Sabtu, Oktober 08, 2011

Ilusi Kemenangan

"Kemenangan" yang dirindukan dan "Kekalahan" yang ditakuti hanyalah sebuah kondisi. Suatu hal yang mungkin dan niscaya bagi siapapun. "Kemenangan" hanyalah jalan bukan tujuan. Karena Jika kemenangan tujuan, untuk apa bersusah payah memperjuangkan "kemenangan" yang hanya sekedar status?. Memang amat bangga dan membahagiakan "kemenangan" itu hingga terkadang membuat lupa daratan. Puaskah dengan status "menang". Padahal setelah memperoleh kemenangan berselang beberapa saat rasanya biasa-biasa saja. Justru ketika "kemenangan" telah tercapai akan muncul tanggung jawab yang amat besar dan serius. Karena apa, kemenangan yang telah diperoleh dan diperjuangkan oleh para pendukungnya terdahulu dengan pengorbanan harta, dan jiwa mengharapkan "kemenangan" menjadi pintu menuju "kemenangan" yang sesungguhnya. Bagi seorang muslim kita meyakini bahwa Kemenangan sejati adalah ketika kita mampu mengenal Allah.

Apalah artinya "menang" jika "kemenangan" yang telah diraih bukan semakin membuatnya bersungguh-sungguh melipatgandakan kekuatannya tapi justru sebaliknya membuat dirinya merasa "aman", lalai dan bermalas-malasan dengan dalih sudah tidak memiliki pesaing. Maka disinilah perasaan "aman" yang melahirkan kelalaian dan kemalasan itu telah berubah menjadi titik balik "Kemunduran" dan kemunduran secara perlahan-lahan dan akhirnya membuatnya menjadi terpuruk dan pada akhirnya statusnya menjadi berganti yang awalnya "menang" berubah menajadi "kalah". Jika demikian "kemenagan" yang diidamkan serta umumnya dianggap sebagai tujuan bukan "sarana" hanyalah tipuan yang hanya untuk memenuhi hasrat kepuasan hati seseorang saja. Yang terpenting adalah setelah menang lalu apa?. Mungkin ada benarnya orang yang mengatakan bahwa dibalik "kemenangan" tersimpan "kekalahan". Akan datang silih berganti. Lalu jika "silih berganti" itu tidak terjadi alias menang terus atau kalah terus lalu mengapa hal itu bisa terjadi? jawabannya adalah karena adanya perbedaan sikap dalam melihat sejarah. Ada yang menjadikan sejarah benar-benar merasuk kedalam lubuk hatinya sebagai pelajaran. Dan ada yang menajadikan sejarah sebagai sastra saja dengan selalu asik dan sibuk mengkaji dan mengkaji masa lalu secara "apa adanya" seperti yang diungkapkan Sejarawan Jerman Leo Vold Von Ranke. Sehingga sejarah menjadi kaku, kering, dan miskin pelajaran moral.

Tidak ada komentar: