Penelitian UNESCO soal rendahnya minat baca masyarakat Indonesia perlu dikaji secara kritis. Hal ini untuk mendudukan persoalan secara jernih sebagai landasan dalam membuat kebijakan di masa yang akan datang. Ketidakjernihan dalam melihat persoalan bisa menjadi petunjuk yang menyesatkan. Bangsa Indonesia bisa jadi mengalami stigma berat dimata dunia. Bukankah dahulu bangsa ini selalu di stigma menjadi bangsa yang bodoh oleh penjajah?. Tentunya bukan berarti tulisan ini membela diri secara fanatic atas riset UNESCO, tapi perlu kerjernihan dalam melihat persoalan. Di dalam riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University (CCSU) tahun 2018, minat baca orang Indonesia itu rendah yakni hanya 0,001%. Artinya, hanya 1 dari 1000 orang yang gemar membaca.
Logika sederhana, ada sepuluh anak di desa, sejak kecil tidak terdapat perpustakaan di rumahnya atau di desanya. Fasilitas perpustakaan dan perangkat digital hanya tersedia di perkotaan. Kesepuluh anak tersebut ternyata dari berasal kalangan miskin. Lalu ada satu tim melakukan penelitian dan menyimpulkan tentang minat baca dengan ukuran jumlah buku yang dimiliki, tingkat kehadiran di perpustakaan, dan jumlah buku yang dibaca. Agaknya riset UNESCO itu terlalu jauh dalam membuat kesimpulan. Ada semacam penghakiman secara tendensius kepada karakter masyarakat Indonesia. Seolah-olah penelitian ini ingin mengatakan bahwa karakter orang Indonesia itu pemalas. Buktinya rendahnya minat membaca.
Untuk menjawab survei UNESCO tersebut, kita harus menampilkan secara keseluruhan kondisi demografis Indonesia. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, angka kemiskinan di Indonesia tahun 2018 masih tergolong tinggi yakni 25, 95 juta orang (9.85%), angka pengangguran terbuka ditahun yang sama sebanyak 7 juta orang. Kondisi ini bukanlah kondisi yang baik bagi suatu negara untuk membiasakan masyarakat untuk meningkatkan literasi. Masyarakat masih dalam tahap berjuang untuk menghidupi kebutuhan dasar mereka.
Selain itu berdasarkan data Perpustakaan Nasional, sampai dengan tahun 2021 persebaran buku di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah masyarakat Indonesia. Buku yang tersebar sekitar 25 juta, sedangkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 270 an juta sehingga perbandingannya 1: 90. Artinya 1 buku harus ditunggu 90 orang.
Jika diperinci setiap provinsi mengalami kekurangan. Di Jawa dan Bali, dengan jumlah penduduk 154 juta jiwa, jumlah buku sebanyak 11 juta eksemplar atau rasionya 0,58. Di Sumatera, jumlah penduduk 58 juta jiwa sementara jumlah bukunya sebanyak 6,04 juta eksemplar dengan rasio 0,10. Di Kalimantan, jumlah penduduknya 16 juta jiwa, dan jumlah bukunya sebanyak 2,05 juta eksemplar, dengan rasio 0,60. Di Sulawesi dan Nusa Tenggara, jumlah penduduk 31 juta jiwa, jumlah bukunya 2,3 juta eksemplar, dengan rasio 0,63. Sementara di Papua dan Maluku, jumlah penduduk 8,6 juta jiwa, jumlah bukunya 709 ribu eksemplar, dengan rasio 0,38.
Dengan demikian rendahnya minat baca sebagaimana yang disematkan UNESCO kepada masyarakat Indonesia tidak bisa diterima mentah-mentah. Masyarakat juga tidak boleh keliru dalam mengambil kesimpulan sehingga menjadikannya semakin inferior. Jika berkaca pada sejarah bangsa justru di negeri ini banyak ditemukan ratusan macam aksara. Hal ini menandakan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia cukup tinggi. Lagipula tola ukur tingginya suatu peradaban bukanlah sekadar diukur dari literasinya. Jika hanya patokannya adalah literasi, apakah suatu wilayah yang terdapat artefak megah era pra aksara bisa disebut masyarakat yang berperadaban rendah?. Jadi rendahnya minat baca suatu masyarakat bukan berarti berasal dari karakter masyarakat itu sendiri, namun bisa juga bersumber dari kondisi struktur politik dan ekonomi suatu negara.