“Dakwah, Ukhuwah, dan
Jihad”. Istilah-istilah yang empat tahun lalu terasa biasa-biasa saja ditelingaku
bahkan berkonotasi negatif. Dan saat mendengarnya-pun
aku serasa hampa. Ibarat angin lalu ia datang dan pergi begitu saja tanpa makna. Ia tidak memberi kesan mendalam. Tak penting
kiranya mendramatisasi kata “Dakwah, Ukhuwah dan Jihad” hingga melahirkan emosi
didalam dada. Berulang kali kata itu diiucapkan oleh teman-teman disaat acara-acara
keislaman di SMA. Aku kira kata itu hanya sekedar “pemantas” saja agar acara ke-Islaman
menjadi lebih khidmat. Sinisme didalam hati bagaikan bara dalam sekam. Walau
tak terlihat nyalanya, ia tetap merah membara didalam dada. Semacam ada resistensi
(penolakan) secara halus.
Disatu sisi sebagai seorang muslim aku mengerti
dan menginginkan Islam menjadi rahmat bagi semua namun disisi lain aku tidak
perduli bagaimana agar semua itu bisa terwujud. Bahkan menunjukan simbol-simbol
agamapun di lingkungan teman-teman masih tidak percaya diri. Ditengah
ketidakpastian sikap itulah langkah-langkahku tak menentu. Setengah hati
tepatnya. Masih kuat diingatanku ketika harus selalu “dikompor-kompori” oleh
kawan-kawan agar ikut bergabung dalam perkumpulan Rohis (Rohani Islam) SMA. Mengikuti
serangkaian kegiatan yang pada waktu itu seperti hanya membuang-buang waktu. Jika
mereka mengajak, aku akan ikut, dan jika tidak ya aku tidak perduli. Rasanya
waktu itu aku berpendapat bahwa tak perlulah dakwah harus diperjuangkan
sedemikian rupa.
Bisa dibilang dalam
bergaul waktu itu aku tidak memiliki pendirian yang tegas. Disatu sisi aku
masih senang bermain-main, nongkrong-nongkrong ria tanpa terlalu peduli dengan
batasan-batasan. Teman perempuan dan laki-laki dari kalangan non-Rohispun banyak.
Pada waktu itu ada semacam stigma didalam benakku bahwa berorganisasi itu hanya
membuang-buang waktu dan akan membuatku tidak fokus dengan mata pelajaran di Sekolah.
Waktu itu pragmatisme sudah muncul dalam diriku. Entah asalnya dari mana,
mungkin dari lingkungan keluarga yang sama sekali tidak memberi motivasi
kepadaku mengenai pentingnya aktif beroganisasi atau karena faktor ekonomi
keluarga yang pas-pasan, dan ongkos sekolah yang pas-pasan juga. Yang pasti dua
faktor itu membuat sikapku semakin apatis untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di
Sekolah. Fokusku hanya satu yakni belajar yang rajin. Apalagi keluargaku menekankan bahwa yang namanya
belajar ya belajar. Dan alhasil setiap pelajaran disekolah usai, aku langsung
bergegas pulang.
Kemudian, entah kapan
pastinya aku mulai akrab dengan anak-anak Rohis Sekolah. Aku ingat waktu itu
ada seorang sahabat yang memberikan undangan acara secara langsung kepadaku
(waktu itu aku belum memiliki hape). Undangan itu adalah acara peringatan hari
besar Maulid Nabi Muhammad Saw. Akupun mengikutinya dari awal hingga akhir. Hubungan
pertemanan-pun terus terjalin. Ketika aku sedang serius membuka-buka buku di Perpustakaan,
kawan baruku itu sering menghampiri walau hanya sekedar tanya kabar, berdiskusi
seputar mata pelajaran. Hingga pada suatu saat ia mengajakku datang dalam
sebuah acara Mentoring. Atas dasar tidak enak untuk menolak ajakannya, akupun
datang dalam acara tersebut. Apa itu mentoring? Waktu itu tidak terlalu penting
untuk dipikirkan, paling hanya sekedar ngaji-ngaji biasa saja. Akhirnya setelah
pulang sekolah pada saat terik matahari waktu itu aku datang dalam acara
mentoring. Kurang lebih ada sepuluh orang waktu itu. Memang ketika pertama kali
mengikuti mentoring, kesan pertamaku biasa-biasa saja, bahkan aku sempat meremehkan
“Kok yang ngajarin ngaji masih muda sekali, dan jarang sekali gunain dalil
al-Quran, bahasanya juga kok umum-umum saja dan ketika ada yang bertanya dia
seperti kurang menguasai materi?”. Tentu sebagai pelajar yang sudah mengerti
arti “menghargai” aku tidak mencelanya secara langsung. Yang pasti kesanku
terhadap acara mentoring waktu itu kurang bagus.
Atas dasar itulah
ketika mendengar ajakan mentoring hatiku hampa-hampa saja. Bahkan pernah suatu
ketika aku mengajak teman sekelasku (waktu itu aku masih kelas dua SMA) ijin
agar tidak usah mengikuti mentoring. Penolakan terhadap acara mentoring begitu
kuatnya, hingga pada saat Pementor masih menyampaikan materi aku langsung
mangajukan diri untuk ijin tidak mengikuti mentoring. Dan itu berlangsung
beberapa kali. Dan yang membuatku heran adalah kawan-kawanku yang dari rohis
tidak memusuhiku bahkan terus-menerus memotivasiku agar tetap menghadiri
kegiatan mentoring. Nah disitu aku mulai bertanya-tanya seberapa penting sih
mentoring?. Pada kesempatan lain aku juga mengikuti kembali kegiatan mentoring.
Waktu itu hanya sekedar eksis-eksis-an, apalagi teman perempuanku yang juara
kelas dengar-dengar ikut kegiatan mentoring juga. Jujur saja saat itu aku
memang “menyimpan rasa” dengan teman perempuan itu. Sehingga aku ikut kembali
kegiatan mentoring. Sungguh materi yang disampaikan waktu itu sangat menyentuh,
apalagi Pementorku waktu itu mempertontonkan video masyarakat Palestina yang
sedang dibombardir oleh tentara-tentara Israel. Hatiku tersentuh, air mataku
menetes, betapa menyedihkan sekali nasib kaum muslimin diluar sana. Aku
menyaksikan keberanian Muhammad Al-Fatih dan saat-saat terakhir bersama ibunya
sebelum ia turun ke medan jihad melawan Israel dan syahid atas peperangan
tersebut. Pada saat itu hatiku memperoleh sedikit “pencerahan” setelah
mengikuti mentoring.
Aku mulai aktif mengikuti
Mentoring dan terkadang sering mengikuti kegiatan-kegiatan rohis lainnya selain
mentoring. Setelah bergabung di Rohis memang aku bukanlah penggeraknya, aku
hanya sebatas penggembira saja. Aku tidak memiliki impian yang jelas ketika bergabung
di Rohis. Itu berlangsung hingga menjelang kelulusan. Dan ketika dalam forum
syuro pun aku lebih banyak diam. Walaupun demikian aku sering diminta bantu-bantu
terkait perlengkapan dan menata-nata ruangan jika ada acara-acara besar
keagamaan. Saat itu hatiku memang masih “menyimpan rasa” dengan teman perempuanku.
Setelah lulus memang
aku tidak terlalu aktif lagi di Rohis, tetapi dalam acara-acara tetentu mantan-mantan
pengurus selalu diundang untuk meramaikan acara. Sering pada waktu-waktu
tertentu aku mengikuti acara-acara Mabit (menginap) di masjid sekolah. Hingga
pada suatu saat aku mendapatkan info bahwa aku diterima menjadi Mahasiswa di Universitas
Diponegoro S1 Ilmu Sejarah. Memang sebelumnya aku telah mendaftar ke beberapa Universitas.
Padahal sejujurnya aku masih belum yakin apakah bisa melanjutkan kuliah di
perguruan tinggi melihat kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.
Setelah
melewati tawar menawar yang cukup alot dengan orang tua khususnya ibu, akhirnya
beliau mengijinkan aku melanjutkan studi di Universitas Diponegoro Semarang. Sungguh
ketika sampai di Semarang, sama sekali tidak terpikirkan untuk mengikuti
mentoring lagi seperti di Sekolah. Dan aku pikir kegiatan mentoring cukup hanya
di sekolah saja. Tetapi lagi-lagi aku dipertemukan dengan lingkungan dengan aktivitas-aktivitas
keislaman kampus. Kebetulan aku satu kontrakan bahkan satu kamar dengan Sekretaris
Umum Rohis Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Ketua KAMMI (Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Teknik Universitas Diponegoro. Setiap
hari mau tidak mau aku harus berinteraksi dengan para aktifis Rohis kampus yang
sering berkunjung ke kontakan untuk mengadakan syuro-syuro. Dengan sendirinya
budaya-budaya interaksi anak Rohis mulai merasuk kedalam pribadiku seperti cara
mereka menyapa sambil (jika sesama laki-laki) bersalaman, mengucapkan salam,
kata-kata sapaan seperti “Akhi” dan “Ukhti”, “ikhwan dan akhwat”, syukron,
afwan dan sebagainya. Terkadang aku diajak mengikuti agenda-agenda mereka
seperti ikut Tatskif, Dzikir Al-Ma’Tsurat, Munasharah Palestin dan lain-lain.
Aku tidak mengerti. Semuanya
ku ikuti dengan serta dan pada saat-saat tertentu aku merasa ingin keluar dari zona
itu yang kurasa telah melenceng dari tujuan awal ketika pertama kali aku
menginjakan di Semarang. Disisi lain sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah aku
sering berinteraksi dengan teman-teman yang pemikirannya cukup ekstrem dan kritis
tentang budaya-budaya anak rohis. Teman-temanku bisa dikatakan cukup sinis
sambil mereka memaparkan argumen-argumen tajam. Sempat aku terpengaruh dalam
menentukan dalam beberapa bulan. Argument-argumen mereka sedikit banyaknya
cukup mempengaruhi pola pikirku. Dan sempat aku berupaya berontak dengan sikap
kritisku mempertanyakan budaya-budaya yang ada disekelilingku seperti mengapa jika
rapat harus selalu memakai hijab yang rapat, mengapa akhwat sangat protektif sekali terhadap laki-laki hingga dilarang
berboncengan, mengapa harus menggunakan istilah-istilah arab dalam berbicara,
mengapa kumandang takbir selalu dipekikan keras-keras yang terkadang membuat
aku “merinding”. Pertanyaan-pertanyaan itu pada saat-saat tertentu sering aku
sampaikan saat-saat mengikuti kajian hingga terkadang membuat forum menjadi kurang
nyaman. Sempat aku ditegur oleh beberapa kawan yang ‘gemas’ dengan sikapku. Dan
aku justru semakin puas jika banyak yang merespon sikapku. “Untuk apa kamu
berbuat seperti itu?”. Namun justru aku semakin sinis karena aku tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan.
Hingga pada suatu saat aku
menemukan sebuah momen yang sungguh menggetarkan hati. Lagi-lagi aku diajak
dalam sebuah acara nonton bareng. Awalnya aku menolak, aku benar-benar merasa ilfeel dengan anak-anak Rohis. Jujur aku
memang ada rasa arrogant. Aku menilai
mereka hanya ikut-ikutan saja tanpa tahu dasar dalam bertindak. Aku menolak
diajak nonton bareng. Namun seniorku dikontrakan selalu membujukku bahkan akan
bersedia membayari tiketnya. Dengan setengah hati aku mengiyakan. Karena ia
senior akupun jadi tidak enak hati. Kamipun langsung berangkat dari kontrakan
menuju kampus untuk menonton film. Aku duduk dibarisan terdepan. Kebetulan kami
datang tepat waktu. Beberapa menit kemudian banyak sekali mahasiswa yang
berdatangan, ku tengok kebelakang, para jilbaber sudah memenuhi kursi. Hingga dalam
hati aku bertanya-tanya, “bagaimana sih ceritanya kok sepertinya banyak sekali
yang antusias menyaksikan film ini?”
Sang
Murobbi… itu judul filmnya, dan subhanalloh tak terasa aku terhanyut dalam alur cerita tersebut
betapa besar pengorbanan seorang dai. Waktu, harta dan pikirannya tersita untuk
dakwah disaat gerakan Islam dikebiri oleh kebijakan pemerintah yang represif. Dengan
segala upaya disaat kondisi yang sangat beresiko, aktifitas dakwah tetap
dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui intel.
Subhanalloh
hatiku benar-benar tersentuh, seakan-akan aku terasa lahir kembali dengan
semangat baru. Pada saat itulah ku camkan dalam-dalam dihatiku bahwa aku harus
bergabung dalam barisan dakwah ini, aku tidak bisa hanya sebagai penonton
bahkan pengkritik saja. Segera aku mencari-cari informasi mengenai Rohis di
Jurusanku, aku ingin bergabung dalam kelompok mentoring. Namun sayang seribu
sayang disaat benih-benih semangat dakwah ini bersemi, Rohis di Jurusanku belum
memiliki departemen mentoring. Bahkan agenda-agenda keislamanpun ternyata sering
kali tidak dirayakan. Benar-benar ujian keimanan pertama bagiku. Aku dihadapkan
dengan kondisi medan yang demikian terjal. Dan disitu aku dipertemukan Allah dengan
seorang akhwat yang begitu gigih berdakwah disana. Kebetulan ia adalah seniorku.
Pernah suatu ketika ia berbicara kepadaku. “Dek beginilah keadaan kampus kita, hampir
3 tahun kondisinya seperti ini. Dan adek adalah orang yang mbak rasa mampu
membantu mbak untuk membimbing teman-teman dan adik-adik kelas pada masa yang
akan datang. Dan mbak berharap aktivitas mentoring bisa hidup kembali, mbak
ingin adek yang menjadi penanggung jawab mentoring di jurusan ” Dengan penuh
pengharapan ia berbicara kepadaku. Sontak saja aku terkejut, tetapi dengan
yakin aku menjawabnya “Insya Alloh mbak, saya akan membantu mbak, mohon
bimbingannya”.
Pada saat itulah perjalanan
dakwahku berawal. Sempat aku jatuh bangun, bahkan sempat meneteskan air mata. Setiap
fase-fase keadaan aku lewati, tantangan demi tantangan benar-benar mendidikku
menjadi pemuda yang tegar. Dauroh-dauroh sering aku ikuti, pemahamanku,
akhlakku kian hari kian terkendali. Dan satu demi satu pertanyaan-pertanyaan
saat dahulu aku lontarkan mulai terjawab. Aku merasakan ketentraman dan
kenyamanan dalam barisan dakwah ini. Kedewasanku dari hari-kehari semakin
tumbuh. Dan aku harus mengajak sebanyak-banyaknya teman-teman agar bisa
bersama-sama bergabung dalam barisan dakwah ini!.
Semarang, 20
April 2012
Anton