Saya kesal sama
orang yang ngaret saat mengadakan
pertemuan. Emosi saya selalu bergolak saya jadi korban dari satu atau beberapa
orang yang suka ngaret. Apalagi sang
pelaku ngaret adalah seseorang yang
‘katanya’ aktifis dakwah. Kepingin rasanya saya marah-marah, mukul-mukul orang
yang seperti itu. Ada saja alasannya jika ditanya mengapa harus ngaret. Sebagai sesama manusia saya
pasti memaklumi jika dalam keadaan tertentu seseorang harus ngaret. Misal: ban bocor, hujan, sakit,
atau ada panggilan mendadak yang sangat urgen yang penting alasannya jelas dan
rasional. Jika demikian, saya pun pasti bisa memaklumi. Tapi jika ngaret lebih disebabkan karena
kelalaian, kemalasan atau hal-hal yang tidak substansi, saya tidak bisa
membiarkannya. Saya selalu ingin menceramahinya.
Bayangkan! Jika
yang suka ngaret itu seorang yang
katanya ‘aktifis dakwah”, sekali lagi ‘aktifis dakwah’. Dimana bagi saya
seorang aktifis dakwah merupakan sosok yang harus memberikan keteladanan dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Islam. Apakah sang aktifis dakwah itu sengaja menelan
ludah ajaran-ajaran yang selama ini dia sampaikan?. Bagi saya menyia-nyiakan
waktu adalah hal yang sangat prinsipil. Allah saja bersumpah atas nama waktu.
Sebagian ulama menafsirkan jika Allah bersumpah kepada makhluknya, hal itu
menunjukkan ada sesuatu yang istimewa pada makhluk tersebut.
Bagi saya
menghargai waktu bagi seorang muslim lebih dari sekadar ajang kompetisi kerja
kepada sesama manusia, bukan karena ingin dianggap hebat di mata manusia,
singkatnya bukan karena penilaian manusia. Tapi lebih dari itu, yakni bersifat
transenden, melekat pada keimanan!.
Kalau kita mau
mengakui kekurangan diri, kita ini lebih banyak gembar-gembor tentang dalil
(nash al-quran). Dalil hanya dijadikan sebatas obat penenang dikala sedih.
Dalil dijadikan ‘mantra kebanggaan’ bahwa ajaran Islam itu sempurna. Hanya
sebatas itu!. ekstremnya, kita baru sebatas pandai berceramah belum pandai
berbuat. Ajaran Islam baru dipahami secara normatif, belum mampu dijadikan
sebagai sebuah gerakan.
Menurut
saya, penghambat kemajuan peradaban Islam adalah terlalu sempitnya pandangan
kita tentang agama Islam. Betul kiranya ungkapan Muh. Abduh salah seorang
tokoh pembaharu Islam asal Mesir “Islam
itu tinggi namun terhijab oleh kekerdilan berpikir umatnya sendiri”.
Lalu
bagaimana mungkin Islam menjadi soko guru peradaban dunia jika nilai-nilainya
seperti penghargaan terhadap waktu saja tidak di indahkan?. Tidak malukah kita
umat muslim Indonesia, lebih tepatnya aktifis dakwah kampus Undip dengan kedisiplinan orang-orang Jepang serta
orang-orang Eropa yang notabene mayoritas non Islam?. Penghargaan mereka
terhadap waktu sangat luar biasa, padahal jika ditanya mengapa mereka berdisiplin
alasannya lebih berdasarkan penghargaan terhadap sebuah aturan atau sebuah
konsesus yang dibuat bersama.
Tanpa
merasa bersalah seorang aktifis dakwah kampus yang nyata-nyata gemar ngaret bilang kepada kawan-kawannya
gini: “Ikhwah fillah.. sungguh Islam
ini amat sempurna, Islam mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia sejak dari
bangun tidur hingga tidur kembali. Tugas kita sebagai umat Islam adalah
berdakwah kepada manusia agar kembali pada risalah Islam yang sempurna ini agar
Islam menjadi soko guru peradaban”. Ada cicak di loteng ngeledek “Mimpi kali yee!”.
Semarang, 21 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar