Malam
itu langit begitu cerah. Rembulan itu masih terlihat anggun diantara
iringan awan-awan tipis. Cahayanya begitu terang benderang menerangi
genting-genting rumah di bumi Tembalang. Meskipun disetiap sudut gang
lampu-lampu terlihat memancarkan cahaya, tetapi cahaya rembulan
malam itu tetaplah yang paling mempesona. Kulihat pepohonan masih
terdiam membisu. Dalam gelap yang mulai menyergap, dedaunan itu
memantulkan kerlap-kerlip cahaya sang rembulan. Cahayanya melahirkan
bayangan raksasa memanjang. Bayangan hitam batang pohon dan gumpalan
dedaunan terlihat terlukis di permukaan tanah walau hanya terlihat
samar.
Shalat Isya pun telah
ditunaikan. Masjid Al-Hidayah semakin menjauh. Dan para Jamaah
kembali ketempatnya masing-masing. Kedua kaki ini masih terus
melangkah menuju pulang. Gang Barata bentuknya memang memanjang dan
sedikit menurun. Pandangan ini masih tertuju kepada sang rembulan.
Sesekali ia tenggelam terhijab awan. Namun sesekali pula muncul
kembali. Hingga pandangan ini tak lagi bisa memandang. Tembok besar
telah menjadi penghalang lukisan alam yang mempesona itu. Ingin
rasanya melihat lebih dekat sang rembulan. Menghabiskan malam sambil
memperhatikan gerak awan beriring, yang membelah rembulan menjadi dua
bagian.
Tidak hanya jiwaku saja yang
terpaut dengan kecantikan lukisan langit malam itu. Ketika sampai
dikontrakan, hapeku seketika berdering. Sebuah pesan singkat dari
seorang sahabat kuterima. Ya, ajakan untuk menghabiskan malam mendaki
Ungaran. Akupun tersenyum. Belum yakin apakah ajakan itu serius atau
hanya ajakan kosong belaka. Berulang kali ia meyakinkan agar
menikmati malam itu ini sambil memandang rembulan dari puncak
Ungaran. Ia juga menginformasikan bahwa sudah ada sahabat lain yang
bersedia mendaki Ungaran malam itu. Aku semakin tertantang. Dan
akupun senang. Ternyata cahaya rembulan malam itu telah membuat
sahabatku-sahabatku “Jatuh Cinta”. Dengan seketika kami
bersepakat bahwa pukul 21.00 kita harus berangkat. Memanfaatkan waktu
yang ada kami berusaha mempersiapkan segalanya dan saling membagi
tugas. Ada yang membawa tenda, mencari kompor, termos, dan membeli
makanan. Sayang seribu sayang kami tidak mendapatkan kompor. Tetapi
walaupun perlengkapan kami tidak seluruhnya lengkap, namun ketiadaan
itu tidak menyurutkan langkah kami untuk membataklan perjalanan. Dan
kamipun masih menatap rembulan. Ia masih begitu anggun memantulkan
cahaya. Kamipun semakin terpesona sambil mengucapkan puja dan puji
kepada Sang Pencipta.
Kami menyadari bahwa ketika
dipuncak nanti udara pasti amat menusuk tulang. Dan apalagi termos
belum terisi air panas. Kami segera mencari di salah satu warteg di
Tembalang. Alhamdulillah air panaspun kami dapatkan. Perjalananpun
semakin meyakinkan.
Dengan antusias kami seperti
mengejar sang rembulan. Kami berjumlah 2 motor. Dalam perjalan itu
jumlah kami hanya bertiga Dan aku berboncengan. Kami jalan sambil
beriringan. Terkadang ketika ditengah perjalanan kami bercengkrama,
mengobrol tentang segala hal. Dan rembulan masih terlihat jelas
memancarkan pesona. Kami semakin bersemangat menuju puncak Ungaran
tatkala melirik rembulan. Perjalanan tersebut terasa begitu ringan
dan menyenangkan sekaligus aneh. Bagaimana mungkin secara mendadak,
hanya karena melihat rembulan diatas genting kontrakan, kami begitu
cepat merencanakan sebuah perjalanan. Perjalanan itu bagaikan
mengambil sebuah momentum. Rembulan bisa jadi pasti akan telihat
indah dan penuh manakala dinikmati dari ketinggian. Dan dengan
serta-merta kamipun dipersatukan dalam perjalanan yang sama. Rembulan
telah berhasil ‘meluluhkan’ hati kita bertiga.
Kurang dari satu jam,
tepatnya pukul 22.30 kamipun telah berada dikaki gunung Ungaran.
Sempat tersasar dan salah masuk gang. Dan itu bisa diatasi dengan
segera. Feeling
perjalanan
salah seorang sahabat cukup tinggi, sehingga kamipun memutar jalan
dan kembali melanjutkan perjalanan pada sebuah jalan yang kami yakini
benar.
Jalan-pun mulai menanjak.
Terasa kendaraan kami meraung-raung keras. Memang kondisi jalan tidak
selamanya mulus. Permukaan jalan yang bergelombang sesekali seperti
ingin melemparkan kami keatas. Terdengar keras bunyi deritan soft
blecker
memecah kesunyian. Udarapun mulai terasa dingin. Ditengah-tengah
perjalanan kami sesekali menemukan pasangan muda-mudi yang mungkin
juga sedang menikmati cahaya rembulan. Sepertinya mereka juga sedang
memanfaatkan momentum. Padahal malam itu telah larut, tetapi mengapa
muda-mudi itu masih melakukan ‘aktifitas’? sebuah pertanyaan yang
tidak perlu mendapatkan jawaban, karena kamipun sudah tahu
jawabannya? Entahlah, semoga saja mereka adalah pasangan-pasangan
yang telah sah tercatat dalam catatan pernikahan di KUA. Begitu kami
berusaha berkhusnuzhan.
Hampir saja kendaraan kami
berbalik arah. Terutama aku dan sahabatku yang berboncengan. Akupun
sesekali turun sambil mendorong motornya. Walaupun motor hanyalah
seonggok mesin yang hidup, tetapi kamipun masih memiliki belas
kasihan. Akupun mendorongnya hingga memastikan apakah medan masih
memungkinkan agar tetap berboncengan.
Dan akhirnya kami sampai di
sebuah Bascamp.
Suasananya masih begitu sunyi. Hanya terdapat 2 orang penjaga.
Setelah menyapa dan meminta izin pendakian kamipun sejenak melampar
pandangan ke-arah perkotaan. Subhanalloh dari ketinggian kami melihat
warna-warni kerlap-kerlip lampu yang begitu menawan. Ditambah siluet
pegunungan yang begitu kokoh. Kamipun menerka-nerka dengan segala
keterbatasan pandangan.
Setelah puas memandang, kami
ingin melanjutkan perjalanan menuju puncak. Waktu telah menunjukan
pukul 23.15. Kami menemukan sedikit kendala pada saat ingin
menitipkan kendaraan. Ternyata petugasnya tidak standby
selama 24 jam. Lalu bagaimana kita akan menitipkan kendaraan?. Lalu
kami segera menemui salah satu petugas TNI yang masih berada di
sebuah Café. Terlihat ada beberapa orang sedang bercengkrama.
Alhamdulillah kamipun mendapatkan petunjuk. Dengan segera kami
melangkahkan kaki menuju rumah salah seorang penduduk. Akhirnya kita
menitipkan kendaraan disana.
Ekspedisipun
dimulai…
Dibawah sinar rembulan yang
terang benderang, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
menuju puncak. Setapak demi setapak kami susuri jalan. Terlihat jalan
begitu lembab dan licin. Tanah, rumput dan bebatuan terlihat basah.
Sepertinya tadi sore hujan telah mengguyur tempat ini. Suara
jangkrik sepanjang perjalanan secara bergantian menemani perjalanan.
Dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian kami meneruskan
perjalanan. Sesekali kami terpeleset. Tetapi tidak sampai membuat
kami terjatuh. Medanpun semakin terjal dan menanjak. Sesekali kami
menghentikan langkah beristirahat sambil memandangi ribuan kerlap
kerlip lampu. Dan lagi-lagi kami selalu berdecak kagum dengan
pemadangan tersebut. Terlihat rentetan jalan-jalan saling berhubungan
dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Membentuk lika-liku
yang begitu indah. Itu semua kami nikmati dari ketinggian. Sesekali
kami bertanya. Mengapa bisa lampu itu menyemburatkan kerlap-kerlip?
Ada yang menjawab karena itu terpengaruh oleh awan, ada yang menjawab
hal itu disebabkan karena faktor oksigen, dan adapula yang menjawab
karena factor ilusi indra. Entahlah jawaban mana yang benar.
Sepanjang perjalanan kami melihat kulit-kulit kayu terhampar
dipermukaan tanah. Glondongan-glondongan kayu terdapat dikanan kiri.
Pepohonanpun banyak yang ditebang. Saya tidak mengerti apakah ini
sudah sesuai prosedur, apakah hanya penebangan liar.
Jalanpun kian menanjak.
Nafas kamipun semakin tersengal. Sendi-sendi otot kaki semakin linu.
Gravitasi bumi seakan-akan menarik-narik tubuh kami. Dengan segenap
tenaga, kami taklukan gravitasi itu. Sesekali kami berhenti. Mengatur
nafas sambil mengumpulka tenaga. Jika sekiranya tenaga kami telah
kembali pulih kami langsung melanjutkan perjalanan.begitu seterusnya.
Setapak demi setapak kami menerobos semak-semak dan kegelapan malam.
Semak-semak begitu basah. Sehingga membasahi celana dan baju kami.
Tubuh inipun semakin kedinginan.
Hingga kami sampai
diperkebunan kopi. Udara malam semakin menusuk tulang. Tak berapa
lama kami pun telah berada diperkebunan teh. Subhanalloh
dari perkebunan teh pemandangan semakin menakjubkan. Kami berhenti
sejenak. Menikmati pemandangan tersebut sambil mengeluarkan sebagian
perbekalan kami. Mata ini sebenarnnya sudah dihinggapi rasa kantuk.
Waktu menunjukan pukul 00.30. Perut ini juga uedah meraung-raung
kelaparan. Akhirnya kita memutuskan untuk makan-makan bersama.
Kamipun secara lahap menikmati makanan.
Kemudian muncul ide, apakah
kita mendirikan tenda disisni ataukah melanjutkan perjalanan menuju
puncak?. Salah seorang sahabat memberi usul agar lebih baik kita
tetap melanjutkan perjalanan dan mendirikan tenda dipuncak saja. Agar
nanti pagi tidak kehilangan momentum sunrise.
Kamipun
sepakat dan tetap melanjutkan perjalanan.
Medan semakin terjal dan
ekstrem. Kamipun menerobos kegelapan hutan. Benar-benar lembab
sekali. Kerap kali kami menemukan binatang lintah menempel
dipepohonan. Aku benar-benar merinding. Sesekali tanpa sengaja pada
saat memegang batang pohon aku memagang lintah. Sontak saja aku
terkejut dan langsung menghalaunya jauh-jauh. Yang ku takutkan adalah
kalau sampai lintah-lintah itu masuk kedalam celana dan menghisap
dari dalam celana dan baju bagaimana iiihhh?
Perlahan tapi pasti kami
menaklukan angkuhnya tebing. Sekitar 2 jam kami menghabiskan waktu
menyusuri tebing yang begitu curam dan licin. Untungnya kami
memperoleh kemudahan. Disetiap sudut jalan, kami selalu menemukan
penunjuk jalan yang dibuat oleh kelompok pecinta alam. Memang
menggelikan sepertinya para pecinta alam itu saling berebut
eksistensi karena bayangkan saja, dalam satu pohon bisa terdapat satu
sampai 2 penujuk jalan.
Bagi yang sudah melakukan
pendakian sebelumnya mungkin perjalanan ini biasa-biasa saja. Tapi
bagi aku yang baru pertama kali mendaki Ungaran, tentu menjadi sebuah
kendala. Aku merasa puncaknya tidak sampai-sampai alias jauh sekali.
Sering aku bertanya apakah ini puncaknya ataukah itu puncaknya?.
Tenda
bergoyang….
Subhanalloh
akhirnya sekitar pukul 03.00 dini hari kami menginjakan kaki di
puncak Ungaran. Hatiku merasa lega dan puas. Akupun berteriak
melantunkan puja-puji. Hal itupun juga dilakukan oleh para
sahabat-sahabat yang lain. Seakan-akan kami berada ditempat yang
paling tinggi. Udara malam itu begitu menusuk tulang. Awan dan kabut
terlihat begitu indah. Ternyata yang membuat indah adalah karena
terangnya kerlap-kerlip lampu kota sehingga lukisan awan bisa
terlihat dikegelapan. Rembulan terlihat redup. Mungkinkah pandangan
kami telah tertutup kabut?
Dengan segera mendirikan
tenda. Tubuh kami benar-benar kelelahan dan mengigil. Ingin rasanya
merebahkan tubuh dan berkemul dengan selimut. Sayang seribu satu
sayang hanya ada seorang yang bawa selimut. Kamipun menggunakan
selimut itu bertiga. Terdengar gemeretak gigi-gigi beradu salah
seorang sahabat yang sedang kedinginan. Kamipun berebut selimut
didalam tenda. Selimut yang terbatas membuat kami tarik-menarik
didalam tenda. Tendapun bergoyang-goyang karena ulah kami.
Benar-benar membuat kami tidak bisa tidur nyenyak. Karpet terasa
sangat dingin. Entahlah hingga kami sepertinya kami tidak bisa
membedakan apakah tubuh ini telah masuk angin atau tidak. Yang jelas
benar-benar dingin.
Menyambut
mentari…
Tak terasa pagipun telah
menyambut. Tidak terdengar suara azan tetapi ada salah seorang
sahabat terbagun. Sungguh tidur yang sangat tidak menyenyakkan.
Sepertinya kita tidak tidur saja. Hanya merebahkan badan tetapi
tiba-tiba waktupun telah bergulir menuju pagi.
Dengan segenap kekuatan
kamipun bangun. Cssss… udara benar-benar menusuk tulang. Mungkin
karena udara yang begitu dingin hingga kami lupa menggunakan kompas
untuk mencari arah kiblat. Dengan semena-mena kami shalat subuh tanpa
memperdulikan arah kiblat. Mentari memang belum muncul. Sebercak
terang yang ada di ufuk itu kami jadikan patokan arah kiblat. Aneh
memang ternyata ufuk itu adalah arah Timur. Dan kita shalat subuh
berjamaah berkiblat kearah timur.
Satu jam berselang
mentaripun muncul. Detik demi detik kamipun memperhatikan
perubahan-perubahan pada awan yang terlukis indah dan gunung-gunung
yang berderet. Ada yang menyebutnya gunung yang kokoh itu adalah
gunung Merbabu, Sindoro dan lain-lain. Entahlah yang mana yang benar.
Subhanalloh
pemandangan
sunrise
sungguh
menakjubkan. Rona langit begitu romantis. Langit laksana kanvas yang
dilukis dengan warna merah, jingga, kebiru-biruan. Kabut-kabut pun
beriringan. Ia muncul dibalik bukit lalu hilang entah kemana. Tubuh
kami terkadang terhampas kabut putih itu. Rasanya dingin dan lembab.
Walaupun tidak sedingin malam. Ya. puncak Gunung Ungaran sungguh
Indah. to be continued.. (catatan perjalanan pendakian tanggal 7-8
Mei 2012)
Semarang
Zaid
bin Tsabit, 9 Mei 2012
Anton
Special
persent for
Udhi
Catur Nugroho,
Ahmad
Eko Prasetyo
Anton