Waktu itu pukul 14.00 aku berangkat
dengan hati sedikit kecewa dengan orang tuaku. Aku berangkat menuju Semarang
dengan menggunakan jasa kereta api ekonomi jurusan Pasar Senen-Malang (Jawa
Timur). Sebenarnya aku seharusnya berangkat ke Semarang menggunakan kereta api
jurusan Pasar senen- Stasuin Poncol (Semarang) pukul 21.30, namun karena aku
kehabisan tiket, dan ter lihat tulisan di loket jurusan yang ke Stasuin Poncol
“TUTUP tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”. Aku menyakinkan lagi dengan
bertanya kepada petugas loketnya dan Satpam yang berdiri didepan loket,
ternyata memang tidak ada. Kalaupun ada, aku harus membeli tiket kelas bisnis
dengan harga Rp. 150.000 itupun tidak dapat tempat duduk, alias berdiri.
Padahal harga normalnya Rp 100.000 dan sudah dapat tempat duduk. Dalam hati aku
bergumam “beuh mahal bangeet, berdiri lagi, ogah ah”. Akhirnya aku harus
menerima kekecewaan yang kedua kalinya. Hatiku semakin galau, rongga dada ini
semakin sesak, seperti ada sesuatu yang menekan. Dalam hati aku bertanya-tanya,
mengapa aku harus mengalami kejadian ini semua? Apakah kejadian ini sungguhan?
Mengapa kejadian ini harus aku alami ketika mendekati ujuan akhir semesterku
tanggal 6 Januari besok? Aku seperti tidak percaya dengan kejadian yang aku
alami. Biasanya aku tidak pernah kehabisan tiket ketika berangkat dari Jakarta.
Tapi kejadian ini benar-benar harus aku alami, dan ini adalah pengalaman
pertamaku kehabisan tiket. tetapi aku diberi tahu oleh pak Satpam bahwa besok
(tanggal 5 Januari) ada kereta Jurusan ke Stasiun Poncol Semarang, nama
keretanya “Matraman Jaya” pukul 2 siang dan sampai ke Stasiun Poncol pukul 10
malam, ia sambil menunjukan telunjuknya ke arah papan loket. Luarbiasa
keramaian di stasiun Senen waktu itu. Mungkin karena suasana mudik atau arus
balik pasca tahun baru sehingga harga tiket melambung. Dengan hati yang sedikit
tenang karena masih ada kesempatan berangkat besok pukul 2 siang, Rasa kecewa
yang menyelimuti hati pun sedikit terobati.
Tubuhku yang dalam
keadaan sedikit melemah segera menjauhi loket, kulihat di depan loket ada kursi
panjang dan seorang pedagang asongan sedang duduk menggendong dagangannya.
Dalam keadaan sedikit kecewa aku duduk di kursi panjang itu tanpa permisi
kepada pedagang asongan itu. Jiwaku sendiri dalam keramaian. Aku masih
membayangkan peristiwa-peristiwa yang mengiringku hingga sampai ke Stasiun
Senen. Perjalanan dari rumah yang diantar ayahku hingga ke Masjid Riyadlus
Shalihin (Marisha) Parung dengan sepeda motor Honda Legenda “Jadul”
kesayangannya, mencium dengan hangat tangan ayah, Stasiun Lebak Bulus yang
sumpek, perjalanan ke Stasiun Senen dengan kemacetannya yang menyiksa masih
hangat terekam oleh ingatanku. Aku seperti mengulang peristiwa-peristiwa yang ku
alami dalam sendiri. Dalam kesibukan dengan pikiranku, tiba-tiba aku disapa
oleh si Pedagang asongan usia 40an yang ada disampingku. Perawakannya kurus,
hitam, tapi sangat ramah. Spontan saja aku terkejut. Ia bertanya dalam bahasa
Jawa “ajeng ten pundi Mas?” (artinya mau kemana mas?). Kemudian aku
jawab “ke Semarang Pak tapi kehabisan tiket”. Mendengar aku berbicara dalam
bahasa Indonesia, kemudian dia bertanya lagi dalam bahasa Indonesia
“Semarangnya dimana, kerja?” aku jawab “Semarangnya di daerah Tembalang, enggak
pak, saya masih kuliah semester 6 di Undip”. Dia menjawab lagi “owh mau
kuliah…” dalam hatiku aku menduga sepertinya pedagang asongan ini kurang tahu
banyak tentang Semarang dan segala hal mengenai perkuliahan, karena dia hanya
cukup menjawab singkat seperti itu. Karena aku sering ditanya seperti itu oleh
sesama penumpang kereta api dengan pertanyaan yang tidak jauh berbeda tapi
pertanyaanya lebih variatif dan jawabannyapun tidak sederhana mulai dari
bertanya mau kemana, asalnya dari mana, pekerjaan, fakultas adan jurusan,
tempat kost, bahkan berlanjut sampai bercerita lebar tentang pengalamannya,
saudara atau anaknya yang kuliah. Tapi itu hanya dugaanku saja bisa jadi si
pedagang asongan itu memang sedang tidak ingin banyak bicara.
Untungnya aku
mempunyai kakak perempuan yang menikah dengan orang Tanah Abang, langsung saja
aku segera menelepon kakaku yang di Tanah Abang dan memberitahu perihal yang
aku alami, juga agar ia bisa menampungku untuk menginap semalam dirumahnya.
Teleponku pun diangkatnya dengan nada sedikit prihatin dan khawatir, akhirnya
kakak iparku bersedia menjemputku dan diminta untuk menunggu.
Obrolanku dengan si
Pedagang asonganpun berlanjut. Kali ini pembicaraan menjadi semakin mencair,
dan akupun merasa lega. Kemudian sambil makan Pop Mie yang aku beli darinya aku
mulai bertanya perihal jati diri pedagang asongan itu. “nama bapak siapa dari
mana asalnya? Ia memberitahu namanya tapi aku lupa siapa namanya. Ia berasal
dari Jawa Timur tepatnya Madiun. Lalu aku Tanya lagi “sudah berapa lama di
Jakarta Pak”? ia menjawab “wah sudah lama mas, sudah lima belas tahun saya
merantau” lalu aku menjawab lagi “ wah lama juga ya pak”. Dengan sendirinya ia
bercerita ngalor ngidul. Aku lantas menjadi pendengar yang baik,
selintas aku mendengar istilah “mencari sesuap nasi”, “pekerjaan yang sulit
dikampung”, “demi keluarga”. Aku selalu senang mendengar cerita atau pengalaman
orang-orang ketika bercerita di Stasiun. Bagiku mendengar pengalama-pengalaman
orang yang lebih dahulu merasakan asam garam kehidupan adalah sesuatu yang
sangat berharga. Oleh sebab itu jika ada orang yang bercerita, aku dengan
semangat mendengarkannya. Dengan mendengar pengalaman-pengalan orang yang hidup
lebih dahulu dariku, aku berharap banyak pelajaran berharga yang aku peroleh,
sisi positifnya akan aku ambil dan sisi negatinya cukup aku ketahui saja dan
tidak aku tiru. Semoga jika suatu saat aku mengalami peristiwa yang serupa, aku
mampu bertindak lebih arif. Rasa kecewa ku hilang seketika ketika ia bercerita
panjang lebar tentang sisi-sisi kehidupannya. Apakah aku ia jadikan sebagai
teman curhatnya? Aku juga tidak mengerti. Yang pasti ia bercerita mulai dari
latar belakang keluarganya, anak dan istrinya, pertama kali ia datang ke
Jakarta dan meninggalkan keluarga di Madiun. Aku sempat terfikir terkadang
seseorang memang butuh didengar, dimengerti dan juga perlu berbagi dengan yang
lain. Mungkin akulah salah satu orang yang kebetulan dicurhati si pedagang
asongan itu.
Mendengar panjang
lebar ceritanya, aku merasa semakin tentram, damai, sejuk, malu dengan diriku
sendiri karena selama ini aku kurang bersyukur dengan keadaan. Ternyata setiap
orang memang memiliki sisi-sisi kehidupan yang berbeda-beda. Dan aku merasa si
pedagang asongan itu tidak lebih beruntung dari kehidupan yang aku alami. Ia
hanya tamat SD, sedangkan aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk
merasakan suasana perkuliahan dikelas, diberi uang saku, menikmati ceramah
dosen, berorganisasi dsb. Sedangkan jika mendengar cerita si pedagang asongan
itu lagi-lagi aku merasa sangat jauh berbeda seperti apa yang ia alami. Tapi
dengan semangat ia tidak menyerah, ia hijrah ke Jakarta untuk memperbaiki
hidupnya, iapun menikah dan punya anak. Ia jalani setahap demi setahap
fase-fase kehidupan, berjualan dari pagi buta hingga malam untuk menghidupi
keluarga di kampung. Bahkan yang lebih miris lagi ia jarang pulang, ia pulang
jika ada hal-hal yang ia anggap wajib seperti hajatan keluarga, lebaran,
lahiran istri, dan jika ada keluarga seperti anak dan istrinya yang sakit parah.
Bahkan ia bercerita dengan bangga suatu ketika ia bertarung dengan waktu karena
ia harus menjadi wali dalam pernikahan adik perempuannya, ia tidak sayang
mengeluarkan uang banyak membeli tiket kereta kelas bisnis. Jawabnya sederhana
“demi keluarga uang tak jadi soal”. Dalam hati aku terhenyak “orang Indonesia
memang luar biasa”.
Kakak iparkupun
datang. Kulihat dari jauh ia terlihat sedang mencari-cari seseorang, padahal
jarakku dengannya cukup dekat, mungkin saking ramainya ia sampai tidak
mengenalku. Aku langsung memanggil-manggilnya sambil melambaikan tangan. Sambil
mengucapkan permisi, akupun naik motor kakak iparku dan aku dibawa menginap
dirumahnya.
Keesokan harinya
tepat pukul 07.30 akupun diantar lagi oleh kakak iparku untuk membeli tiket
untuk pemberangkatan pukul 14.00 siang. Jarak antara kediaman kakaku dengan
Stasiun lumayan jauh dan aku merasa sudah cukup merepotkan kakak iparku. Aku
tidak ingin menjadi bebannya untuk bolak-balik mengantarkanku dari rumahnya
kestasiun nanti akan sangat membuang waktu dan tenaga. Akhirnya aku meminta
agar kakak nanti tidak usah menungguku mengantri membeli tiket, kakak cukup
kembali lagi saja kerumah bekerja lagi di Bengkel. Aku menjelaskan kepadanya
untuk masalahku selama menunggu pemberangkatan pukul dua tidak usah terlalu
difikirkan. Iapun mengiayakan permintaaku, ia kembali kerumahnya.
Setelah mendapatkan
tiket, tujuanku selanjutnya adalah menuju masjid dekat Pasar Senen, aku lupa
nama masjidnya. Setelah sampai didepan pintu masjid, aku terkejut melihat gerbang
masjid di gembok dan dengan kondisi masjid yang sangat sepi. “waduh istirahat
dimana ini?” gumamku. Setelah aku mondar-mandir disekitar masjid, aku bertanya
kepada petugas parkir didekat masjid, “permisi pak numpang tanya, kok gerbang
masjid di kunci ya?”. Ia menjawab “lewat belakang mas, belok ke kanan trus ada
pintu kecil masuk”. Aku heran dengan keadaan disekitarku. Dalam hati aku
bertanya-tanya motor-motor banyak sekali parkir dibelakang masjid tapi
masjidnya kok sepi?. Aku merasa lain sendiri, banyak orang disekitarku
berduyun-duyun berkendara motor untuk memakirkan motornya tapi aku dengan PD
nya berjalan kaki melewati motor demi motor kearah pintu kecil di belakang
masjid. Setelah melewati pintu kecil itu, aku langsung duduk diserambi kiri masjid.
“Masjid yang aneh, kok gak ada orang yang singgah dan sholat duha sama sekali
ya? udah sepi, adem pula” gumamku. Setelah merebahkan tubuh tiba-tiba menyusul
seseorang dengan mata yang tertuju kearahku, namun ketika pandangan mataku
berpapasan dengan pandangannya ia seolah-olah tidak sedang memperhatikanku. Aku
tidak kenal siapa orang itu, tapi sepertinya aku melihatnya ketika sedang sibuk
memakirkan motor. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan didalam masjid, terkadang
ia masuk, terkadang ia keluar, juga ia seperti sedang sibuk mengecek
mesin-mesin mobil yang terparkir didalam masjid. Hanya ada aku dan dia yang ada
didalam masjid, tanpa bicara sepatah katapun. Akhirnya aku bosan berdiam diri,
aku segera mencairkan suasana dan mulai mengajak bicara “pak, kok didalem sepi
bangeet ya, kok jam segini pintu gerbang depan dikunci?” ia menjawab “begini
mas jadi disini tuh sering terjadi kehilangan, dan antisipasi saja supaya
preman dan pengemis itu tidak masuk kedalam masjid, yaa karena sering
kehilangan, dan gerbang senagaja dikunci nanti dibuka ketika sholat dzuhur”.
Dari kalimatnya saja aku langsung paham sebenarnya aku sedang diawasi atau
mungkin juga sedang dicurgai. Tanpa panjang lebar aku langsung berkemas-kemas
sambil berkata kepada orang itu “owh begitu pak, wah maaf pak saya tidak tahu”.
Dengan rasa malu bercampur jengkel aku langsung meninggalkan masjid itu. Dalam
hati aku kesal sekali “mengapa gak bilang aja pak,, klo jam sgitu masjid gak
boleh dimasukin malah gw kayak pencuri diawasin, heeeuh!!! Apa susahnya sih
ngomong “mas gak boleh masuk masjid jam sgitu karena aturannya memang seperti
itu dan untuk mengantisipasi terjadinya banyak kehilangan barang-barang
masjid”. Dalam perjalanan menuju kestasiun yang berada 100 m di dekat masjid,
aku benar-benar merasa jengkel kepada petugas parkir yang merangkap sebagai
takmir itu. Mungkin dia segan dan tidak enak dengan ku, tapi sikap segannya
benar-benar menjengkelkan. Lebih baik menerima penolakan secara tegas dari pada
penolakan yang ditutup-tutupi dengan dalih untuk menghormati.
Seperti gelandangan
aku mencari-cari mushola disekitar Stasiun. Tubuhku benar-benar lelah. Ingin
rasanya tidur sejenak menghilangkan pegal-pegal yang ada di sekitar pergelangan
pinggang dan punggung. Dengan kemurahan Allah akhirnya mushola itu ku temukan
jauh dipojok Stasiun. Tentunnya seperti pepatah dalam bahasa Inggris “nothing
free lunch in this world” tidak ada makan siang gratis didunia ini apa lagi
di Jakarta. Aku harus mengeluarkan uang retrbusi, karena memang di mushola itu
ada penunggunya yaitu petugas penjaga mushola.
Didalam mushola
tertulis dengan jelas “DILARANG TIDUR DI DALAM MUSHOLA!”. Padahal mata ini
ibarat bola lampu seperti lampu ukuran lima watt “keyap-kreyep”. Ada
seorang wanita setengah tua tidak menghiraukan larangan itu sama sekali, ia
tidur saja tanpa merasa berdosa, akibatnya si petugas yang lumayan sangar itu
segera menegurnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya “mbak.. mbak.. mbak
bangun mbak, jangan tidur!” katanya. Kontan saja aku yang masih dalam posisi duduk
dengan mata yang redup senja terkejut dan takut. Aku punya siasat dan aku
beruntung juga diberi kebiasaan buruk atau mungkin menurut sebagian orang baik,
aku tidur dalam posisi duduk. Dalam posisi duduk aku tidak terlalu di curigai
tidak seperti mbak yang baru saja ditegur oleh petugas yang bagaikan reptil
melintang diatas sajadah. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam
akhirnya berlalu. Setelah sholat dzuhur, dzikir, SMS-an, baca majalah politik
yang aku beli di sekitar Stasiun, cukup menjadi teman setiaku menunggu tiba
pukul 2 siang. Akupun naik kereta “Matraman Jaya” dan alhamdulillah aku dapat
tempat duduk. Didalam kereta keadaanya seperti biasa ramai, berdesak-desakan,
panas, dan gaduh. Kegaduhan berasal dari para penumpang dan juga dari pedagang
asongan yang menggoda-goda penumpang dengan berbagai macam barang dagangannya.
Ada yang menjual koran bekas, koran baru, TTS (teka-teki silang), boneka
anak-anak, minuman, makanan ringan, senter, batu batere handphon, dan
macam-macam. Aku sudah tenang dengan kursi yang ku tempati. Aku hanya
melihat-lihat saja penumpang-penumpang lain yang masih sibuk mencari kursi.
Ketika aku sedang
merebahkan punggungku ke kursi, datanglah seorang anak kecil usianya sekitar
8-9 tahun duduk disekitarku menawarkan kipas anyaman yang terbuat dari bambu
seharga Rp 2000. Aku menggelengkan kepala tanda tidak ingin membeli kipasnya.
Majalah politik aku letakkan di atas pahaku. Sikap aneh anak itu baru aku
sadari ketika kepala anak itu semakin mendekat kearah pahaku, sambil mengeja-ngeja
tulisan yang terdapat dalam majalah. Aku terkejut dan aku sapa si anak kecil
itu “suka baca dik?” ia mengangguk lemah. Aku bertanya lagi “masih sekolah?
Kelas berapa? Ia menjawab dengan suara yang agak serak ia menjawab pertanyaanku
“masih, di Senen, kelas 5”.
Sambil melihat-lihat
keramaian didalam dan diluar aku tersadar bahwa si adik kecil penjual kipas ini
masih belum beranjak dari kursi yang ada didekatku, aku kembali bertanya ”dik,
jual kipas dengan siapa?” ia menoleh kearahku, dan menjawab “sama ayah”. Sambil
memegang uang yang disimpan di plastik bening transparan dan terlihat sekali
lipatan-lipatan uang seribuan, lima ribu, sepuluh ribu, serta sejumlah uang
logam. Dengan mata yang sedikit kuyu, ia masih bersemangat menawarkan kipas-kipas
itu kepada penumpang yang sedang duduk dikursinya masing-masing. Dasar anak
kecil aku langsung menasihatinya agar lebih hati-hati dalam menyimpan uang, aku
minta ia merapihkan lipatan-lipatan uang yang berantakan tak karuan itu. Aku
kasihan dan khawatir uang yang sudah diperolehnya dengan panas-panasan didalam
kereta nanti hilang atau dirampas pencuri. Lalu ia sedikit merapihkan uang-uang
itu walaupun aku perhatikan masih terlihat kacau. Tak lama kemudian ia berhenti
menawarkan kipas-kipasnya. Ia kelelahan dan tidur diatas kursi yang belum
berpenumpang dengan posisi tertelungkup. Wajahnya ia sandarkan ke atas pahanya,
sedangan kipas-kipas dagangannya masih ia genggam kuat di tangannya. Ia
tertidur. Aku dengan bapak-bapak penumpang yang posisinya di depanku tersenyum
melihat anak kecil itu. Aku pandangi anak kecil itu dengan seksama dalam hati
aku bergumam “luarbiasa, sekecil itu ia sudah harus bekerja keras membantu
ayahnya menjajakan kipas-kipas bambu itu, ia kelelahan. Tapi ia mampu
menjualnya dan hampir terjual semua kipas-kipasnya. Aku membandingkan dengan
diriku ketika seumurannya, sepertinya aku belum pernah mengalami ataupun
terbayang harus berjualan di tempat-tempat ramai seperti itu. Apakah aku
sanggup? yang ada dalam pikiran waktu itu adalah bermain dan bermain,
senang-senang tak terpikir sedikitpun bagaimana kerasnya ayah mencari uang
untuk mencukupi kehidupanku”.
Melihat anak kecil
itu aku merasa kasihan ataukah kagum sulit membedakannya, karena kedua rasa itu
bercampur. Lagi-lagi kereta ekonomi itu selalu memberiku pelajaran berharga
mengenai kehidupan. Hatiku menjadi sejuk, tentram dan tenang, betapa aku
beruntung sekali dibesarkan dalam keluarga yang mungkin lebih baik dari
keluarga si kecil itu. Ketika aku masih di Sekolah dasar ayah dan ibuku tak
mengijinkan aku bekerja. Pernah aku meminta kepada ayah aku ingin membantunya
bekerja di ladang, tapi apa reaksi ayah “udah Anton belajar aja yang bener
gak usah mikirin bapak, bapak mah udah biasa”. Seorang anak yang sudah bisa
melihat dan berfikir tentunya terketuk hatinya ketika melihat kerasnya orang
tua bekerja, dan ingin sekali bisa membantu meringankan pekerjaanya. Tapi
itulah uangkapan kasih sayang orang tua ia hanya ingin anaknya bahagia,
berkecukupan, dan bagaimanapun jenis pekerjaannya yang penting halal, ia akan
melakukannya demi anak.
“Dik bagun! Kereta
sudah mau jalan ntar kebawa ke Jawa lho” ucapku. Si adik itu terkejut dan tanpa
banyak celoteh ia segera bangkit dan bangun lalu ia beranjak kearah depanku.
Iapun luput dari pandanganku, tak tahu lagi kemana ia pergi. “Terimakasih dik
kamu telah memberi pelajaran berharga kepadaku tentang kehidupan” gumamku dalam
hati. Sekitar 5 menit kemudian kereta berwarna kuning itupun berangkat. Kursi
disebelahku langsung ditempati oleh penumpang yang belum mendapatkan tempat
duduk. Ia adalah penumpang yang tidak mendapatkan kursi. Namun karena penumpang
yang booking tempat duduk itu belum muncul, jadi untuk sementara kursi itu ia
tempati sambil menunggu penumpang asli datang. Aku menduga penumpang asli itu
kemungkinan naik dari Stasiun Jatinegara atau Bekasi.
Dugaanku ternyata
benar, ketika kereta Matraman Jaya singgah di Stasiun Jatinegara untuk
menjemput penumpang, penumpang itu naik kereta dari Sasiun Jatinegara. Pria
berumur 40 tahun-an itu berperawakan sedang menggunakan topi, jaket kulit
hitam, celana jeans dan berkumis tebal. Awalnya aku agak sedikit takut dengan
pria yang bertampang sangar itu. Sambil mencocokan huruf tempat duduk ia
berkesimpulan bahwa kursinya ada disebelah kursiku yang sedang diduduki pria
muda yang sedikit gaul itu. Sambil berkata dengan sopan ia memberi tahu kepada
pria muda itu “maaf mas tempat duduk saya” ucap pria berkumis itu sambil
menunjuk kode huruf kursi yang terdapat diatas kursi. Langsung saja pria muda
itu segera bangkit dan beranjak dari kursinya, ia sadar pria berkumis itu lebih
berhak duduk dikursi setelah ia menunjukan kode huruf kursi. Begitulah suka dukanya
naik kereta ekonomi senang atau tidak senang kita harus mengikuti aturan main
yang sudah berlaku. Lalu pria muda itu nanti duduk dimana? Ya terserah, mau
duduk lesehan di bawah ataupun lesehan didekat pintu masuk itu sudah menjadi
risiko.
Pria berkumis itu
duduk disampingku. Tak tanggung tanggung ia langsung mengeluarkan 2 hape
sekaligus yang satu Blackberry, dan yang satunya lagi Nokia tipe berapa aku
tidak terlalu paham, yang pasti 2 hapenya keren sekali. Ia sibuk SMS-an, juga
layaknya seperti customer service ia sibuk mengangkat telepon dan juga
menelepon. “ni orang sibuk amat sih”? gumamku dalam hati. Hampis setengah jam
ia sibuk SMS, telpon sana-telpon sini, dan juga terlihat penumpang yang lainpun
memperhatikannya dengan sekasama.
Akhirnya pria itu
memecah kesunyian dengan menyapa kita semua yang duduk saling hadap berhadapan,
berbasa-basi bertanya asal dan tujuan pemberangkatan dan kitapun tengelam dalam
obrolan-obrolan seputar apapun. Ia bertanya tentang asalku dan tujuan pemberangkatanku.
Pertanyaanya aku jawab seperti biasa. Ternyata ia adalah seorang wartawan
harian “pilar”, sebuah harian yang ada di Provinsi Jawa Timur. Aku agak kurang
percaya, masak seorang wartawan dan juga seorang koordinator wartawan Jawa
Timur mau naik kereta ekonomi?. Dari gaya bicaranya memang ia aktif sekali
ketika kami tenggelam dalam suasana ngobrol. Wawasannya terlihat luas sekali,
kritis sehingga memunculkan rasa kagum bagi kami semua. Ia menceritakan bahwa
ia wartawan khusus yang menangani masalah-masalah hukum dan kriminal. Aku
sangat tertarik dengan cerita-ceritanya. Muncul banyak sekali
pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutku suka duka mejadi wartawan. Ia
panjang lebar bercerita pengalamannya ketika pertama kali ia bergabung dengan
harian “Pilar”. Dan yang paling membuatku terkejut adalah ia seorang lulusan
Teknik Industri. Tapi ia mempunyai minat dengan dunia jurnalis. Akhirnya dengan
nekat dan percaya diri ia mendaftar ke redaksi harian pilar. aku kurang tahu
pasti bagaimana secara detail kisahnya, namun yang pasti ia bisa diterima
bergabung dengan harian “pilar”. Pria berkumis itu sangat senang bercerita. Ia
memberitahukan ia tidak hanya berprofesi sebagai wartawan saja, tapi ia juga
merupakan agen yang mengirimkan tenaga kerja ke Brunai, ia memiliki cabang di
Brunai. Nah inilah alasan dia mengapa memilih naik kereta ekonomi, katanya
untuk menghemat biaya, karena ia mengajak 5 calon pekerja yang akan dikirim ke
Brunai.
Ia bercerita bahwa
jaman sekarang, lulusan perguruan tinggi apapun tapi tidak menguasai informasi
dan jaringan, maka akan kesulitan memperoleh pekerjaan. Makannya mumpung masih
kuliah kamu belajar yang serius, apa lagi basic kamu sastra dan tertarik dengan
duania jurnalisme pula. mumpung masih muda kamu harus mencari sebanyak mungkin
pengalaman dan perluas jaringan. Dan juga satu keterampilan lagi yang harus
kamu kuasai adalah marketing. Ia bercerita dengan logat Jawa Timur yang keras
dan bersemangat.
Ia juga menjelaskan kepadaku ada
beberapa tipe wartawan, yang pertama wartawan foto, yang kedua wartawan tulis,
yang ketika wartawan gambar. Maksud gambar disini adalah ia merekam momen-momen
unik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kamu tinggal tentukan saja minat
kamu dimana. Dengan percaya diri ia bercerita “gampang kok mencari uang, kamu
beli handycam yang murah saja merk Cina juga gak apa-apa, kamu rekam saja
momen-momen unik di sekitarmu” kemudian sambil mengeluarkan handycam ia
mencontohkan kepadaku contoh hasil suntingan gambarnya. Aku dengan saksama
melihatnya, terlihat ia merekam peristiwa kemacetan diasuatu tempat tanpa suara
dan hanya gambar bergerak saja. Sambil menjelaskan aspek-aspek gambar yang
penting yang harus aku ambil. Hatiku senang bukan kepalang didalam kereta
pengap itu ada orang yang sangat berbaik hati berbagi ilmu kepadaku.
Ia berujar lagi
katanya “sekarang jika mau jadi wartawan gak usah masuk jurusan komunikasi juga
bisa, nah contohnya saya, saya dari teknik tapi bisa jadi wartawan. Yang
penting kamu harus tahu informasi, percaya diri dengan kemampuan,dan nekat
saja. Ia mengajarkan lagi kepadaku teknik-teknik ketika diwawancara. Intinya
ketika diwawancara kita dalam menjawab pertanyaan jangan gugup, percaya diri,
jangan terlihat minder, tunjukan saja kemampuan terbaik kita dan gunakan
bahasa-bahasa yang meyakinkan ketika menjawab pertanyaan. Ia mencontohkan salah
satu pernyataan ketika ia ditanya oleh intervewer mengapa ia mendaftar di
harian “pilar” ia menjawab dengan bahasa meyakinkan “saya ingin bergabung
dengan harian ini pak”. Akhirnya aku benar-benar merasa nyaman duduk disamping
seorang wartawan ini. Dalam hati “yaa Allah beruntung sekali aku berangkat hari
ini banyak sekali hikmah dan ilmu yang kudapatkan” aku berkesimpulan memang
terkadang kita sering berperasangka dengan keadaan yang Allah berikan kepada
kita jika keadaan itu menurut kita tidak menyenangkan tapi bagi Allah yang Maha
Tahu keadaan yang tidak menyenangkan itu adalah yang terbaik, namun kita belum
menyadarinya dan lebih banyak berprasangka buruk kepada Allah.
Beginilah ceritanya…
Berita gembira namun miris itu aku
dapatkan setelah aku ditelepon oleh adik perempuanku. Sebuah berita gembira,
karena memang berita inilah yang selalu aku nantikan. Kata adikku lewat
telepon, aku ingin dibelikan laptop baru, wow kontan saja aku yang sedang makan
di warteg depan kontrakan, sejenak aku pending. Kemudian masih lewat
telepon aku diminta pulang untuk menentukan merk apa yang akan dipilih. Aku
yang masih di Semarang tentunya memilih laptop dengan merk dan kualias terbaik,
wong disuruh milih kok. Aku meminta kepada adikku agar laptopnya dikirim
lewat jasa pengiriman berhubung sudah mendekati ujian, juga karena bertepatan
dengan arus balik mahasiswa ke kampus. Tapi adik dan ayahku bersikeras agar aku
pulang walaupun hanya sehari saja. Akhirnya tanpa berfikir panjang aku segera
membeli tiket kereta ekonomi jurusan Stasiun Poncol- Jakarta. Pukul 11.00 aku
ditelpon oleh adikku dan pada hari itu pula tepatnya pukul 12.30 aku berangkat
ke Stasiun. Sampai di stasiun aku harus sedikit sabar menunggu petugas loket,
karena loket baru akan dibuka pukul 14.00, aku tidak tahu mengapa harus dimulai
pada pukul tersebut.
Aku menghabiskan
waktu dari kontrakanku menuju stasiun dengan menggunakan jasa bus sekitar satu
jam. Sehingga aku harus menunggu loket dibuka sekitar setengah jam.
Setelah loket dibuka
dan mengantri dibelakangi beberapa orang, aku berhasil membeli tiket kereta dan
mendapat tempat duduk. Alhamdulillaah aku senang sekali. Setelah tiket
kudapatkan akupun lantas bergegas kembali ke kontrakan untuk berkemas-kemas.
Aku harus mengejar sang waktu agar aku bisa kembali ke Stasiun minimal satu jam
sebelum pemberangkatan pukul 19.00.
Setelah
sampai diwisma aku langsung beres-beres dan mencari teman yang bisa
mengantarkanku sampai stasiun. Sudah meminta sana dan meminta sini aku belum
mendapatkan seorangpun yang bersedia mengantarkanku ke Stasiun. Padahal aku
sudah memberi tahu untuk bensin aku yang tanggung. Tapi waktu sudah menunjukan
pukul 14.00 aku belum mendapatkan seseorang yang bersedia mengantarkanku. Aku
semakin panic, jika terus-terusan menghabiskan waktu untuk mencari seorang
kesana-kesini nanti waktuku akan habis, dalam hati apakah aku harus naik bus
saja? Padahal menunggu bus pun butuh waktu yang cukup lama, melihat jarangnya
bus yang lewat.
Alhamdulillah
segala puji bagi Allah ada seorang teman yang bersedia mengantarkaku sampai
stasiun namanya Mas Cahyudi teman satu kontrakanku, jurusannya adalah Kesehatan
Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP angkatan 2007. Ia asli Lombok
Nusa Tenggara Barat. Ia bersedia mengantarkanku menuju stasiun Poncol.
Tembalang
hari itu mendung sekali seolah-olah hujan mau tumpah ruah, tapi anehnya tidak
tumpah-tumpah, hanya gerimis kecil saja. Akhirnya sekitar pukul 16.10 kita
berangkat dari Tembalang menuju Stasiun Poncol dan kurang dari setengah jam
kita sudah sampai disana. Aku sangat berterima kasih sekali kepada Mas Cahyudi
yang sudah berbaik hati dan bersedia mengantarkanku sampai ke Stasiun. Akupun
berjabat tangan dan berpelukan dengannya. Ia kembali ke tembalang, kulihat ia
berbalik arah, menjauh dan semakin menjauh hingga tak terlihat lagi sosoknya.
Aku langsung masuk kedalam Stasiun. Aku duduk-duduk di kursi yang disediakan.
Sambil menunggu shalat magrib, aku menikamati suasana hiruk pikuk stasiun. Ada
yang terburu-buru mengejar kereta yang dianggapnya mau berangkat padahal belum
berangkat. Ada penjual nasi, minuman, dan lalu lalang petugas kereta api.
Sesekali aku membaca buku. Untungnya aku membawa buku, jika tidak mungkin
waktuku akan terbuang sia-sia untuk melamun dan memperhatikan hiruk pikuk
stasiun saja. Aku membaca buku “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1”
kumpulan surat dan memoar Imam Asy Syahid Hasan Al- Banna dari Mesir. Akhirnya
magrib pun tiba. Usai solat, aku langsung naik kereta. Duduk di kursi yang
disediakan sesuai kode huruf yang kudapat. Waktu itu menunjukan pukul 18.30.
Setengah jam lagi aku berangkat. Sambil meletakan barang-barangku ditempat
barang yang disediakan tidak jauh dari kursi. Aku seperti biasa menyapa penumpang
lain yang berhadapan denganku bertanya asal dan tujuan pemberangkatan. Akhirnya
pukul 19.05 keretapun berangkat.
Pukul
03.30 dini hari kereta sampai di Stasiun Senen. Seperti biasa aku langsung
menuju mushola sholat subuh. Alhamdulillah aku sudah menjama solat Isya ketika
sholat magrib di Stasiun Poncol. Setelah solat aku menuju kearah tempat KOPAJA
yang seperti biasa membawa penumpang kearah Lebak Bulus. Dengan keadaan fisik
yang sedikit remuk karena hampir semalaman berada didalam kereta, sudah pasti
aku tidak bisa tidur dengan nyaman, karena aku harus selalu waspada dengan
barang-barang bawaanku. Rasa kantukpun menemaniku ketika dalam perjalanan
menuju terminal Lebak Bulus. Sesekali aku tertidur dan terbangun didalam KOPAJA
butut itu. Kota Jakarta dipagi hari cukup sepi dan hening KOPAJA butut itu
melesat cepat, rata-rata dengan kecepatan 80 km/jam. Aku salut dengan Pak Supir
yang edan itu. Sepertinya ia sudah tak sayang lagi dengan KOPAJA
bututnya, ia melaju cepat sekali, ada lubang kecilpun ia libas, sehingga
terdengar keras sekali bunyi-bunyi besi beradu. Sesekali kepalaku terantuk besi
yang ada di depan kursiku, sakit sekali. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa
protes, mungkin penumpang-penumpang yang lain juga berfikiran sama denganku.
Hanya menyimpan rasa jengkelnya didalam hati. Jakarta dipagi hari cukup megah,
dikanan kiriku berdiri bagunan-bangunan megah bertingkat tingkat menunjukan
kesombongannya. Tapi walaupun megah tetaplah ia Jakarta, Kota keras yang
menyimpan banyak seribu cerita pedih bagi mereka-mereka yang tidak mampu hidup
dan bersaing.
Aku
menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Setelah sampai di Terminal Lebak
Bulus, aku langsung disambut dengan angkot biru kearah Parung dengan nomor
trayek 106. Haripun semakin siang. Lalu lalang kendaraanpun semakin ramai
dengan angkutan-angkutan umum dan juga kuda besi. Perjalananku dari Lebak Bulus
kearah Parung tidak semulus seperti dari arah Stasiun Senen ke Lebak Bulus.
Lalu lalang kendaraanku mulai bermunculan. Serbuan kendaraan roda dua dari arah
Bogor seperti prajurit-prajurit perang, ramai sekali. Namun demikian akhirnya
aku sampai ke Perempatan Pasar Parung dengan keadaan selamat.
Dari
Pohon Jublek yang menjadi ikon si Pasar Parung, aku berjalan kaki kearah
Ciseeng. Menuju arah Ciseeng, ayahku sudah menungguku didepan bengkel mesin
jahit. Dari kejauhan ayahku sedang memarkirkan motornya, sepertinya ia juga
sedang memperhatikanku dari kejauhan. Akupun mendekat, sambil mengucapkan
salam, ku jabat dan ku cium tangan yang sudah mulai keriput itu. Tanpa banyak
bicara sebagaimana ciri khas ayahku, ia langsung memboncengiku sampai rumah.
Setelah sampai dirumah sekitar pukul 06.45, seperti biasa ibu dan keluarga
menyambutku, bertanya-tanya perihal perjalananku.
Akupun
langsung menuju kamar dan ambruk di tempat tidur. Sejenak cerita selesai karena
aku dalam keadaan tidur, hehe. Siang pukul 11.00 aku terbangun dan mulai
bertanya-tanya perihal laptop baru yang dijanjikan itu. Aku hanya punya
kesempatan dirumah hanya dua hari. Tanggal 3 ketika aku sampai adalah hari
Jumat. Aku kira sales laptop yang menawarkan laptop itu selalu stand by
jika orang tuaku menghubungi dan meminta laptop itu di bawa kerumah, namun
ceritanya menjadi lain, si Sales itu sedang tidak berada dirumah. Akupun
memberitahu tentang perihal keberangkatanku kembali ke Semarang, namun ia
benar-benar belum bisa mengabulkan membawakan laptop hari Jumat sedangkan hari
sabtu minggu perusahaannya laptopnya tutup. Aku juga menjadi jengkel sendiri
entah kepada diriku yang saking bahagianya sampai tidak terpikirkan aku pulang
disaat yang kurang tepat. Aku juga mempersalahkan adik dan ayahku mengapa
mereka memaksa menyuruhku pulang.
Dirumah
aku hanya menggigit jari. Tidak jelas apa yang harus aku lakukan. Ujian sudah
dekat, mata kuliah pada hari pertama yang diujikan adalah Bahasa Belanda. Jujur
saja aku benar-benar kesulitan belajar Bahasa Belanda, gelap sekali. Banyak
kosakata yang belum aku pahami, sedangkan buku-bukuku tertinggal di Semarang,
lalu bagaimana aku memantapkan mata kuliah itu untuk ujian besok? Aku belum
sepenuhnya siap. Tapi ketika aku berada dirumah, aku menghabiskan waktu untuk
mendalami “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin” dan alhamdulillah hampir
setengah jilid buku yang tebalnya 336 halaman itu aku selesaikan.
Tanggal
4 Januari pukul 14.00 dengan hati dongkol, aku pamit dan kembali ke Semarang.
Uang saku yang tersisa aku pakai untuk ongkos ke Semarang. Sehingga ayah tidak
perlu memberi uang tambahan lagi. Seperti biasa sebelum ayah mengantarkan aku
ke Masjid Riyadlu Shalihin (Marisha). Sesuai dengan pesan nenek yang rumahnya
tidak jauh dengan rumah kami, aku mempir sejenak kerumah nenek yang sudah
sangat renta. Pendengarannya pun sudah lemah sekali. Sehingga aku harus
mengeluarkan tangan ekstra keras sekali. Kulihat nenek sedang berada dibelakang
rumah, menyapu halaman belakang. Aku hampiri nenek yang membelakangiku. Ia
tidak menghiraukan aku sama sekali mungkin karena pendengarannya lemah, jadi ia
tidak merasakan kedatanganku. Ia seperti biasa menyapu. Karena aku harus berpacu
dengan waktu, aku menyapa nenek dengan mengucapkan salam terlebih dahulu,
tentunya dengan suara yang sedikit menggelegar. “Assalaamu’alaikum! sapaku.
Baru ia nengok “eh ntong mau balik lagi ke Semarang? Kok cepet benerr?
Sambil kujabat tangan nenek aku menjawab pertanyaan nenek “IYA YOT SAYA BESOK
ADA UJIAN JADI HARUS PULANG KE SEMARANG LAGI”. Ia terlihat sedikit menyayangkan
kepulanganku ke Semarang yang super singkat itu. oyot (panggilan untuk
nenek dan engkong panggilan untuk kakek) lantas mengeluarkan uang disakunya
sebesar 20.000 rupiah dan memberikannya kepadaku. “udah simpen aja yot buat
jajan oyot aja, klo saya mah udah ada” jawabku. Ia lantas berujar lagi dengan
logat Betawi “ati-ati yaa tong, ntong kan mau pergi jauh ntar ntong ora sempet
nemuin oyot lagi” katanya. “nanti juga saya balik lagi yot” ia berujar lagi
“oyot mah takut kayak engkong dulu” katanya.
Memang
dahulu ketika aku pertama sekali ke Semarang aku sempat berpamitan dengan
kakekku ketika ia masih hidup. Aku ingat sekali kata-kata terakhir yang kakek
ucapkan kepadaku “ntong sekola jauh amaat di Jawa, engkong mah lagi sakit
sakitan, engkong di atas kasur melulu sekarang mah moga-moga aja nanti pas
pulang ntong masih sempet nemuin engkong lagi, engkong mah takut nanti pas
pulang engkong dah mati”. Kakeku seolah-olah sudah merasakan bahwa ajalnya
memang tidak akan lama lagi. Dan ucapannya ternyata benar ketika hari pertama
ujian, aku mendapat kabar dari ayahku via telepon bahwa kakek sudah menutup
mata. Aku kaget bukan kepalang. Jika saat itu belum ujian mungkin aku langsung
pergi ke Stasiun untuk membeli tiket pulang. Namun karena masih minggu-minggu
ujian terpaksa aku harus fokus terlebih dahulu dengan ujian. Dan setelah ujian
usai aku baru pulang dan aku merayakan tahlilan pada saat hari yang ke tujuh.
Setelah
berpamitan dengan nenek aku langsung menuju perempatan Pasar Parung. Disana
ngkot biru jurusan Lebak Bulus dengan nomor trayek 106 sudah siap menunggu.
Seperti biasa aku mencium tangan ayahku sebagai tanda perpisahan. Ayahku yang
tidak banyak bicara hanya berucap “ati-ati loe!” aku menjawab singkat “Ya”. Ia
langsung berbalik arah dan menghilang. Setelah menunggu sekitar lima menit
akhirnya angkot yang ku tunggu-tunggu datang juga.
Sore
itu suasana ramai sekali waktuku terbuang sia-sia dijalan, aku terjebak macet.
Kemacetan mulai aku rasakan di sekitar Pondok Cabe Jakarta Selatan. Dengan
kesabaran hati akhirnya aku sampai si Terminal Lebak Bulus Pukul 18.30.
Biasanya pukul 18.30 seharusnya aku sudah berada di Terminal Pukul 18.00 jadi
aku terlambat sekitar.
Tidak
berapa lama dari terminal aku langsung naik KOPAJA jurusan Lebak Bulus-Pasar
Senen. Kopaja yang tampangnya sudah usang itu melesat dengan cepat. Namun dasar
memang Jakarta saat itu bertepatan dengan arus balik karyawan dari Jakarta
menuju Bogor dan sekitanya, sehingga aku sesekali terjebak kemacetan. Hal yang
paling membosankan adalah ketika dalam keadaan terjebak macet. Asap kenalpot
dan udara Jakarta yang panas membuat kepalaku sedikit pening. Ditambah dengan
banyaknya pengamen-pengamen jalanan yang kerak masuk KOPAJA. Dari Lebak Bulus
hingga Stasiun Senen, sudah tiga pengamen masuk bus. Mulai dari pengamen yang
benar-benar menghibur dengan indah dan merdu suaranya, sampai engamen yang
bernyanyi tanpa nada alias buruk sekali suaranya. Muncul firasat tidak enak
didalam pikiranku, apakah aku dapat tiket nanti?.
Akupun
tiba di Stasiun pukul 20.30 dengan fisik yang mulai melemah, ditambah
barang-barang bawaan yang beratnya sekitar 2 kg semakin menguras fisikku.
Padahal aku hanya membawa 2 stel pakaian dan 2 stel celana ditambah 1 buku.
Tapi terasa berat sekali. Dan firasaku benar 100% aku kehabisan tiket kereta
api Tawang Jaya. Aku menguatkan hati dengan kata-kata yang tertulis “TUTUP
tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”.
*SEKIAN*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar