Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan
bahwa beberapa syarat perubahan sosial harus dimulai dari perubahan cara
berpikir. Selama tidak ada perubahan cara berfikir, maka perubahan sosial akan
mustahil dilakukan. Perubahan cara berfikir yang bagaimana?
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa
perubahan bisa dilakukan dengan menggunakan cara berfikir logis bukan percaya
kepada mitos. Sering kali hambatan-hambatan perubahan sosial terjadi lantaran
gara-gara mitos lebih mendominasi ketimbang cara berfikir rasional.
Ia mengilustrasikan beberapa kejadian
yang cukup menarik terkait kesalahan-kesalahan berfikir yang kerap kali dialami
masyarakat. Bahkan bisa jadi dialami diri kita sendiri. Ia mencontohkan beberapa
kesalahan-kesalahan berfikir tersebut antara lain:
Pertama, kesalahan
berfikir karena berpijak pada tafsiran masa lalu yang keliru. Jakarta sejak
zaman Belanda memang sudah terkena banjir, jadi ya wajar saja kalau hingga hari
ini masih terjadi banjir, toh sejak dulu saja sudah banjir. Nah cara berfikir
seperti ini akhirnya yang menghambat perubahan sosial, karena secara tidak
langsung ia pro status quo. Bayangkan
jika cara berpikir seperti ini dialami oleh para pejabat kita. Paling parah ia
mengalami pasrah dalam menghadapi persoalan atau kurang greget dalam menyelesaikan masalah. Tidak prioritas terhadap problem
yang seharusnya prioritas diselesaikan.
Kekeliruan menafsirkan masa lalu bisa
berakibat fatal bagi masyarakat pada masa kini dan yang akan datang. Padahal
ada di daerah-daerah lain ternyata sukses menangani
permasalahan-permasalahannya seperti Belanda yang sukses membuat bendungan
(dam) untuk menahan banjir, Jepang yang dengan segala keterbatasannya bisa
menjadi negara maju, Hongkong yang terkenal dengan korupsinya bisa menekan
tingkat korupsi. Bahkan kini Hongkong terkenal sebagai negara yang “bersih”
dari korupsi.
Oleh karenanya penting kiranya mempertimbangkan
peristiwa-peristiwa berharga yang terjadi di masa lalu agar ia (masa lalu)
tidak menjadi duri penghambat perubahan sosial. Mengapa? Sejarah adalah pijakan
untuk melangkah, apakah ingin maju atau mundur. Padahal zaman terus berubah,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi begitu cepat, sejatinya bisa
dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini bisa jadi terjadi pada
diri kita. Misalkan ada seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin, sejak
kecil ia dibesarkan dengan “gaya hidup” miskin. Bayangan hidup miskin itu
terbawa hingga dewasa hingga menyebabkannya “wanti-wanti” atau mungkin
traumatik bahwa saya ini lahir dari keluarga miskin masak sih saya bisa jadi orang kaya. Dan pada akhirnya terserang
penyakit minder akut bahwa orang seperti saya—orang miskin-- jangan mimpi jadi
orang kaya. Ia tidak berobsesi ingin melakukan hal-hal yang besar. Tidak pede bermimpi besar. Kenyataannya ada
anak lain yang terlahir miskin tetapi ia berhasil merubah nasibnya. Meski tidak
selalu jadi orang kaya yang bergelimangan harta (hartawan), setidaknya ia bisa
menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia tidak terkategorikan orang yang
kekuarangan secara finansial. Namun hal terburuk yang bisa saja terjadi pada si
anak miskin tersebut dalam proses perubahan dirinya ketika akses terhadap ilmu
pengetahuan tidak ia dapatkan, lingkungan sekitar tidak peduli dengan
kondisinya, peran pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ia akan sulit
mendapatkan pencerahan. Bahkan ia mungkin tidak mengerti bagaimana harus
memulai melakukan perubahan. Ia tidak mengerti untuk apa harus punya mimpi atau
obsesi.
Kedua,
kesalahan berfikir karena “sebab-akibat”. Ada seorang pemuda di desa ia
memiliki usaha telur ayam lalu usahanya berkembang pesat hingga mengantarkannya
jadi orang kaya. Kesuksesan ini lantas ditiru oleh para pemuda lainnya bahwa ia
kaya disebabkan usaha jualan telur ayam. Hampir semua pemuda di desa tersebut akhirnya
memilih usaha menjual telur ayam dengan gaya yang serupa. Kesusksesan pemuda
pertama ternyata tidak dialami oleh pemuda lainnya alias gagal.
Contoh lainnya, ada pasangan
suami-istri ketika baru punya anak satu kondisi perekonomiannya moral-marit.
Hidupnya prihatin sekali. Kemudian dalam keadaan susah itu lahir anak yang
kedua. Nah setelah kelahiran anak yang kedua tersebut, berangsur-angsur
perekonomian keluarga menjadi membaik. Usahanya sang ayah lancar, uang
berlimpah, aset keluarga ada dimana-mana. Lalu pasangan tersebut berkesimpulan
bahwa kesuksesan yang mereka alami karena lahirnya anak kedua. Mereka
menganggap anak kedua itu sebagai anak pembawa keberuntungan. Akhirnya anak
kedua tersebut diperlakukan sedemikian rupa, di manja-manja, ditimang-timang,
dilebih-lebihkan ketimbang anak-anak yang lainnya. Dan bisa dipastikan
seandainya lahir anak ketiga lalu kondisi perekonomian keluarga mengalami
depresi, anak ke tiga tersebut akan jadi korban claim sebagai anak pembawa sial. Itu jika seandainya cara berfikir
pasangan tersebut tidak berubah. Akan dapat dibayangkan bagaimana nanti
perlakuan pasangan tersebut kepada si anak ketiga.
Singkatnya bahwa perubahan sosial harus
dimulai dengan perubahan cara berpikir. Pikiran yang akan menggerakan seseorang
kemana akan melangkah, kemana ia harus berbuat. Cara berpikir yang bagaimana?
Yakni cara berpikir yang logis (rasional) bukan berpijak pada mitos. Pikiran
yang didominasi mitos bisa menghambat perubahan sosial bagi seseorang
(masyarakat). Mitos bisa berupa warisan turun-temurun yang belum tentu bisa
dibuktikan kesahihannya tetapi telah dijadikan “keyakinan” yang mengakar
sehingga dipercaya begitu saja. Mitos-mitos itu bisa menjadi penghambat
perubahan sosial. Mudah-mudahan di masa yang akan datang masyarakat kita
semakin rasional dalam melihat realitas sekitarnya. Meski begitu sebagai muslim
kita tidak hanya berpijak pada rasio semata, krena rasio tetaplah memiliki
keterbatasan. Tetapi saya pikir Islam bukanlah agama yang menghambat
pengikutnya dalam mengembangkan kreatifitas nalarnya. Saya yakin itu. Saya
tidak khawatir akan membahayakan agama Islam. Islam terbukti mampu menjawab
tantangan-tantangan zaman hingga hari ini.
Semarang, 27 Juni 2013
*)Tulisan ini saya buat setelah saya tergugah membaca buku Rekayasa Sosial : Revolusi, Revormasi, atau Manusia Besar? Karya Jalaluddin Rahmat Tebitan Rosda Tahun 1999