Banyak cara untuk menyampaikan pesan kepada publik salah satunya dengan
media film. Di dalam film, pesan yang disampaikan bisa berpotensi bernilai
positif maupun negatif. Tergantung sudut pandang kelompok dalam merujuk sumber
nilai yang dijadikan acuannya. Agaknya keampuhan film dalam mempengaruhi
masyarakat cukup efektif.
Bagi saya pribadi, salah satu film Indonesia yang
cukup mempengaruhi pola pikir saya adalah film
“Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang bersumber dari Novel AAC karya
Habiburrahman el Shirazy.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan
mengambil setting negeri Priamid itu tetap yang spesial bagi saya. Jika melihat
film itu diputar oleh teman atau stasiun teve, saya merasa ada “sesuatu” yang
membangkitkan nuansa “romantisme”. Padahal bisa dibilang itu film lama.
Mengapa sesatu?, saya terkesan dengan tokoh utama
Fahri yang unik. Fahri menurut saya memang unik. Tokoh Fahri dalam film AAC
begitu bersahaja dalam mengamalkan nilai-nilai Islam. Ya, mungkin saya terhipnotis ingin
menjadi Fahri yang bersahaja dalam film itu.
Film itu telah memperkenalkan sosok teladan kepada saya
waktu masih SMA. Saat itu saya belum
sadar betul batasan-batasan akhlak antara laki-laki dan perempuan dalam
mengelola perasaan cintanya. Banyak spirit dan nilai-nilai Islam yang begitu
indah yang dapat saya petik.
Suatu malam sekitar pukul 20.00 WIB kebetulan saya sedang online. Saya tulis
saja status di wall. “Film AAC memotivasi menjadi seorang pemuda/pemudi yang
baik”. Status yang cukup simpel. Beberapa menit kemudian, muncul beberapa
tanggapan teman yang bisa dibilang mengkritisi ungkapan saya. Katanya “Bagusan
juga KCB”. Maksudnya adalah film Ketika Cinta Bertasbih yang lagi jadi
“Maintream” oleh para aktivis kampus. Saya lalu menaggapinya lagi. “Untuk
masalah akting, Fedi Nuril masih yang terbaik, hehehe”. Ungkap saya. Tidak mau
kalah, ada seorang teman berkomentar “Bagusan juga Kholidi”. Ya. Kholidi adalah
salah satu aktor utama yang memerankan tokoh Azam dalam film KCB. Teman saya masih
menambahkan “coba baca perjalanan kholidi deh”. Saya telah membaca maksudnya bahwa
Kholidi memang tokoh yang cukup hati-hati dalam menjaga interaksi luar film
bahkan hingga terbawa-bawa karakternya ini dalam menjalankan setiap perannya. Adapun
Fedi Nuril dianggap kurang menjaga diri yakni dengan bersentuhan tangan dalam
beberapa adegan dengan Riyanti Catrwright (Pemeran Aisya). Sebetulnya klo saya
lanjutkan komentar ini tidak akan ada habisnya, karena sarat dengan
subjetivitas masing-masing. Tapi toh di online
hanya tempat untuk bersantai-santai saja jadi saya tanggapi saja sekenanya. Saya
bilang “looohh saya kan menilai film bukan orang diluar film”.
Film Dakwah atau Dakwah di Bidang perFilman?
Memang pernah Ustad Anif Sirsaeba sang promotor film
pernah mengatakan bahwa secara fiqih dan kualitas, film karya Hanung banyak
yang menerabas aturan fiqih. Adapun film KCB katanya lebih “Islami” dan secara
fiqih para pemainnya lebih terjaga. Begitu ungkapnya sewaktu saya dan
teman-teman di KMMS (Keluarga Mahasiswa Muslim Sastra) mengundangnya dalam
acara bedah film pada tahun 2009. Sudah barang tentu ungkapan seperti itu terus
beliau sosialisasikan dalam forum-forum bedah film di khalayak luas termasuk
kepada aktivis Islam di kampus. Nah kasus tanggapan teman saya tadi bisa jadi
adalah salah satu saja yang ikut-ikutan
atau terbawa (larut) dalam hal menilai film. Padahal menurut saya penilaian
tersebut cukup tidak logis. Ya, sering kali kecintaan berlebihan terhadap
sesuatu membikin seseorang tidak kritis dan rasional. Bukankah sikap seperti
itu adalah hal yang cukup membahayakan?.
Lucu tatkala ada sebagian aktivis yang mencampuradukan
penilaian atara film sebagai sebuah karya seni dengan pemerannya di luar film. Menurut
saya ini adalah dua hal yang perlu dipisahkan. Kalau memang ingin menilai film
sebagai sebuah karya seni, ya nilailah sebagaimana logika yang dibangun dalam
kerangka ceritanya. Bukan mencampurkan suatu hal yang berasal dari luar seperti
kesalehan personal pemerannya, embel-embel latar latar belakang berdasarkan kenyataan ke dalam sebuah film.
Sikap romantis Aisya terhadap Fahri dalam AAC harus
dimaknai berdasarkan logika yang dibangun dalam cerita itu sendiri. Fahri
adalah suami Aisya yang sah dalam film AAC. Jadi merupakan hal yang wajar jika
Aisya bersikap layaknya seorang istri. Namun begitu sebagai film yang mengusung
nilai-nilai Islami harus tetap berdasarkan aturan-aturan syariat agama. Bukan
berbuat sebebasnya tanpa sensor sebagaimana yang terjadi dalam film-film barat.
Di film barat, memang telah kelewat batas. Mereka demi sebuah karya seni tidak
menyensor adegan-adegan ranjang yang mustinya privat. Lebih kacau lagi
adegan-adegan itu dilakukan dengan sebenarnya. Hal ini jelas setahu saya dilarang
keras dalam agama Islam.
Dilematis “Film Dakwah”
Seperti telah saya singgung di atas bahwa film bisa
dijadikan sarana untuk berdakwah. Akan tetapi akan menjadi sulit jika logika
dalam cerita di film di bawa-bawa keluar (kehidupan nyata). Dengan segala upaya
agar lebih mengena di pilihlah peran-peran yang berintegritas dalam menjalankan
agama. Ya. Memang tidak menjadi persoalan jika ia mempunyai kapasitas. Akan
tetapi menjadi aneh jika latar belakang dari luar pemerannya di bawa-bawa ke
dalam film.
Sebagai contoh adegan antara pemeran laki-laki kepada
perempuan. Katakanlah pemeran laki-laki dan perempuan ini dapat peran menjadi
sepasang suami istri. Tentu meski telah mendapatkan beberapa batasan-batasan
agar tidak terjebak kepada hal-hal yang tidak Islami akan menjadi sulit jika
sikap mereka ‘kaku’. Kurang terlihat romantis. Terkadang mereka memerankan
adegan yang mestinya romantis sebagai sepasang suami istri akan tetapi terlihat
kaku karena mereka berpegangan tangan saja tidak. Itulah contoh kasus keanehan-keanehan
dalam film yang merusak film itu sendiri. Hal ini menurut saya jelas tidak
logis. Hal ini terjadi pada film-film KCB, Cinta Suci Zaharana dimana
romantisme pasangan suami istri dalam film menjadi hambar. Berbeda dengan film
AAC. Pada film AAC meski memang ada beberapa catatan, film tersebut lebih dapet
logikanya. Jadi kalau mau aman sekalian dan agar tidak merusak film itu sendiri
carilah peran-peran yang memang telah semuhrim. Tentu ini tidak mudah tapi
bisa.
Semarang, 23 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar