Sabtu, Juli 28, 2012

bahagia itu hanya persoalan cara pandang



Apakah anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini? pertanyaan itu dilontarkan oleh Bambang Nugroho, seorang coach/trainer nasional dalam acara konsolidasi Forum Zakat(FOZ) se-Jawa Tengah di ruang Aula MAJT (Masjid Agung Jawa tengah) pada tanggal 27 Juli 2012 lalu. Pesertapun terhenyak dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Beliau kemudian kembali mengulangi pertanyaan-nya untuk kedua kalinya “Apakah anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini?”.

Rabu, Juli 25, 2012

Ramadhan dan kemenangan Indonesia


Sejatinya bulan Ramadhan dimanfaatkan sebagai bulan introspeksi diri baik secara individu, keluaraga, masyarakat bahkan dalam lingkup kenegaraan. Apa saja yang telah dilakukan selama ini. Apakah hari ini sama dengan hari kemarin, lebih baik, ataukah malah lebih buruk?. Setiap lingkup perlu yang namanya introspeksi. Akan bagaimana jadinya jika dalam setiap fase hidup yang telah dilalui berlalu begitu saja tanpa ada unsur introspeksi diri. Setelah sekali terperosok dalam got, ternyata tidak mengambil pelajaran hingga membuatnya terperosok kembali pada got yang sama. Ada pepatah klasik yang mengatakan “hanya keledai yang jatuh kedua kalinya”. Tentu setiap orang tidak ingin disama-kan seperti keledai. Oleh karena itu dalam pepatah itu memberikan nasehat yang berharga kepada kita yang intinya “jangan mengulangi kesalahan yang sama”.
Indonesia perlu perbaikan! Jelas, banyak sekali yang harus diperbaiki bersama-sama. Indonesia yang diproklamirkan 65 tahun yang lalu tepat pada suasana bulan Ramadhan masih perlu banyak perbaikan. Mungkin pada pendiri bangsa yang gurur itu menangis melihat negeri yang dibela dengan pengorbanan jiwa raga itu terlunta-lunta seperti saat ini. Mungkin mereka akan kecewa mendalam melihat para pemimpin negeri banyak yang tidak amanah. Hasil survei menunjukan bahwa Indonesia menempati rangking pertama se-Asean sebagai negara terkorup. Kemudian survei terbaru tahun 2011 menunjukkan bahwa  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 dengan posisi peringkat pada nomer 124 dari 187 negara di dunia. "IPM Indonesia tahun lalu berada pada level 0,613, tapi tahun ini meningkat tipis pada level 0,617," kata Staf Ahli Menkokesra Bidang Kreativitas dan Inovasi Teknologi, Dr H TB Rahmad Sentika. (Republika 27 November 2011).  Indonesia berada dibawah posisi Singapura dan Malaysia yang merdeka-nya belakangan.
Kemudian Indonesia dibanggakan sebagai negara yang kaya. Kekayaan alamnya begitu melimpah baik didaratan maupun dilautan. Namun nyatanya masyarakatnya sebagian besar dalam kondisi miskin. Menurut pengamatan Asian Development Bank (ADB) menyebutkan, jumlah kaum papa di Indonesia melompat tajam dari 40,4 juta di 2008 menjadi 43,1 juta orang pada 2010, atau selama tiga tahun jumlah orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Mereka yang dikatakan miskin, menurut ADB, yang berpenghasilan di bawah Rp 7.800 per hari. Angka itu berselisih 10 persen dari standar kemiskinan pemerintah: Rp 7.600 per hari. (Metronews.com). Belum lagi kasus korupsi para pejabat-pejabat daerah dan pusat yang semakin menggila. Bahkan yang lebih heboh lagi, pengadaan Al-quran-pun di korupsi oleh oknum di Kementrian Agama. Lalu akan dibawa kemana negeri yang katanya kaya raya ini? Tepat kiranya ungkapan Jaya Suprana bahwa kekayaan negeri ini telah menjadi kutukan yang sangat mengerikan.
Masalah-masalah yang saya paparkan diatas hanyalah beberapa saja karena masih banyak permasalahan lain yang perlu diselesaikan. Itulah tantangan bagi manusia saat ini dan dimasa yang akan datang. Tentu kita tidak bisa menyelesaikan semua permasalahan itu semua dalam waktu singkat. Kepemimpinan merupakan kunci agar permasalahan-permasalahan itu bisa terselesaikan. Oleh sebab itu yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah sosok-sosok pemimpin yang memiliki sifat seperti Rosulullah yakni  siddiq, (benar), amanah  (Jujur), dan  fathonah (cerdas) dan tablig (menyampaikan/komunikasi). Setidaknya para pemimpin masa depan negeri ini berkiblat terhadap sifat-sifat kerosulan tersebut bukan berkiblat terhadap sifat-sifat Fir’aun yang menindas. Indonesia adalah negera besar, sehingga butuh pemimpin yang memiliki karakter seperti Rosulullah. Tidak mungkin negeri ini diwariskan oleh orang-orang yang kerdil.
Oleh sebab itu kita bangsa Indonesia sebagai pewaris sah negeri ini harus menentukan sikap. Tahun 2014 mendatang kita akan menghadapi pesta demokrasi dimana tampuk kepemimpinan nasional akan “diperebutkan”. Berarti kita masih menunggu dua Ramadhan lagi untuk menentukan pemimpin-pemimpin yang akan membawa Indonesia menuju kemenangan. Jangan sampai kita terperosok dalam lubang yang sama, karena “Hanya keledai-lah yang jatuh dalam lubang yang sama”. Dan kita adalah manusia bukan keledai.

Semarang, 25 Juli 2012
Anton
KAKOM FIB 2011-2012

Sabtu, Juli 21, 2012

dia yang paling tidak kenal kompromi



Ada pepatah Arab yang berbunyi: waktu itu seperti pedang, apabila kau tidak memotongnya, maka ia yang akan memotongmu

Pepatah ini mungkin sering kita dengar dari guru-guru kita. Sebuah pepatah yang bermuatan nasehat agar kita senantiasa menghargai waktu. Biasanya sesuatu yang awalnya luarbiasa tetapi jika diungkapkan berulang-ulang akhirnya akan terasa menjadi biasa.

Dalam pepatah tersebut pedang menjadi analogi dari waktu. Dan umumnya guru-guru kita menjelaskan waktu dengan ketajaman pedang. Jika kita lalai dalam menggunakan waktu maka  mau tidak mau harus siap tertebas oleh waktu yang tajamnya ibarat pedang, dan dampaknya seseorang akan menyesal.

Tetapi mengapa harus pedang yang menjadi analogi? Nah inilah yang kerap kali luput dari pertanyaan. Sekali lagi, mengapa harus pedang yang dijadikan analogi? Bukan golok, pisau, silet, sinyal, cahaya, atau listrik?. Oleh sebab itu menurut saya pepatah ini juga harus ditelusuri asal-asal usulnya agar kita bisa memahami isi nasehat itu secara baik. Jangan sampai pepatah yang selama ini kita pahami dan diwariskan telah terjadi reduksi makna.
Sekilas menurut pemahaman saya, nasehat itu mengajak kepada kita supaya terus berlomba dengan waktu. Jangan sampai kita didahului waktu. Tetapi mampu-kah kita mendahului waktu?. Ataukah nasehat itu bermakna agar kita mengisi waktu kita agar lebih bermanfaat terkait dengan usia manusia yang sementara?
Kemudian jika kita menengok nasehat-nasehat dari “barat” terkait waktu, maka akan lebih berbeda lagi. Mereka mengatakan Times is money, waktu adalah uang. Dengan kata lain mereka mengatakan waktu itu ya uang. Penghargaan mereka terhadap waktu sejajar penghargaan mereka terhadap uang (materi). Nah itu yang saya maksud bahwa konsep awal pepatah dari tempat satu ke tempat yang lainnya ternyata tidak sama. Bahkan jika dibandingkan dengan pepatah Arab diatas, malah makna waktu menurut “barat” diperkhusus/dipesempit kepada uang. Dan tentu saya tidak akan membahas lebih dalam konsep waktu menurut “barat” karena memang cacat secara makna.
Dalam  catatan singkat ini saya lebih tertarik membahas konsep waktu yang berasal dari pepatah Arab itu. Bukan berarti saya juga menerima namun karena saya masih ingin mencari makna yang shahih.
Seperti diawal saya mengartikan bahwa pepatah itu terdapat nasehat berlomba dengan waktu dan waspada terhadap waktu. Untuk yang pertama yakni berlomba dengan waktu apakah bisa kita berlomba dengan waktu? Sedangkan kecepatan berfikir kita terhadap waktu itu sendiri sadar tidak sadar telah terikat oleh dimensi waktu.  Waktu tidak sedetikpun berhenti memberikan kesempatan kepada kita memikirkannya dalam kondisi diamnya (waktu). Ia terus melaju cepat tanpa kompromi dengan kita. Terus menerus kita ditinggalkannya. Sehingga menurut saya tidak mungkin kita berlomba mendahului kecepatan waktu. Jadi saya sementara menyimpulkan tidak tepat jika memaknai kita dengan waktu sebagai ajang adu kecepatan. Belomba dengan sang waktu adalah suatu hal yang mustahil. Mengejar-ngejar kecepatan waktu itu bisa berefek berbahaya bahkan berpotensi menjadikan kita budak waktu.
Kemudian, saya justru lebih menerima jika yang dimaksud dari pepaah Arab tersebut menganjurkan agar kita senantiasa waspada terhadap waktu. Setelah tidak mungkin kita berlomba-lomba dengan kecepatan waktu maka yang hanya bisa kita lakukan adalah mengisi waktu itu dengan sebaik-baiknya. Waktu menjadi begitu berharga dimata kita (bagi yang sadar) karena mau tidak mau, suka tidak suka, memang kita dalam ikatan waktu. Contoh saya menganalogikan waktu seperti BBM. Mengapa BBM saat ini menjadi mahal? Karena memang jumlahnya terbatas tidak seperti air dan udara yang melimpah ruah. Sama halnya seperti waktu, waktu menjadi berharga karena kita-lah yang terikat oleh waktu. Alias tidak kekal dan hidup selama-lamanya. Nah disnilah saya baru menyadari pentingnya mengisi waktu itu dengan sebuah perencanaan. Sering kita menyepelekan perencanaan misal agenda harian, mingguan, tahunan. Bukan menyepelekan mungkin sering lupa. Padahal saat lupa sendiri kita dalam posisi terikat dengan waktu.... (waduuuuuh mari cemunguuuud yaaah :P)

Semarang, 21 Juli 2012
Wisma Abdurrahman bin Auf

Selasa, Juli 17, 2012

Catatan dari UNNES

Pada tanggal 16 Juli 2012 saya memiliki kesempatan menghadiri Seminar Nasional Pendidikan bertemakan “Budaya Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan kampus UNNES tepatnya di Gedung FIK ruang Audotorium Olahraga. Kuliah umum tersebut menghadirkan Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd Selaku Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, dan pembicara tamu Emha Ainun Najib yang dikenal dengan sebutan Cak Nun. Ratusan peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, umum, dan tamu undangan-pun telah memadati ruangan auditorium itu.
Acara dimulai Pukul 10.00 tepat. Materi pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd tentang “Menyoal  Desain Pendidikan karakter” sedangkan materi kedua disampaikan oleh Emha Ainun Najib. Emha memang tidak membuat makalah khusus namun beliau memaparkan dasar-dasar pengertian budaya.
Selama kurang lebih 45 menit pemateri pertama memaparkan banyak teori-teori dari para pakar mengenai definisi karakter serta dampak-dampak telah terjadi atas teori tersebut terhadap suatu negara. Dalam makalahnya beliau mengingatkan bahwa sebagai bangsa Indonesia, kita sangat bersyukur bahwa The Founding Fathers negeri ini telah mawariskan seperangkat tatanan nilai yang sangat filosofis bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang formulasinya adalah pancasila. Sebagai dasar dan falsafah bangsa, Pancasila memberikan jalan hidup dengan mengayomi segala perbedan; suku, budaya, agama. Bahkan melalui bingkai Pancasila, perbedaan-perbedan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia  mewujud dalam sebuah mozaik Indah, yang bernama Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dramma Mangrwa (keperbedaan yang menyatu dalam satu kesatuan harmoni adalah kebenaran yang tiada duanya). Pancasila telah mewadahi seluruh tata nilai yang bersifat universal. Oleh karena itu karakter yang hendaknya dimiliki oleh warga negara Indonesia adalah karakter Pancasila, yang bersendikan ketuhanan, kemanusiaan, kebagsaan, demokrasi, dan kesejahtraan sosial.
Kemudian beliau juga berpendapat bahwa dampak globalisasi menawarkan dengan efektif ideologi pragmatisme, materialisme, feodalisme, kapitalisme, individualisme, konsumerisme, dan sejenisnya, melalui berbagai instrumen modernisasi. Tanpa terasa pun masyarakat kita sangat masif akan ideologi-ideologi tersebut, sehingga semakin menjauh dari kepribadian Pancasila. Perilaku masyarakat mengalami degradasi  kualitas hidup yang sungguh luar biasa. Perilaku-perilaku santun, toleran, solider, kepedulian sosial, gotong royong, kerja keras, tanggung jawab, dan semacamnya sebagai atribut good citizenship, tergantikan oleh budaya barbarian; berupa kecurigaan, egoisme, anarkisme, korupsi, dan semacamnya.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa hal-hal semacam ini ditangkap oleh pandangan orang-orang asing mengenai kita, mengenai Indonesia. Mereka cendrung berpandangan apriori terhadap Indonesia, sebagai negara yang miskin, bodoh, kumuh, terbelakang, tidak aman dan sebagainya. Berbagai atribut negatif ditimpakan pada msyarakat Indonesia. (lebih lengkap lihat makalah, halaman 5-6)
Meskipun keadaannya demikian, beliau menghimbau kepada peserta yang hadir bahwa kita masih punya modal bersa untuk melanjutkan pendidikan karakter. Modal tersebut adalah optimisme dan kebnggaan sebagai bangsa Indonesia. Jikapun generasi sekarang ini belum sempat untuk menata diri memainkan peran luhur dalam menjalankan amanah akibat konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya dengan menghiananti amanah bangsa, kita masih optimis bahwa generasi sesudahnya adalah kaum muda, para pelajar dan masyarakat yang saat ini sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untu tumbuh dan tumbuh mejadi sosok yang paripurna. Beliau juga menunjukan hasil survei yang telah dilakukannya disekitar kehidupan masyarakat, ditunjukan bahwa adanya energi yang dahsyat pada diri mereka (masyarakat-Pen). Energi itu bernama collective consciousness.
Collective consciousness adalah kesadaran bersama dikalangan masyarakat yang digerakan oleh rasa simpati bahwa mereka harus bersatu-padu. Energi besar ini yang akan menyebabkan betapa gaagsan dan opini yang semula hanya dimiliki oleh sekelompok kecil masyarakat dalam waktu yang cepat menajdi gagasan dan opini bersama seluruh masyarakat. (lebih lengkapnya Lihat Makalah halaman 7)
Dalam menerapkan pendidikan karakter, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, terlebih lagi Indonesia sebagai negara besar, masyarakatnya plural dari Sabang hingga Merauke yang sudah tentu kebutuhannya bermacam-macam. Ditambah kondisi politik yang didalam negeri yang penuh dengan intrik, sehingga menciptakan kondisi yang kurang kondusif bagi pendidikan karakter.
Solusi
Dengan melihat kondisi demikian, menurut Guru Besar Etika Kewarganegaraan ini seharusnya desain pendidikan karakter memuat prinsip-prinsip antara lain; Pertama, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar bagi proses-proses pendidikan karakter di Indonesia (character education based on the values of Pancasila). Kedua, spirit pendidikan karakter yang berbasiskan Pancasila haruslah merupakan collective consciousness. Ketiga, sejalan dengan derasnya arus informasiberagai media, proses pendidikan karakter haruslah merupakan gerakan bersama seluruh elemen masyarakat. Intitusi pendidikan memang memegang peran strategis untuk melaksanakannya. Akan tetapi di masyarakat, keteladanan harus selalu ditunjukkan oleh para tokoh yang menjadi panutan masyarakat. Media-pun harus selalu diberdayakan sedemikian rupa agar selalu memiliki muatan-muatan pendidikan bagi masyarakat, dan tidak semata terkooptasi oleh kapitalisme yang menjadi mesin keuntungan bagi produsen.
Setelah pemateri pertama selesai memaparkan makalahya, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Penanya dalam sesi pertama terdiri dari dosen dan mahasiswa. Suasana terbuka dan demokratis sungguh terbagun dalam seminar ini. Seorang dosen yang menjadi peserta secara terbuka mengkritik budaya-budaya korup yang nampak lingkungan-lingkungan kampus, begitu-pun para mahasiswa juga aktif bertanya dan mengkritik sikap dosen dalam mengajar. Suasana saling koreksi itu berjalan dengan baik. 
Celoteh Cak Nun
Setelah tanya jawab selesai, acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Emha Ainun Najib pada sesi kedua. Pada sesi kedua ini beliau memang tidak memberikan makalahnya, namun beliau mengajak kepada seluruh peserta untuk mengawali memahami persoalan dengan cara-cara sederhana terlebih dahulu, memahami istilah demi istilah yang telah populer dalam masyarakat. Hal ini menurut beliau penting agar tidak terbawa arus yang belum kita mengerti. Bahkan sambil berseloroh beliau mengkritik dan mempertanyakan apakah bisa kebudayaan dijadikan fondasi?. Ibarat membuat rumah fondasi adalah sesuatu yang harus ajeg tidak berubah dan mengalami pergeseran, sedangkan budaya adalah sesuatu yang berubah (dinamis) lalu bagaimana bisa pendidikan karakter bersandar kepada budaya?
Kemudian beliau juga menyampaikan bahwa dalam masyarakat kita masih memisah-misahkan antara intelektualitas (benar-salah), moralitas (baik-buruk), dan estetika (indah-tidak indah).  Intelektualitas itu hanya berada didunia akademisi (kampus, sekolah dsb), moralitas itu hanya diurus oleh lembaga keagamaan, dan estetika diurusi oleh seniman. Menurut beliau pemisahan-pemisahan seperti itu keliru. Sambil berdialog dengan perserta seminar, beliau meminta tanggapan kepada para peserta bahwa jika ada seseorang dosen yang akan dikukuhkan sebagai doktor namun ternyata sehari sebelumnya ia melakukan hubunga gelap (selingkuh) untuk konteks saat ini apakah dosen itu bisa dikatakan bersalah? Apakah cocok dosen tersebut dikukuhkan sebagai doktor?. Ada yang menjawab batal dan ada juga yang menjawab tidak, namun kebanyakan menjawab bahwa gelar tersebut batal disematkan kepada dosen tersebut.
Nah menurut beliau seharusnya dalam desain akademis ketiga konsep itu terintegrasi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Namun kenyataan-nya desain akademis yang umum saat ini justru menghilangkan tentang Tuhan dan moral.
Lebih lanjut beliau mengatakan perihal kebudayaan, menurutnya budaya adalah kata kerja bukan kata benda sehingga jangan jadikan budaya sebagai fondasi. Yang penting adalah filosofi budaya-nya. Karena dalam setiap masyarakat memiliki ekspresi yang berbeda-beda dan selalu berubah.
Kemudian terkait dengan arus media beliau juga menyinggung mengenai acara-acara keagamaan ditelevisi bahwa secara umum acara-acara tersebut tersebut kental dengan muatan kapitalisme sehingga sangat rapuh. Pesan-pesan moral dimanfaatkan para kapitalis untuk kepentingan pragmatis belaka.
Dampak-dampak dari pemisahan antara inteletualitas, moralitas dan estetika, menurutnya menjalar ke berbagai aspek lain dalam kehidupan manusia yang merusak masyarakat. Beliau mengilustrasikan misalkan; ada seseorang pengendara sepeda motor yang melihat sebuah kecelakaan didepan mata-nya. Tetapi si pengendara motor itu belalu saja tidak menghiraukan. Apakah bisa dikatakan si pengendara itu salah? Tentu tidak secara hukum karena memang dia tidak merugikan siap-siapa tetapi cacat secara moral.
Beliau pun berharap kepada para penggagas acara seminar semoga acara yang dilaksanakan pada hari ini (16/07/2012) benar-benar timbul dari rasa kepedulian yang sungguh-sungguh bukan hanya terbawa tren. Karena bisa dipastikan usaha yang hanya berlandaskan tren tidak akan membawa apa-apa alas hanya seremonial belaka. Dalam hal ini beliau juga memberi masukan agar kampus lebih terbuka lagi serta harus sering-sering belajar kepada sistem-sistem pendidikan unggul yang ada dalam hal penanaman karakter.
Pada saat-saat terakhir sesi kedua ini beliau berpendapat bahwa Indonesia dari bentuk bentangan fisik wilayahnya saja seperti perahu dan didalam perahu itu terdiri dari berbagai beragam manusia. Menurutnya pola-nya mirip seperti perahu-nya Nabi Nuh sehingga dimasa yang akan datang akan memberikan keselamatan terhadap isi yang beragam didalamn-nya. Dalam filosofi hurup Arab meurutnya Indonesia itu mirip huruf “baa” dimana dengan bentuk atau model seperti itu Indonesia cocok sebagai pemangku dunia, karakter bangsa Indoensia itu bukan penjajah tapi pengasuh. Jika melihat raja-raja di Jawa mereka senang menngunakan gelar “Mangku”.
Kemudian beliau juga berpendapat bahwa sejatinya institusi pendidikan tida hanya membekali dari aspek taklim (pengetahuan) saja, namun juga dari aspek tarbiah-nya (pendidikan). Berilah kepahaman kepada peserta didik tentang nikmatnya berbuat baik secara langsung. Hal ini penting untuk membentuk karakter yang bermoral. Bagaimana bisa mengajak seseorang untuk bermoral sedangkan ia tidak diarahkan dan dikasih tahu nikmatnya hidup dengan berlandaskan moral?.
Semarang, 17 Juli 2012
Anton
Special for Rifka Pratama yang udah ngajak ikut Seminar. Thanks brooo

Rabu, Juli 11, 2012

Wajah Sekolah dilayar Kaca...

...sungguh aneh tapi nyata
Takkan terlupa
Kisah-kasih disekolah
Dengan si dia
Tiada masa paling indah
Kisah-kasih disekolah...
Cuplikan lirik diatas saya kutip dari lagu yang dibawakan oleh almarhum Crisye dan pernah dijadikan iringan dalam sinetron-sinetron remaja dengan menggunakan latar sekolah. Cinta memang tema yang tidak pernah habis-habisnya dijadikan “komoditas” oleh para produser per-sinetronan/perfilm-an. Sampai-sampai sekolah sebagai institusi pendidikan yang seharusnya penuh dengan muatan edukasipun diincar. Manusia memang dianugrahkan rasa cinta oleh Tuhan, termasuk rasa cinta terhadap lawan jenis. Namun yang menjadi aneh adalah ketika muatan yang disampaikan dalam sinetron atau film itu “lebay” dan tidak proporsional bahkan terkesan “diada-adakan”.  Perilaku siswa dan siswi seperti glamor, licik, manja, hingga tindakan kekerasan karena berebut calon “yang diclaim pacarnya” justru jauh dari potret yang semenstinya (sekolah). Bahkan yang lebih miris lagi adalah peran guru pada sebagian sinetron dijadikan ‘pendukung’ dalam kisah cinta para siswa dalam cerita tersebut. Mengutip pendapat Tester (1994: 40) terkait tayangan-tayangan sinetron remaja tersebut sebagai “komersialisasi “sampah” yang berbahaya karena berdampak serius pada kualitas hidup manusia”.
Tentang glamoritas, tak heran, jika anggota DPR RI, Ali Mochtar Ngabalin, dan beberapa anggota DPR yang lain (dibidang informasi) merasa prihatin dengan tayangan-tayangan televisi yang bernuansa glamoritas, pembodohan publik, dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Meskipun lontaran keras para wakil rakyat telah disampaikan terhadap pemerintah. anehnya, sinetron-sinetron percintaan berlatar sekolah itu tetap saja menghiasi layar kaca kita, padahal dampaknya telah nampak terlihat. Tidak sulit untuk membuktikan pengaruh sinetron terhadap siswa dan siswi tersebut. Kita bisa melihatnya dari lapisan yang paling konkret yakni seragam (Uniform) dimana sebagian siswa-siswi itu meniru gaya berpakaian para aktris seperti berpakaian super ketat, rok diatas paha, dan penggunaan dasi yang compang-camping. Kemudian kita juga bisa melihatnya dari aspek sikap seperti gaya bertutur dan berkomunikasi kepada orang lain. Sebuah penelitian American Psychological Association (APA) pada tahun 1995, ‘bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berlaku baik, dan tayangan yang kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk belaku buruk’ bahkan penetilian ini menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan seseorang adalah pelajaran yang mereka terima sejak kecil.
Sejatinya sekolah merupakan tempat sarat dengan muatan-muatan edukasi, tempat menanam karakter luhur bangsa, namun kenyataannya di lanyar kaca tidak demikian, malah aspek edukasinya sangat minim bahkan tidak dimunculkan. Dan jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan sangat membahayakan terhadap ketahanan mental bangsa kita. Dengan membiarkan sinetron-sinetron seperti itu tetap mewarnai televisi kita justru dalam jangka panjang sama saja menanamkan kedalam benak siswa dan siswi terhadap image sekolah sebagai institusi pendidikan sebagai ajang “cari jodoh” bukan ajang cari potensi dan jati diri.
Dalam hal ini wajib melakukan tindakan ‘pengamanan’ terhadap seluruh generasi penerus bangsa dimsa depan yakni para remaja. Tindakan ‘pengamanan’ tersebut bisa diawali oleh pemerintah, dalam hal ini KEMENDIKBUD (Kementrian Pendidikan dan kebudayaan) bersama pihak-pihak terkait seperti LSI (Lembaga Sensor Indonesia), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan para produser film, dan sebagainya untuk membahas masalah ini dan membuat kesepakatan-kesepakatan yang konkret.
Semoga wajah sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formal dilayar kaca semakin membaik dan mendidik.

Semarang, 11 Juli 2012 

Anton 

Ketua KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa  Muslim Indonesia) Komisariat Fakultas Ilmu Budaya UNDIP Periode 2011-2012
*gambar diambil dari google.com

Senin, Juli 09, 2012

Aku mencintai-mu karena Allah benarkah? (Tanggapan atas Catatan Aan Setyawan S.Hum)

-->
Selalu menarik ketika membahas mengenai cinta, karena semua orang berhak membicarakannya. Tak perduli apakah dia kaya, miskin, berkulit putih atau hitam, memiliki rambut lurus atau keriting. Semuanya berhak berbicara tentang cinta menurut pemahamannya dan “bahasanya” masing-masing.

Menurut saya “cinta” adalah suatu pembahasan yang unik. Bisa dikatakan “cinta” mampu dipahami oleh segala kalangan. Ia tidak seperti barang atau jasa yang bisa didominasi (dimonopoli) oleh kalangan-kalangan pandai tertentu. Singkat kata ia adalah milik semua. Kita mungkin pernah mengalami masa-masa kisah-kasih (cinta “monyet”) waktu Sekolah Dasar (SD), SLTP (Sekolah lanjutan Tingkat Pertama), dan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat atas / SMA). Sejujurnya saya sendiri masih bingung mengapa sampai ada istilah “cinta monyet” apakah monyet juga punya cinta? Lalu apakah “cinta monyet” hanya sampai masa sekolah saja? Apakah pada masa-masa setelahnya masih berkemungkinan “cinta monyet” terjadi?.

Terkait catatan Mas Aan tentang cinta “Aku mencintaimu karena Allah benarkah?” yang dipost pada tanggal 8 Juli 2012 membuat saya tergelitik untuk membahas masalah cinta. Sulit memang melihat seseorang yang berbuat semata-mata karena cinta kepada Allah atau cinta kepada selain-Nya karena hanya Allah dan dirinya sendiri-lah yang tahu. Bahkan manusia itu sendiri tidak mengerti apakah ia berbuat atas landasan cinta karena Allah ataukah karena yang lainnya. Karena perkara hati ini sulit dipahami. Bukankah kita pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda yang dicampakkan Allah di Akhirat, padahal ia telah berkorban dimedan perang dan syahid. Pemuda itu ternyata tidak bersih berkorban semata-mata karena Allah tetapi ada motif lain yang mungkin “samar sekali” yakni dan ia sendiri lalai, yakni motif ingin dikenang oleh manusia.

Cinta karena Allah. Sebuah kalimat yang sering kita dengar dan bahkan sering diungkapkan oleh kita. Kata-kata indah inilah yang menjadi energi bagi kita dalam melakukan segala kebaikan. Tetapi sejatinya kata-kata itu harus kita pahami secara baik dan terus menerus kita gali kedalaman makna-nya. Cinta kepada Allah tentu berdimensi iman, karena tanpa iman berarti kata-kata itu hanyalah omong-kosong belaka, atau istilah zaman sekarangnya it’s just lip service. Posisi cinta berada dibawah keimanan kepada Allah swt. Begitupun benci posisinya berada dibawah sebagaimana perasaan cinta. Tentu konteks cinta dalam catatan ini sesuai dengan catatan Mas Aan.

Secara sederhana saya mengartikan ungkapan “Aku mencintai-mu karena Allah” berarti rasa cinta kita itu sejati-nya harus sesuai dengan apa yang Allah kehendaki sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah dan penjelasan para ulama-ulama yang kredibel. Ketentuan-ketentuan Allah dan Rosulnya adalah yang tertinggi dari kepentingan pribadi dirinya sendiri. Dan seseorang bukan karena atas rasa cinta-nya (sebagai fitrah manusia) cendrung terhadap sesuatu, tetapi hanya karena Allah, “Katakanlah Muhammad “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah Ali’Imraan Ayat 31 ). Ketika kita mendeklarasikan diri mencintai karena Allah berarti kita juga dituntut untuk mencintai ketentuan-ketentuan dari Rosul-Nya termasuk perkara cinta. Nah sampai disini cinta akan terhubung dengan dimensi iman. Sejauh mana kecintaan kita kepada Allah pasti akan terkait dengan kondisi iman. Sejauh mana kita mencintai Allah dan Rosulnya. Sejauh mana kita yakin kepada Allah dan Rosulnya. Termasuk masalah jodoh.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “Cinta tak akan pernah salah”, eits tunggu dulu bukankah cinta itu adalah fitrah manusia (humanism) yang Allah berikan kepada makhlukNya. Dan bukankah makhluk yang bernama manusia itu tidak luput dari perbuatan salah dan lupa? Berarti dalam hal ini kita telah berlebihan menganggap cinta yang bersumber dari fitrah manusia itu adalah sesuatu yang “tidak pernah salah”. Padahal cinta itu sendiri banyak sekali tingkatannya. Lalu yang dimaksud cinta itu “tidak pernah salah” adalah cinta pada tingkatan yang mana? Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang benar dalam menempatkan rasa cinta ini.Dan sungguh luar biasa kalimat “Aku mencintaimu karena Allah” adalah kalimat yang bermuatan tauhid yakni mengesakan Allah saja diatas segala-gala-nya. Intisari atas seluruh ajaran Islam.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu pintu istana pun telah rapat
Tuhanku, demikian malam pun berlalau
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku, Engkau terima
Hingga aku berhak merengguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemaha kuasaanMu
inilah yang akan selalau ku lakukan
Selama Kau beri aku kehidupan
Demi kemanusianMu,
Andai Kau usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu
(Rabi’ah Al Adawiah) 

Semarang, 09 Juli 2012

Senin, Juli 02, 2012

Ada apa dengan posisi duduk kita?

Biasanya dalam sebuah seminar, pelatihan, kuliah, dan semacamnya  kebanyakan perserta memilih  tempat duduk dibarisan  paling belakang  dan “menghindari” duduk dibarisan paling depan. Ya, inipun pernah saya alami ada semacam perasaan tidak betah duduk paling depan. Kemudian yang membuat saya agak heran adalah ketika salah satu panitia pelaksana menghimbau supaya peserta menempati kursi yang ada didepan terlih dahulu. Lalu bagaimana reaksinya? bisa dibilang peserta tidak bergeming (meskipun ada sebagian yang pindah tapi sedikit). Kemudian panitia pun mengingatkan berulang-ulang agar kursi depan diisi terlebih dahulu dengan intonasi yang lebih ‘menekan’ dari himbauan sebelumnya. Kemudian jika ada beberapa peserta yang memulai untuk pindah maka biasanya akan serentak diikuti oleh peserta lainnya. Ada apa sih dengan kursi bagian depan?
Hingga saat ini, fenomena ini sering saya saksikan ketika saya kebetulan hadir dalam forum-forum tersebut. Entah mengapa fenomena ini selalu terjadi. Apakah fenomena ini hanya terjadi di Negara kita saja ataukah juga terjadi dinegara-negara lainnya? Saya menduga fenomena seperti itu disebabkan beberapa hal; Yang pertama, Menghindari kursi paling depan dan menempati kursi paling belakang dikarena-kan memang tidak serius mengikuti kegiatan (Seminar, Kuliah, Training, dsb), yang kedua, disebabkan karena tidak percaya diri alias menganggap dirinya belum pantas dan tidak nyaman bahkan tidak ingin dicap sebagai orang pandai. Yang ketiga, ada perasaan takut  yang menyelimuti benak peserta secara berlebihan. Ia tidak ingin dijadikan korban celaan atau tertawaan oleh teman-temannya seandainya nanti sering diajak dialog/ditanya/dijadikan model sebagai sample oleh pembicara (Dosen, Trainer, pemakalah dsb) ketika menyampaikan materi. Yang keempat adalah mungkin memang sudah bawaan sifat perserta yang low profile tidak ingin kelihatan eksis, ia sudah begitu nyaman dengan “kesendiriannya” tanpa perlu menampakkan diri diposisi paling depan. Dan dugaan saya yang kelima adalah mungkin disebabkan perasaan minder akut (parah) disebabkan karena terjadi gangguan kepribadian, bisa dari faktor keluarga, lingkungan masyarakat. Dan saya cendrung berpendapat bahwa faktor terakhirlah yang menjadi factor utama.
Memang dalam sejarahnya bangsa Indonesia pernah dijajah oleh berberapa negara seperti Portugis, VOC (Vereeneging Oost Compagnie), Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Prancis, Pendudukan Tentara Jepang dan sekarang Amerika. Bangsa kita terus-menerus mengalami perbudakan-perbudakan (dipaksa menjadi budak). Khusunya bagi penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang paling lama. Ada yang mengatakan 350 tahun, yakni dihitung sejak berdirinya VOC pada tahun 1602. Tetapi ada juga yang tidak sepakat mengatakan bahwa Indonesia dijajah hingga 350-tahun karena Aceh saja baru bisa dikalahkan pada awal abad 20 ( tahun 1904). Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa Belanda sudah menguasai “Indonesia” selama ratusan tahun. Pendapat seperti itu bisa dikatakan Ahistoris. Tetapi yang jelas bangsa kita memang telah mengalami penjajahan demi penjajahan.
Seperti pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda bangsa kita diperlakukan secara diskriminatif oleh hukum buatan Kolonial. Dalam buku sejarah kita menjadi tahu bahwa bangsa kita lahir ditanahnya sendiri diposisikan dalam stratifikasi social (lapisan social) paling rendah. Kita tahu bahwa pada waktu itu stratifikasi social yang berlaku; bangsa kelas satu ditempati oleh orang-orang Eropa, bangsa kelas dua ditempati oleh orang Timur Asing (Jepang, Cina, Arab) dan yang terendah adalah pribumi. Bahkan yang membuat miris adalah pribumi disejajarkan dengan anjing!. Apa buktinya?. Buktinya Pemerinta Kolonial Hindia Belanda melakukan pelarangan kepada pribumi untuk memasuki area-area khusus dengan kalimat “Selain bangsa Eropa, pribumi dan Anjing dilarang masuk!”.
Tulisan ini bukan saya niatkan untuk mengobarkan permusuhan antar sesama anak manusia. Tetapi pada waktu itu memang demikian adanya dari beberapa literature yang saya baca. Itu adalah masa lalu yang begitu berharga untuk kita jadikan pelajaran. Itu semua telah dikontruksikan sedemikian rupa oleh penjajah demi melanggengkan kekuasaanya dengan melakukan politik pecah belah (Devide et Impera) antar sesama etnis selama ratusan tahun mendiami nusantara secara damai.
Kini, sudah 65 tahun Indonesia merdeka (diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945) namun dampak dari penjajahan tersebut ternyata masih terlihat dibeberapa sikap dan perilaku kita. Sehingga membuat kita selalu merasa inferior (Minderwaardigheid). Mungkin saja hal lumrah seperti posisi duduk itu juga merupakan salah satu efek karena dahulu bangsa pribumi selalu diposisikan terbelakang dan selalu dibelakang. Dan perilaku tersebut secara kontunyu dipaksanakan oleh penjajah hingga terinternalisasi kedalam lubuk-sanubari bangsa kita.(dimuat di Republika Online tanggal 10 Juli 2012)
Semarang, 2 Juli 2012

Kondomisasi sebuah Kebohongan Publik

Sekali lagi kita dikejutkan oleh kebijakan pemerintah. Setelah beberapa bulan lalu rakyat dibuat “marah” dengan rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kini muncul lagi kebijakan dari Kementrian Kesehatan (KemenKes) yang ‘nyeleneh’. Dengan dalih agar bisa mengurangi tingkat penyebaran penyakit menular, pemerintah mengkampanyekan kondomisasi nasional. Kebijakan ini jelas tidak bijak dan tidak pantas disebut “ke-bijak-an”. Dengan diterapkannya kebijakkan ini jelas pemerintah tidak lagi melindungi nasib gernerasi muda kini dan dimasa yang akan datang. Kondomisasi justru membuka akses untuk melakukan seks bebas. Padahal secara medis sudah dibuktikan antala lain;
1. Penelitian yang dilakukan oleh Lytle, et. al. (1992) dari Division of Life Sciences, Rockville,   Maryland, USA, membuktikan bahwa penetrasi kondom oleh partikel sekecil virus HIV/AIDS dapat terdeteksi.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Carey, et. al. (1992) dari Division of Pshysical Sciences, Rockville, Maryland, USA, menemukan kenyataan bahwa virus HIV dapat menembus kondom. Kondom yang beredar di pasaran 30% bocor.
3. Direktur Jenderal WHO, Hiroshi Nakajima (1993) menyatakan bahwa efektivitas kondom diragukan. Pernyataan J. Mann (1995) dari Harvard AIDS Institute yang menyatakan bahwa tingkat keamanan kondom (bebas kebocoran) hanya 70%.
4. Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pori- pori kondom berdiameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang pori-pori tersebut mencapai 10 kali lebih besar. Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa virus HIV dapat dengan leluasa menembus kondom.
5. Laporan dari majalah Costumer Reports (1995) menyatakan bahwa pemeriksaan dengan menggunakan elektron mikroskop dapat dilihat pori-pori kondom yang 10 kali lebih besar dari virus HIV.
6. Pernyataan dari M. Potts (1995) Presiden Family Health International, salah satu pencipta kondom mengakui antara lain bahwa : “Kami tidak dapat memberitahukan kepada khalayak ramai sejauh mana kondom dapat memberikan perlindungan pada seseorang. Sebab, menyuruh mereka yang telah masuk ke dalam kehidupan yang memiliki resiko tinggi (seks bebas dan pelacuran) ini untuk memakai kondom, sama saja artinya dengan menyuruh orang yang mabuk memasang sabuk ke lehernya”.
7. Pernyataan dari V. Cline (1995), Profesor psikologi dari Unversitas Utah, Amerika Serikat, menegaskan bahwa memberi kepercayaan kepada remaja atas keselamatan berhubungan seksual dengan menggunakan kondom adalah sangat keliru. Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan.
8. Pernyataan pakar AIDS, R. Smith (1995), setelah bertahun- tahun mengikuti ancaman AIDS dan penggunaan kondom, mengecam mereka yang telah menyebarkan “safe sex” dengan cara menggunakan kondom sebagai “sama saja dengan mengundang kematian”. Selanjutnya beliau mengetengahkan pendapat agar reiko penularan/penyebara n HIV/AIDS diberantas dengan cara menghindari hubungan seksual di luar nikah. Di Indonesia pada tahun 1996 yang lalu kondom yang diimport dari Hongkong ditarik dari peredaran karena 50% bocor.
9.  Gordon Wambi (2003) seorang aktivis AIDS menyatakan ketidaksetujuannya pemakaian kondom. Hal ini sesuai dengan Vatican’s Pontifical Council for Family yang menyerukan kepada pemerintah agartidak menganjurkan pemakaian kondom kepada rakyatnya; kampanye kondom sama saja resikonya dengan kampanye   rokok,   bahayanya sama.[1] Dan masih sederet lagi penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa pemakaian kondom sangat beresiko. Oleh karena itu sungguh sangat mengherankan darimanakah pemerintah dalam hal ini Kementrian kesehatan mencari referensi dalam menerapkan kebijakannya untuk mengkampanyekan kondom?.
           Ketua Majelis Ulama (MUI) Indonesia Prof Yunahar Ilyas dalam Koran Republika (29/06/2012) menilai langkah tersebut adalah solusi instan yang ditawarkan tanpa memperhatikan norma agama dan budaya. Seharusnya dikaji apa sebab terjadinya pergaulan bebas.  Senada dengan penryataan Ketua MUI Ketua Umum Muhamadiyah Din Syamsudin menyatakan “Upaya kampanye yang dilakukan saat ini justru mendorong perilaku seks bebas, lalu beliau juga menyatakan “Dengan kampanye kondom sama saja melakukan pendidikan dengan pendekatan liberal”.
Dari beberapa penelitian ilmiah dan beberapa pandangan tokoh agama tersebut sudah memberikan gambaran yang jelas bahwa kondomisasi bukanlah sebuah solusi yang tepat. Pendekatan agama tetap-lah menjadi sandaran yang utama bukan dengan pendekatan ala barat. Kemudian pemerintah seharusnya melindungi rakyatnya (khususnya generasi muda) dengan mengkampanyekan gerakan anti seks bebas di media-media, dipinggir jalan, dan dimanapun. Selain itu pemerintah lebih menggiatkan lagi pendidikan seks yang bermoral bukan dengan mengkampanyekan kondomisasi yang menabrak sendi-sendi agama. Dalam Islam jelas “Jangan mendekati zina”. Tidak usah kampanye kondom toh saat ini kondom mudah sekali didapatkan ditempat-tempat perbelanjaan bahkan dijadikan hadiah dalam membeli produk-produk tertentu.,.Negara ini adalah negara yang berketuhanan. Kampanye kondom jelas bukanlah solusi dinegara yang berketuhanan, itu adalah solusi dinegara yang tidak bertuhan.



[1] “Kampanye Dukungan untuk Menolak Pekan Kondom Nasional 2007” oleh Yuhana dalam http://yuhana.wordpress.com diunduh tanggal 30 Juni 2012 pukul 17.00