Kita telah bersepakat bahwa Pancasila merupakan ideologi negara.
Pancasila merupakan konsensus para pendiri bangsa (Founding Father) dari berbagai golongan. Pancasila merupakan
kristalisasi nilai-nilai luhur masyarakat kita. Dan sebagai anak bangsa, kita
patut berbangga dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada mereka yang
dengan keras memeras daya pikirnya merumuskan sebuah ideologi yang mereka
anggap ideal diterapkan dengan keadaan bangsa kita.
Di tengah hiruk pikuk pertarungan ideologi dunia, mereka
tidak tercerabut mendewa-dewakan ideologi besar yang bertarung waktu itu
(Kapitalisme vs Komunisme). Mereka tetap orisinil dalam melihat realitas bangsa
kita. Orisinalistas buah pikiran mereka itulah melahirkan Pancasila sebagai
solusi bersama. Namun amat disayangkan itikad baik membangun bangsa itu belum
mampu dilanjutkan secara menyeluruh hingga mencapai manifest oleh generasi
selanjutnya.
Salah satu permasalahan yang sering muncul ke permukaan adalah dalam bidang
pendidikan. Pemerintah selalu gamang dalam mengambil keputusan terhadap bidang
yang satu ini. Dalam tataran implementasi-pun sering kali negara mengalami
distorsi dan penyimpangan. Padahal pendidikan adalah sarana yang amat vital
tentang sebuah eksistensi yang akan membawa suatu bangsa berjalan maju atau
mundur. Pendidikan tidak hanya berbicara
maju atau mundurnya suatu bangsa tetapi yang lebih esensi adalah berbicara
tentang kemanusiaan.
Kontekstualisasi Pancasila
Pancasila baru kita pahami sebagai unsur pemersatu tatkala
muncul ancaman bersama dari “luar” saja. Padahal menurut penulis, ancaman
terpendam yang lebih besar adalah dari dalam. Lemahnya kita dalam
mengontekstualisasi pancasila sebagai ideologi bersama. Penulis melihat bahwa
dalam bidang pendidikan ini, kita belum seutuhnya membangun konsensus
menjadikan pancasila sebagai inspirasi bersama. Berlarut-larutnya persoalan
dalam bidang pendidikan di negeri ini ternyata berujung kepada belum mapunya
negara memfasilitasi masyarakat agar mejadikan pancasila sebagai ideologi
bersama. Inilah menurut penulis akar permasalahannya problem kebijakan yang
kerap kali muncul bermuara kepada tidak jelasnya pemahaman kita tentang
ideologi pancasila. Kita baru memahaminya sebatas “pemersatu” tatkala darurat semata.
Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin kita akan membangun negeri yang memiliki
garis pantai terpanjang ke empat di dunia jika hanya menggunakan cara pikir
seperti itu. Negara ini akan terus jalan di tempat sibuk mengurai benang kusut
permasalahannya sendiri. Singkatnya pemerintah belum mampu mengkonsep
pendidikan berideologi.
Padahal sejatinya negara harus memiliki arahan bersama dan tidak berjalan
sendiri-sendiri dalam persoalan pendidikan ini. Banyak titik temu berdasarkan
payung Pancasila, sehingga tidak akan lagi muncul anggapan yang memecah-belah
seperti mayoritas menekan minoritas, minoritas ditekan mayoritas, tirani
mayoritas dan sebagainya. Problem-problem kebijakan perlu ditelusuri secara
tuntas agar tidak berulang di masa yang akan datang. Berubah-ubahnya kurikulum
pendidikan menunjukan belum matangnya konsep yang dibangun. Dengan kata lain selama
ini yang dilakukan pemerintah hanyalah upaya “tambal-sulam” kain yang sudah
lapuk, bukan menggantinya dengan kain yang baru. Basis ideologi pendidikan di
negeri kita belum kokoh.
Kebijakan Politik yang Ideologis
Willia F.
O’Neil (2001) memberi skema menarik terkait upaya membangun pendidikan berbasis
ideologi ini. Menurutnya, yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan
prinsip-prinsip nilai yang universal. Dalam hal ini kita sebagai bangsa
Indonesia telah bersepakat bahwa pancasila memuat prinsip-prinsip nilai yang
bersumber dari realitas masyarakatnya antara lain; nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah (demokrasi), dan keadilan. Prinsip-prinsip
nilai tersebut menjadi petunjuk yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif
yang pada akhirnya mempengaruhi
bagaimana tatanan sosial masyarakat di bangun. Ideologi
sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh
masyarakat itu sendiri. Dan untuk mewujudkan itu semua, kita sebagai warga
negara harus mengacu kepada norma-norma kolektif yang telah kita ambil dari
berbagai penjuru di Indonesia. Norma-norma kolektif tersebut harus dikokohkan sehingga setidaknya memiliki
dua fungsi. Pertama, fungsi direktif yakni memberikan arah
atau acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh
kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi
atau memaksa terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak
menyimpang dari acuan moral (terms
of reference) kelompoknya. Dengan fungsi direktif dan konstraintif
ini diharapkan muncul tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar
moralitas sebagaimana dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua
lapisan. Dengan memahami nilai-nilai prinsip tersebut serta berdasarkan acuan
moral kolektif bangsa, maka akan melahirkan paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan
tersebut tentunya bisa diterapkan melalui kebijakan politik pemerintah. Mengapa?
Karena kebijakan itu memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap semua warga
negara atau warganya. Paradigma ini adalah penjelas bagaimana sebuah
ideologi bisa diinternalisasikan secara efektif kepada warga masyarakat. Paradigma
itu juga yang nantinya akan membentuk seperti apa masyarkat yang diinginkan.
Mungkin
bisa jadi problem pendidikan yang terjadi dinegeri ini berakar pada rancu-nya
kita dalam memahami ideologi pancasila sebagai ideologi bersama. Padahal
ideologi itu adalah acuan kita untuk memcahkan problem kebangsaan yang majemuk
ini. Kita lupa atau mungkin terbuai dengan ideologi-ideologi luar yang
“keliatan” solutif bagi permasalahan bangsa kita. Padahal belum tentu ideologi
itu cocok dengan persolan bangsa kita. Kita harus yakin bahwa Pancasila adalah
sumber kebangkitan negara kita.
Semarang 18 Mei 2013