Apa yang kita pikirkan atau
rasakan saat melihat orang yang hilang akal (baca: orang gila) sedang
berjalan-jalan di pinggir jalan?. Mereka dalam kondisi tidak sadar sehingga “bebas”
melakukan apa yang mereka mau tanpa memperdulikan nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat. Berteriak-teriak tanpa jelas
maksudnya, buang hajat di sembarang tempat, bertelanjang badan tanpa
rasa malu, tidak mandi-mandi, tidak mempersoalkan penampilannya sehingga kondisi
tubuhnya “berantakan”, compang-camping dan bau.
Masyarakat bisa
jadi maklum dengan kondisi mereka yang dalam keadaan hilang kesadaran itu. Meskipun
dalam hati mungkin merasa kasihan, iba bahkan tidak tega. Pun kita bisa jadi
punya perasaan yang serupa. Terlebih-lebih jika saudara dekat kita sendiri yang
mengalaminya. Tentu kita akan bersedih.
Ya, mereka
(orang gila) mendapatkan kebebasan dari jeratan hukum baik hukum formal maupun
hukum sosial. Ketika melakukan pelaggaran terhadap hukum formal mereka tidak
masuk dalam kategori pelanggar. Lagi-lagi karena mereka dalam kondisi hilang
kesadaran sehingga mereka dibebaskan. Dan masyarakatpun akan membiarkan begitu
saja jika orang gila itu tidak terlalu menggangu. Mungkin hanya celaan,
cibiran, tertawaan saat si orang gila ini sedang berbuat nyeleneh.
Jadi klo boleh
saya definisikan “orang gila” adalah orang
yang dalam kondisi hilang kesadaran disebabkan tidak berfungsinya kemampuan
akal sehat dalam memahami lingkungan sekitar”. Ini definisi menurut saya. Silahkan
klo ada yang ingin membantah.
Ketidakmampuan
memahami, menjalani aturan main (nilai dan norma) masyarakat dalam beraktivitas
membuatnya disebut “orang gila”. Berarti
kitapun bisa di claim gila dalam
pandangan umum masyarakat ketika dalam kondisi-kondisi tertentu dalam bertindak
tidak sesuai atau bahkan menyalahi aturan dalam masyarakat. Bukankah pernah
atau sering kali kita mendengar candaan-candaan seseorang kepada temannya dengan
perkataan “Gila bener tuh orang!”, “Gila loe!”, “Jangan gila dong”, Please deh
jangan gila!” “Dasar wong edan!” dan sebagainya. Itu pertanda bahwa dalam
keseharian kita pada saat-saat tertentu, seseorang bisa terjebak dalam
kegilaan. Bedanya “gila” dalam kontekskedua
hanya sebatas umpatan sementara menyifati perilaku seseorang.
Rupaya arus
kegilaan baik bermakna konotatif (kiasan) ataupun denotatif (makna sebenarnya)
semakin hari semakin absurd. Arus kegilaan dalam masyarakat kita sekarang semakin
kabur maknanya. Klo melihat perilaku masyarakat kita saat ini sebetulnya akan
banyak sekali “orang gila-orang gila baru”. Bahkan orang gila ini benar-benar melampaui
kegilaan karena melakukan kegilaan secara sadar. Dengan kata lain kegilaan yang
dilakukannya lebih ngeri. Hal ini klo
merujuk definisi orang gila menurut saya di atas.
Contoh paling
riil dalam masyarakat kita, sebagian besar perempuan indonesia hari ini berani
secara terang-terangan mempertontonkan tubuhnya di depan umum. Mereka keluar pada
saat siang dan malam hanya dengan memakai hotpan (celana sepaha). Mereka dengan
pedenya berjalan-jalan di tempat umum. Mari kita tanyakan pada ibu pertiwi tercinta
apakah harus seperti itu seharusnya sebagai bangsa Indonesia, sebagai bangsa
timur?
Jika jawabannya
adalah “ya zaman memang telah berubah, itu sudah hal yang umum dalam masyarakat kita dan tidak perlu
dipersoalkan”. Berarti memang nilai dan norma telah berubah. Mengapa berubah? Karena
dahulu bangsa kita terkenal d
engan kesopanannya, dengan sifat pemalunya.
Jika demikian, berarti di masa yang akan
datang bisa jadi tidak akan dikenal lagi “orang gila” toh kegilaan telah
menjadi arus utama dalam masyarakat kita (mainstream). Mungkin ini yang disebut
sebagai “Zaman Edan”.