Apakah
anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini? pertanyaan itu
dilontarkan oleh Bambang Nugroho, seorang coach/trainer
nasional dalam acara konsolidasi Forum Zakat(FOZ) se-Jawa Tengah di ruang Aula
MAJT (Masjid Agung Jawa tengah) pada tanggal 27 Juli 2012 lalu. Pesertapun
terhenyak dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Beliau kemudian kembali
mengulangi pertanyaan-nya untuk kedua kalinya “Apakah anda ikhlas menerima
kenyataan yang anda rasakan saat ini?”.
Sabtu, Juli 28, 2012
Rabu, Juli 25, 2012
Ramadhan dan kemenangan Indonesia
Sejatinya bulan Ramadhan dimanfaatkan sebagai
bulan introspeksi diri baik secara individu, keluaraga, masyarakat bahkan dalam
lingkup kenegaraan. Apa saja yang telah dilakukan selama ini. Apakah hari ini
sama dengan hari kemarin, lebih baik, ataukah malah lebih buruk?. Setiap
lingkup perlu yang namanya introspeksi. Akan bagaimana jadinya jika dalam
setiap fase hidup yang telah dilalui berlalu begitu saja tanpa ada unsur
introspeksi diri. Setelah sekali terperosok dalam got, ternyata tidak mengambil
pelajaran hingga membuatnya terperosok kembali pada got yang sama. Ada pepatah
klasik yang mengatakan “hanya keledai yang jatuh kedua kalinya”. Tentu setiap
orang tidak ingin disama-kan seperti keledai. Oleh karena itu dalam pepatah itu
memberikan nasehat yang berharga kepada kita yang intinya “jangan mengulangi kesalahan
yang sama”.
Indonesia perlu
perbaikan! Jelas, banyak sekali yang harus diperbaiki bersama-sama. Indonesia
yang diproklamirkan 65 tahun yang lalu tepat pada suasana bulan Ramadhan masih
perlu banyak perbaikan. Mungkin pada pendiri bangsa yang gurur itu menangis
melihat negeri yang dibela dengan pengorbanan jiwa raga itu terlunta-lunta
seperti saat ini. Mungkin mereka akan kecewa mendalam melihat para pemimpin
negeri banyak yang tidak amanah. Hasil survei menunjukan bahwa Indonesia
menempati rangking pertama se-Asean sebagai negara terkorup. Kemudian survei
terbaru tahun 2011 menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 dengan posisi peringkat pada
nomer 124 dari 187 negara di dunia. "IPM Indonesia tahun lalu berada pada
level 0,613, tapi tahun ini meningkat tipis pada level 0,617," kata Staf
Ahli Menkokesra Bidang Kreativitas dan Inovasi Teknologi, Dr H TB Rahmad Sentika.
(Republika 27 November 2011). Indonesia berada dibawah posisi Singapura dan
Malaysia yang merdeka-nya belakangan.
Kemudian Indonesia dibanggakan sebagai negara yang kaya.
Kekayaan alamnya begitu melimpah baik didaratan maupun dilautan. Namun nyatanya
masyarakatnya sebagian besar dalam kondisi miskin. Menurut pengamatan Asian Development Bank (ADB) menyebutkan, jumlah
kaum papa di Indonesia melompat tajam dari 40,4 juta di 2008 menjadi 43,1 juta
orang pada 2010, atau selama tiga tahun jumlah orang miskin di
Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Mereka yang dikatakan miskin, menurut ADB,
yang berpenghasilan di bawah Rp 7.800 per hari. Angka itu berselisih 10 persen
dari standar kemiskinan pemerintah: Rp 7.600 per hari. (Metronews.com). Belum
lagi kasus korupsi para pejabat-pejabat daerah dan pusat yang semakin menggila.
Bahkan yang lebih heboh lagi, pengadaan Al-quran-pun di korupsi oleh oknum di Kementrian
Agama. Lalu akan dibawa kemana negeri yang katanya kaya raya ini? Tepat kiranya
ungkapan Jaya Suprana bahwa kekayaan negeri ini telah menjadi kutukan yang
sangat mengerikan.
Masalah-masalah yang
saya paparkan diatas hanyalah beberapa saja karena masih banyak permasalahan
lain yang perlu diselesaikan. Itulah tantangan bagi manusia saat ini dan dimasa
yang akan datang. Tentu kita tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan itu
semua dalam waktu singkat. Kepemimpinan merupakan kunci agar
permasalahan-permasalahan itu bisa terselesaikan. Oleh sebab itu yang
dibutuhkan Indonesia saat ini adalah sosok-sosok pemimpin yang memiliki sifat
seperti Rosulullah yakni siddiq, (benar), amanah (Jujur), dan fathonah
(cerdas) dan tablig (menyampaikan/komunikasi).
Setidaknya para pemimpin masa depan negeri ini berkiblat terhadap sifat-sifat
kerosulan tersebut bukan berkiblat terhadap sifat-sifat Fir’aun yang menindas.
Indonesia adalah negera besar, sehingga butuh pemimpin yang memiliki karakter
seperti Rosulullah. Tidak mungkin negeri ini diwariskan oleh orang-orang yang
kerdil.
Oleh sebab itu kita bangsa
Indonesia sebagai pewaris sah negeri ini harus menentukan sikap. Tahun 2014
mendatang kita akan menghadapi pesta demokrasi dimana tampuk kepemimpinan
nasional akan “diperebutkan”. Berarti kita masih menunggu dua Ramadhan lagi untuk
menentukan pemimpin-pemimpin yang akan membawa Indonesia menuju kemenangan. Jangan
sampai kita terperosok dalam lubang yang sama, karena “Hanya keledai-lah yang
jatuh dalam lubang yang sama”. Dan kita adalah manusia bukan keledai.
Semarang, 25 Juli 2012
Anton
KAKOM FIB 2011-2012
Selasa, Juli 24, 2012
Sabtu, Juli 21, 2012
dia yang paling tidak kenal kompromi
Ada pepatah Arab yang berbunyi: waktu itu
seperti pedang, apabila kau tidak memotongnya, maka ia yang akan memotongmu
Pepatah ini mungkin
sering kita dengar dari guru-guru kita. Sebuah pepatah yang bermuatan nasehat
agar kita senantiasa menghargai waktu. Biasanya sesuatu yang awalnya luarbiasa
tetapi jika diungkapkan berulang-ulang akhirnya akan terasa menjadi biasa.
Dalam pepatah tersebut
pedang menjadi analogi dari waktu. Dan umumnya guru-guru kita menjelaskan waktu
dengan ketajaman pedang. Jika kita lalai dalam menggunakan waktu maka mau
tidak mau harus siap tertebas oleh waktu yang tajamnya ibarat pedang, dan
dampaknya seseorang akan menyesal.
Tetapi mengapa harus pedang yang menjadi
analogi? Nah inilah yang kerap kali luput dari pertanyaan. Sekali lagi, mengapa
harus pedang yang dijadikan analogi? Bukan golok, pisau, silet, sinyal, cahaya,
atau listrik?. Oleh sebab itu menurut saya pepatah ini juga harus ditelusuri
asal-asal usulnya agar kita bisa memahami isi nasehat itu secara baik. Jangan
sampai pepatah yang selama ini kita pahami dan diwariskan telah terjadi reduksi
makna.
Sekilas menurut
pemahaman saya, nasehat itu mengajak kepada kita supaya terus berlomba dengan
waktu. Jangan sampai kita didahului waktu. Tetapi mampu-kah kita mendahului
waktu?. Ataukah nasehat itu bermakna agar kita mengisi waktu kita agar lebih
bermanfaat terkait dengan usia manusia yang sementara?
Kemudian jika kita
menengok nasehat-nasehat dari “barat” terkait waktu, maka akan lebih berbeda
lagi. Mereka mengatakan Times is money, waktu adalah uang. Dengan
kata lain mereka mengatakan waktu itu ya uang. Penghargaan mereka terhadap
waktu sejajar penghargaan mereka terhadap uang (materi). Nah itu yang saya
maksud bahwa konsep awal pepatah dari tempat satu ke tempat yang lainnya ternyata
tidak sama. Bahkan jika dibandingkan dengan pepatah Arab diatas, malah makna
waktu menurut “barat” diperkhusus/dipesempit kepada uang. Dan tentu saya tidak
akan membahas lebih dalam konsep waktu menurut “barat” karena memang cacat
secara makna.
Dalam catatan
singkat ini saya lebih tertarik membahas konsep waktu yang berasal dari pepatah
Arab itu. Bukan berarti saya juga menerima namun karena saya masih ingin
mencari makna yang shahih.
Seperti diawal saya
mengartikan bahwa pepatah itu terdapat nasehat berlomba dengan waktu dan
waspada terhadap waktu. Untuk yang pertama yakni berlomba dengan waktu apakah
bisa kita berlomba dengan waktu? Sedangkan kecepatan berfikir kita terhadap
waktu itu sendiri sadar tidak sadar telah terikat oleh dimensi waktu. Waktu
tidak sedetikpun berhenti memberikan kesempatan kepada kita memikirkannya dalam
kondisi diamnya (waktu). Ia terus melaju cepat tanpa kompromi dengan kita.
Terus menerus kita ditinggalkannya. Sehingga menurut saya tidak mungkin kita
berlomba mendahului kecepatan waktu. Jadi saya sementara menyimpulkan tidak
tepat jika memaknai kita dengan waktu sebagai ajang adu kecepatan. Belomba
dengan sang waktu adalah suatu hal yang mustahil. Mengejar-ngejar kecepatan
waktu itu bisa berefek berbahaya bahkan berpotensi menjadikan kita budak waktu.
Kemudian, saya justru
lebih menerima jika yang dimaksud dari pepaah Arab tersebut menganjurkan agar
kita senantiasa waspada terhadap waktu. Setelah tidak mungkin kita
berlomba-lomba dengan kecepatan waktu maka yang hanya bisa kita lakukan adalah
mengisi waktu itu dengan sebaik-baiknya. Waktu menjadi begitu berharga dimata
kita (bagi yang sadar) karena mau tidak mau, suka tidak suka, memang kita dalam
ikatan waktu. Contoh saya menganalogikan waktu seperti BBM. Mengapa BBM saat
ini menjadi mahal? Karena memang jumlahnya terbatas tidak seperti air dan udara
yang melimpah ruah. Sama halnya seperti waktu, waktu menjadi berharga karena
kita-lah yang terikat oleh waktu. Alias tidak kekal dan hidup selama-lamanya.
Nah disnilah saya baru menyadari pentingnya mengisi waktu itu dengan sebuah
perencanaan. Sering kita menyepelekan perencanaan misal agenda harian,
mingguan, tahunan. Bukan menyepelekan mungkin sering lupa. Padahal saat lupa
sendiri kita dalam posisi terikat dengan waktu.... (waduuuuuh mari cemunguuuud
yaaah :P)
Semarang, 21 Juli 2012
Wisma Abdurrahman bin Auf
Selasa, Juli 17, 2012
Catatan dari UNNES
Pada tanggal 16 Juli 2012 saya
memiliki kesempatan menghadiri Seminar Nasional Pendidikan bertemakan “Budaya
Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan kampus UNNES tepatnya
di Gedung FIK ruang Audotorium Olahraga. Kuliah umum tersebut menghadirkan
Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd Selaku Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, dan
pembicara tamu Emha Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun. Ratusan peserta
yang terdiri atas dosen, mahasiswa, umum, dan tamu undangan-pun telah memadati
ruangan auditorium itu.
Acara dimulai
Pukul 10.00 tepat. Materi pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd
tentang “Menyoal Desain Pendidikan
karakter” sedangkan materi kedua disampaikan oleh Emha Ainun Najib. Emha memang
tidak membuat makalah khusus namun beliau memaparkan dasar-dasar pengertian
budaya.
Selama kurang
lebih 45 menit pemateri pertama memaparkan banyak teori-teori dari para pakar
mengenai definisi karakter serta dampak-dampak telah terjadi atas teori
tersebut terhadap suatu negara. Dalam makalahnya beliau mengingatkan bahwa
sebagai bangsa Indonesia, kita sangat bersyukur bahwa The Founding Fathers negeri ini telah mawariskan seperangkat
tatanan nilai yang sangat filosofis bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang formulasinya adalah pancasila. Sebagai dasar dan falsafah bangsa,
Pancasila memberikan jalan hidup dengan mengayomi segala perbedan; suku,
budaya, agama. Bahkan melalui bingkai Pancasila, perbedaan-perbedan yang tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewujud dalam sebuah mozaik Indah, yang bernama
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dramma
Mangrwa (keperbedaan yang menyatu dalam satu kesatuan harmoni adalah
kebenaran yang tiada duanya). Pancasila telah mewadahi seluruh tata nilai yang
bersifat universal. Oleh karena itu karakter yang hendaknya dimiliki oleh warga
negara Indonesia adalah karakter Pancasila, yang bersendikan ketuhanan,
kemanusiaan, kebagsaan, demokrasi, dan kesejahtraan sosial.
Kemudian beliau
juga berpendapat bahwa dampak globalisasi menawarkan dengan efektif ideologi
pragmatisme, materialisme, feodalisme, kapitalisme, individualisme,
konsumerisme, dan sejenisnya, melalui berbagai instrumen modernisasi. Tanpa terasa
pun masyarakat kita sangat masif akan ideologi-ideologi tersebut, sehingga semakin
menjauh dari kepribadian Pancasila. Perilaku masyarakat mengalami
degradasi kualitas hidup yang sungguh
luar biasa. Perilaku-perilaku santun, toleran, solider, kepedulian sosial,
gotong royong, kerja keras, tanggung jawab, dan semacamnya sebagai atribut good citizenship, tergantikan oleh
budaya barbarian; berupa kecurigaan, egoisme, anarkisme, korupsi, dan semacamnya.
Lebih lanjut
beliau mengatakan bahwa hal-hal semacam ini ditangkap oleh pandangan orang-orang
asing mengenai kita, mengenai Indonesia. Mereka cendrung berpandangan apriori
terhadap Indonesia, sebagai negara yang miskin, bodoh, kumuh, terbelakang,
tidak aman dan sebagainya. Berbagai atribut negatif ditimpakan pada msyarakat
Indonesia. (lebih lengkap lihat makalah, halaman 5-6)
Meskipun keadaannya
demikian, beliau menghimbau kepada peserta yang hadir bahwa kita masih punya
modal bersa untuk melanjutkan pendidikan karakter. Modal tersebut adalah optimisme
dan kebnggaan sebagai bangsa Indonesia. Jikapun generasi sekarang ini belum
sempat untuk menata diri memainkan peran luhur dalam menjalankan amanah akibat
konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu mengedepankan
kepentingan diri dan kelompoknya dengan menghiananti amanah bangsa, kita masih
optimis bahwa generasi sesudahnya adalah kaum muda, para pelajar dan masyarakat
yang saat ini sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untu tumbuh
dan tumbuh mejadi sosok yang paripurna. Beliau juga menunjukan hasil survei
yang telah dilakukannya disekitar kehidupan masyarakat, ditunjukan bahwa adanya
energi yang dahsyat pada diri mereka (masyarakat-Pen). Energi itu bernama collective consciousness.
Collective consciousness
adalah kesadaran bersama dikalangan masyarakat yang digerakan oleh rasa simpati
bahwa mereka harus bersatu-padu. Energi besar ini yang akan menyebabkan betapa
gaagsan dan opini yang semula hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat
dalam waktu yang cepat menajdi gagasan dan opini bersama seluruh masyarakat. (lebih
lengkapnya Lihat Makalah halaman 7)
Dalam menerapkan
pendidikan karakter, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, terlebih lagi
Indonesia sebagai negara besar, masyarakatnya plural dari Sabang hingga Merauke
yang sudah tentu kebutuhannya bermacam-macam. Ditambah kondisi politik yang
didalam negeri yang penuh dengan intrik, sehingga menciptakan kondisi yang kurang
kondusif bagi pendidikan karakter.
Solusi
Dengan melihat
kondisi demikian, menurut Guru Besar Etika Kewarganegaraan ini seharusnya
desain pendidikan karakter memuat prinsip-prinsip antara lain; Pertama,
nilai-nilai Pancasila menjadi dasar bagi proses-proses pendidikan karakter di
Indonesia (character education based on the values of Pancasila). Kedua, spirit
pendidikan karakter yang berbasiskan Pancasila haruslah merupakan collective consciousness. Ketiga,
sejalan dengan derasnya arus informasiberagai media, proses pendidikan karakter
haruslah merupakan gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Intitusi pendidikan
memang memegang peran strategis untuk melaksanakannya. Akan tetapi di
masyarakat, keteladanan harus selalu ditunjukkan oleh para tokoh yang menjadi
panutan masyarakat. Media-pun harus selalu diberdayakan sedemikian rupa agar
selalu memiliki muatan-muatan pendidikan bagi masyarakat, dan tidak semata
terkooptasi oleh kapitalisme yang menjadi mesin keuntungan bagi produsen.
Setelah pemateri
pertama selesai memaparkan makalahya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya
jawab. Penanya dalam sesi pertama terdiri dari dosen dan mahasiswa. Suasana
terbuka dan demokratis sungguh terbagun dalam seminar ini. Seorang dosen yang
menjadi peserta secara terbuka mengkritik budaya-budaya korup yang nampak
lingkungan-lingkungan kampus, begitu-pun para mahasiswa juga aktif bertanya dan
mengkritik sikap dosen dalam mengajar. Suasana saling koreksi itu berjalan
dengan baik.
Celoteh Cak Nun
Setelah tanya
jawab selesai, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Emha Ainun
Najib pada sesi kedua. Pada sesi kedua ini beliau memang tidak memberikan
makalahnya, namun beliau mengajak kepada seluruh peserta untuk mengawali
memahami persoalan dengan cara-cara sederhana terlebih dahulu, memahami istilah
demi istilah yang telah populer dalam masyarakat. Hal ini menurut beliau
penting agar tidak terbawa arus yang belum kita mengerti. Bahkan sambil
berseloroh beliau mengkritik dan mempertanyakan apakah bisa kebudayaan
dijadikan fondasi?. Ibarat membuat rumah fondasi adalah sesuatu yang harus ajeg tidak berubah dan mengalami
pergeseran, sedangkan budaya adalah sesuatu yang berubah (dinamis) lalu
bagaimana bisa pendidikan karakter bersandar kepada budaya?
Kemudian beliau
juga menyampaikan bahwa dalam masyarakat kita masih memisah-misahkan antara
intelektualitas (benar-salah), moralitas (baik-buruk), dan estetika
(indah-tidak indah). Intelektualitas itu
hanya berada didunia akademisi (kampus, sekolah dsb), moralitas itu hanya diurus
oleh lembaga keagamaan, dan estetika diurusi oleh seniman. Menurut beliau
pemisahan-pemisahan seperti itu keliru. Sambil berdialog dengan perserta
seminar, beliau meminta tanggapan kepada para peserta bahwa jika ada seseorang dosen
yang akan dikukuhkan sebagai doktor namun ternyata sehari sebelumnya ia
melakukan hubunga gelap (selingkuh) untuk konteks saat ini apakah dosen itu bisa
dikatakan bersalah? Apakah cocok dosen tersebut dikukuhkan sebagai doktor?. Ada
yang menjawab batal dan ada juga yang menjawab tidak, namun kebanyakan menjawab
bahwa gelar tersebut batal disematkan kepada dosen tersebut.
Nah menurut
beliau seharusnya dalam desain akademis ketiga konsep itu terintegrasi dan
saling terkait satu dengan yang lainnya. Namun kenyataan-nya desain akademis
yang umum saat ini justru menghilangkan tentang Tuhan dan moral.
Lebih lanjut
beliau mengatakan perihal kebudayaan, menurutnya budaya adalah kata kerja bukan
kata benda sehingga jangan jadikan budaya sebagai fondasi. Yang penting adalah
filosofi budaya-nya. Karena dalam setiap masyarakat memiliki ekspresi yang
berbeda-beda dan selalu berubah.
Kemudian terkait
dengan arus media beliau juga menyinggung mengenai acara-acara keagamaan
ditelevisi bahwa secara umum acara-acara tersebut tersebut kental dengan muatan
kapitalisme sehingga sangat rapuh. Pesan-pesan moral dimanfaatkan para
kapitalis untuk kepentingan pragmatis belaka.
Dampak-dampak
dari pemisahan antara inteletualitas, moralitas dan estetika, menurutnya menjalar
ke berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia yang merusak masyarakat. Beliau mengilustrasikan
misalkan; ada seseorang pengendara sepeda motor yang melihat sebuah kecelakaan
didepan mata-nya. Tetapi si pengendara motor itu belalu saja tidak
menghiraukan. Apakah bisa dikatakan si pengendara itu salah? Tentu tidak secara
hukum karena memang dia tidak merugikan siap-siapa tetapi cacat secara moral.
Beliau pun
berharap kepada para penggagas acara seminar semoga acara yang dilaksanakan
pada hari ini (16/07/2012) benar-benar timbul dari rasa kepedulian yang
sungguh-sungguh bukan hanya terbawa tren. Karena bisa dipastikan usaha yang
hanya berlandaskan tren tidak akan membawa apa-apa alas hanya seremonial
belaka. Dalam hal ini beliau juga memberi masukan agar kampus lebih terbuka
lagi serta harus sering-sering belajar kepada sistem-sistem pendidikan unggul yang
ada dalam hal penanaman karakter.
Pada saat-saat
terakhir sesi kedua ini beliau berpendapat bahwa Indonesia dari bentuk
bentangan fisik wilayahnya saja seperti perahu dan didalam perahu itu terdiri
dari berbagai beragam manusia. Menurutnya pola-nya mirip seperti perahu-nya Nabi
Nuh sehingga dimasa yang akan datang akan memberikan keselamatan terhadap isi
yang beragam didalamn-nya. Dalam filosofi hurup Arab meurutnya Indonesia itu
mirip huruf “baa” dimana dengan bentuk atau model seperti itu Indonesia cocok
sebagai pemangku dunia, karakter bangsa Indoensia itu bukan penjajah tapi
pengasuh. Jika melihat raja-raja di Jawa mereka senang menngunakan gelar “Mangku”.
Kemudian beliau
juga berpendapat bahwa sejatinya institusi pendidikan tida hanya membekali dari
aspek taklim (pengetahuan) saja, namun juga dari aspek tarbiah-nya
(pendidikan). Berilah kepahaman kepada peserta didik tentang nikmatnya berbuat
baik secara langsung. Hal ini penting untuk membentuk karakter yang bermoral.
Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk bermoral sedangkan ia tidak diarahkan
dan dikasih tahu nikmatnya hidup dengan berlandaskan moral?.
Semarang, 17 Juli 2012
Anton
Special for Rifka Pratama yang
udah ngajak ikut Seminar. Thanks brooo
Rabu, Juli 11, 2012
Wajah Sekolah dilayar Kaca...
...sungguh
aneh tapi nyata
Takkan
terlupa
Kisah-kasih
disekolah
Dengan
si dia
Tiada
masa paling indah
Kisah-kasih
disekolah...
Cuplikan lirik diatas saya kutip dari
lagu yang dibawakan oleh almarhum Crisye dan pernah dijadikan iringan dalam
sinetron-sinetron remaja dengan menggunakan latar sekolah. Cinta memang tema
yang tidak pernah habis-habisnya dijadikan “komoditas” oleh para produser
per-sinetronan/perfilm-an. Sampai-sampai sekolah sebagai institusi pendidikan
yang seharusnya penuh dengan muatan edukasipun diincar. Manusia memang
dianugrahkan rasa cinta oleh Tuhan, termasuk rasa cinta terhadap lawan jenis.
Namun yang menjadi aneh adalah ketika muatan yang disampaikan dalam sinetron
atau film itu “lebay” dan tidak proporsional bahkan terkesan “diada-adakan”. Perilaku siswa dan siswi seperti glamor,
licik, manja, hingga tindakan kekerasan karena berebut calon “yang diclaim
pacarnya” justru jauh dari potret yang semenstinya (sekolah). Bahkan yang lebih
miris lagi adalah peran guru pada sebagian sinetron dijadikan ‘pendukung’ dalam
kisah cinta para siswa dalam cerita tersebut. Mengutip pendapat Tester (1994:
40) terkait tayangan-tayangan sinetron remaja tersebut sebagai “komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena berdampak serius pada
kualitas hidup manusia”.
Tentang glamoritas, tak heran, jika
anggota DPR RI, Ali Mochtar Ngabalin, dan beberapa anggota DPR yang lain (dibidang
informasi) merasa prihatin dengan tayangan-tayangan televisi yang bernuansa
glamoritas, pembodohan publik, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Meskipun
lontaran keras para wakil rakyat telah disampaikan terhadap pemerintah. anehnya,
sinetron-sinetron percintaan berlatar sekolah itu tetap saja menghiasi layar
kaca kita, padahal dampaknya telah nampak terlihat. Tidak sulit untuk
membuktikan pengaruh sinetron terhadap siswa dan siswi tersebut. Kita bisa
melihatnya dari lapisan yang paling konkret yakni seragam (Uniform) dimana sebagian siswa-siswi itu meniru gaya berpakaian
para aktris seperti berpakaian super ketat, rok diatas paha, dan penggunaan
dasi yang compang-camping. Kemudian kita juga bisa melihatnya dari aspek sikap
seperti gaya bertutur dan berkomunikasi kepada orang lain. Sebuah
penelitian American Psychological Association (APA)
pada tahun 1995, ‘bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk
berlaku baik, dan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk
belaku buruk’ bahkan penetilian ini menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku
buruk yang dilakukan seseorang adalah pelajaran yang mereka terima sejak kecil.
Sejatinya sekolah merupakan tempat sarat
dengan muatan-muatan edukasi, tempat menanam karakter luhur bangsa, namun
kenyataannya di lanyar kaca tidak demikian, malah aspek edukasinya sangat minim
bahkan tidak dimunculkan. Dan jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan
sangat membahayakan terhadap ketahanan mental bangsa kita. Dengan membiarkan
sinetron-sinetron seperti itu tetap mewarnai televisi kita justru dalam jangka
panjang sama saja menanamkan kedalam benak siswa dan siswi terhadap image sekolah sebagai institusi
pendidikan sebagai ajang “cari jodoh” bukan ajang cari potensi dan jati diri.
Dalam hal ini wajib melakukan
tindakan ‘pengamanan’ terhadap seluruh generasi penerus bangsa dimsa depan
yakni para remaja. Tindakan ‘pengamanan’ tersebut bisa diawali oleh pemerintah,
dalam hal ini KEMENDIKBUD (Kementrian Pendidikan dan kebudayaan) bersama
pihak-pihak terkait seperti LSI (Lembaga Sensor Indonesia), KPI (Komisi
Penyiaran Indonesia) dan para produser film, dan sebagainya untuk membahas
masalah ini dan membuat kesepakatan-kesepakatan yang konkret.
Semoga wajah sekolah sebagai salah
satu institusi pendidikan formal dilayar kaca semakin membaik dan mendidik.
Semarang, 11 Juli 2012
Anton
Anton
Ketua KAMMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komisariat Fakultas Ilmu Budaya UNDIP Periode
2011-2012
*gambar diambil dari google.com
*gambar diambil dari google.com
Senin, Juli 09, 2012
Aku mencintai-mu karena Allah benarkah? (Tanggapan atas Catatan Aan Setyawan S.Hum)
Menurut saya “cinta” adalah suatu
pembahasan yang unik. Bisa dikatakan “cinta” mampu dipahami oleh segala
kalangan. Ia tidak seperti barang atau jasa yang bisa didominasi (dimonopoli)
oleh kalangan-kalangan pandai tertentu. Singkat kata ia adalah milik semua.
Kita mungkin pernah mengalami masa-masa kisah-kasih (cinta “monyet”) waktu
Sekolah Dasar (SD), SLTP (Sekolah lanjutan Tingkat Pertama), dan SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat atas / SMA). Sejujurnya saya sendiri masih bingung mengapa
sampai ada istilah “cinta monyet” apakah monyet juga punya cinta? Lalu apakah
“cinta monyet” hanya sampai masa sekolah saja? Apakah pada masa-masa setelahnya
masih berkemungkinan “cinta monyet” terjadi?.
Terkait catatan Mas Aan tentang cinta
“Aku mencintaimu karena Allah benarkah?” yang dipost pada tanggal 8 Juli 2012
membuat saya tergelitik untuk membahas masalah cinta. Sulit memang melihat
seseorang yang berbuat semata-mata karena cinta kepada Allah atau cinta kepada
selain-Nya karena hanya Allah dan dirinya sendiri-lah yang tahu. Bahkan manusia
itu sendiri tidak mengerti apakah ia berbuat atas landasan cinta karena Allah
ataukah karena yang lainnya. Karena perkara hati ini sulit dipahami. Bukankah
kita pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda yang dicampakkan Allah di
Akhirat, padahal ia telah berkorban dimedan perang dan syahid. Pemuda itu
ternyata tidak bersih berkorban semata-mata karena Allah tetapi ada motif lain
yang mungkin “samar sekali” yakni dan ia sendiri lalai, yakni motif ingin
dikenang oleh manusia.
Cinta karena Allah. Sebuah kalimat yang
sering kita dengar dan bahkan sering diungkapkan oleh kita. Kata-kata indah
inilah yang menjadi energi bagi kita dalam melakukan segala kebaikan. Tetapi
sejatinya kata-kata itu harus kita pahami secara baik dan terus menerus kita
gali kedalaman makna-nya. Cinta kepada Allah tentu berdimensi iman, karena
tanpa iman berarti kata-kata itu hanyalah omong-kosong belaka, atau istilah
zaman sekarangnya it’s just lip service.
Posisi cinta berada dibawah keimanan kepada Allah swt. Begitupun benci
posisinya berada dibawah sebagaimana perasaan cinta. Tentu konteks cinta dalam
catatan ini sesuai dengan catatan Mas Aan.
Secara sederhana saya mengartikan ungkapan “Aku mencintai-mu
karena Allah” berarti rasa cinta kita itu sejati-nya harus sesuai dengan apa
yang Allah kehendaki sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah dan
penjelasan para ulama-ulama yang kredibel. Ketentuan-ketentuan Allah dan
Rosulnya adalah yang tertinggi dari kepentingan pribadi dirinya sendiri. Dan
seseorang bukan karena atas rasa cinta-nya (sebagai fitrah manusia) cendrung
terhadap sesuatu, tetapi hanya karena Allah, “Katakanlah Muhammad “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali’Imraan Ayat 31 ). Ketika kita
mendeklarasikan diri mencintai karena Allah berarti kita juga dituntut untuk
mencintai ketentuan-ketentuan dari Rosul-Nya termasuk perkara cinta. Nah sampai
disini cinta akan terhubung dengan dimensi iman. Sejauh mana kecintaan kita
kepada Allah pasti akan terkait dengan kondisi iman. Sejauh mana kita mencintai
Allah dan Rosulnya. Sejauh mana kita yakin kepada Allah dan Rosulnya. Termasuk
masalah jodoh.
Ada ungkapan yang
mengatakan bahwa “Cinta tak akan pernah salah”, eits tunggu dulu bukankah cinta
itu adalah fitrah manusia (humanism) yang Allah berikan kepada makhlukNya. Dan bukankah
makhluk yang bernama manusia itu tidak luput dari perbuatan salah dan lupa?
Berarti dalam hal ini kita telah berlebihan menganggap cinta yang bersumber
dari fitrah manusia itu adalah sesuatu yang “tidak pernah salah”. Padahal cinta
itu sendiri banyak sekali tingkatannya. Lalu yang dimaksud cinta itu “tidak
pernah salah” adalah cinta pada tingkatan yang mana? Semoga kita menjadi
hamba-hamba Allah yang benar dalam menempatkan rasa cinta ini.Dan sungguh luar
biasa kalimat “Aku mencintaimu karena Allah” adalah kalimat yang bermuatan
tauhid yakni mengesakan Allah saja diatas segala-gala-nya. Intisari atas
seluruh ajaran Islam.
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak merengguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemaha kuasaanMu
inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusianMu,
Andai Kau usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak merengguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemaha kuasaanMu
inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusianMu,
Andai Kau usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
Semarang,
09 Juli 2012
Senin, Juli 02, 2012
Ada apa dengan posisi duduk kita?
Biasanya
dalam sebuah seminar, pelatihan, kuliah, dan semacamnya kebanyakan perserta memilih tempat duduk dibarisan paling belakang dan “menghindari” duduk dibarisan paling
depan. Ya, inipun pernah saya alami ada semacam perasaan tidak betah duduk
paling depan. Kemudian yang membuat saya agak heran adalah ketika salah satu
panitia pelaksana menghimbau supaya peserta menempati kursi yang ada didepan
terlih dahulu. Lalu bagaimana reaksinya? bisa dibilang peserta tidak bergeming
(meskipun ada sebagian yang pindah tapi sedikit). Kemudian panitia pun
mengingatkan berulang-ulang agar kursi depan diisi terlebih dahulu dengan
intonasi yang lebih ‘menekan’ dari himbauan sebelumnya. Kemudian jika ada
beberapa peserta yang memulai untuk pindah maka biasanya akan serentak diikuti
oleh peserta lainnya. Ada apa sih dengan kursi bagian depan?
Hingga
saat ini, fenomena ini sering saya saksikan ketika saya kebetulan hadir dalam
forum-forum tersebut. Entah mengapa fenomena ini selalu terjadi. Apakah
fenomena ini hanya terjadi di Negara kita saja ataukah juga terjadi
dinegara-negara lainnya? Saya menduga fenomena seperti itu disebabkan beberapa
hal; Yang pertama, Menghindari kursi paling depan dan menempati kursi paling
belakang dikarena-kan memang tidak serius mengikuti kegiatan (Seminar, Kuliah,
Training, dsb), yang kedua, disebabkan karena tidak percaya diri alias
menganggap dirinya belum pantas dan tidak nyaman bahkan tidak ingin dicap sebagai
orang pandai. Yang ketiga, ada perasaan takut yang menyelimuti benak peserta secara berlebihan.
Ia tidak ingin dijadikan korban celaan atau tertawaan oleh teman-temannya
seandainya nanti sering diajak dialog/ditanya/dijadikan model sebagai sample oleh pembicara (Dosen, Trainer, pemakalah
dsb) ketika menyampaikan materi. Yang keempat adalah mungkin memang sudah
bawaan sifat perserta yang low profile
tidak ingin kelihatan eksis, ia sudah begitu nyaman dengan “kesendiriannya”
tanpa perlu menampakkan diri diposisi paling depan. Dan dugaan saya yang kelima
adalah mungkin disebabkan perasaan minder akut (parah) disebabkan karena
terjadi gangguan kepribadian, bisa dari faktor keluarga, lingkungan masyarakat.
Dan saya cendrung berpendapat bahwa faktor terakhirlah yang menjadi factor utama.
Memang
dalam sejarahnya bangsa Indonesia pernah dijajah oleh berberapa negara seperti Portugis,
VOC (Vereeneging Oost Compagnie),
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Prancis, Pendudukan Tentara Jepang dan
sekarang Amerika. Bangsa kita terus-menerus mengalami perbudakan-perbudakan
(dipaksa menjadi budak). Khusunya bagi penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda yang paling lama. Ada yang mengatakan 350 tahun, yakni dihitung sejak berdirinya VOC pada tahun 1602. Tetapi ada juga yang tidak
sepakat mengatakan bahwa Indonesia dijajah hingga 350-tahun karena Aceh saja
baru bisa dikalahkan pada awal abad 20 ( tahun 1904). Sehingga tidak bisa
dikatakan bahwa Belanda sudah menguasai “Indonesia” selama ratusan tahun.
Pendapat seperti itu bisa dikatakan Ahistoris. Tetapi yang jelas bangsa kita
memang telah mengalami penjajahan demi penjajahan.
Seperti
pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda bangsa kita diperlakukan secara
diskriminatif oleh hukum buatan Kolonial. Dalam buku sejarah kita menjadi tahu
bahwa bangsa kita lahir ditanahnya sendiri diposisikan dalam stratifikasi social
(lapisan social) paling rendah. Kita tahu bahwa pada waktu itu stratifikasi social
yang berlaku; bangsa kelas satu ditempati oleh orang-orang Eropa, bangsa kelas
dua ditempati oleh orang Timur Asing (Jepang, Cina, Arab) dan yang terendah
adalah pribumi. Bahkan yang membuat miris adalah pribumi disejajarkan dengan
anjing!. Apa buktinya?. Buktinya Pemerinta Kolonial Hindia Belanda melakukan
pelarangan kepada pribumi untuk memasuki area-area khusus dengan kalimat “Selain
bangsa Eropa, pribumi dan Anjing dilarang masuk!”.
Tulisan
ini bukan saya niatkan untuk mengobarkan permusuhan antar sesama anak manusia.
Tetapi pada waktu itu memang demikian adanya dari beberapa literature yang saya
baca. Itu adalah masa lalu yang begitu berharga untuk kita jadikan pelajaran.
Itu semua telah dikontruksikan sedemikian rupa oleh penjajah demi melanggengkan
kekuasaanya dengan melakukan politik pecah belah (Devide et Impera) antar sesama
etnis selama ratusan tahun mendiami nusantara secara damai.
Kini,
sudah 65 tahun Indonesia merdeka (diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945)
namun dampak dari penjajahan tersebut ternyata masih terlihat dibeberapa sikap
dan perilaku kita. Sehingga membuat kita selalu merasa inferior (Minderwaardigheid). Mungkin saja hal
lumrah seperti posisi duduk itu juga merupakan salah satu efek karena dahulu bangsa
pribumi selalu diposisikan terbelakang dan selalu dibelakang. Dan perilaku
tersebut secara kontunyu dipaksanakan oleh penjajah hingga terinternalisasi kedalam
lubuk-sanubari bangsa kita.(dimuat di Republika Online tanggal 10 Juli 2012)
Semarang,
2 Juli 2012
Kondomisasi sebuah Kebohongan Publik
Sekali lagi kita
dikejutkan oleh kebijakan pemerintah. Setelah beberapa bulan lalu rakyat dibuat
“marah” dengan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kini muncul lagi
kebijakan dari Kementrian Kesehatan (KemenKes) yang ‘nyeleneh’. Dengan dalih
agar bisa mengurangi tingkat penyebaran penyakit menular, pemerintah
mengkampanyekan kondomisasi nasional. Kebijakan ini jelas tidak bijak dan tidak
pantas disebut “ke-bijak-an”. Dengan diterapkannya kebijakkan ini jelas
pemerintah tidak lagi melindungi nasib gernerasi muda kini dan dimasa yang akan
datang. Kondomisasi justru membuka akses untuk melakukan seks bebas. Padahal
secara medis sudah dibuktikan antala lain;
1. Penelitian
yang dilakukan oleh Lytle, et. al. (1992) dari Division of Life Sciences, Rockville, Maryland, USA, membuktikan bahwa penetrasi
kondom oleh partikel sekecil virus HIV/AIDS dapat terdeteksi.
2. Penelitian
yang dilakukan oleh Carey, et. al. (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA, menemukan
kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Kondom yang beredar di pasaran
30% bocor.
3. Direktur
Jenderal WHO, Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas kondom
diragukan. Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute yang
menyatakan bahwa tingkat keamanan kondom (bebas kebocoran) hanya 70%.
4. Dalam
konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa
penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pori- pori kondom berdiameter 1/60
mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang
pori-pori tersebut mencapai 10 kali lebih besar. Sementara kecilnya virus HIV
berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan
leluasa menembus kondom.
5. Laporan
dari majalah Costumer Reports (1995) menyatakan bahwa pemeriksaan dengan
menggunakan elektron mikroskop dapat dilihat pori-pori kondom yang 10 kali lebih
besar dari virus HIV.
6. Pernyataan
dari M. Potts (1995) Presiden Family Health International, salah satu pencipta
kondom mengakui antara lain bahwa : “Kami tidak dapat memberitahukan kepada
khalayak ramai sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang.
Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki resiko
tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom, sama saja artinya
dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya”.
7. Pernyataan
dari V. Cline (1995), Profesor psikologi dari Unversitas Utah, Amerika Serikat,
menegaskan bahwa memberi kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan
seksual dengan menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja
percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin
lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.
8. Pernyataan
pakar AIDS, R. Smith (1995), setelah bertahun- tahun mengikuti ancaman AIDS dan
penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan “safe sex” dengan
cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”.
Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar reiko penularan/penyebara n
HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah. Di
Indonesia pada tahun 1996 yang lalu kondom yang diimport dari Hongkong ditarik
dari peredaran karena 50% bocor.
9. Gordon
Wambi (2003) seorang aktivis AIDS
menyatakan ketidaksetujuannya pemakaian kondom. Hal ini sesuai dengan Vatican’s
Pontifical Council for Family yang menyerukan kepada pemerintah agartidak
menganjurkan pemakaian kondom kepada rakyatnya; kampanye kondom sama saja resikonya
dengan kampanye rokok, bahayanya sama.[1]
Dan masih sederet lagi penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa pemakaian kondom
sangat beresiko. Oleh karena itu sungguh sangat mengherankan darimanakah
pemerintah dalam hal ini Kementrian kesehatan mencari referensi dalam
menerapkan kebijakannya untuk mengkampanyekan kondom?.
Ketua Majelis Ulama (MUI) Indonesia Prof
Yunahar Ilyas dalam Koran Republika (29/06/2012) menilai langkah tersebut
adalah solusi instan yang ditawarkan tanpa memperhatikan norma agama dan
budaya. Seharusnya dikaji apa sebab terjadinya pergaulan bebas. Senada dengan penryataan Ketua MUI Ketua Umum
Muhamadiyah Din Syamsudin menyatakan “Upaya kampanye yang dilakukan saat ini
justru mendorong perilaku seks bebas, lalu beliau juga menyatakan “Dengan
kampanye kondom sama saja melakukan pendidikan dengan pendekatan liberal”.
Dari beberapa penelitian ilmiah dan beberapa
pandangan tokoh agama tersebut sudah memberikan gambaran yang jelas bahwa
kondomisasi bukanlah sebuah solusi yang tepat. Pendekatan agama tetap-lah
menjadi sandaran yang utama bukan dengan pendekatan ala barat. Kemudian
pemerintah seharusnya melindungi rakyatnya (khususnya generasi muda) dengan
mengkampanyekan gerakan anti seks bebas di media-media, dipinggir jalan, dan
dimanapun. Selain itu pemerintah lebih menggiatkan lagi pendidikan seks yang
bermoral bukan dengan mengkampanyekan kondomisasi yang menabrak sendi-sendi
agama. Dalam Islam jelas “Jangan mendekati zina”. Tidak usah kampanye kondom toh saat ini kondom mudah sekali didapatkan
ditempat-tempat perbelanjaan bahkan dijadikan hadiah dalam membeli
produk-produk tertentu.,.Negara ini adalah negara yang berketuhanan. Kampanye
kondom jelas bukanlah solusi dinegara yang berketuhanan, itu adalah solusi
dinegara yang tidak bertuhan.
[1] “Kampanye Dukungan untuk Menolak Pekan Kondom Nasional 2007” oleh Yuhana dalam http://yuhana.wordpress.com diunduh tanggal 30 Juni 2012 pukul 17.00
Langganan:
Postingan (Atom)