Rabu, Mei 16, 2012

Mimpi dan Ketakutan...


Iapun menangis tersedu-sedu ditengah malam yang sunyi. Suara jangkrik masih terdengar bersahutan. Tangisan itu seketika memcah kesunyian. Para sahabatnya lalu menghampiri dengan perasaan bertanya-tanya, ada apa gerangan sehingga membuatnya menangis. Baru kali ini para sahabatnya melihat sosok yang kesehariannya begitu kharismatik dan jarang menangis itu ternyata bisa menangis. Merekapun saling memandang satu sama lainnya. Pemuda itu masih saja terlihat murung. Terlihat para sahabatnya menatap dengan tatapan penuh keanehan. Wajahnya pemuda itu terlihat begitu basah oleh keringat. Kedua matanya terlihat sendu diliputi aura kecemasan dan ketakutan. Pemuda itupun mengangkat wajahnya. Ia pandangi wajah sahabat-sahabatnya yang sejak tadi berada disisinya. Ia gerak-gerakan jarinya, ia  meraih tembok yang berada disampingnya, ia pegang wajahnya menampar-nampar ringan pipi kanan dan pipi kirinya.  Batinnya mengatakan “Aku masih hidup”.

“Ada apa boss? “ Salah seorang sahabatnya bertanya kepada bos yang diseganinya itu. Pemuda kharismatik ini seketika memeluk sahabatnya itu dengan erat. Pelukan itu disambut dengan segenap hormat. Para sahabat yang lainpun semakin terbawa keadaan. Mereka semakin bertanya-tanya. Tetapi karena khawatir akan merusak suasana akhirnya mereka hanya menyaksikan saja adegan yang mengharukan sekaligus misteri itu.

Setelah hatinya mulai tenang, pemuda itupun melepaskan pelukannya dan terlihat siap untuk bercerita kepada para sahabatnya tentang apa yang ia rasakan hingga membuatnya menangis.
“Barusan Gua Mimpi serem banget bro!, gua mimpi kecelakaan, nabrak tembok, motor gede gua ancur dan gua lihat diri gua sendiri dalam keadaan parah bgt, muka gua sampe banjir darah, kayaknya dimimpi itu gua udah mati”

Para sahabatnya yang lain begitu fokus mendengarkan cerita bosnya yang kharismatik ini. Sejenak suasana hening. Mereka telihat termenung. Entah apa yang sedang apa dibalik kepala mereka masing-masing. Tentang “kematiankah”?

“Hei bro nih di kaki gua banyak bekas luka jatoh dari motor. Udah berapa tahun kita naek motor gak pernah jatohkan, tapi malam ini gua mimpi jatoh, mati pula! ”

“Udah bos mimpi gtu aja dipikirin… itu cuma pikiran bos aja “
“Tetapi lu liat sendirikan gua mpe nangis begini, pas bagun tidur dada gua masih nyesek, gua takut banget bro.. emang pas kita naek motor serasa kita gak bakalan kenapa-napa. Tapi klo ampe terjadi kaya dimimpi gua gimana bro? iiiihhh…”

Sontak para sahabatnya masih berfikir keras. Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan bosnya. “Ya, mati… klo seandainya mati bagaimana?” To be Continued…

Cerita diatas hanyalah sebuah ilustrasi seorang ketua Gang Motor yang menagis ditengah malam karena ia bermimpi kecelakaan dan ia melihat dirinya dalam mimpinya itu tewas seketika. Mungkin itu hanyalah sebatas mimpi. Sebagian orang mengatakan “mimpi itu hanya bunga tidur”. Tetapi bisa jadi mimpi-mimpi kita adalah manifestasi terdalam pikiran kita. Mungkin kitapun pernah mengalami mimpi buruk seperti yang dialami sosok pemuda pada cerita diatas walaupun keadaanya berbeda-beda. Dalam dunia nyata mungkin terlintas pikiran serupa seperti kematian dan semacamnya. Hanya karena sering tidak diabaikan lintasan hati itu tertutupi oleh segala “keangkuhan” seolah-olah kitalah yang paling berkuasa atas diri ini. Padahal sesungguhnya tidak sama sekali. Si Pemuda yang didunia nyata bisa dikatakan “keras” tetapi bisa berubah menjadi  benar-benar ketakutan. Seandainya mati lalu bagaimana? Dan lewat mimpi pikiran-pikiran yang selama ini tertutupi “keangkuhan” dan terlupakan itu muncul dengan bebas dalam imajinasinya. Itu hanya sekedar mimpi tetapi telah membuat seseorang begitu ketakutan.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang ada disekita kita. Mungkin ada yang mengatakan bagaimana bisa cerita yang dibuat-buat ini bisa menjadi dasar untuk menasehati? Jawabannya adalah “terserah anda”.  ^^
Semarang, 14 Mei 2012

Rabu, Mei 09, 2012

Megejar Rembulan Menyambut Mentari… (Pendakian Ungaran Part 1)

Malam itu langit begitu cerah. Rembulan itu masih terlihat anggun diantara iringan awan-awan tipis. Cahayanya begitu terang benderang menerangi genting-genting rumah di bumi Tembalang. Meskipun disetiap sudut gang lampu-lampu terlihat memancarkan cahaya, tetapi cahaya rembulan malam itu tetaplah yang paling mempesona. Kulihat pepohonan masih terdiam membisu. Dalam gelap yang mulai menyergap, dedaunan itu memantulkan kerlap-kerlip cahaya sang rembulan. Cahayanya melahirkan bayangan raksasa memanjang. Bayangan hitam batang pohon dan gumpalan dedaunan terlihat terlukis di permukaan tanah walau hanya terlihat samar.
Shalat Isya pun telah ditunaikan. Masjid Al-Hidayah semakin menjauh. Dan para Jamaah kembali ketempatnya masing-masing. Kedua kaki ini masih terus melangkah menuju pulang. Gang Barata bentuknya memang memanjang dan sedikit menurun. Pandangan ini masih tertuju kepada sang rembulan. Sesekali ia tenggelam terhijab awan. Namun sesekali pula muncul kembali. Hingga pandangan ini tak lagi bisa memandang. Tembok besar telah menjadi penghalang lukisan alam yang mempesona itu. Ingin rasanya melihat lebih dekat sang rembulan. Menghabiskan malam sambil memperhatikan gerak awan beriring, yang membelah rembulan menjadi dua bagian.
Tidak hanya jiwaku saja yang terpaut dengan kecantikan lukisan langit malam itu. Ketika sampai dikontrakan, hapeku seketika berdering. Sebuah pesan singkat dari seorang sahabat kuterima. Ya, ajakan untuk menghabiskan malam mendaki Ungaran. Akupun tersenyum. Belum yakin apakah ajakan itu serius atau hanya ajakan kosong belaka. Berulang kali ia meyakinkan agar menikmati malam itu ini sambil memandang rembulan dari puncak Ungaran. Ia juga menginformasikan bahwa sudah ada sahabat lain yang bersedia mendaki Ungaran malam itu. Aku semakin tertantang. Dan akupun senang. Ternyata cahaya rembulan malam itu telah membuat sahabatku-sahabatku “Jatuh Cinta”. Dengan seketika kami bersepakat bahwa pukul 21.00 kita harus berangkat. Memanfaatkan waktu yang ada kami berusaha mempersiapkan segalanya dan saling membagi tugas. Ada yang membawa tenda, mencari kompor, termos, dan membeli makanan. Sayang seribu sayang kami tidak mendapatkan kompor. Tetapi walaupun perlengkapan kami tidak seluruhnya lengkap, namun ketiadaan itu tidak menyurutkan langkah kami untuk membataklan perjalanan. Dan kamipun masih menatap rembulan. Ia masih begitu anggun memantulkan cahaya. Kamipun semakin terpesona sambil mengucapkan puja dan puji kepada Sang Pencipta. 
Kami menyadari bahwa ketika dipuncak nanti udara pasti amat menusuk tulang. Dan apalagi termos belum terisi air panas. Kami segera mencari di salah satu warteg di Tembalang. Alhamdulillah air panaspun kami dapatkan. Perjalananpun semakin meyakinkan.
Dengan antusias kami seperti mengejar sang rembulan. Kami berjumlah 2 motor. Dalam perjalan itu jumlah kami hanya bertiga Dan aku berboncengan. Kami jalan sambil beriringan. Terkadang ketika ditengah perjalanan kami bercengkrama, mengobrol tentang segala hal. Dan rembulan masih terlihat jelas memancarkan pesona. Kami semakin bersemangat menuju puncak Ungaran tatkala melirik rembulan. Perjalanan tersebut terasa begitu ringan dan menyenangkan sekaligus aneh. Bagaimana mungkin secara mendadak, hanya karena melihat rembulan diatas genting kontrakan, kami begitu cepat merencanakan sebuah perjalanan. Perjalanan itu bagaikan mengambil sebuah momentum. Rembulan bisa jadi pasti akan telihat indah dan penuh manakala dinikmati dari ketinggian. Dan dengan serta-merta kamipun dipersatukan dalam perjalanan yang sama. Rembulan telah berhasil ‘meluluhkan’ hati kita bertiga. 
 
Kurang dari satu jam, tepatnya pukul 22.30 kamipun telah berada dikaki gunung Ungaran. Sempat tersasar dan salah masuk gang. Dan itu bisa diatasi dengan segera. Feeling perjalanan salah seorang sahabat cukup tinggi, sehingga kamipun memutar jalan dan kembali melanjutkan perjalanan pada sebuah jalan yang kami yakini benar.
Jalan-pun mulai menanjak. Terasa kendaraan kami meraung-raung keras. Memang kondisi jalan tidak selamanya mulus. Permukaan jalan yang bergelombang sesekali seperti ingin melemparkan kami keatas. Terdengar keras bunyi deritan soft blecker memecah kesunyian. Udarapun mulai terasa dingin. Ditengah-tengah perjalanan kami sesekali menemukan pasangan muda-mudi yang mungkin juga sedang menikmati cahaya rembulan. Sepertinya mereka juga sedang memanfaatkan momentum. Padahal malam itu telah larut, tetapi mengapa muda-mudi itu masih melakukan ‘aktifitas’? sebuah pertanyaan yang tidak perlu mendapatkan jawaban, karena kamipun sudah tahu jawabannya? Entahlah, semoga saja mereka adalah pasangan-pasangan yang telah sah tercatat dalam catatan pernikahan di KUA. Begitu kami berusaha berkhusnuzhan.
Hampir saja kendaraan kami berbalik arah. Terutama aku dan sahabatku yang berboncengan. Akupun sesekali turun sambil mendorong motornya. Walaupun motor hanyalah seonggok mesin yang hidup, tetapi kamipun masih memiliki belas kasihan. Akupun mendorongnya hingga memastikan apakah medan masih memungkinkan agar tetap berboncengan.
Dan akhirnya kami sampai di sebuah Bascamp. Suasananya masih begitu sunyi. Hanya terdapat 2 orang penjaga. Setelah menyapa dan meminta izin pendakian kamipun sejenak melampar pandangan ke-arah perkotaan. Subhanalloh dari ketinggian kami melihat warna-warni kerlap-kerlip lampu yang begitu menawan. Ditambah siluet pegunungan yang begitu kokoh. Kamipun menerka-nerka dengan segala keterbatasan pandangan.
Setelah puas memandang, kami ingin melanjutkan perjalanan menuju puncak. Waktu telah menunjukan pukul 23.15. Kami menemukan sedikit kendala pada saat ingin menitipkan kendaraan. Ternyata petugasnya tidak standby selama 24 jam. Lalu bagaimana kita akan menitipkan kendaraan?. Lalu kami segera menemui salah satu petugas TNI yang masih berada di sebuah Café. Terlihat ada beberapa orang sedang bercengkrama. Alhamdulillah kamipun mendapatkan petunjuk. Dengan segera kami melangkahkan kaki menuju rumah salah seorang penduduk. Akhirnya kita menitipkan kendaraan disana.
Ekspedisipun dimulai…
Dibawah sinar rembulan yang terang benderang, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak. Setapak demi setapak kami susuri jalan. Terlihat jalan begitu lembab dan licin. Tanah, rumput dan bebatuan terlihat basah. Sepertinya tadi sore hujan telah mengguyur tempat ini. Suara jangkrik sepanjang perjalanan secara bergantian menemani perjalanan. Dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian kami meneruskan perjalanan. Sesekali kami terpeleset. Tetapi tidak sampai membuat kami terjatuh. Medanpun semakin terjal dan menanjak. Sesekali kami menghentikan langkah beristirahat sambil memandangi ribuan kerlap kerlip lampu. Dan lagi-lagi kami selalu berdecak kagum dengan pemadangan tersebut. Terlihat rentetan jalan-jalan saling berhubungan dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Membentuk lika-liku yang begitu indah. Itu semua kami nikmati dari ketinggian. Sesekali kami bertanya. Mengapa bisa lampu itu menyemburatkan kerlap-kerlip? Ada yang menjawab karena itu terpengaruh oleh awan, ada yang menjawab hal itu disebabkan karena faktor oksigen, dan adapula yang menjawab karena factor ilusi indra. Entahlah jawaban mana yang benar. Sepanjang perjalanan kami melihat kulit-kulit kayu terhampar dipermukaan tanah. Glondongan-glondongan kayu terdapat dikanan kiri. Pepohonanpun banyak yang ditebang. Saya tidak mengerti apakah ini sudah sesuai prosedur, apakah hanya penebangan liar. 
 
Jalanpun kian menanjak. Nafas kamipun semakin tersengal. Sendi-sendi otot kaki semakin linu. Gravitasi bumi seakan-akan menarik-narik tubuh kami. Dengan segenap tenaga, kami taklukan gravitasi itu. Sesekali kami berhenti. Mengatur nafas sambil mengumpulka tenaga. Jika sekiranya tenaga kami telah kembali pulih kami langsung melanjutkan perjalanan.begitu seterusnya. Setapak demi setapak kami menerobos semak-semak dan kegelapan malam. Semak-semak begitu basah. Sehingga membasahi celana dan baju kami. Tubuh inipun semakin kedinginan.
Hingga kami sampai diperkebunan kopi. Udara malam semakin menusuk tulang. Tak berapa lama kami pun telah berada diperkebunan teh. Subhanalloh dari perkebunan teh pemandangan semakin menakjubkan. Kami berhenti sejenak. Menikmati pemandangan tersebut sambil mengeluarkan sebagian perbekalan kami. Mata ini sebenarnnya sudah dihinggapi rasa kantuk. Waktu menunjukan pukul 00.30. Perut ini juga uedah meraung-raung kelaparan. Akhirnya kita memutuskan untuk makan-makan bersama. Kamipun secara lahap menikmati makanan.
Kemudian muncul ide, apakah kita mendirikan tenda disisni ataukah melanjutkan perjalanan menuju puncak?. Salah seorang sahabat memberi usul agar lebih baik kita tetap melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda dipuncak saja. Agar nanti pagi tidak kehilangan momentum sunrise. Kamipun sepakat dan tetap melanjutkan perjalanan.
Medan semakin terjal dan ekstrem. Kamipun menerobos kegelapan hutan. Benar-benar lembab sekali. Kerap kali kami menemukan binatang lintah menempel dipepohonan. Aku benar-benar merinding. Sesekali tanpa sengaja pada saat memegang batang pohon aku memagang lintah. Sontak saja aku terkejut dan langsung menghalaunya jauh-jauh. Yang ku takutkan adalah kalau sampai lintah-lintah itu masuk kedalam celana dan menghisap dari dalam celana dan baju bagaimana iiihhh?
Perlahan tapi pasti kami menaklukan angkuhnya tebing. Sekitar 2 jam kami menghabiskan waktu menyusuri tebing yang begitu curam dan licin. Untungnya kami memperoleh kemudahan. Disetiap sudut jalan, kami selalu menemukan penunjuk jalan yang dibuat oleh kelompok pecinta alam. Memang menggelikan sepertinya para pecinta alam itu saling berebut eksistensi karena bayangkan saja, dalam satu pohon bisa terdapat satu sampai 2 penujuk jalan.
Bagi yang sudah melakukan pendakian sebelumnya mungkin perjalanan ini biasa-biasa saja. Tapi bagi aku yang baru pertama kali mendaki Ungaran, tentu menjadi sebuah kendala. Aku merasa puncaknya tidak sampai-sampai alias jauh sekali. Sering aku bertanya apakah ini puncaknya ataukah itu puncaknya?.
Tenda bergoyang….
Subhanalloh akhirnya sekitar pukul 03.00 dini hari kami menginjakan kaki di puncak Ungaran. Hatiku merasa lega dan puas. Akupun berteriak melantunkan puja-puji. Hal itupun juga dilakukan oleh para sahabat-sahabat yang lain. Seakan-akan kami berada ditempat yang paling tinggi. Udara malam itu begitu menusuk tulang. Awan dan kabut terlihat begitu indah. Ternyata yang membuat indah adalah karena terangnya kerlap-kerlip lampu kota sehingga lukisan awan bisa terlihat dikegelapan. Rembulan terlihat redup. Mungkinkah pandangan kami telah tertutup kabut? 
 
Dengan segera mendirikan tenda. Tubuh kami benar-benar kelelahan dan mengigil. Ingin rasanya merebahkan tubuh dan berkemul dengan selimut. Sayang seribu satu sayang hanya ada seorang yang bawa selimut. Kamipun menggunakan selimut itu bertiga. Terdengar gemeretak gigi-gigi beradu salah seorang sahabat yang sedang kedinginan. Kamipun berebut selimut didalam tenda. Selimut yang terbatas membuat kami tarik-menarik didalam tenda. Tendapun bergoyang-goyang karena ulah kami. Benar-benar membuat kami tidak bisa tidur nyenyak. Karpet terasa sangat dingin. Entahlah hingga kami sepertinya kami tidak bisa membedakan apakah tubuh ini telah masuk angin atau tidak. Yang jelas benar-benar dingin.
Menyambut mentari…
Tak terasa pagipun telah menyambut. Tidak terdengar suara azan tetapi ada salah seorang sahabat terbagun. Sungguh tidur yang sangat tidak menyenyakkan. Sepertinya kita tidak tidur saja. Hanya merebahkan badan tetapi tiba-tiba waktupun telah bergulir menuju pagi.
Dengan segenap kekuatan kamipun bangun. Cssss… udara benar-benar menusuk tulang. Mungkin karena udara yang begitu dingin hingga kami lupa menggunakan kompas untuk mencari arah kiblat. Dengan semena-mena kami shalat subuh tanpa memperdulikan arah kiblat. Mentari memang belum muncul. Sebercak terang yang ada di ufuk itu kami jadikan patokan arah kiblat. Aneh memang ternyata ufuk itu adalah arah Timur. Dan kita shalat subuh berjamaah berkiblat kearah timur. 
 
Satu jam berselang mentaripun muncul. Detik demi detik kamipun memperhatikan perubahan-perubahan pada awan yang terlukis indah dan gunung-gunung yang berderet. Ada yang menyebutnya gunung yang kokoh itu adalah gunung Merbabu, Sindoro dan lain-lain. Entahlah yang mana yang benar. Subhanalloh pemandangan sunrise sungguh menakjubkan. Rona langit begitu romantis. Langit laksana kanvas yang dilukis dengan warna merah, jingga, kebiru-biruan. Kabut-kabut pun beriringan. Ia muncul dibalik bukit lalu hilang entah kemana. Tubuh kami terkadang terhampas kabut putih itu. Rasanya dingin dan lembab. Walaupun tidak sedingin malam. Ya. puncak Gunung Ungaran sungguh Indah. to be continued.. (catatan perjalanan pendakian tanggal 7-8 Mei 2012)
Semarang
Zaid bin Tsabit, 9 Mei 2012
Anton

Special persent for
Udhi Catur Nugroho,
Ahmad Eko Prasetyo
Anton

Sabtu, Mei 05, 2012

Kaget...

Saya belum mengerti mengapa seseorang bisa ‘kaget’. Dan dari mana asal katanya saja masih belum tahu. Tetapi hingga saat ini kita masih sering menggunakan istilah ‘kaget’ itu. Adakah yang bisa memberikan penjelasan secara utuh apa sesungguhnya ‘kaget’ itu. Mengapa seseorang bisa mengalaminya. Ya. semua orang pasti pernah mengalami ‘kekagetan’ dalam keadaan tertentu. Termasuk saya juga bahkan sering mengalami kekagetan-kekagetan. 

Dua hari yang lalu tepatnya hari kamis, saya sempat kaget. Saya dibuat kaget oleh sebuah majalah yang ‘nyentrik’. Ketika kami sedang asyik bercengkrama diruang tamu, saya menemukan majalah baru. Ada hal yang membuat hati saya sempat miris pada awalnya. “Waduh adik-adik mengapa membeli majalah perempuan begini, gambarnya (klo menurut saya) seksi lagi?!. Darah saya sempat meluap-luap tetapi tidak serta-merta saya ungkapkan kepada mereka. Hanya sedikit terjadi pergolakan batin saja. Lalu saya spontan nyeletuk “mengapa majalah begini yang dibeli?! Saya heran. “Kak itu majalah hape” salah seorang adik dikontrakan menjelaskan. Ternyata memang majalah hape. Saya buka lembar demi lembar, ternyata memang majalah hape. Majalah yang menginformasikan jenis-jenis model hape terbaru. “ Looh kok Majalah hape covernya gambar cewek, udah gtu seksi lagi? Saya mencoba mengajak mereka berdialog. “Iya kak gak tahu”. Iseng-iseng saya tanyakan lagi saja kepada adik-adik di kontrakan. “ Klo menurut kalian, gambar ini gimana seksi gak?. Sambil tertawa mereka menjawab “ iya kak seksi”. Saya memang mencoba meminta pendapat kepada adik-adik mengenai pendapat mereka tentang cover majalah baru itu supaya saya tidak terjebak kepada penghakiman sendiri. Dan lagi-lagi saya dan adik-adik satu suara bahwa gambar itu memang seksi. 

Saya sempat geli sendiri pada awalnya. Hampir saya berburuk sangka kepada adik-adik, saya kira itu majalah Porno. Awalnya muncul kegeraman. Tetapi ketika saya mengatahui bahwa itu majalah hape, saya bisa mengatur ritme nafas dengan normal kembali. Untung saya bertanya terlebih dahulu tidak langsung men-judge. Memang seseorang cendrung berprasangka ketika ia tidak/belum tahu. Semoga Allah melindungi kita dari setiap pra-sangka. 

Muncul kesan dalam pikiran saya bahwa hingga saat ini ‘kehormatan’ kaum perempuan ‘diekspose’ untuk dijadikan ‘alat’ untuk memasarkan produk. Saya bertanya-tanya sebenarnya apa hubungan antara ‘perempuan’ yang dipampang dicover majalah dengan kulaitas Hape?. 

Mungkin inikah zaman disaat nilai-nilai dan norma tidak diutamakan. Berbisnis hanya untuk mengamalkan prinsip ekonomi kapitalistik “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk meraup untung sebesar-besarnya”. Dimanakah letak singkronisasi antara perempuan seksi dan kualitas hape?. “Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung Jek!” Jaka sembung naik becak, Cha-Phe Dweh!”. Meskipun hari kartini telah berlalu tetapi eksploitasi terhadapnya masih belum berlalu. Dahulu kaum perempuan di-ekploitasi karena dalam posisi tersubordinasi karena tidak bisa mengelak dari tradisi yang belum tercerahkan. Tetapi kini bukan saja ada kebebasan bagi kaum perempuan untuk berekspresi tetapi sebagian ada yang menolak jika gerak-gerinya dibatasi. Kini justru lebih mengerikan lagi. Zaman telah berubah. Secara sadar superioritas mereka atas nama feminisme telah membuat sebagian kaum perempuan menolak jika ada ‘nesehat-nasehat’ yang tujuannya untuk melindungi. Akhirnya mereka melenggang dengan bebasnya. Padahal justru merendahkan martabat dirinya sendiri. Jika pada zaman dahulu mungkin mereka direndahkan oleh ‘orang lain’ yang ‘berkuasa’. Tetapi kini bisa jadi atas kuasa yang telah dimiliki penuh itu, diirinya sendirilah yang merendahkan martabatnya bukan orang lain. Oleh karena itu jangan salahkan orang lain jika tidak ‘dihargai’, tetapi hargailah diri sendiri agar bisa dihargai orang lain.
Semarang 05 Mei 2012

Jumat, Mei 04, 2012

kata-kata itu....


yang lain bersadiwara, gua apa adanya…

Itulah kata-kata yang tertulis dalam sebuah papan reklame yang sering saya lihat di Jalan Raya Jatingaleh Semarang. Kata-kata yang sangat provokatif!.Secara sederhana saya mengartikan bahwa kata-kata tersebut mengajak kepada pembaca semua agar senantiasa jujur dalam bersikap alias tidak bertopeng. Mungkin sebagian para pembaca terhenyak ketika membaca  pesan tersebut. Apalagi saat ini banyak diantara kita yang senang bermain dengan citra.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan citra. Setiap orang berhak menentukan citra dirinya terhadap orang lain sepanjang citra itu tidak merugikan, dan selama ia tetap bertanggung jawab atas citra yang diusungnya.  Disisi lain saya juga meragukan apakah memang ada sikap ‘apa adanya’ dalam diri seseorang? Seperti apakah wujud sikap ‘apa adanya’ itu?. Melihat saat ini banyak dikalangan kita yang mengelu-elukan sosok manusia (baca: pemimpin) yang ‘apa adanya’. Samakah sikap ‘apa adanya’ dengan ‘jujur’?. Bisa jadi justru orang yang menganggap dirinya itu ‘apa adanya’ juga sedang membangun citra dirinya sendiri agar dipandang ‘orisinil’ serta supatya orang lain berdecak kagum dengan sikapnya?
Saya kira tidak ada manusia yang bersikap ‘apa adanya’ dan bukan berarti jelek orang yang tidak bersikap ‘apa adanya’ itu. Justru dengan sikap yang tidak ‘apa adanya’ itu justru menunjukan dirinya sebagai manusia.
Sebagian orang merasa ‘bangga’ dengan sikap yang ia sebut sebagai ‘apa adanya’ itu. Dan bahkan ada yang ektrem menentang sikap orang-orang yang mereka anggap tidak ‘apa adanya’ itu dengan kata-kata sinis. Lalu dengan serampangannya menceritakan aib-aib atau keburukan-keburukan sikapnya itu dengan bangga. “ini loh gue… sikap gue orisinil gak hipokrit! Begitu ungkapnya.
Kita semua sepakat bahwa setiap manusia memiliki ‘aib’ masing-masing yang tidak perlu diceritakan. Dan cukuplah hanya Allah dan kita yang tahu. Bahkan kita tidak boleh marah jika ada orang yang menghina kita. karena bisa jadi penghinaan itu tidak lebih buruk dari kehinaan kita sendiri.
Jadi menurut saya tidak ada orang yang bersikap ‘apa adanya’ dimuka bumi ini karena selain istilah itu tidak tepat, juga tidak perlu dijadikan pegangan bahwa orang yang tidak bersikap ‘apa adanya’ itu juga buruk. Menurut saya sikap tidak ‘apa adanya’ itu justru baik selama tetap bisa dipertanggung jawabkan (integritas) dan sikap itu memberikan kemaslahatan bagi orang disekitarnya. Dan sikap yang katanya ‘apa adanya’ itu juga belum tentu baik jika akan memberikan ekses buruk. Semuanya kita kembalikan lagi dari definisi istilah ‘apa adanya’.
Dan saya heran jika ada orang yang mencap sesama saudaranya itu “munafik”. Dengan kerasnya mereka mengatakan “kamu munafik!”. Setahu saya hingga saat ini kata “munafik” itu saja hanya dijelaskan ciri-cirinya saja bukan definisinya. Apakah ada ceritanya seseorang benar-benar diklaim sebagai munafik dalam sejarah? Dan siapakah sebenarnya yang mempunyai otoritas untuk menggunakan kata tersebut? Bukankah seakan-akan orang yang menggunakan kata tersebut menafikan dirinya  sebagai manusia itu sendiri?.


Semarang, 3 Mei 2012

Dimana Cinta, Dimana Nalar

Seorang pemuda-pemudi yang sedang dimabuk asmara akan memandang dunia ini selalu nampak indah. Disaat memandang luasnya langit, terangnya sinar mentari, cahaya rembulan, kerlipan bintang, kebun-kebun bunga yang segar terhampar, maka semuanya akan terasa ramah dan bersahabat. Seakan-akan fenomena alam itu hanya tersetting  untuk mendukung kisah asmara mereka berdua. Yang ada hanyalah kebaikan. Tidak ada tempat untuk segala yang buruk. Hingga sampai-sampai melampaui batas-batas akal sehat. Memang orang yang sedang dimabuk cinta akan secara tiba-tiba menjadi tidak realistis.
Siapa yang tidak bahagia jika ada seseorang yang begitu mencintai kita dan rela melakukan apa saja demi memenuhi keinginan atau apa saja yang kita senangi. Mungkinkah ini yang mendasari seseorang untuk berperilaku “aneh” kepada seseorang pujaan hati?. Mungkin hingga saat ini sikap aneh itu masih menjadi “nyannyian-nyanyian indah” sebuah kewajaran tingkah bagi orang-orang yang sedang dimabuk cinta.
Begitulah cinta. Sebagian pakar mengatakan bahwa cinta memang tidak bisa dijelaskan. Hanya ‘gejala-gejala’nya saja yang bisa diuraikan. Manifestasi cinta ini begitu dahsyat dan mengundang decak kagum namun juga kengerian. Begitu banyak manifestasi-manifestasi cinta kita temukan baik fisik maupun non fisik.
Bukan merupakan hal yang aneh ketika orang dimabuk cinta, ia berani berdusta atas nama cinta. Ia mengatakan hal-hal diluar kemampuannya. Ia memberanikan diri berbuat diluar kewajaraan disaat si pujaan hati meminta kepadanya meskipun permintaan tersebut ‘menyalahi’ hati nuraninya. Akhirnya iapun menjadi tidak merdeka.Dan mungkin saja sikap istimewa itu hanya teruntuk ‘seorang’ saja bukan kepada setiap orang karena ada ‘misi’ tersembunyi. Banyak kisah-kisah orang terdahulu yang bisa kita ambil pelajaran, dimana seseorang yang memiliki kharismatik yang mengagumkan tetapi tunduk dan patuh hanya kepada seorang gadis yang ‘kebetulan’ ditakdirkan berparas cantik. Mungkin bisa kita lihat dari kisah Raja Louis IV Sang Despotik yang menjadi budak istri cantiknya. Sang Raja diperbudak istrinya agar menyalahgunaan kekuasaan dan  menghambur-hamburkan uang rakyat. Alhasil perbuatan merekapun tidak melahirkan kebaikan, bahkan justru mengantarkan mereka ke panggung kematian. Mereka dipancung dengan Gaullotine dihadapan seluruh rakyat Prancis. Sungguh kisah yang tragis!.
Menjadi sebuah hal yang umum dikalangan anak muda saat ini, dimana begitu mudah kata-kata cinta diumbar. Bahkan secara khusus telah disajikan dalam sebuah program acara di salah satu stasiun televisi. Tentu mayoritas penontonnya adalah para anak muda walaupun mungkin sebagian anak-anak dan orang tua juga menontonnya. Memang menggelikan dan sungguh mengundang tawa. Dan para pemain-nya pun berdalih bahwa program ini hanyalah program hiburan. Tetapi saya yakin dalih itu tidak akan menjadi sebuah dalih terhadap suatu yang semua orang akan menganggapnya serius seperti menentukan pasangan dan membina rumah tangga.
Kewajaran sikap memang akan selalu dirindukan setiap orang. Sikap yang wajar dan tidak berlebihan tentu tidak akan membuat orang kecewa. Sebuah kasus yang mungkin kita semua pernah mendengar. Pengakuan seorang istri yang bernada ‘memilukan’.  “Dahulu dia itu romantis sekali ketika masa pacaran tapi kini kata-kata sapaan romantis itu seakan-akan tak berbekas”. “Dahulu ia begitu romantis bahkan sering mengirimi pesan-pesan singkat yang indah-indah, tapi kini semua itu hanya kenangan masa muda saja” begitu ungkapnya. Akhirnya kekecewaanlah yang ia peroleh dari mantan pacarnya (baca:suami) itu. Ya kecewa, karena suaminya itu hanya ‘manis dibibir’ tetapi tidak manis sampai dihati. “Ternyata dahulu kata-kata indahnya hanyalah sebagai senjata untuk ‘menaklukanku’.  Kini ketika aku telah jatu kedalam pelukannya, ia ‘membiarkanku’. Terasa hanya sesaat saja masa-masa indah itu” begitu mungkin suara hatinya. 
Terkadang kita sering mengatakan hal yang diluar batas kewajaran. Tentunya batas kewajaran itu ukurannya adalah ‘feeling’ kita sendiri. Mengatakan apa yang memang sebenarnya ‘belum ada’ pada diri kita  dan mengada-adakannya . Kita masih belum jujur terhadap diri kita sendiri. Kita masih tidak percaya diri dengan apa yang kita miliki. Kita masih terobsesi dengan sebuah ‘kesempurnaan’. Kita ingin menampilkan kesempurnaan kepada orang lain khusunya kepada sosok sang pujaan hati. Sehingga ‘mati-matian’ kita mempertahankan ‘citra’ yang sesungguhnya memang tidak kita miliki. Saya terkadang kasihan melihat ibu-ibu atau mbak-mbak yang menolak kenyataan. Hanya karena ingin terlihat cantik, ia merepotkan diri pergi bolak balik ke rumah kecantikan agar kulitnya selalu  terlihat putih dan kencang serta agar terhindar dari keriput. Padahal dilihat secara kenyataan umurnya memang sudah tua. Kemudian ada seorang laki-laki yang merayu-rayu pacarnya lalu dengan segenap kemampuan ‘diplomasinya’ menjanjikan ini dan itu kepada sang pacar jika kelak akan hidup bersama. Pertanyaannya adalah untuk apa itu semua?
Semarang,  05 Mei 2012

Selasa, Mei 01, 2012

Cerita Santai Tanpa Pemanis Buatan


Pemuda itu masih berdiri didepan Toko Buku favoritnya. Toko Buku yang berada di Pojok Pasar  di daerah Antah Berantah. Toko yang biasa menjajakan buku-buku lama dan murah meriah. Kegemarannya mengoleksi buku-buku memang membanggakan dan patut diapresiasi. Ia memang ingin menjadi ‘Kutu Buku’ sejak duduk di bangku kuliah. Menurut teman-teman yang melihatnya ia dijuliki sebagai ‘Si Kutu Buku’. Saya juga tidak mengerti mulai sejak kapan orang yang rajin membaca buku di juluki sebagai ‘Si Kutu Buku’. Apakah julukan itu bermakna menghina ataukah mengapresiasi? Mengapa harus ‘Kutu Buku’ mengapa bukan Kutu Loncat, Kutu Ayam, Kutu kambing , Kutu Kerbau, bahkan Tom Cat?. Apakahkah karena sering ditemukan binatang kutu dalam setiap lembaran buku? Nyatanya juga saya jarang melihat kutu-kutu bertebaran. Memang sesekali saya pernah menemukan binatang kutu didalam sebuah buku yang tidak terlalu terawat dan biasanya bukunya sudah tua atau klasik. Saya serahkan kepada anak Sastra Indonesia.
                                                                                        ******
Flash back……
Sebuah keputusan yang sebenarnya aneh dan sedikit ‘memaksa’. Ia (Si Pemuda) memaksakan harus suka membaca dalam sebuah deklarasi yang sebagian orang masih menganggapnya lux (mewah) “Mulai saat ini saya harus suka membaca!. Ya, memang sebuah keputusan hebat sekaligus menantang. Bagaimana tidak aneh, ia dibesarkan dan bergaul dengan teman-teman yang memang belum menjadikan tradisi membaca sebagai sebuah gaya hidup lalu tiba-tiba ia ingin berbeda sendiri?. Tetapi ia jalani saja sikap barunya itu.  Awalnya memang biasa-biasa saja. Diapun merasakan hal biasa-biasa saja setelah deklarasi itu diungkapkan. Mana mungkin sebuah kebiasaan baru akan dengan  mudah mengubah sikapnya hanya dengan sebuah ‘deklarasi’ ditambah dorongan lingkungan yang minim?
Ia memaksakan dirinya harus ‘mencintai’ sesuatu yang awalnya tidak diakrabi-nya. Sebuah keputusan yang aneh menurut sebagian orang. Jika Pujangga Jawa mengatakan bahwa Witing Tresno Jalaran Soko Kulino adalah sebuah alasan yang bisa diterima untuk ‘mencintai’, namun hal ini berbeda baginya. Ia harus ‘mencintai’ dalam sekejap hanya karena sebuah keinginan saja. Keinginan menggebu-gebu yang ia sendiri masih belum merasakan secara nyata apa manfaatnya. Dan juga atas dasar dari pengalaman yang cukup ‘tragis’ dalam dirinya sendiri. Ia bosan hanya sekedar jadi pendengar, ia ingin juga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disekitarnya. Mengapa terjadi seperti ini dan mengapa terjadi seperti itu. “Rasa-rasanya kok saya banyak tidak tahu” begitu katanya. Terkadang ia juga merasa minder jika diajak diskusi dengan teman-temannya yang lain tentang suatu hal. Ia hanya diam dan manggut-manggut saja. “Saya harus cinta baca walau belum bisa jatuh cinta!” ungkapnya dalam hati.
Kemudian ia pun sering mengunjungi tempat-tempat dimana buku-buku bacaan disimpan. Ia harus menyerap sebanyak mungkin informasi. “Yang terpenting harus memperoleh sebanyak mungkin informasi” begitu ungkapnya. Pada saat ketika ia berada di Perpustakaan, sebenarnya ia baru sekedar mondar-madir membaca-baca judul buku yang telah terbit. Sambil merasa bingung mau baca buku apa. Akhirnya ia ambil saja buku sastra tebal berhalaman sekitar 500. Teman-teman barunya yang baru datang  dengan serta merta mencap dirinya sebagai ‘Kutu Buku’. Wajar saja teman-teman barunya itu berasumsi demikian. Bisa jadi stigma terhadap seseorang akan selalu diingat sesuai dengan citra  pertama yang ditunjukaannya. Temannya berkata:  “Wah anda Kutu Buku yaa kok bacaanya tebal sekali, memang ini kebiasaan anak-anak pinter seperti anda ya …”.  Awalnnya si Pemuda itu juga GR (Gede Rasa). Dalam batinnya “hmmm pujiannya berlebihan, perasaan saya cuma pegang buku saja deh, belum baca-baca apa-apa. Tapi ya gak apa-apa sih, wong disebut pinter, semoga aja jadi doa”. Ia pun nyaman dengan pernyataan sang teman. Dan secara tidak sadar peryataan itu ia identikan dengan dirinya. “Emang saya pantes ya di sebut pinter?, bangga juga disebut jadi orang pinter hehe….” Ibarat orang yang sedang kasmaran, pujian sang teman terhadap dirinya begitu ‘mengena’ dan terus terngiang dalam benaknya, setara dengan setiap kata dari sang pujaan hati, “sesuatu banget! Begitu mungkin ungkapan anak zaman sekarang.
Perjuangannya untuk bisa ‘mencintai’ apa yang belum ia cinta bukan tidak mendapat tantangan. Cibiran, sinisme, bahkan tertawaan dari teman-temannya terhadap life style baru nya itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Dikala ada waktu senggang ia sempatkan membaca buku walau hanya sekedar membolak-balikan halaman. Ketika sedang berada diangkutan umum, ia juga menyempatkan membuka buku. Terkadang ia juga merasa jengah dengan sikap barunya itu. Suara hatinya berbisik “saya merasa aneh sendiri ya, apa sikap saya sudah over acting ? tetapi ia tetap pada pendiriannya toh apa yang saya lakukan sama sekali tidak merugikan orang lain. Begitu suara hati yang lain membisikinya. “Bukankah  justru sangat mulia dan bisa menjadi contoh bagi orang yang melihat sikap saya. Sesekali juga ada semacam perasaan ria. Tetapi ia juga masih tetap pada pendiriannya “Mengapa saya harus menyembunyikan kebaikan yang memang baik, mengapa saya harus malu jika kebaikan saya memberikan dampak baik, sungguh aneh hati ini. Jika memang sesuatu yang dilakukan itu baik dan tidak merugikan orang lain dan bahkan baik jika diikuti orang lain, bukankah itu  adalah tindakan yang mulia, lalu apa alasan saya untuk tidak melaksanakannya?” Si Pemuda itu pun tegas dengan pendiriannya dan rasa cinta terhadap buku pun kian bersemi. Dan kebiasaan yang awalnya tidak dicinta itulah yang membentuk dirinya. Sekian ^^
“Seseorang yang menyembunyikan kebaikan karena takut dilihat manusia, sesungguhnya ia telah berbuat RIA. Dan seseorang yang memperlihatkan kebaikan dengan niat ingin di puji manusia, sesungguhnya ia telah berbuat SYIRIK” (Fudhail bin Iyadh)

Prof. Dr. Anton Saputra. M.Phil
Semarang
Wisma Zaid Bin Tsabit
30 November 2012

  • Cerita diatas hanyalah fiksi dan juga tidak bersifat non fiksi. ^^