Sampai dengan tanggal 14 November 2013, spanduk besar
bertuliskan Komisi Pemilihan Raya (KPR) Universitas Diponegoro masih terpampang
mencolok di halaman depan Kantor Polsek Tembalang. Akan tetapi sejak tanggal 15
November 2013 spanduk itu hilang entah kemana.
Sekilas memang nampak aneh dan
menimbulkan pertanyaan. Mengapa Polsek yang di pilih menjadi sekretariat KPR
oleh mahasiswa bukan di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM)?. Apa sebenarnya
yang terjadi dengan mahasiswa Undip, dan mengapa hal semacam ini bisa terulang
kembali seperti terjadi tahun 2012?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut agaknya
manarik untuk dipecahkan.
Jika persoalannya di sebabkan
minimnya fasilitas agaknya tidak mungkin. Seperti diketahui Undip adalah
universitas negeri ternama di Jawa Tengah. Mustahil Undip tidak menyediakan
fasilitas untuk di gunakan untuk kegiatan mahasiswa. Bukankah Undip baru saja
membangun gedung PKM yang baru agar segala kegiatan mahasiswa terfasilitasi?.
Meskipun sebelumnya memang telah ada gedung PKM lama sebagai pusat kegiatan.
Terpampangnya spandung KPR di
halaman Kantor Polesek Tembalang mengindikasikan tidak sehatnya dinamika
perpolitikan kampus di Undip. Selain itu juga menunjukkan bahwa mahasiswa
sebagai ‘kaum inteletual’ belum mampu menyelesaikan persoalannya sendiri.
Agaknya waktu satu tahun atau mungkin sepanjang tahun belum mampu digunakan
oleh mahasiswa Undip untuk rembukan
bareng menyelesaikan persoalannya. Entah mengapa bisa terjadi hal semacam itu,
apakah mereka sudah tidak hormat lagi dengan kampus yang membesarkannya? Apakah
mereka punya visi untuk memajukan kampus?, Dimanakah rasa memiliki (sense of belonging) mereka terhadap
martabat kampus research ini? Apakah
mereka mengidap penyakit amnesia akut sehingga segala peristiwa yang terjadi di
masa lalu dilupakan begitu saja tanpa sedikitpun mengambil pelajaran?.
Mahasiswa Kok Anarkis?
Sejatinya kampus merupakah kawah
candradimuka ilmu pengatahuan. Dari kampus-lah ide-ide segar bermunculan.
Kampus merupakan taman elok tempat beradunya dialektika mahasiswa dalam
memecahkan permasalahan. Ibarat kantung ajaib Doraemon, kampus merupakan gudang
solusi atas segala peroalan bangsa. Mahasiswa sebagai salah satu unsur di
dalamnya harus mengedepankan peran-peran itu. Menjadi agen of change bagi masyarakat sebagai tanggung jawab moralnya. Pantaskah
mahasiswa jika dalam menghadapi perselisihan atau perbedaan pendapat harus
diselesaikan dengan ‘diskusi fisik’ alias gelut?.
Jika gelut selalu menjadi ‘kebiasaan’
lalu buat apa lama-lama mengasah otak di kampus?. Yang di asah itu otak bukan
dengkul.
Ada sebagian orang mengatakan bahwa
kampus merupakan prototype sebuah negara.
Mungkin ada benarnya juga. Beberapa ciri-ciri yang mengatkan pernyataan
tersebut adalah bahwa di kampus terdapat Student
Goverment seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Menwa, Senat Mahasiswa
(Senat), Komisi Pemilihan Raya (KPR) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Masing-masing organisasi tersebut memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Mahasiswa
sebagai ‘rakyat’ di dalamnya terdiri dari berbagai macam latar belakang seperti
agama, suku, ras, kebudyaan yang beragam (heterogen). Masing-masing punya kepentingan
yang berbeda-beda. Oleh karena itu keberagaman itu harus di manage dengan baik agar tidak mengalami chaos (kacau). Lalu di buatlah aturan berdasarkan
kesepakatan bersama (konsensus) sehingga masing-masing kepentingan bisa
diakomodir dan tidak ada yang merasa dirugikan. Peraturan yang telah dibuat
tersebut wajib ditaati oleh semua pihak tanpa kecuali. Masing-masing pihak yang
berkepentingan harus menjalankan hak dan kewajibannya sesuai kesepakatan. Dan
jika menyimpang harus menerima jika di tindak tegas. Kedewasaan seperti inilah
yang harusnya dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan.
Jangan ciderai
demokrasi
Konsekuensi dari demokrasi adalah dihargainya
seluruh aspirasi masyarakat (mahasiswa). Dalam hal ini partai mahasiswa merupakan
sarana baik agar aspirasi-aspirasi tersebut bisa diakomodir. Pembentukan partai
mahasiswa di kampus Undip harus gunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan umum
mahasiswa bukan mendahulukan kepentingan kelompoknya saja. Beragamnya
partai-partai mahasiswa di Undip harus di syukuri sebagai bentuk kematangan
demoratisasi mahasiswa Undip. Partai harus di jadikan sarana perekrutan
calon-calon pemimpin yang berkompeten. Oleh sebab itu sudah keharusan sebuah
partai mahasiswa melakukan pencerdasan politik bagi kader-kadernya. Bayangkan
jumlah mahasiswa Undip yang begitu besar, puluhan ribu, tidak terdapat partai
mahasiswa. Bukankah justru akan membahayakan jika seandainya seorang mahasiswa
yang tidak terlatih kepemimpinannya menjadi wakil ribuan mahasiswa lainnya?.
Pemira tahun 2014 mendatang
(tepatnya Tanggal 3 Desember) merupakan ujian kedewasaan bagi mahasiswa Undip. Mampukah
mereka (partai-partai mahasiswa Undip) menahan diri segala tindakan anarkis? Mampukah
mereka bertarung secara sehat dalam kancah Pemira nanti tapa saling intimidasi
satu dengan yang lain?. Mari sama-sama kita menjadi saksi sejarah di Undip. (Kong
Naim)
Semarang, 16 November Dini hari 2013
Sumber Gambar: www.opinibaru.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar