranya tertekam merasuk hingga ke rongga dada. Terlihat dari kejauhan burung-burung indah menari diatas permukaan air sambil mengepakkan sayapnya dengan lincah. Seakan-akan ia menggoda ikan-ikan agar ikut menari diudara bersamanya. Kapal pesiar nan megah namun terlihat lamban itu bersaing dengan perahu kecil nelayan. Dengan gagahnya ia berani melawan arus gelombang. Sungguh hati ini bergetar, hati ini terbawa suasana, hati ini luluh saat itu juga disaat menyaksikan kolaborasi nyanyian alam yang begitu harmonis.
Dan tubuh inipun bergerak, berlari, memeluk ombak dan pasir laksana saudara akrab yang lama tak berjumpa. Ataukah sikap ini adalah bentuk panggilan jiwa yang telah lama memendam kerinduan. Sebuah bentuk kerinduan untuk menunjukan penghambaan dan rasa syukur kepada-Nya disaat hati sering tersayat oleh segala ambisi yang kerap tak tersampaikan. Ya, begitulah jiwa, ia ingin selalu kembali kepada-Nya.
Mungkinkah gemuruh ombak yang mengerti setiap jeritan hati. Sehingga dengan gemuruhnya itu ia mampu meredam segala kegalauan yang menggelayut disetiap jiwa yang memandangnya. Hempasan-hempasannya saat menghantam kokohnya karang seakan mewakili jiwa agar selalu berontak terhadap segala rasa ketidakberdayaan. Ya. begitulah ombak di Pantai Cilacap. Ia begitu ganas menantang kokohnya karang. Tak perduli sekeras apa karang yang dihadapi. Pada saat tertentu ia menjadi begitu ramah dan mempesona dan pada saat yang lain ia begitu tangguh mengantam angkuhnya karang.
Wisma Zaid bin Tsabit 13 April 2012

Senin, April 09, 2012

Beberapa catatan bagi yang hobbi menggunakan kata “Afwan”


Yang hobi menggunakan kata Afwan mohon acungkan jari kaki!
 Ya, trus ada apa dengan kata Afwan?
Bukanya kata itu bagus jika sering-sering diucapkan?
Afwan kan artinya “maaf”. Dan bukanya sebagai seorang muslim yang baik kita diperintahkan agar selalu saling memaafkan saudaranya?
Memang kata ini tidak digunakan oleh semua kalangan tapi hanya dipakai oleh kalangan-kalangan tertentu saja yang telah “teridentitaskan” secara sistematis melalui proses-proses tertentu (sokilmiah.com). Kata afwan juga berfungsi sebagai “penanda”. Uniknya bagi para pemakainya bisa bertindak “professional” memainkan kata ini. Jika ada kesalahan-kesalahan teknis alias salah sasaran dalam penggunaan kata Afwan mungkin fenomena itu itu hanya fiksi dan tokoh-tokoh yang ada didalamnya hanya rekaan belaka (garing.com). Saya pernah menyaksikan teman saya lupa menempatkan kata Afwan. Suatu ketika saya dan teman saya sedang “sik asik” berbincang di salah satu rumah makan di Tembalang. Tiba-tiba ada seorang “Mbak-Mbak” yang menghampiri dan menanyakan sebuah alamat kost temannya yang ia sendiri masih bingung. Kurang lebih percakapannya seperti ini “Mas numpang tanya tahu alamat Kost bla bla bla ndak? Kemudian teman saya menjawab secara spontan “Wah Afwan mbak saya ndak tahu alamatnya klo kost perempuan saya kurang paham”. Saya perhatikan si Mbaknya rada melonggo sedikit, mungkin dia bertanya-tanya “makanan apa tuh si Afwan” atau mungkin juga ia shock “hmm sembarangan nama gw Sheila bukan afwan! (imajinasi.com)
Jika didalam bahasa Indonesia kita mengenal ada makna menyempit dan meluas, mungkin kata Afwan juga mengalaminya. Dahulu kala mungkin para pendahulu mengunakan kata afwan masih dalam penempatan yang benar. Mereka menggunakannya disaat melakukan tindakan-tindakan kekeliruan diluar batas kemampuannya dan itupun mungkin terjadi hanya sesekali saja. Sehingga kata “afwan” yang ia ucapkan masih sangat logis dan bisa dipertimbangkan. Misalkan dalam sebuah syuro, seharusnya syuro dimulai pukul 08.00 pagi di tempat A namun ada salah seorang peserta syuro yang alamat kostnya di lokasi Z meminta keringanan untuk datang terlambat. Ia menginformasikan bahwa tidak bisa datang ontime sekitar 1 jam sebelum syuro dimulai. Apalagi pada saat itu hari sedang hujan lebat. Dan si peserta akhirnya datang pukul 08.30 alias terlambat 30 menit. Kemudian ada lagi peserta syuro yang alamat kostnya dilokasi B pada saat yang sama ia meminta ijin agar datang terlambat alasannya antara lain karena turun hujan, gak ada angkot, jaraknya jauh (padahal jika dibandingkan antara peserta syuro pertama dengan yang kedua jaraknya lebih jauh peserta syuro pertama). Kemudian ia juga menginformasikan keterlambatannya 30 menit setelah syuro dimulai. Jika pembaca posisinya sebagai Qadi (hakim) kira-kira anda akan membela yang mana? Peserta syuro yang kedua, ataukah peserta syuro yang pertama?
Tidak ada yang salah dengan kata afwan. Menurut saya kata afwan itu digunakan pada saat-saat tertentu saja dengan asumsi kata tersebut digunakan pada saat-saat secara de facto kita tidak bisa menjalankan tugas secara mestinya. Karena jika kata “afwan” menjadi “barang yang murahan” dan dengan mudahnya diumbar justru akan semakin menghawatirkan. Kata afwan telah mengalami penyempitan dan mungkin hanya menjadi life style (gaya hidup) saja. Kata afwan bukan sebagai pengakuan kesalahan yang secara sadar dilakukan dengan keinginan tidak akan mengulanginya lagi, tapi lebih digunakan sebagai perisai, pelindung, pembenaran-pembenaran, mencari-cari alasan, bahkan untuk menutupi kedustaan (nauzubillahi min zaalik).
Sedikit-sedikit afwan, sedikit-sedikit afwan, afwan kok sedikit-sedikit??! (Cha phe deh). Alangkah lebih baik kata Afwan itu kita pelihara dengan penuh kesadaran bukan pembenaran atas segala kekeliruan yang kita buat secara “senagaja”.  
Orang-orang di Negara “maju” sana saja yang mayoritas non Islam masih memiliki rasa malu yang cukup tinggi ketika melakukan kesalahan (ketidakdisiplinan), mereka amat merasa bersalah. Padahal dimensi rasa malu mereka bisa jadi hanya sebatas malu kepada manusia atau aturan mereka buat sendiri. Hanya sebatas itu!. sedangkan kita sebagai umat Islam (Khususnya yang beriman) tidak hanya sebatas itu saja tapi lebih dari memiliki rasa malu terhadap sesame manusia saja namun kita harus memiliki rasa malu kepada Allah SWT.
Semoga kemirisan demi kemirisan yang kita saksikan mampu kita minimalisir bersama. Apalagi sebagai seorang muslim kita harus memberi contoh yang baik bagi umat-umat agama lain. Kata Afwan biasanya sering digunakan bagi mereka-mereka yang mengemban misi kenabian yang perjuangannya adalah mengubah nilai-nilai keburukan menjadi nilai-nilai kebaikan. Apakah logis seandainya kita menginginkan sebuah perbaikan nilai jika kita sendiri tidak melaksanakannya (Ash-Shaf :2) dan Bukankah kita adalah umat yang terbaik? (Ali Imran: 110).  Mari kita introspeksi diri dan saling nasehat menasehati dalam sabar dan shalat (Al-Asr :1-3). Wallohua’lam bishawab

Disini afwan
Disana afwan
Dimana-mana bilangnya afwan
Disini afwan
Disana afwan
Dimana-mana bilangnya afwan
La la la la la la la la la la la la la la
La la la la la la la la la la la la la la
La la la la la la la la la la la la la la

 Sekian terimakasih (gak usah dikasih tepuk tangan)^^

Wisma Zaid bin Tsabit, 09/04 2012

Senin, April 02, 2012

KEKERASAN ATAS NAMA CINTA


Apakah “cinta” itu kata kerja, kata sifat, kata benda, ataukah kata keterangan?
apakah cinta itu hanya sekedar kata?



Akhir-akhir ini saya menemukan fenomena luarbiasa dikalangan teman-teman sesama kawula muda. Saya menyaksikan dimedia-media (khusunya media elektronik) kata “cinta” begitu sering diucapkan. Bahkan saat ini muncul program-program acara yang secara jelas mengusung tema tentang “cinta”. Khususnya cinta antara laki-laki dan perempuan. Mungkin sejak zaman dahulu kala, “cinta” telah menjadi bahasan yang tak akan pernah habis untuk dikupas hingga sekarang. Bisa jadi sebanyak apapun waktu yang dialokasikan untuk “mengerti” apa itu “cinta” tak akan pernah cukup untuk bisa dimengerti. “Cinta” bisa dirasakan semua manusia secara universal. Cinta tidak hanya didominasi kalangan elit saja tapi juga bisa dirasakan oleh kalangan melilit. Oleh sebab itu cinta memang bukan “barang” yang bisa dimonopoli kaum tertentu saja tapi ia adalah milik bersama.
Cinta” dalam pengertian tertentu bisa dipahami setiap orang sesuai keyakinannya masing-masing, kemudian dalam keyakinanya itu maka muncullah ekspresi-ekspresi yang termanifestasi (terwujud) dalam bentuk perkataan, sikap, dan juga benda atau karya real. Ada seseorang yang jika mendengar katanya saja menjadi bersemangat, bahagia, apatis hingga membuatnya selalu bersedih jika mendengar kata Cinta (mungkin gara-gara ada sindrom Madesu) dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing mengenai rasa “Cinta” dalam hidupnya.
Walaupun tujuan tulisan ini untuk lebih menyoroti persoalan “rasa Cinta antara lelaki dan perempuan”, namun saya akan terlebih dahulu mengajak para pembaca yang budiman untuk melihat pengertian cinta secara umum menurut beberapa ahli, sehingga kita bisa bersama-sama belajar dalam memahaminya. Gunanya adalah agar pembahasan mengenai “Cinta” lebih fokus dan tidak melebar. Terlebih-lebih “Cinta” merupakan bahasan yang cukup abstrak.
Apalagi sering terjadi “Kekerasan atas nama Cinta” ada dimana-mana. Kekerasan bukan hanya yang bersifat fisik, namun juga bersifat psikis. Kata Cinta dengan gampangnya diumbar kesana-kemari. Padahal ia tidak mengerti apa itu Cinta?. Cinta dimengerti hanya seenaknya perutnya saja. Sebagai contoh kontradiksi-kontradiksi yang saya temui antara lain dikalangan sahabat-sahabat tercinta saya.
Katanya “Cinta” kok sering berantem?
Katanya “Cinta” kok suka mukul?
Katanya “Cinta” kok sering dusta?
Katanya “Cinta” kok sampai 1234567 tahun lebih masih saja statusnya “berpacaran”? 
(seharusnya itu sudah di DO! sorry saya belum pernah denger ada yang pacaran lebih dari 7 tahun jadi Cuma sampai 7).
Katanya “Cinta” kok punya cabang dimana-mana (kaya PT aja?
Katanya “Cinta” kok masih suka jajan (kayak anak kecil)?
Bahkan ada yang bunuh diri gara-gara Cintanya ditolak (TERLALU),
Kok mengucapkan kata-kata kasar kepada orang yang dicintainya (penduduk ragunan dibawa-bawa)?
Ada yang main dukun.. (hadeeeh jadi Syirik)

Ya…namanya juga kisah kasih orang yang menjalin Cinta” begitu jawabnya. Padahal sebagian besar dari definisi yang sudah saya tulis diatas mengatakan bahwa Cinta itu “kasih sayang” dan memberikan kebaikan-kebaikan. Apakah Cinta dipahami dipahami hanya sebatas kata? Ah mungkin mereka menjalani Cinta tanpa panduan alias otodidak.
Kemudian saya juga ingin mempertanyakan kepada kaum-kaum yang menganut paham pacaran. Pacaran (katanya) adalah ikhtiar untuk mendapatkan jodoh menuju jenjang pernikahan. Katanya lagi “Jodoh itu ada ditangan Allah, dan kita diperintahkan harus berusaha! Klo gak berusaha yang gak bakal ketemu jodohnya. Begitu kurang lebih ungkapan yang sering kita dengar. Tapi usaha yang bagaimanakah?. Terkadang saya bertanya-tanya jika memang jodoh ada ditangan Allah dan kita diperintahkan harus berusaha. Apakah usaha yang kita lakukan sudah dijanlankan sesuai dengan (Tuntunan/metode/cara/) yang diperintahkan-Nya lewat surat Cinta dan Sunnah Rosul-Nya ataukah justru kita melenceng dan kita menjalaninya menurut keinginan kita. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

DEFINISI CINTA

Beberapa pengertian Cinta yang saya kutip dari beberapa sumber perihal definisi Cinta; Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang (Wikipedia). Cinta adalah kasih sayang yang mendalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Cinta adalah perasaan yang kuat pada lawan jenis karena hubungan yang personal (Miriam Webster). Cinta adalah perasaan sayang pada orang lain (Dictionary.com). Cinta adalah ikatan atau perasaan yang kuat yang menimbulkan rasa hormat dan sayang (Addictionary.com). Cinta adalah perasaan sayang dan tertarik yang sangat kuat pada seseorang (Answer.com). Cinta adalah fenomena sosial dan kognitif (Ilmu Psikologi). Cinta adalah emosi yang dalam dan kompleks yang membuat seseorang bertindak heroik (Ehow.com). Cinta adalah emosi positif yang kuat (Lexipedia.com). Cinta adalah perasaan sayang pada seseorang (Encarta). Cinta adalah keterikatan rasa sayang pada lawan jenis (Biologi.online.org).

Pendapat Al-Ghazali Tentang Cinta

Dari sekian banyak definisi-definisi berdasarkan kamus, saya juga ingin membandingkan pengertian Cinta oleh salah satu Ulama yang telah sama-sama kita kenal, sebut saja Imam Al-Ghazali. Beliau adalah seorang Ulama yang hidup pada abad ke dua belas (1058-1111 M). Beliau sudah mengelaborasi dasar-dasar filosofis perihal cinta dengan begitu rinci. Menurut beliau ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
  1. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
  1. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
  1. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya Cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka Cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan seseorang juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d.      Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e.       Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
Dengan membaca uraian Imam Al-Ghazali saya menjadi tergugah, Ulama yang hidup pada abad dua belas telah begitu rinci menjelaskan dasar-dasar filosofis cinta. Padahal pada abad saat beliau hidup merupakan abad-abad kritis Umat Islam dimana benih-benih “kemunduran” nampak terlihat pada diri umat Islam.
Penting kiranya kita sebagai pemuda dan pemudi agar lebih “dalam” menengok pemikiran-pemikiran para ulama terdahulu. Karena masih banyak pemikiran-pemikiran mereka yang menurut saya jauh lebih “canggih” dan relevan untuk masa kini dibandingkan pemikiran-pemikiran para “Ulama Barat” yang kecendrungan sekuler dan membiaskan bahkan menghilangkan aspek-aspek keilahian.

Note :
Tulisan ini terinspirasi ketika saya sedang makan di warteg. Ada dua muda-mudi (sebut saja bunga dan kumbang) yang sedang berselisih pendapat tentang “hubungannya”. Kemudian diperkuat oleh pemandangan yang tidak asing lagi di Bundaran Widyapuraya Undip. Banyak “pasangan-pasangan” yang merajut mimpi disana. Laksana dunia hanya milik mereka berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak. Hahaha
Refernsi
Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf « Belajar Memaknai Hidup”.htm. (Anonim) www.google.com (Online) diunduh tanggal 1 April pukul 23.00
Definisi Cinta” htm www. google.com (online) diunduh tanggal 1 April pukul 22.50.

Wisma Zaid bin Tsabit, 1-2 April 2012