Sabtu, Oktober 08, 2011

Pribadi yang tak tergantikan karena keunikannya


Manusia merupakan makhluk yang unik, khas dan dinamis. Ia terlahir kedunia dengan kekhasan dan potensinya masing-masing. Tidak ada manusia yang sama di dunia ini. Walaupun ada yang terlahir kembar identik sekalipun, namun jika diperhatikan tetap akan banyak terlihat perbedaan-perbedaan secara fisik terlebih-lebih sifat. Manusia bukanlah seperti sebuah produk pabrik yang di ciptakan secara massal dengan kualitas sama. Manusia adalah makhluk yang unik terlahir dengan membawa sifat tidak tergantikan oleh manusia yang lain. Lahir dengan membawa sifat khusus dan ketika meninggal tidak ada yang dapat menggantikan sifatnya itu. Kelahiran manusia baru tentu akan membawa kembali sifat baru untuk dirinya sendiri tidak untuk menggantikan sifat manusia terdahulu. Terus menerus, sehingga manusia akan selalu baru.

Karena keunikannya tersebut, maka dalam hal menerima dan menyerap pengetahuan yang ada disekitarnya pun masing-masing akan memahaminya dengan caranya masing-masing. Bukan cara orang lain, tapi caranya sendiri. Setiap manusia memiliki proses kreativitas dalam menyerap pengetahuan yang berbeda-beda. Sehingga tidak bisa disamakan atau dibandingkan dengan orang lain.

Dengan menyadari hal itu, seharusnya ia diberi kesempatan untuk memilih cara untuk yang paling ia sukai dalam memperoleh pegetahuan. Dengan kata lain diberikan ruang kebebasan untuk memilih cara terideal/cocok dengan dirinya. Pengetahuan di peroleh oleh manusia dengan proses yang cukup kompleks dan rumit. Jika dipabrik mungkin dalam membuat produk dimana segala halnya telah terprogram dalam komputer (inputnya) dan ketika hasil produk (output) yang terlebih dahulu terprogram bisa serupa hasilnya. Tapi tidak dengan manusia. Lima orang mungkin ketika diberi pengetahuan yang sama (input yang sama), belum tentu (outputnya) juga sama. Masing-masing akan berbeda dalam memahami pengetahuan tersebut.

Dengan demikian, amat penting menghargai kekhasan manusia dalam memperoleh pengetahuan. Karena ada cerita menarik sekaligus miris yang mungkin kita alami waktu Sekolah Dasar. Ada seorang guru yang yang memerintahkan murid-muridnnya untuk menggambar gunung. Namun ada satu murid yang ketika dilihat ternyata gambarnya unik. Dengan entengnya sang guru berkomentar sambil tertawa " ini gambar apa? kok aneh banget, seperti ini loh gambar gunung yang bagus", Nah disitulah sang guru kurang menghargai proses kreatif anak tersebut. Ia seakan-akan ingin memaksakan imanjinasinya sendiri terhadap anak didiknya. Padahal setiap orang memilki proses kreatif masing-masing tentang pengetahuan. Proses kreatif si murid dan siguru tidak sama. Sehingga dengan sikap guru seperti it, Ia secara tidak langsung telah mematikan proses kreatif si murid.

Contoh lain ada seorang mahasiswa diberi pertanyaan oleh dosen tentang materi tertentu. Kemudian mahasiswa itu menjawab pertanyaannya si dosen itu dengan dengan gaya dan pandangannya sendiri, ternyata jawabannya tidak persis sama dengan keinginan si dosen. Lalu si dosen mengomentari jawabannya itu dengan nada sinis. Padahal apa yang ada didalam kepala sang dosen berbeda dengan mahasiwa dalam memahami pengetahuan. Maka secara tidak langsung si dosen seakan "memaksakan" agar mahasiswa mengcopy paste pengetahuannya kepada si mahasiwa. Kediktatoran dalam memahami pengetahuan itu justru semakin mematikan kreatifitas. Mate Pelajaran yang berbau eksak mungkin masih bisa diterima untuk mengcopi paste hal2 yang pasti. Tapi jika ilmu2 yang berbau sosial kemanusiaan?

Hal ini telah di bahas oleh para pakar pendidikan. Paradigma pendidikan harus mulai bergeser yang tadinya Behavioristik dimana hanyamenekankan transfer pengetahuan/mengcopy paste pengetahuan dari sumber pengetahuan kepada si penerima pengetahuan (murid), beralih ke paradigma konstruktivistik yang menekankan pemahaman dalam memperoleh pengetahuan. Ruang-ruang imajinasi diberi ruang yang luas bagi si penerima pengetahauan dengan proses kerativitas nya sendiri bukan menduplikat orang lain.

So, jika kita menjadi seorang pendidik, marilah kita berusaha menjadi pendidik yang arif dalam memperlakukan murid2. Berika mereka ruang untuk memahami pengetahan yang kita berikan dengan proses kreatifitas dirinya sendiri.

ingarso sung tuladha...
ing madio mangun karso....
tut wuri handaani....
didepan menjadi teladan
ditengah memberi semangat
dibelakang memberi dorongan
 (Mbah Ki Hadjar Dewantara)

(inspirasi dari Mata kuliah Metode Pengajaran Sejarah with Pak Prof. Dr Singgih T. M.A)

Tidak ada komentar: