Indonesia memang telah menyatakan diri merdeka 68 tahun silam
tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi butuh waktu 4 tahun
agar terbebas dari dominasi Belanda cs yang ingin mengekalkan kembali
kekuasaannya di bumi pertiwi ini. Tahun 1949 merupakan penegasan bahwa
Indonesia secara sah kembali menjadi Negara Kesatuan RepublikIndonesia
(NKRI). Indonesia kian mantap tegak berdiri sebagai sebuah negara.
Secara
fisik Indonesia memang telah terbebas dari dominasi bangsa penjajah.
Namun sudahkah Indonesia terbebas dari ‘hegemoni’ bangsa penjajah?
Jawabannya belum tentu. Apa yang di maksud ‘dominasi? Apa yang dimaksud
‘hegemoni’?
Antonio Gramsci (1891-1937) membedakan
antara konsep "dominasi" dan"hegemoni". Dominasi merupakan model
penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, sedangkan hegemoni adalah
model penguasaan yang lebih halus,yaitu secara ideologis.
Dalam catatannya yang diberi judul Selection from Prison Notebooks, Gramci pernah menganalisa relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif‘hegemoni’, ia menganalisa bahwa penulisan,
kajian suatu masyarakat, danmedia massa merupakan alat kontrol
kesadaran yang dapat digunakan kelompokpenguasa. Alat kontrol tersebut
memainkan peranan penting dalam menciptakanlembaga dan sistem yang
melestarikan ideologi kelas dominan.
Dalam
konteks Indonesia, siapakah kelompok penguasa? Siapakah kelas dominan
yang memainkan pengaruhnya di negeri berpenduduk 250 juta manusia ini?.
Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu.
Penulis akan terlebih dahulu meraba-raba siapakah aktor yang
mendominasi sekaligus yang menanamkan hegemoninya di Indonesia.
Sejak
penjajah terusir dari Indonesia, berangusr-angsur kepenguasaan
struktural negeri ini telah beralih ke tangan pemimpin-pemimpin bangsa
sendiri. Semua pejabat-pejabatnegara yang ada dalam birokrasi beralih ke
tangan bangsa Indonesia. Segala bentuk dominasi yang nampak telah
didepak dari bumi pertiwi. Penjajah yang mendominasi akan sangat mungkin
menghegemoni bangsa yang dijajah, tetapi bukan sebuah keniscayaan
mutlak. Bangsa yang tidak mendominasi bukan berarti tidak bisa
menghegemoni, karena hegemoni merupakan penguasaan secara halus dan
tidakmelulu suatu bangsa datang kesuatu tempat. Adakalanya pancaran
‘hegemoni’ tersebar melalui saluran informasi dengan sendirinya.
Adakalanya juga sengaja disebarkan.
Lalu bagaimana
dengan bentuk hegemoni yang ‘halus’ alias tak nampak di Indonesia?
Sudahkah terusir juga? Apakah cuma sekadar ‘ganti’ baju saja dan
melanjutkan sisa-sisa peninggalan penjajah?
Sebagai ilustrasi saya akan menggunakan contoh dalam perhelatan Miss World
(MW) 2013 yang diselenggarakan di Indonesia. Ajang kontes Ratu Sejagad
ini setidaknya telah membagi masyarakat kita menjadi 3 kubu. Kubu
pertama merupakan pihak yang mendukung, sedangkan kubu kedua adalah
pihak yang menolak. Kubu pendukung beralasan bahwa tidaklah menjadi
masalah MW dilangsungkan di Indonesia. Mereka menilai bahwa dalam
pelaksanaannya para peserta MW telah menyesuaikan dengan kebudayaan
Indonesia. Lagi pula dengan dilangsungkannya MW di Indonesia justru
semakin dikenal di mata dunia. Para peserta juga tidak hanya dinilai
dari sisifisiknya saja akan tetapi aspek intelektual, dan behavour.
Begitu kira-kira intiatas dukungannya.
Lain
lagi menurut kubu penentang. Mereka yang menentang berpendapat bahwa
pelaksanaan MW hanya semakin merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Perempuan hanya dijadikan tontonan dan komoditas bisnis semata. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan MW adalah bentuk keterjajahan
bangsa. Dan banyak lagi alasan-alasan penolakannya. Bahkan ‘sebagian’ umat Islam ada yang mengambil ‘jalan tengah’ (kubu ke-3/alternatif) dengan membuat acara tandingan serupa Miss Muslimah 2013.
Mengapa
ada pihak yang mendukung, menentang, dan menerima setengah-setengah?
Ya, kita harus melihat kondisi saat ini dimana bangsa “barat” memang
menjadi ‘rujukkan’ peradaban. Berbagai ilmu seperti Filsafat,
Bahasa,Ekonomi, Antropologi, Sosiologi, Sejarah, Seni, Fashion, Musik
dsb berkembang cukup pesat di “barat”. Parameter kemajuan,
kemodernan,kemodisan berada di barat. Orang yang jago ngomongbahasa
Inggris dianggap lebih hebat ketimbang orang yang pandai bahasa Latin,
Arab, Cina, Jepang, Turki, Jawa bahkan bahasa Indonesia. Memang perihal
pasang surut kesohoran bahasa tersebut punya ceritanya masing-masing.
Jika pada zaman Yunani dan Romawi bahasa Latin menjadi rujukan
masyarakat dunia. Bahasa Arab juga pernah menjadi bahasa internasional
selama berabad-abad. Mengapa? karena bangsa Yunani, Romawi Arab pernah
‘menghegemoni’ dunia. Mereka pernah pula menjadi rujukkan bangsa-bangsa.
Mereka pernah dijadikan tolak ukur atau kacamata dalam menilai ‘the
other”.
Kita sepakat Indonesia adalah bangsa
yang besar. Bangsa ini memilikipenduduk yang besar, memiliki peradaban
besar, punya ideologi adi luhung,mengapa harus jadi epigon bangsa
‘barat’ dalam hal para meter kecantikan/keagungan perempuan? Mengapa
harus ‘bertengkar” dengan sesama anak bangsa yang telah diikat bersama
dengan suatu ideologi yang luas biasa ‘dalam’ nya? Ada dimanakah
Pancasila kita?
Ini adalah perkara mental kita yang
telah kelewat minder dan menganggap segala hal yang berasal dari ‘barat’
adalah hebat. Jelas sekali bahwa kericuhan yang terjadi di dalam negeri
ini adalah bentuk bahwa masyarakat kita belum bebas dari ‘hegemoni’.
Pengaruh-pengaruh peradaban ‘barat’ masih menjadi ‘hantu gentayangan’
yang selalu terepotkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Padahal
secara penguasaan fisik bangsa Indonesia adalah aktor,tapi nyatanya
sebagian besar ‘ruh’ sang aktor masih membawa mental ‘budak’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar