Kamis, Maret 28, 2013

Dimensi Lain


Ada dua keadaan yang terkadang membuat emosi saya “terguncang”. Pernah keadaan itu membuat diri saya tersenyum, tetapi pernah juga membuat diri saya menangis, pernah melemparkan ingatan saya kemasa lalu, tapi pernah juga melemparkan imajinasi saya untuk melihat masa depan kelak. Padahal saya sedang berada dalam “masa sekarang”.

Kamis, Maret 21, 2013

Mengklaim Kebodohan



Dalam paradigma Multiple Intellegences setiap anak memiliki kecerdasan sendiri-sendiri.Howard Gardner melahirkan paradigma tersebut sebagai bentuk koreksi terhadap konsep kecerdasan ala Alfred Binet (1857-1911), dinama menurut Binet dasar kecerdasan individu terletak pada Intellegences Question (IQ) saja.Binet menempatkan kecerdasan seseorang dalam ukuran skala tertentu yang menitikberatkan kemampuan berbahasa dan logika.

Kontroversi Seputar Kelahiran KAMMI


JUMAT nanti (29 Maret 2013) KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) ganjil sudah berusia 15 tahun. Penetapan usia ini berdasarkan peristiwa Deklarasi Malang tanggal 29 Maret 1998 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam pertemuan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) ke - X.

Senin, Maret 18, 2013

Kader PKS Jateng Serbu Hotel Horison

Suasana pagi itu masih terasa sepi dan dingin. Meskipun begitu perlahan-lahan sinar mentari dari ufuk timur naik dan mulai memberi kehangatan, hingga udara-pun berubah menjadi sejuk. Warga Jawa Tengah (Jateng) pun mulai terbangun dari tidurnya. Seperti biasa, pada hari ahad Bundaran Simpang Lima selalu tumpah ruah oleh warga. Bisa dikatakan mungkin hanya seminggu sekali warga mengadakan “Pesta Rakyat”. Pada hari itu mereka secara leluasa bermain diatas halusnya jalan raya sambil bersepeda dan berjalan kaki.

Senin, Maret 11, 2013

Melawan Hegemoni Jahat

Kamis lalu (07/03/13) saya berkesempatan pergi ke toko buku Gramedia di Jalan Pemuda Kota Semarang. Bagi saya momen-momen mengasyikan adalah ketika memandangi koleksi buku yang berjejer di rak toko. Entah kenapa ada hiburan tersendiri ketika melihat beragam judul serta warna-warni cover yang menarik perhatian itu.
Biasanya jenis buku yang pertama kali saya liat adalah novel, sejarah- fislasat- social-politik dan kebudayaan, baru setelah itu beralih buku-buku lainnya. Hal pertama yang saya lakukan setelah melihat judul dan cover adalah membaca halaman kata pengantar terlebih dahulu. Saya teringat nasehat salah seorang dosen. “Kata pengantar itu bisa memberikan gambaran umum keseluruhan buku”. Nasehat itu saya jadikan pegangan hingga kini. Saya pikir ada benarnya juga, lagi pula saya tidak mungkin menyelesaikan bacaan saya dalam waktu singkat, apalagi disebuah toko buku yang waktunya terbatas. Oleh sebab itu membaca halaman kata pengantar adalah tips bagus untuk mendapatkan gabaran umum sebelum tertarik untuk membelinya.
Saya selalu senang jika melihat orang lain antusias membaca buku. Sepertinya didalam hati saya ingin selalu memberikan tempat tersendiri bagi mereka yang gemar membaca buku. Saya sangat menghormati orang-orang seperti itu. Saya merasa orang yang antusias itu telah memberikan energi positif kepada saya agar juga ikut antusias untuk memburu ilmu dan pengetahuan.
Berada diantara orang-orang seperti itu terkadang membuat saya berpikir betapa beruntungnya saya diberikan kesempatan oleh Allah untuk menimba ilmu sampai jenjang perguruan tinggi. Bisa baca, bisa nulis, bisa mengerti arti penting membaca buku dalam kehidupan. Mengerti arti penting membaca buku saja sebetulnya adalah sebuah anugrah besar yang semestinya saya syukuri meskipun belum tentu buku-buku itu saya pahami. Melihat banyak teman-teman saya di Desa sepertinya dalam keadaan“Tidak mengerti dalam ketidakmengertian”. Tentu yang saya maksud adalah dalam hal pentingnya membaca buku. Bukan bermaksud sombong bahwa saya sudah termasuk orang yang  “mengerti”, tkarena bisa jadi saya juga termasuk orang yang “tidak mengerti dalam ketidakmengertian”.
Terkadang saya merasa iri sekaligus haru saat melihat ada anak Sekolah Dasar (SD), SMP, SMA, yang tinggal diperkotaan sedang asyik membaca buku. Seakan-akan mereka sudah tak asing dengan nama-nama penulis terkenal. Bisa jadi mereka selalu mengikuti perkembangan buku-buku bacaan terbaru. Menengok masa-masa saya ketika SD, SMP, SMA tidak seperti mereka. Entah karena mungkin karena ketiadaan akses atau mungkin juga saya waktu itu dalam keadaan “Tidak mengerti dalam ketidakmengertian”. Saya juga terkadang merasa iri ketika melihat ada orang tua begitu antusias memompa semangat membaca anak-anak mereka. Bukan bermaksud menyesali keadaan, karena apapun yang telah saya alami saya yakin semuanya akan terjawab nanti. Bukankah Allah itu Maha Tahu?
Saya terkadang berpikir ketika melihat banyak profil manusia “sukses” yang menuai kesuksesannya dengan perjuangan panjang. Ada seorang anak petani tetapi kini telah menjadi seorang presiden, menteri, gubernur, guru besar, dokter, teknisi dan sebagainya. Mereka bisa dikatakan “berhasil” keluar jadi jeratan “kemelaratan” atau “keterbelengguan” atau terjebak sebagaimana pepatah “Katak dalam tempurung”. Mereka telah berhasil melakukan mobilitas vertical.  Padahal mereka anak desa, miskin, ndeso dan minim fasilitas. Luarbiasa!
Saya ingin bercerita ketika masih SMA dulu, kebetulan saya memilih jurusan IPS sehingga saya masih ingat betul pelajaran guru sosiologi saya. Pada waktu itu beliau (guru SMA saya) menjelaskan mengenai status. Ada istilah achieved status, ascribed status, dan assingned status. Achieved status adalah seseorang menyandang status sejak dilahirkan dan biasanya dalam struktur masyarakat feodal. Ia tidak perlu kerja keras untuk mendapatkan status ini. Seorang anak raja--Putra Mahkota –bisa digolongkan dalam kategori ini. Kemudian Ascribed status, adalah status dimana untuk memperolehnya seseorang harus memperjuangkannya. Sebagaimana ilustrasi sebelumnya ada anak dari keluarga petani  namun berhasil menjadi presiden, menteri, gubernur dsb. Mereka-mereka itu mendapatkannya dengan perjuangan panjang yang biasanya tidak mudah alias “berdarah-darah”. Kemudian terakhir assigned status adalah status yang “disematkan” kepada seseorang atas jasa-jasanya seperti Kyai, pahlawan, Ulama, Pastor, Biarawan, Romo, Pendeta dsb. Tentu pengkategorian status ini ini menurut hemat saya sendiri masih sangat dangkal. Karena tentu pengkategorian ini tidak berlaku rigid (kaku). Bisa saja terjadi dalam keadaan masyarakat feudal terdapat kasus dimana “orang-orang biasa” bisa juga mendapatkan status istimewa. Sebagaimana terjadi pada Ken Arok, pemuda berkasta sudra yang sukses jadi raja. Dan bisa pula dizaman demokrasi saat ini masih saja ada orang-orang yang bersikap feodal. Sebagaimana kita sasikan saat ini dalam dunia hukum saja, hukum di negeri kita katanya hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. Giliran ada anak pejabat yang terjerat kasus kriminalitas, perlakuannya berbeda lagi.
Saat saya bekesempatan pulang kampung di Bogor, saya sering menjumpai teman-teman lama saya. Teman-teman semasa SD, SMP, juga SMA. Mereka sudah ada yang menikah dan punya anak. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga kurang berada sehingga kebanyakan diantara mereka banyak yang berhenti sekolah setelah lulus SD. Sekolah bagi mereka—mungkin juga menurut orang tua mereka secara turun temurun—dianggap tidak terlalu utama, terkesan mewah, buang-buang waktu dan kurang menghasilkan uang. Di Desa saya --Desa Cogreg Kecamatan Parung Kabupaten Bogor--kebanyakan para anak muda-mudi cukup puas menjalani hidup hanya sebagai pekerja kasar. Mereka ada yang jadi kuli tangkap ikan, menjahit, kuli panggul, pekerja pabrik-pabrik di sekitar kota Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi (JABODETABEK). Pola pikir mereka cukup sederhana yang penting bisa kerja, bisa hidup, makan, ngerokok, nongkrong-nongkrong, nge-gaya, punya motor dan kawin. Sehingga jika saya amai dari tahun ke tahun perkembangan pembangunan didesa saya lambat sekali. Meski hampir semua memiliki hape bagus-bagus, namun tetap saja pola pikir mereka masih “terbelakang”. Al-hasil mereka benar-benar paling terdepanmenerima dampak golalisasi. Mereka benar-benar taklid!. Salah satu hal yang paling mudah dilihat adalah sikap hidup dan pakaian.
Saya termasuk anak muda desa yang beruntung. Saya dibesarkan dalam lingkungan seperti mereka dan kehidupan keluarga saya-pun tidak jauh berbeda. Ayah hanya seorang kuli upahan yang pendapatannya sangat tidak menentu. Ayah saya hidup dari seorang majikan pelit yang tidak terlalu perduli dengan kesejahtraan karyawannya. Namun segala puji bagi Allah hingga saat ini saya berkesempatan melanjutkan studi hingga jenjang perguruan tinggi negeri. Ya, bagi saya ini adalah prestasi bagi saya dan keluarga saya. Bahkan ada sebagian tetangga saya-pun tidak percaya.
Saya  berkesempatan menimba ilmu di Universitas Diponegoro jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2008, salah satu Universitas terkemuka di Jawa tengah. Saya bisa merasakan pergulatan intelektual ilmu yang terjadi dalam dunia akademik, belajar sastra, sejarah, filsafat, jurnalistik, menulis, public speaking dan banyak lagi. Memang banyak biaya yang dikorbankan. Dimana kesempatan berharga yang saya dapatkan ini belum tentu dirasakan oleh teman-teman saya yang kini masih menjadi kuli. Padahal waktu SMP hampir saja saya menjadi kuli dan menikmati menjadi kuli. Untung ibu saya memberi motivasi agar terus lanjut sekolah. Meski cerewet, ibu saya kerap memotivasi saya agar lanjut sekolah dalam keadaan apapun. Nasehatnya sederhana “Apa elu pengen bodoh kayak emak bapak lu, emak pengen elu pinter ora kayak emak bapak lu! Jadi orang bodoh-mah gak enak dibodohin orang mulu”. Begitu nasehatnya. Alhasil hingga saat ini saya bisa menyenyam perkuliahan meski dalam perjalanannya sungguh tidak mudah penuh dengan pergolakan batin. Bukan masalah bisa tidak, bisa mampu tidak mampu, namun melawan hegemonic lingkungan yang “kasar dan tidak ramah” itu yang tidak mudah. Mungkin itu yang juga dirasakan teman-teman saya di Desa. Dan karena itu pula ada yang mampu bertahan (istiqomah) dan ada juga yang tidak tahan. Mereka memilih tidak melanjutkan studi memilih langsung bekerja.
Saya yakin jika saja teman-teman saya memiliki kesempatan mungkin mereka bisa menjadi “orang hebat”. Tetapi sayang kesempatan itu belum berpihak kepada mereka. Keyakinan itu saya tujukan kepada teman-teman saya yang waktu SD, SMP, SMA memiliki antusiasme tinggi dalam belajar. Namun sayang, keluarga mereka tidak sanggup membiayai mereka dan tidak mengerti harus kemana meminta pertolongan. Akhirnya segala potensi kecerdasan mereka, segala antusiasme mereka, segala impian mereka tenggelam dalam arus hegemonic yang tak ramah dan memaksa mereka patuh dengan keadaan. Bagi yang berhasil keluar dari jeratan itu maka beruntunlah ia dan bagi yang terus terikat dan rela terikat maka terima-lah dengan segala kelapangan dada. Mungkin kesempatan baik masih berpihak bagi anak-anak kaya yang hidup diperkotaan dengan segala akses pendukungnya. Meskipun sering kali terdengar mereka-mereka yang mengharumkan nama Indonesia adalah dengan segala prestasinya berasal dari pelosok-pelosok negeri yang jauh dari kemewahan.
Maka, sudah seharusnyalah pengelola negeri ini—pemerintah--- memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada seluruh anak-anak negeri dengan memberikan mengalokasikan anggaran kepada pendidikan secara merata. Membangun pusat-pusat pelatihan dan pengembangan, sarana dan prasarana pendukung pendidikan yang merata sampai ke desa-desa dipelosok. Anak desa yang jauh dari perkotaanpun harus diberikan fasilitas serupa.  Tidak ada diskriminasi atas nama apapun dalam dunia pendidikan. Semua anak bangsa harus diperlakukan sama. Tidak ada kata dominasi kota-desa dalam kecerdasan seorang anak yang dilahirkan kedunia!. Hapus istilah sekolah favorit, hapus istilah sekolah unggulan, Tentu dalam hal ini pemerintah tidak bisa bergerak sendiri, pemerintah harus bekerjasama dengan berbagai pihak. Tetapi ibarat nahkoda pemerintah pemegang kendalinya. Jika pemerintah berhasil mewujudkan ini, setidaknya gugurlah kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya.
Saya kira itu kewajiban pemerintah yang utama mendorong dan membimbing masyarakat --para orangtua-- apalagi diera demokrasi saat ini. Kesempatan harus dibuka seluas-luasnya agar rakyat mampu melihat kemudian mengerti betapa luasnya negeri ini, betapa kaya negeri ini, betapa indah negeri ini, betapa besar peradaban negeri ini. Dan hal itu harus ditanamkan, harus dibimbing oleh pemerintah—melalui sekolah—agar para siswa mencintai bangsanya dan berani bermipi besar, berani berimajinasi, berani berkarya dan berani menginspirasi. Saya yakin dimasa yang akan datang bangsa kita akan melahirkan orang-orang besar yang berfikir besar. Hal ini bisa terwujud asalkan pemerintah –sekolah--mengapresiasi tinggi setiap potensi diri anak didiknya. Memberikan jalan agar para putra bangsa –meminjam istilah Bang Andi F, Noya---menemukan lentera hidupnya.

Semarang, 11 Januari 2013