Sabtu, Agustus 03, 2013

Jejak KeIslaman Saya (Sebuah Cerminan)

Saya dilahirkan dalam keluarga yang minim pengetahuan tentang Islam. Meskipun ayah dan ibu saya seorang muslim tapi dilihat dari aspek ibadah, dalam kesehariannya belum terlihat sebagai penganut agama yang taat. Salah satu ukurannya adalah ibadah shalat lima waktu. Memang saya pernah lihat ayah dan ibu melakukan shalat, tetapi belum terlihat menjadi amalan yang konsisten.  Hari ini shalat tetapi pada hari yang lain tidak shalat. Saya jarang lihat ibu dan ayah membaca al-quran. Sepertinya memang keduanya belum pandai membaca Al-quran. Sesekali saya pernah mendengar ayah membaca beberapa ayat al-quran, tapi sebatas hafalan saja.

Saya ingat waktu itu ketika saya berumur 6 tahun  ayah dan ibu memerintahkan saya ikut pengajian di langgar kampung tidak jauh dari pelataran rumah. Waktu itu saya tidak mengerti apa itu mengaji. Berhubung kakak dan teman-temannya banyak yang berangkat mengaji, sayapun ikut-ikutan sebatas berkumpul dan bersosialisasi saja. Saya kan memang anak kecil waktu itu.

Saya tergolong anak yang susah diatur dan bandel. Dalam hal mengaji saya sukar diarahkan. Saya lebih senang bermain daripada mengaji. Bisa dibilang saya asing jika berada di Langgar. Saya ingat waktu itu saya belajar membaca Al-quran dengan turutan atau lebih populer disebut juz amma. Saya diajarkan dengan metode mengeja huruf perhuruf dan hafalan. Sulit sekali bagi saya mengenal huruf demi huruf waktu itu. Lebih enak bermain dari pada mengaji.

Saya ingat teman-teman seumuran saya waktu itu Akbun dan Arif begitu giat mengaji di desa Cihoe. Desa itu berada 50 meter dari rumah saya. Ya, rumah saya memang berada di perbatasan antara desa Cogreg dan Cihoe. Entah mengapa waktu itu saya tidak tertarik mengaji. Meskipun saudara-saudara saya sering kali membanding-bandingkan sikap saya dengan mereka, tapi saya benar-benar malas mengaji. Alhasil sekitar usia 8 tahun saya belum mengenal huruf hijayyah. “Eh si Akbun udah baca 2 Juz lhoo”. Kakak saya mencoba membandingkan. Tetapi saya tetap tidak perduli.

Pengajian Ala Bang Tiar

Pengajian di Langgar masih tetap berjalan, tapi saya tidak begitu aktif mengaji disana. Pengajian di desa Cihoe masih tetap berjalan bahkan sangat maju. Barulah saya agak tertarik mengaji ketika ada seorang santri namanya Bang Tiar klo tidak salah ingin membuka pengajian di depan rumah saya. Bang Tiar ini adalah sahabatnya Mpok Omi. Jadi pengajian dilakukan di rumahnya Mpok Omi setiap hari ba’da ashar, sedangkan libur diadakan setiap malam Jumat. Klo tidak salah Bang Tiar dan Mpok Omi sama-sama masih singgle waktu itu. Selebihnya saya tidak mengerti hubungan mereka berdua.

Letak pengajian yang begitu dekat dengan rumah membuat saya lumayan sering mengaji. Disana saya mulai dikenalkan huruf hijayah. Diajari membaca huruf sambung dengan metode di eja huruf per huruf. Saya terus bertahan megikuti pengajian dengan metode seperti itu. Saya ingat waktu itu konsentrasi ngaji saya sesekali buyar karena menanti-nanti film laga “Misteri Gunung Merapi”  yang tayang setiap minggu pukul 19.00 WIB di Indosiar.

Dari pengajian itulah saya mulai diajari gerakan shalat, tetapi hanya sekilas saja. Pengajian itu hanya bertahan beberapa bulan saja karena Bang Tiar sudah tidak ngajar lagi. Saya tidak tahu sebabnya. Hati saya sempat merasa haru waktu itu. Baru saja saya suka ngaji, tapi pengajiannya malah ditutup.

Bang Amid

Beberapa bulan saya tidak mengaji lagi. Ada seorang guru perempuan memulai pengajian lagi tapi hanya berlangsung beberapa saat dan tidak cukup membekas. Cara mengajarnya benar-benar biasa sekali. Anak-anak diminta kumpul, lalu baca turutan masing-masing, setelah selesai mengaji, kami langsung beranjak pulang. Hingga muncullah seorang guru ngaji baru kembali namanya Bang Hamid, biasa dipanggil Bang Amid. Dia adalah salah satu guru ngaji yang mengenalkan sedikit “kedisiplinan”, mengenalkan saya tata cara menulis huruf Arab, fiqih, motivasi lewat cerita-cerita teladan, dan penghargaan terhadap pertemuan dalam pengajian. Saat itu sudah mulai diterapkan “bayaran” perbulan kepada setiap murid. Bayaran yang ditarik tidaklah seberapa bahkan bisa dibilang sangat-sangat murah. Saya ingat betul satu bulan setiap siswa hanya dibiayai Rp.1000. Ketika hendak memberikan perihal penarikan ini, beliau pernah bilang untuk keperluan operasional seperti membeli kapur tulis, lampu, sapu dan keperluan mushola lainnya.

Apresiasi warga di desa saya bisa dibilang kurang apresiatif. Meski para murid ditarik “bayaran” dengan tarif yang sangat murah, tapi para orang banyak  yang tidak menghiraukannya, seakan-akan tabu jika seorang guru ngaji memberikan ilmunya dengan meminta bayaran. Padahal jika seandainya Bang Amid mengundurkan diri, para orang tua tidak bisa berbuat apa-apa. Dari sinilah saya mulai menyadari bahwa amat sedikit orang-orang di desa yang mau mengajar ngaji.

Bang Amid perawakannya kurus kepalanya selalu bermahkotakan peci ala Soekarno yang sedikit di miringkan ke samping. Jika berdiri tubunya tidak tegak alias membungkuk 45 derajat. Beliau memang sudah membungkuk sejak remaja. Kata bapakku, Bang Amid ketika remaja mengalami kecelakaan. Klo saya tidak salah dengar ia mengalami kecelakaan ketika sedang main bulu tangkis.

Beliau adalah orang yang pembawaannya santai tapi klo sudah ngajar bisa berubah menjadi sosok yang tegas bahkan keras. Kekerasan sepertinya masih menjadi senjata andalannya untuk mengarahkan perilaku nakal murid-murinya. Beliau memang dikaruniai suara yang amat merdu. Ibu saya kerap memujinya ketika beliau melantunkan barzanji saat pagi dan petang.

Memang murid-murid waktu itu susah diatur (termasuk saya di dalamnya). Saking sukarnya kami diarahkan, beliau mengancam akan memberikan pengajaran sambil membawa “kalam”. Ya, kalam sebuah alat terbuat dari sebilah bambu yang dihaluskan. Sekurang-kuranngnya kalam memiliki 3 fungsi utama. Pertama, berfungsi sebagai penunjuk huruf-huruf Alquran. Seorang murid ketika membaca satu huruf harus disertai kemampuan menunjukkan huruf-huruf yang dibacanya. Tidak boleh suara mendahului laju telunjuk. Jika suara mendahului, atau terlambat, pasti dianggap salah karena antara bacan dan terlunjuk tidak singkron. Nah inilah yang dijadikan metode oleh Bang Amid untuk mengukur kepamahan murinya. Unik sekali memang. Kedua, kalam berfungsi sebagai penunjuk huruf-huruf Arab di papan tulis, dan yang terakhir berfungsi sebagai cemeti bagi murid-murid yang nakal. Nah fungsi terakhir inilah yang menjadi momok menakutkan bagi saya dan teman-teman. Pernah suatu ketika ruangan kondisi langgar bagaikan laron, saya dan teman-teman berlarian di dalam ruangan. Padahal Bang Amid masih berada di dalam sedang membimbing salah seorang murid membaca Al-Quran. Bang Amid sepertinya sudah habis kesabarannya. Dueeeeeeeeeeeeeeeeeeeer!!! Kalam yang halus itu beradu dengan lantai. Ibarat anak ayam yang mendengar suara petir, kami semua melongo. Saya syok. Persis sabetan kalam itu di sisi saya. Saya membayangkan jika kalam yang panjang itu mengenai punggung saya, akan seperti apa kulit saya. Sejenak ruangan sepi. Hanya terdengar suara murid yang terbata-bata membaca al-quran dalam keadaan gugup. Begitu seterusnya hingga kami menjadi terbiasa dididik dengan gaya keras. Al hasil murid-murid tetap melakukan kenakalan secara berulang alias tidak kapok.

Bang Amid bukanlah Kiyai atau Ustad yang punya pakem dalam mengajar. Saya ingat ia hanya berbekal modal buku tata cara shalat dan buku panduan tajwid yang kelihatan hampir lapuk. Memang beliau agak menonjol dalam hal berbicara.

Dari cerita-cerita nabi, sahabat, para malaikatlah saya mulai mendapatkan bimbingan. Saya ingat betul beliau pernah menyampaikan kisah tentang bengisnya malaikat Zabaniyah terhadap orang-orang yang suka berbuat maksiat seperti zina, judi dan mencuri dengan gaya berapi-api. “Di Neraka nanti, malaikat Zabaniyah akan menyeret para pelau maksiat tanpa ampun!”. Saya dan murid-murid lainnya terpukau sekaligus takut mendengar kisah tersebut.

Hari-hari terus berlalu. Pengajian oleh Bang Amid semakin sepi. Terkadang Bang Amid datang, terkadang tidak. Murid-murid semakin sulit dikontrol. Awalnya saya juga tidak paham mengapa Bang Amid seperti hilang dari permukaan. Ternyata yang membuat saya kaget waktu itu adalah Bang Amid sibuk dengan usaha barunya. Mau tahu usaha apa?. Beliau menjadi bandar Togel di lingkup RT saya. Sebagai anak kecil yang hidup “baru kemarin sore” protes. Mungkin ini adalah pertama kalinya bentuk kekecewaan kepada guru agama. Kemudian saya ungkapkan secara terang-terangan kepada orang tua saya. “Pak kok Bang Amid jadi bandar Togel sih, Togel kan judi, kan kata beliau klo orang yang berjudi nanti diseret sama malaikat zabaniyah?”polos saya. Orang tua saya hanya tertawa kecil dan berusaha menjelaskan agar saya mengerti begitulah dinamika kehidupan. Saya terus saja tidak suka dengan perbuatan Bang Amid itu!. Dan ternyata Ayah saya waktu itu menjadi salah satu “follower” Bang Amid. Buktinya jika ada pengumuman nomor yang keluar, pasti ditempel didepan tiang rumah saya. Itu pertanda sikap ayah saya mendukung dengan adanya togel. Setiap hari nomor demi togel diumumkan di tiang rumah saya hingga saya hafal kode-kode nomor hewan dari no1 hinnga nomor 36. Sebagai anak yang suka main-main saya sering bermain di rumah bang Amid, Entah kenapa halaman rumah Bang Amid betul-betul “strategis” buat berkumpul bocah-bocah termasuk saya. Terkadang saya masuk ke rumah Bang Amid menonton TV. Saya lihat di kamar sebelah banyak orang-orang berdret khusuk memandangi gambar-gambar tokel yang aneh. Saya pernah liat gambarnya memang aneh. Ada binatang kepada sapi tetapi diperutnya ada gambar mata, kepada ayam tapi punya kaki empat, pokoknya aneh. Biasanya di atas gambar ada tulisan pertanyaan yang harus dicari jawabannya. “Binatangnya suka berkelahi?”. Pertanyaan ini harus dipecahkan oleh para “Togel Holic”.  Pada Togel Holic terkadang sikapnya aneh-aneh. Mereka terkadang meminta anak kecil yang mencari jawabnya, termasuk kepada saya. “Ton binatang yang suka berkelahi apa?”. Saya juga tertantang ingin menjawabnya. Tiba-tiba muncul dibenak saya 2 ekor ayam jantan sedang berkelahi. Lalu saya katakan saja “Ayam Bang!, ayam kan suka berantem!” saya lantang. “ Ah yang beneran luuu?” dia penasaran. “Beneran Bang besok paling keluar tuh nomer”. Saya berusaha meyakinkan. Entah apa dia percaya atau tidak saya tidak terlalu peduli. Keesokan harinya ditempat yang sama saya bertemu dengannya “Wah Ton jawaban lu benerrr yang keluar 28”. Ya 28 itu kode Togel buat nomor Ayam. “Tapi kagak gua pasang Toonn!”

Berlanjuuutt..... nanti yaa...  masih banyak yang menarik disini....

Mungkin ini adalah kehandak Allah, setiap ada guru yang mulai mundur selalu saja ada pengganti yang baru. Datanglah seorang mahasiswa dari Desa Perigi Mekar namanya Bang Indrus. Perawakannya tinggi, putih dan familiar. Aku baru tahu beberapa bulan kemudian bahwa beliau adalah salah satu mahasiswa al-Mukhlisin di Kecamatan Cieseeng. Mungkin waktu itu saya masih kelas 3 atau 4 SD.

Di tangannyalah pengajian kami banyak mengalami perubahan. Kami yang sebelum-sebelumnya bagaikan sekumpulan bebek yang hanya dibiasakan patuh, manut, lalu diperkenalkan dengan dialog. Bang Idrus cukup aktraktif menajak teman-teman berdialog. Dialog adalah makanan baru bagi kami. Bisa dibayangkan sekumpulan anak yang malu-malu, pasif, dikenalkan dengan gaya pengajaran yang baru jadinya seperti apa. Bang Idrus cukup heran juga sepertinya. Lalu beliau memotivasi kita semua agar berani berbicara, berani menjawab setiap pertanyaan dengan tegas tidak boleh takut. Terus-menerus dipupuk hingga kami menjadi terbiasa dan akrab dengan Bang Idrus.

Bang Idrus banyak melakukan perbaikan-perbaikan cara mengajar dan pembaharuan muatan materi-materi yang disampaikan oleh guru-guru sebelumnya. Secara keilmuan beliau lebih mumpuni dan progresif. Setahap demi setahap kami diajarkan cara thaharah, cara berwudhu, bacaan-bacaan shalat, tulis menulis huruf Arab, huruf Arab gundul,  hingga bahasa Inggris. Bekal pengetahuan itu sungguh saya rasakan hingga hari ini. Memang ada waktu khusus untuk mengevaluasi pengajian yan dilakukan setiap hari. Nah disesi itulah beliau memberikan muatan-muatan motivasi agar murid-muridnya tergerak sendiri menuntut ilmu, banyak membaca buku dan memiliki-cita-cita yang tinggi.
Pada masa didik beliaulah saya benar-benar termotivasi belajar. Saya mampu membaca Al-quran meskipun masih sangat standar bacaanya. Saya termotivasi buku-buku agama, buku panduan percakapan bahasa Inggris, cara berpidato, adzan dsb. Ya, saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau. Saya ingat sekali beliau selalu memotivasi saya ikut perlombaan seperti lomba shalawat, adzan dan pidato. Memang suara saya lumayan bagus waktu itu sehingga beliau benar-benar wanti-wanti ingin melatih saya. Tapi sayangnya waktu itu saya terlalu minder. Saya hanya berani dikandang sendiri. Saya tidak tertarik ikut lomba-lomba. Mungkin waktu itu saya punya penyakit “demam panggung” akut. Saya waktu itu hanya berhasil menjuarai lomba adzan juara III, Juara harapan 4 Pidato. Untuk kejuaraan yang pertama saya sedikit terkejut “kok saya juara III?” padahal suara saya jauh lebih merdu dibandingkan teman saya yang juara 1 dan 2?”. Saya menduga hal itu terjadi karena sikap saya waktu di atas panggung agak salah tinggah. Salah satu penilaian dalam lomba itu ternyata melihat perilaku para peserta.

Lanjut nanti yaa.. sekarang sibuk..

Tidak ada komentar: