Untuk
ukuran manusia, usia 68 tahun bisa dibilang sudah tidak "muda" lagi
alias lanjut usia (Lansia). Bertambahnya usia manusia berbanding terbalik
dengan daya tahan tubuhnya. Semakin tua usianya maka seseorang kian mengalami
kerapuhan meski kecepatan kerapuhanannya pada tiap-tiap orang tidak sama. Hal
ini biasanya ditandai dengan berbagai macam persolan kesehatan antara lain;
menurunnya stamina, gejala pikun, rabun yang kian menjadi dan lain sebagainya.
Usia tua belum tentu juga menjamin kedewasaan dalam bersikap.
Tapi lain
halnya dengan sebuah bangsa, semakin tua usia suatu bangsa seharusnya bukan
membuatnya semakin rapuh, tapi harus semakin kuat. Semakin tua sebuah bangsa
seharusnya menjadikannya lebih dewasa dan matang.
"Kemerdekaan"
yang masih bertahan hingga saat ini patut kita syukuri bersama. Mengapa? Karena
untuk mencapainya sungguh tidak mudah. Banyak sudah jiwa raga yang telah
berkorban demi tegaknya bangsa ini. Salah satunya adalah peran kaum terpelajar
atau mahasiswa.
Politik
Etis ala Van de Venter yang muncul atas dasar motif kapitalis telah menjadi
titik tolak perubahan besar bagi bangsa ini. Kebijakan itu telah merubah
perjalanan sejarah bangsa ini. Sekitar abad 19 banyak sekolah-sekolah dibangun
di negeri ini. Tahun 1819 pemerintah membangun sekolah militer di Semarang,
kemudian sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden tahun 1826, Institut Bahasa
Jawa Surakarta tahun 1832, Sekolah Pegawai Hindia Belanda di Delf tahun 1842
dan Sekolah Guru Bumiputera di Surakarta tahun 1852. Sekolah-sekolah itu memang
di bangun di Hindia Belanda (Sekarang Indonesia) namun hanya diperuntukan untuk
anak-anak bangsa Eropa yang ada di tanah jajahan. Barulah pada tahun 1893
didirikanlah sekolah negeri bagi bangsa pribumi dengan embel-embel peraturan
yang sarat dengan diskriminasi. Apakah kita harus berterima kasih kepada
mereka? Tentu tidak.
Mereka
(mahasiswa) yang tersadarkan dalam hegemoni kapitalis telah memberikan
inspirasi bagi kita semua. Betapa nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa
ditutup-tutupi, tidak bisa dimanipulasi. Mereka yang dicekoki dengan nyanyian
kapitalisme justru berbalik menyerang setiap kebijakan pemerintah kolonial.
Pada
periode akhir abad 19 menuju abad 20 beberapa kaum terpelajar telah berani
membentuk perkumpulan-perkumpulan guna membebaskan masyarakatnya yang
terbodohkan oleh penjajah. Fase ini merupakan fase pergerakan nasional. Dalam
fase ini perjuangan menuju kemerdekaan lebih modern dan teroganisir. Berbeda
dengan gerakan-gerakan pembebasan era sebelumnya yang terpecah-pecah dan
klasik. Perjuangan pada masa pergerakan nasional tidak terpaku pada kekuatan
satu tokoh saja, tapi sudah mengandalkan kekuatan sistem. Rapat-rapat umum dan
propaganda media massa telah menjadi standar baku kaum pergerakan.
Pada masa
ini berdirilah Boedi Oetomo (1908) yang sebagian besar anggotanya mahasiswa
kedokteran dengan visi jelas--menyetarakan kaum pribumi dengan bangsa-bangsa
lain--. Selain itu beberapa perkumpulan-perkumpulan pemuda/mahasiswa baik
berbasis daerah, agama, ekonomi pun berdiri. Perkumpulan itu melakukan
konsolidasi secara masif dan terorganisir. Keinginan kuat untuk bersatu sebagai
sebuah bangsa itu termanifestasikan dalam momentum Sumpah pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Hingga tahun 1945 para golongan terpelajar (mahasiswa) memiliki
peran penting dalam proses perubahan dengan mendorong dwi tunggal Soekarno
Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Gerakan
Pemuda/ Mahasiswa Pasca Kemerdekaan
Dalam
perjalanannya para kaum terpelajar ini terus menorehkan perubahan dalam setiap
masa. Pasca Proklamasi kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan
dasar ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan
terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdeirinya
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tanggal 25 Maret 1947dan
kemdian disusul dengan berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini menggunakan ideologi
agama seperti Islam, Kristen dan Katholik. Kemunculan organisasi-organisasi
mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan
basis ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 Nopember 1945 dan
Partai Katholik yang berdiri tanggal 8 Desember 1945. Sementara partai besar
lainnya yaitu Partai Nasional Indonesia juga memiliki organisasi gerakan
mahasiswa yaitu Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri
tanggal 23 Maret 1954. Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk
pada 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil mahasiswa di
Bandung, Bogor dan Yogyakarta. Selain itu muncul pula kelompok-kelompok
organisasi mahasiwa berdasakan profesi dan komunitas Ormas mahasiswa.
Kelompok-kelompok ini natara lain Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH)
di Bogor, Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa
Jogyakarta (PMJ), dan Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). Kemudian dari dalam
kampus juga muncul organisasi gerakan da Dewan Mahasiswa UI tanggal 20 Maret
1955. Adapun di dalam intra kampus berlaku model Student Government.
Mahasiswa memiliki pemerintahan sendiri yang sifatnya otonom. Pada tingkat
universitas, kekuasaan eksekutif berada di tangan Dewan Mahasiswa, sedangkan di
tingkat fakultas dibentuk Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema).
Pada masa
ini, kontelasi politik global turut pula mempengaruhi sikap mahasiswa. Pertarungan Ideologi seperti Kapitalisme
versus Komunisme begitu mewarnai sikap mahasiswa. Organisasi gerakan mahasiswa
yang meramaikan panggung perpolitikan adalah organisasi yang memiliki afiliasi
kepada partai politik. Mereka saling berlomba, adu program bahkan bertarung
untuk mendapat massa yang besar dari kalangan mahasiswa. Mereka diperbolehkan
memasang bendera di kampus sehingga antara elemen Dema maupun Kodema. Antara
organisasi intra dan ekstra selalu ada kontak. Mereka memiliki otoritas penuh
dalam melakukan gerakan-gerakan baik di dalam kampus maupun di luar kampus.
Gerakan Mahasiswa pada masa ini sarat dengan kepentingan-kepentingan politik
praktis. Pada masa ini kekuatan mahasiswa sangat diperhitungan bahkan bisa
mengancam eksistensi pemerintah jika kebijakan-kebijkan pemerintah bersebrangan
dengan aspirasi mahasiswa. Hal ini terjadi saat penggulingan Presiden Soekarno
tahun 1966, oleh mahasiswa melalui wadah KAMI (Komite Aksi Mahasiswa
Indonesia).
Gerakan
mahasiswa Era Orde Baru
Agaknya
pemerintah Orde Baru begitu menaru perhatian terhadap kekuatan gerakan
mahasiswa. Tentara dalam hal ini Soeharto sepertinya sukses
"memperalat" gerakan mahasiswa sebagai tiket yang mengantarkannya
menuju puncak kekuasaan. Tetapi pemerintah yang baru ini menaru kehati-hatian
besar terhadap gerakan mahasiswa. Lengsernya Soekarno telah menjadi pelajaran
berharga bahwa gerakan mahasiswa harus selalu diawasi oleh pemerintah jangan
sampai hal serupa itu terjadi pada rezim Orde Baru.
Gerakan
mahasiswa terus menyuarakan aspirasi rakyat tatkala kebijakan-kebijakan pemerintah
telah melenceng. Bulan madu antara mahasiswa dan pemerintah Orde Baru-pun
pecah. Puncaknya adalah peristiwa 15 Januari atau yang dikenal dengan
Malapetaka 15 Januari (Malari). Mahasiswa secara besar-besaran melakukan unjuk
rasa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka. Kedatangan PM Jepang
tersebut terkait dengan penamanan modal Jepang di Indonesia yang dianggap
mahasiswa bisa membahayakan kemandirian perekonomian bangsa. Unjuk rasa
tersebut disambut pemerintah dengan kekerasan dan penangkapan terhadap
pemimpin-pemimpin mahasiswa. Setelah peristiwa itu pemerintah secara sistematis
membekukan segala aktivitas mahasiswa yang berbau politik. Kebebasan berpolitik
praktis di kampus memunculkan penilaian bahwa mahasiswa lebih sibuk berpolitik
daripada aktif dalam bidang pembelajaran. Keadaan itu menurut pemerintah
dianggap sebuah penyelewengan terhadap tujuan pendidikan, dan dianggap pula
sebagai hal yang tidak normal sehingga harus segera dilakukan upaya normalisasi
kehidupan kampus. Pada tahun 1978 keluarlah surat keputusan No. 0156/U/1978
tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Menurut kebijakan itu maka kegiatan
kemahasiswaan dikoordinasikan oleh sebuah badan yang disebut Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (BKK). BKK dipimpin oleh pembantu rektor bidang
kemahasiswaan,dosen pembimbing, dan aktivis lembaga kemahasiswaan. Sejak saat
itu semua kegiatan kemahasiswaan diwadahi dalam organisasi intra kampus yang
sepenuhnya berada dalam kendali pimpinan universitas. Lembaga kemahasiswaan
intra tidak lagi otonom tetapi bertanggung jawab terhadap pimpinan universitas
maupun fakultas. Alhasil mahasiswa tidak lagi dapat melakukan kegiatan politik
praktis dalam derajat yang sama seperti pada masa sebelumnya. Pada masa ini
pula peran organisasi ekstra mahasiswa semakin tereliminasi di kampus. NKK/BKK
sukses memotong transaski politik antara organisasi intra dan ekstra.
Gerakan
Mahasiswa Era Reformasi
Ibarat air
meskipun dihambat dengan beton, gerakan mahasiswa terus mengalir, menggenang
dan terus mencari celah. Refpresifitas Orde Baru dijawab oleh mahaswa dengan
beragam cara. Sejak di berlakukan NKK/BKK praktis aktivitas politik mahasiswa
semakin surut. Mahasiswa disibukkan dengan aktivitas akademik semata. Sebagian
ada yang berputus asa dan sebagian pula masih tetap menyimpan idealismenya.
Bagi kalangan mahasiswa idealis mereka secara sembunyi-sembunyi mempersiapkan
diri mempropagandakan semangat perlawanan terhadap tirani rezim. Meski format
gerakan terjadi perubahan-perubahan dari rapat-rapat umum, aksi-aksi jalanan,
beralih ke kelompok-kelompok studi, pembuatan pers mahasiswa, membentuk Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagaian lagi merapat ke Masjid-masjid kampus
melakukan infiltasi di lembaga intra kampus. Mereka terus menyusun kekuatan
mengawasi gerak-gerik rezim yang rapuh. Selama dua dekade mahasiswa melakukan
inkubasi, menyusun kekuatan dan menunggu kehancuran rezim tirani Orde Baru.
Menjelang
tahun 1997 krisis ekonomi semakin parah, masyarakat kian resah, demonstrasi
terjadi dimana-mana. Dan akhirnya Orde Baru pun runtuh pada 21 Mei 1998 oleh
desakan ratusan ribu mahasiswa dari berbagai penjuru daerah menyuarakan
tuntutan yang sama yakni Soeharto harus turun!.
Mencari
Bentuk Gerakan Mahasiswa di Masa Mendatang
Pasca Orde
Baru lengser, aroma kebebasanpun diraih, gerakan mahasiswa tidak hanya sebatas
seruan moral, namun juga berdimensi politis. Mahasiswa bebas menyuarakan
aspirasinya dengan berbagai macam gaya. Bisa dengan mimbar bebas, aksi jalanan,
mogok, dialog dan sebagainya. Mahasiswa bisa berteriak lantang meminta rezim
turun saat aksi, meminta presiden dan wakil presiden turun dan sebagainya.
Suatu fenomena yang tidak mungkin dilakukan pada masa Orde Baru.
Selain itu
telah terjadi pula berbagai macam perubahan dalam sistem birokrasi negara sebagai dampak dilakukannya amandemen
UUD 1945 yang terjadi sebanyak 4 kali. Kekuasaan Eksekutif tidak seperti dahulu
yang semaunya mendikte lembaga lerjdgis latif (DPR). Akibat amandemen tersebut,
telah banyak pula lembaga-lembaga baru yang menunjang kelengkapan negara
seperti DPD RI, DPRD, Mahkamah Konsitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komnas
HAM, KPK. Belum lagi LSM-LSM yang kian menjamur dengan beragam garpannya
masing-masing.
Lalu
dimanakah seharusnya gerakan mahasiswa mengambil peran di tengah-tengah fungsi
lembaga-lembaga tersebut?. Agakya gerakan mahasiswa harus memodifikasi
gerakannya. Gerakan mahasiswa diera keterbukaan saat ini harus lebih
memfokuskan dalam bidang keilmuan masing-masing. Menggalakkan studi-studi klub,
riset mahasiswa pada dan gerakan berbasis kewirausahaan. Bukan berarti
aksi-aksi jalanan tidak penting. Aksi tersebut tetaplah penting pada
kondisi-konsisi tertentu. Akan tetapi mindset aksi harus segera dirubah. Bahwa
aksi-aksi tidak hanya aksi jalanan yang berbau protes dan seruan-seruan moral
semata. Inilah yang menjadi catatan penting bagi organisasi-organisasi
mahasiswa di masa mendatang. Mahasiswa harus mempersiapkan diri untuk mengisi
kemerdekaan dengan menjadi pakar di bidangnya masing-masing. Gerakan mahasiswa
harus berfungsi sebagai fasilitator peningkatan kapasitasnya untuk
mengembangkan keilmuannya diluar bangku perkuliahan formal. Gerakan mahasiswa
di masa yang akan datang harus menjadi sumber solusi kongret bagi
persoalan-persoalan masyarakat. Saya kurang sependapat bila ada yang
berpendapat bahwa gerakan mahasiswa hanyalah sebatas mendorong "mobil
mogok" atau hanya dijadikan "tukang pukul" semata setelah itu
tugasnya selesai. Peran-peran gerakan mahasiswa harus lebih dari itu, mereka
harus betul-betul dipersiapkan menjadi bagian solusi yang mandiri. Tapi bukan
berarti menghendaki penguasaan struktural lembaga-lembaga negara oleh
mahasiswa. Kampus-kampus tetaplah menjadi rumah idaman mahasiswa. Menjadi taman
elok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mahasiswa bukan hanya
sekedar generasi penerus yang menempati jabatan-jabatan struktural para
seniornya tatkala mereka terancam pensiun lantaran usia. Mereka harus dibekali
dengan segudang inovasi bukan hanya sekedar epigon yang miskin inovasi.
Mengembalikan peran mahasiswa sebagai aktor yang memberikan pencerahan dan
pembebasan kepada masyarakat.
Referensi
Suroyo,
A.M Djuliati dkk. 2012. Universitas Diponegoro, 1957-2010 Pergulatan Menuju
Universitas Kelas Dunia. Semarang: UPT Undip Press.
Suharsih
dkk. 2007. Bergerak Bersama Rakyat : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan
Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book.
Semarang
18 Agustus 2013
Anton
(Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Undip Angkatan 2008, Staf Humas KAMMI Daerah
Semarang Periode 2012-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar