Dalam
kisah-kisah para raja dan dinasti, biasanya agar pengaruh rezim lama hilang
dari permukaan, rezim pengganti sibuk melakukan sweeping terhadap
peninggalan-peninggalan rezim lama yang dianggap mengancam eksistensinya.
Target sweeping bisa berupa fisik (infrastruktur) atau juga berupa non
fisik (ajaran).
Cara-cara yang dilakukan bisa sangat evolutif (perlahan-lahan) atau bisa sangat revolutif (cepat/radikal). Tergantung seberapa besar pengaruh rezim lama terpatri dalam benak masyarakat.Cara evolutif bisa dengan memanipulasi data, pembohongan publik, fitnah, larangan,atau juga dengan strategi cultural seperti melalui sarana pendidikan dengan melakukan stigmatiasi, pebunuhan karakter, sosialisasi, pembinaan, penyuluhan secara sistematis dan sebagainya.Adapun cara-cara revolutif bisa dengan membunuh secara massal (genosida), mengusir,ataupun membumi hanguskan segala infrastrukur yang telah terbangun sebelumnya.
Cara-cara yang dilakukan bisa sangat evolutif (perlahan-lahan) atau bisa sangat revolutif (cepat/radikal). Tergantung seberapa besar pengaruh rezim lama terpatri dalam benak masyarakat.Cara evolutif bisa dengan memanipulasi data, pembohongan publik, fitnah, larangan,atau juga dengan strategi cultural seperti melalui sarana pendidikan dengan melakukan stigmatiasi, pebunuhan karakter, sosialisasi, pembinaan, penyuluhan secara sistematis dan sebagainya.Adapun cara-cara revolutif bisa dengan membunuh secara massal (genosida), mengusir,ataupun membumi hanguskan segala infrastrukur yang telah terbangun sebelumnya.
Seperti yang
terjadi di Spanyol (Andalusia) pada abad 15. Saya mengkategorikan kasus Spanyol
dalam kategori kedua. Penduduk Spanyol yang saat itu berpenduduk mayoritas
muslim berusaha dihilangkan jejaknya dari bumi Spanyol dengan cara-cara yang
terbilang revolutif. Mereka (umat Islam) diberi 2 pilihan; pertama, berpindah
keyakinan atau pergi dari bumi spanyol. Sebagian memilih pindah keyakinan,
sebagian tewas terbantai, dan sebagian lagi memilih pergi dari Spanyol
bermigrasi kewilayah-wilayah islam disekitar Afrika Utara.
Kasus kedua
seperti terjadi di Indonesia tahun 1960-an. Rezim Orde Baru begitu serius
membumihanguskan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta
ajaran-ajarannya. Selain itu Orde Baru dengan cara yang sama berusaha
memberangus pengaruh Soekarnois dan Soekarnoisme (pengikut sukarno beserta
ajaran-ajarannya). Mengapa? Ya. Sikap rezim baru itu adalah suatu bentuk
paranoid (ketakutan) akan bangkitnya kembali pengaruh lama yang akan melakukan
perlawanan atau sebagai antitesis rezim yang berkuasa,sehingga target
penghancuran yang dilakukan setidaknya ada 2 yakni; fisik dannon fisik
(ajaran).
Dua kasus
yang saya paparkan diatas hanyalah contoh-contoh kasus-kasus yang terjadi pada
masa lalu, betapa rezimbaru akan terancam eksistensinya selama pengaruh
eksistensi lama masih bebas menjadi“hantu gentayangan” di sekitarnya.
Dalam catatan
ini saya hanya ingin menyoroti aspek yang kedua yakni aspek non fisik (ajaran).
Agaknya memang tidak ada sebuah ajaran akan tersampaikan dengan baik tanpa
menggunakan media tulisan. Meski saat ini teknologi semakin canggih,
ditemukannya alat perekam suara, gambar, maupun video. Tetapi tulisan (baca:
buku) masih menjadi sarana terbaik dalam menyampaikan pesan atau ide.
Mengapa
tulisan? Pertama, saya menilai bahwa tulisan memiliki kekuatan untuk mengikat
semangat penulisnya. Orang bisa termotivasi lantaran membaca pesan-pesan
yang dituliskan. Terlebih-lebih jika penulisnya adalah orang yang berpengaruh
bagi hidupnya. Tulisan juga mengandung ruh yang mengandung enrergi yang
menggerakan. Tentu setelah seseorang termotivasi, iaakan berupaya
mengejahwantahkan semangatnya itu dalam bentuk tindakan nyata.
Kedua,
tulisan bisa menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengambil
kebijakan. Bayangkan saja jika sebuah“aturan main” dalam sebuah organisasi
terpelihara dengan baik, memiliki kemudahan cara mengaksesnya bahkan “aturan
main” itu di sosialisasikan secara aktif kepada pengikutnya, tentu “aturan
main” itu akan menjadi self control bagi individu atau kelompok
itu sendiri. Jika sewaktu-waktu ada oknum organisasi melakukan penyimpangan
terhadap “aturan main” maka “aturan main” itu akan menjadi “energi
pemberontak”untuk meluruskan oknum yang menyimpang tersebut. Energi
pemberontakan itu bisa saja dilakukan oleh oknum organisasi lainnya yang sadar.
Jadi ada fungsi saling mengkritik satu dengan yang lainnya. Misalkan ada salah
satu poin dalam sebuah manhaj organisasi yang dilanggar oleh oknum organisasi
tertentu.
Ketiga,
tulisan bisa menjadi potret yang menggambarkan semangat zaman (zietgiest) bagi penulisnya
terhadap keadaan disekitarnya. Dengan demikian tulisan memiliki fungsi
historisitas. Semangat zaman yang tepotret dalam tulisan merupakan kontribusi
penting dalam upaya menjaga estafet kemajuan seseorang atau organisasi.
Bagaimana keadaan seseorang atau organisasi, apakah selama ini mengalami
kemajuan atau malah sebaliknya?. Dengan demikian akan sangat meudahkan dalam
proses evaluasi.
Keempat
tulisan juga bisa berfungsi sebagai penanda eksistensi (keberadaan akan
sesuatu). Tepat kiranya ungkapan“Aku menulis maka aku ada”. Bayangkan meski
seorang Sokrates, Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dsb telah
meninggalkan dunia ini berabad-abad lamanya tetapi kita yang hidup di zaman
gadget ini masih sering mendengar namanya dalam dunia akademik saat ini.
Padahal mereka telah berabad-abad lamanya meninggalkan dunia ini. Bayangkan
jika dalam hidup seseorang atau organisasi sama sekali tidak menghargai tulisan
atau budaya tulis menulis sebagai dokumentasi, akan sepeti apa jadinya. Apakah
nanti seperti ungkapan Ustad Rahmat Abdullah: “ada orang yang ketika mati hanya
meninggalkan tiga baris tulisan diatas nisannya nama si Fulan, lahir sekian,
dan wafat pada tahun sekian…”? bayangkan jika seandainya sebuah organisasi
besar tidak tahu kapan ia dilahirkan, tidak tahu dalam keadaan yang seperti
apa, tidak tahu arah tujuannya di masa depan, akan jadi apa organisasi
tersebut. Ia bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Oleh sebab itu saya
berpendapat bahwa tulisan mutlak penting. Bahkan sangat penting. Begitupun
aktifitasnya yakni menulis otomatis juga penting. T.S Elliot pernah mengatakan
“Sulit kiranya membangun peradaban jika tidak ada kebiasaan membaca dan
menulis”.
Semarang, 3
Juni 2013