Kerap
kali di pinggir-pinggir jalan sekitar Kelurahan Tembalang saya menemukan orang
yang teralienasi dari lingkungan sekitarnya. Mereka menyusuri jalan-jalan dan
kerap dijadikan tontonan oleh masyarakat terutama anak-anak. Mereka bagaikan
manusia yang keberadaanya tidak diinginkan di dunia ini, tetapi kenyataanya
mereka benar-benar ada di tengah-tengah kita. Ya mereka di cap sebagai “orang
gila”. Terminologi “orang gila” biasanya ditujukan kepada seseorang yang tidak
sehat akal nya.
“Orang
gila” biasanya adalah orang yang “secara tidak sadar” tidak menghiraukan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, bahkan berlawanan. Saya sendiri
tidak tahu persis mengapa masyarakat mengkategorisasikan demikian. Padahal
dalam keseharianpun mungkin saat kita sedang asyik bercanda kepada teman dekat
sesekali kita menggunakan terminologi tersebut untuk bahan candaan, “Huh dasar
Orang Gila”, “Gila loe”, “Wong Edan”
(bhs. Jawa). Tetapi mungkin maknanya akan menjadi lain.
Orang
gila dalam konteks pertama merupakan terminologi yang muncul berdasarkan
dorongan pandangan (klaim) umum masyarakat dimana lebih disebabkan si “orang
gila” secara tidak sadar tidak mengikuti “aturan main” dalam masyarakat. Jadi claim orang gila sebetulnya muncul dari
sebuah masyarakat yang memiliki basis nilai dan norma. Adapun “orang gila”
dalam konteks kedua merupakan guyonan semata sebagai bentuk pernyataan bahwa
seseorang melakukan perbuatan yang tidak umum dalam keadaan sadarnya.
“Orang
gila” umumnya melanggar nilai dan norma yang berlaku. Jika di tempat saya
(Tembalang) orang seperti ini bisa dilihat ‘sikap dan penampilannya’ seperti
rambut yang “acak-acakan” tidak terurus, pakaian dan celana yang kotor, dan bau
menyengat. Adapun sikapnya seperti teriak-teriak tanpa jelas maksudnya,
ketawa-ketiwi sendiri, marah-marah sendiri, bicara sendiri, memukul orang lain
tanpa jelas maksud dan tujuan, buang hajat di sembarang tempat, bertelanjang
badan di tempat-tempat umum dan sebagainya.
Sebetulnya
beberapa ciri “orang gila” yang saya paparkan di atas masih memiliki banyak
catatan. Pengkategorisasian tersebut agar lebih memperjelas maksud tulisan saya
dalam catatan ini. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa “orang gila” adalah
sebuah claim umum masyarakat
berdasarkan nilai dan norma tertentu terhadap kalangannya sendiri yang tidak
mengikuti norma secara tidak sadar.
Sanksi yang diberikan masyarakat
kepada mereka (orang gila) berdasarkan hukum yang tidak tertulis. Sanksi
tersebut biasanya diberikan dalam bentuk kurungan atau pasungan apabila si
orang gila menganggu ketertiban umum. Jika kebetulan anggota keluarganya mampu
maka si orang gila ini bisa memperoleh perawatan yang lebih baik.
Melihat fenomena ini menurut hemat
penulis pemerintah harus memperimbangkan ulang kembali regulasinya. “Orang
gila” perlu mendapatkan perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Penulis
mengusulkan kepada para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakya (DPR) untuk
membuat regulasi dalam menangani mereka. Maksud penulis bukan berarti memohon
dibuatkan peraturan yang lebih keras kepada mereka (orang gila), akan tetapi
sebagai warga negara mereka juga perlu mendapatkan perlindungan dari perbuatan
main hakim sendiri masyarakat.
Semarang 10 Juli 2013