Beberapa waktu
yang lalu aku sempat mengalami kehambaran dalam menjalankan ibadah harian. Entah
sudah kesekian kalinya aku lewatkan hari-hari tanpa membuka-buka Al-quran,
shalat sunnah, puasa sunnah, dan sunnah-sunnah lainnya. Tapi untuk perkara yang
wajib seperti shalat lima waktu, aku masih mempertahankannya meski dalam
keadaan berat. Dan sesekali sering kali muncul pertanyaan-pertanyaan aneh di
benakku. “Ngapain kamu shalat sih? Emang ngefek ya?”. Begitu kira-kira.
Bukan masalah ngefek tidak ngefek tapi kebiasaan shalat ini dahulu benar-benar aku biasakan sejak kelas 1 SMP, sehingga jika aku tinggalkan masih terasa bersalah di hatiku. Waktu itu entah kenapa aku begitu mengazamkan diri agar tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apapun meski mayoritas keluargaku, ayah ibu, kakak-kakaku tidak terlalu memusingkan ibadah wajib ini. Apalagi setelah aku tahu bahwa di dalam Alquran dan hadits banyak menerangkan mengenai perintah shalat. “Masak sih aku berani meninggalkan yang wajib ini?. Aku jangan sampai berani meninggalkan shalat tanpa merasa bersalah”. Pikirku. Aku merasa paling rajin shalat di rumah.
Bukan masalah ngefek tidak ngefek tapi kebiasaan shalat ini dahulu benar-benar aku biasakan sejak kelas 1 SMP, sehingga jika aku tinggalkan masih terasa bersalah di hatiku. Waktu itu entah kenapa aku begitu mengazamkan diri agar tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan apapun meski mayoritas keluargaku, ayah ibu, kakak-kakaku tidak terlalu memusingkan ibadah wajib ini. Apalagi setelah aku tahu bahwa di dalam Alquran dan hadits banyak menerangkan mengenai perintah shalat. “Masak sih aku berani meninggalkan yang wajib ini?. Aku jangan sampai berani meninggalkan shalat tanpa merasa bersalah”. Pikirku. Aku merasa paling rajin shalat di rumah.
Aku mulai
belajar membaca Alquran sejak kelas lima
SD. Selain itu, aku juga melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah yang sering
mengajarkan baca tulis Alquran. Aku pun bergaul dengan teman-teman yang “Agamis” sejak di SMA (Rohis). Ya, aku sempat
menjadi salah satu aktivis rohis sekolah meski hanya ikut-ikutan saja. Bahkan
aku pernah diberi tanggung jawab menjadi Marbot di Masjid Sekolah, sehingga sudah
bukan hal yang asing bagiku melihat orang shalat dan membaca Al-quran. Kemudian
ketika masuk di perguruan tinggi di Semarang, aku juga dekat dengan para
Aktivis Dakwah Kampus (ADS) seperti INSANI Undip, Keluarga Mahasiswa Muslim
Sastra (KMMS) dan KAMMI.
Aku mungkin jadi
orang yang paling menyebalkan karena selalu bahas masalah ini-ini saja. “Tugas
Dakwah banyak cuy ngritik melulu” , “Amanah
ente tuh urusin.. brantakan juga”. Kata
salah seorang sahabatku yang shalih itu. “Ah biarin!””. Menurutku memahami
sikap seseorang itu lebih menarik ketimbang mengamati pemandangan alam.
Memandang seseorang atau manusia itu dinamis, selalu unik. Jadi seneng saja
ngobrolin masalah ini.
Semakin tua dan banyak
minum asam, garam kampus organisasi, aku mulai sadar mana-mana saja yang harus
aku lakukan dalam menapaki hidup. Jika merugikan bagiku ya aku tolak, jika cuma
buang-buang waktu dan seremonial belaka aku tinggalkan. Jika aku lihat
adik-adiku yang baru-baru begitu bersemangat ya aku motivasi. Jika ada ‘junior’
yang sok-sok-an di- depanku, aku “bantai”, kadang-kadang aku buat jatuh
mentalnya. Dalam hati “Rasain! Gue udah lebih pengalaman dari lu! Jangan
sok-sok-an di depan gua”. Kejam banget ya?.
Entah kenapa
semakin tua pikiranku menjadi kian gamang. Aku gampang meragukan sesuatu. “Ah
masa, “apa iya”, Ah yang bener?”. Mungkin nyaris Agnostik. Apakah ini yang
dinamakan proses pematangan diri?. Aku mulai mendekonstruksi apa-apa yang telah
aku terima. Aku rasionalisasikan lagi. Aku sudah dewasa dan harus menentukan
pilihan. “Masak terdoktrin terus kayak anak-anak baru itu?”. Sepanjang itu pula
secara intelektualitas aku pun bergerak dengan belajar dari teman-teman baik
dari yang paling “kanan” hingga yang paling “kiri mentok” atau juga yang “kere”.
Aku mulai bertanya-tanya, Apakah aku ini orisinil? Jika iya, kok rasa-rasanya
aku tidak lepas ya dalam bertindak?. Saking dekonstruktifnya sikapku bahkan
sebagian teman yang mengamati sikapku mengatakan. “Mas Anton Kok Kacau banget
ya?”. “Hidup lu gak teratur Mas?”, Bahkan ada teman yang bilang “Gua yang
dirusak lu apa gua yang ngerusak lu?”. Dan macam-macam. Yang jelas masa-masa
itu benar-benar “kritis”. Jika di dalam ilmu sosial atau bahkan ilmu alam fase kritis
adalah fase pealihan, apakah saya juga sedang mengalami masa peralihan,
sehingga menjadi gamang?. Hidup gamang memang sangat tidak mengenakkan. Akan
tetapi apakah ada dalam hidup seseorang dilewati tanpa pernah mengalami
kegamangan?. Saya pernah mendengarkan seorang ulama mengatakan “beruntunglah
orang yang galau, bisa jadi itu adalah wasilah turunnya hidayah?”. Sejenak Aku
renungkan pernyataan itu. Bukankah Nabi Muhammad sendiri juga pernah galau
hingga beliau uzlah di Gua Hira?
Aku masih merasa
belum termotivasi kuat untuk apa aku harus memaksakan membaca Al-quran. Hambar
saja rasanya. Aku lebih senang diskusi dan nongkrong ke perpustakaan. Pikirku
apakah yang dimaksud membaca Al-quran itu “membaca” tulisan-tulisan Arab saja. Memang sih setahuku membaca saja
meski tidak tahu maknanya sudah tergolong mendapatkan pahala. Tapi aku belum
mantap saja jika berpuas diri sebatas itu. Bukankah yang aku lakukan ini
seperti membaca buku di perpustakaan, diskusi pun bisa dikatakan “membaca”
karena lebih implementatif mengontekstualisasikan dalil dengan teori-teori di
buku-buku literatur?.
Dan apakah ini
kebetulan atau tidak, Aku menemukan sebuah buku terbitan Kompas Gramedia
tentang biografi Haji Agus Salim. Beliau adalah salah seorang founding father senior yang cerdas luar
biasa. Menguasai 9 bahasa sekaligus. Ilmunya baik Timur maupun Barat sangat
mengagumkan. Pemikiran-pemikirannya tentang keummatan, kebangsaan melampaui
zamannya bahkan masih menajdi diskusi hingga detik ini meski buku-buku biorafi
mengenainya masih minim.
Aku memang sudah
sedikit banyak mengatahui siapa sosok H.Agus Salim dan sepak terjangnya dalam
usahanya membebaskan negeri ini dari penjajah. Dengan bekal pengetahuan yang
sedikit itulah aku bisa lebih menjiwai sosok fenomenal itu.
Aku baca
kumpulan tulisan tersebut. Aku temukan tulisan karya Mestika Zied. Aku lupa
judulnya. Yang pasti Mestika Zeid menceritakan sisi-sisi luar biasa kecerdasan
H.Agus Salim. Beliau menceritakan debat H. Agus Salim dengan Sutan Takdir Alisyah
Banna (STA). Aku sedikit banyak tahu siapa (STA). Kedua orang ini adalah orang
besar. Orang-orang luar biasa. Aku pun sangat kagum dengan kedua tokoh ini. STA
adalah seorang yang rasionalis, pakar tata bahasa filsafat dan ilmu-ilmu
kemanusiaan lainnya.
Suatu hari
beliau (STA) bertanya kepada H. Agus Salim. Intinya dalam percakapan itu STA
heran dengan H. Agus Salim yang begitu rajin shalat lima waktu. STA bilang
shalat itu tidak rasional. Beliau juga bilang bahwa melakukan sesuatu hal tanpa
mengetahui alasannya adalah tidak masuk akal. Dengan kata lain sebenarnya
beliau ingin bilang bahwa shalat itu tidak masuk akal.
Mendengar “serangan” dari STA itu, H. Agus Salim
melakukan “serangan” balik. Dengan retorika yang baik beliau bertanya kepada
STA yang kurang lebih begini “Anda orang Minang juga kan? Kalau Anda pulang
kampung Anda naik apa?”. Tanya H. Agus Salim.
Dengan mantap
STA menjawab “Naik kapal!” (waktu itu belum ada pesawat). “ketika Anda Naik
kapal, Anda lebih dominan mennggunakan keyakinan dari pada pengetahuan. Apakah
Anda harus tahu seluk beluk tentang kapal terlebih dahulu baru naik kapal?
Mustahil! Jika tidak tahu seluk-beluk tentang kapal, seharusnya Anda berenang
saja tidak usah naik kapal. Akan tetapi berenang pun Anda harus tahu
teknik-teknik berenang. Itupun belum tentu Anda bisa sampai dengan selamat!”.
Dialog tokoh itu
benar-benar menggugah pikiranku. Kegamanganku benar-benar terobati. Ternyata Aku
pun lebih banyak melakukan sesuatu berdasarkan keyakinan ketimbang pengetahuan.
Padahal klo dipikir-pikir apa sih yang sudah Aku ketahui?. Sombong sekali say
Aku. Ya. Aku memang bertindak lebih banyak berdasarkan keyakinan ketimbang pengetahuan.
Terima kasih atas nasehatnya H. Agus Salim, engkau hidup bukan di zaman ku tapi
buah pikiranmu masih bisa Aku ketahui. Aku juga mengucapkan terima kasih kepada
orang-orang yang menulis buah pikiran H. Agus Salim. Dan Aku juga semakin yakin
bahwa membaca dan menulis merupakan mata-rantai ilmu pengathuan yang bisa menjadi
petunjuk manusia agar semakin mengenal Tuhan-Nya.
Ditulis di Semarang Pagi Menjelang Siang, 4 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar