Menjadi seorang mahasiswa merupakan sebuah “kebanggaan” bagi kebanyakan orang. Karena sebelum kata siswa terdapat kata “maha” yang menjadi pembeda dengan siswa. “Mahasiswa” bisa bermakna “paling” seperti halnya kita memaknai kata mahaguru, mahakuasa, mahabesar, mahakaya dan sebagainya. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah kebanggaan bisa jadi karena jumlahnya yang memang sedikit, tidak banyak orang yang memperoleh kesempatan menjadi mahasiswa. Dan bagi anda yang sudah menjadi mahasiswa maka bersyukurlah asalkan jangan menjadi “mahasiswa abadi”.
Sepanjang sejarah, mahasiswa memainkan peran yang cukup penting. Walaupun jumlah mereka sedikit namun tidak kalah dengan jumlah mayoritas masyarakat biasa. Pada masa pergerakan nasional, mahasiswa (pemuda) lah yang berperan menyusun kekuatan melawan kekuatan imperialis hingga mengantarkan bangsa ini menuju kemeredekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mahasiswa menjadi kekuatan yang membahayakan dan mengancam kaum imperialis (Pemerintah Hindia Belanda) waktu itu. Dengan gelora muda yang masih berkorbar mereka menjadi symbol perlawanan dari penindasan dan ketidakadilan. Dan kita tahu selama 65 tahun Indonesia merdeka, mahasiswa telah banyak menggoreskan tinta emas baik dari penindasan bangsa lain (penjajah) maupun penindasan oleh penguasa sendiri.
Namun kini seiring berjalannya waktu idealisme mahasiswa dari hari ke hari kian surut. Bahkan sampai-sampai ada yang mempertanyakan “apa sih idealisme itu? ngapain sih harus idealis?”. Sepertinya dampak NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang diberlakukan rezim Orde Baru pada tahun 80-an hingga saat ini masih cukup berpengaruh mematikan kekritisan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa yang kritis oleh pemerintah pada tahun 80-an dipandang sebagai sesuatu yang “tidak normal” karena sikap yang selalu menajdi oposisi. Sehingga pemerintah perlu upaya untuk “menormalisasi”. Kuatnya peran mahasiswa dalam politik praksis cukup menjadi ancaman pemerintah waktu itu. Walaupun diawal tahun 90-an, Mendikbud Fuad Hasan mencabut kebijakan NKK/BKK dan menggantinya dengan SK No. 0457/U/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Ditambah lagi dengan diberlakukannya Sistem Kredit Mahasiswa (SKS) sehingga terjadi pembatasan usia mahasiswa. Hal ini semakin menumpulkan rasa kritis mahasiswa. Mahasiswa disibukkan oleh aktivitas-aktivitas akademik saja.
Karena terlalu disibukkan dengan aktivitas akademik, mereka menjadi kurang sensitive dengan kehidupan-kehidupan sekitarnya, fungsi advokasi mahasiswa menjadi kurang tajam dan pragmnatisme dikalangan mahasiswapun semakin menjamur. Walaupun dari segi kuantitas kini jumlah mahasiswa bisa dikatakan lebih banyak, namun hanya sebatas kuantitas, ibarat singa yang giginya ompong sebelum masa tuanya.
Hal ini terbukti di Kampus UNDIP tercinta ini Khusunya di Fakultas Ilmu Budaya dan mungkin juga fenomena ini terjadi di universitas-universitas lainnya. Ketika panflet-pamplet rekruitmen sebuah organisasi kemahasiswaan disebar, pasti jumlah mahasiswa yang mendaftar selalu minim. Sehingga sampai-sampai tim perekrut harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk “menarik-narik” mahasiswa untuk bisa ikut berpartisipasi dalam organisasi. Memang sangat ironis sekali, entah mengapa dari hari ke hari mahasiswa semakin tidak tertarik berorganisasi. Apakah karena aura zaman sudah berubah?
Keadaan ini sungguh berbeda dengan keadaan mahasiswa tahun 60-an, 80-an, 70-an hingga awal-awal tahun 90-an dimana suasana diskusi, suasana berorganisasi masih sangat kental. Jika anda tidak percaya mungkin bisa anda tanyakan kepada senior-senior anda ataupun dosen-dosen anda yang hidup menjadi mahasiswa pada msa-masa itu.
Jika mahasiswa semakin tidak kritis,dan phobia berorganisasi lalu bagaimana dengan nasib rakyat awam dimasa mendatang? bukankah kepemimpinan dimasa yang akan datang akan diteruskan oleh para mahasiswa-mahasiswa yang hidup saat ini?
Semoga peran mahasiswa bisa kembali berjaya dan menjadi garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat dan semoga idealisme itu selalu terpelihara ketika para mahasiswa itu berstatus menjadi pejabat yang terlibat dalam politik praktis.
HIDUP MAHASISWA!!!!
BANGKIT MAHASISWA!!!
(14/7/2011)
Anton
FIB_ Sejarah 2008
Sepanjang sejarah, mahasiswa memainkan peran yang cukup penting. Walaupun jumlah mereka sedikit namun tidak kalah dengan jumlah mayoritas masyarakat biasa. Pada masa pergerakan nasional, mahasiswa (pemuda) lah yang berperan menyusun kekuatan melawan kekuatan imperialis hingga mengantarkan bangsa ini menuju kemeredekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Mahasiswa menjadi kekuatan yang membahayakan dan mengancam kaum imperialis (Pemerintah Hindia Belanda) waktu itu. Dengan gelora muda yang masih berkorbar mereka menjadi symbol perlawanan dari penindasan dan ketidakadilan. Dan kita tahu selama 65 tahun Indonesia merdeka, mahasiswa telah banyak menggoreskan tinta emas baik dari penindasan bangsa lain (penjajah) maupun penindasan oleh penguasa sendiri.
Namun kini seiring berjalannya waktu idealisme mahasiswa dari hari ke hari kian surut. Bahkan sampai-sampai ada yang mempertanyakan “apa sih idealisme itu? ngapain sih harus idealis?”. Sepertinya dampak NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang diberlakukan rezim Orde Baru pada tahun 80-an hingga saat ini masih cukup berpengaruh mematikan kekritisan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa yang kritis oleh pemerintah pada tahun 80-an dipandang sebagai sesuatu yang “tidak normal” karena sikap yang selalu menajdi oposisi. Sehingga pemerintah perlu upaya untuk “menormalisasi”. Kuatnya peran mahasiswa dalam politik praksis cukup menjadi ancaman pemerintah waktu itu. Walaupun diawal tahun 90-an, Mendikbud Fuad Hasan mencabut kebijakan NKK/BKK dan menggantinya dengan SK No. 0457/U/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Ditambah lagi dengan diberlakukannya Sistem Kredit Mahasiswa (SKS) sehingga terjadi pembatasan usia mahasiswa. Hal ini semakin menumpulkan rasa kritis mahasiswa. Mahasiswa disibukkan oleh aktivitas-aktivitas akademik saja.
Karena terlalu disibukkan dengan aktivitas akademik, mereka menjadi kurang sensitive dengan kehidupan-kehidupan sekitarnya, fungsi advokasi mahasiswa menjadi kurang tajam dan pragmnatisme dikalangan mahasiswapun semakin menjamur. Walaupun dari segi kuantitas kini jumlah mahasiswa bisa dikatakan lebih banyak, namun hanya sebatas kuantitas, ibarat singa yang giginya ompong sebelum masa tuanya.
Hal ini terbukti di Kampus UNDIP tercinta ini Khusunya di Fakultas Ilmu Budaya dan mungkin juga fenomena ini terjadi di universitas-universitas lainnya. Ketika panflet-pamplet rekruitmen sebuah organisasi kemahasiswaan disebar, pasti jumlah mahasiswa yang mendaftar selalu minim. Sehingga sampai-sampai tim perekrut harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk “menarik-narik” mahasiswa untuk bisa ikut berpartisipasi dalam organisasi. Memang sangat ironis sekali, entah mengapa dari hari ke hari mahasiswa semakin tidak tertarik berorganisasi. Apakah karena aura zaman sudah berubah?
Keadaan ini sungguh berbeda dengan keadaan mahasiswa tahun 60-an, 80-an, 70-an hingga awal-awal tahun 90-an dimana suasana diskusi, suasana berorganisasi masih sangat kental. Jika anda tidak percaya mungkin bisa anda tanyakan kepada senior-senior anda ataupun dosen-dosen anda yang hidup menjadi mahasiswa pada msa-masa itu.
Jika mahasiswa semakin tidak kritis,dan phobia berorganisasi lalu bagaimana dengan nasib rakyat awam dimasa mendatang? bukankah kepemimpinan dimasa yang akan datang akan diteruskan oleh para mahasiswa-mahasiswa yang hidup saat ini?
Semoga peran mahasiswa bisa kembali berjaya dan menjadi garda terdepan untuk membela kepentingan rakyat dan semoga idealisme itu selalu terpelihara ketika para mahasiswa itu berstatus menjadi pejabat yang terlibat dalam politik praktis.
HIDUP MAHASISWA!!!!
BANGKIT MAHASISWA!!!
(14/7/2011)
Anton
FIB_ Sejarah 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar