Mengajar
sejarah di SMA ternyata bikin dilematis apa lagi saat membahas materi-materi
tertentu yang hingga saat ini masih penuh kontroversi. Salah satunya adalah
pembahasan mengenai zaman batu. Umumnya di dalam buku sejarah, pembagian zaman
batu di bagi menjadi Zaman Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan
Megalitikum. Zaman Paleolitikum dikenal sebagai zaman batu tua, Mesolitikum
dikenal sebagai zaman batu pertengahan, Neolitikum dikenal sebagai zaman batu
muda, adapun Megalitikum dikenal sebagai zaman dimana masyarakat purba
menggunakan batu-batu dengan ukuran besar.
Selain
itu pada masing-masing zaman tersebut merepresentasikan tingkat kebudayaan
masyarakatnya. Sebagai contoh, beberapa ciri masyarakat Zaman Paleolitikum
seperti berpindah-pindah (nomaden), hidup berkelompok, mencukupi kehidupannya
dengan berburu dan mengumpulkan makanan, serta telah mengenal pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tugasnya berburu, sedangkan kaum
perempuannya bertugas merawat anak dan meramu makanan.
Suatu
ketika ada salah seorang murid bertanya kepada saya “Pak sebenarnya Nabi Adam
itu manusia purba gak sih?”. Lalu saya mencoba menjawab jika seandainya Nabi
Adam itu manusia Purba sebagaimana diungkapkan para ilmuan “barat” dengan ciri-ciri
kehidupannya yang sangat primitif, bagaimana mungkin beliau (Nabi Adam)
mengemban risalah kenabian? Bukankah tugas kenabian tersebut merupakan tugas
berat?.
Kemudian
dalam kesempatan lainnya muncul lagi pertanyaan yang tidak kalah kontroversinya.
“Pak manusia purba (kaum laki-lakinya) apakah melakukan poligami pada masa
itu?. Saya coba menjawab “Klo menurut ilmuan barat, pola pikir manusia purba
itu kan masih sangat sederhana. Kehidupan mereka bahkan mirip hewan, hukum yang
diberlakukan adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang sehingga
mustahil mereka mengenal sistem poligami. Tentu dengan kehidupan primitif seperti
itu manusia purba hidup tanpa aturan.
Memang
banyak sekali celah yang mudah dikritisi dari pembahasan manusia purba zaman
batu tersebut. Bahkan jika di bahas lebih lanjut, ciri-ciri manusia purba
tersebut sulit di pertanggung jawabkan lantaran sarat dengan muatan “pendugaan”
semata. Lalu, ada salah seorang murid saya bertanya kembali. “Lha itu
fosil-fosil tengkorak yang ditemukan dan disimpan itu bukannya bukti bahwa
memang ada manusia purba?”. Memang banyak sekali tengkorak-tengkorak yang
ditemukan oleh para arkeolog barat. Bahkan tengkorak-tengkorak itu diberi nama
sesuai daerah asal penemuannya serta jenis manusia purba nya, seperti
Pitchecanthtropus Paleojavanicus, Homo Soloensis, Homo Wajakensis dan lain
sebagainya.
Sembari
bercanda saya bertanya kepada mereka. “Jika tengkorak-tengkorak itu adalah
bukti manusia purba berarti kalian harus terima jika saya katakan bahwa kita
semua adalah keturunan kera, bukankah Pithetchanthropus Erektus itu salah satu
manusia purba jenis kera, hehe?”. Serempak mereka bilang “Gak mau Paak....!”.
Manusia
purba menurut ilmu pengetahuan barat hidup di zaman Pra Aksara. Zaman ini
usianya begitu panjang. Berlangsung selama ribuan bahkan jutaan tahun lalu.
Namun zaman ini bisa dibilang zaman yang paling tidak jelas karena bukti-bukti
tertulis yang diperoleh sangat sedikit.
Adapun bukti-bukti benda (artefak) banyak sekali ditemukan seperti alat-alat
persembahan, kapak-kapak, dan tempat-tempat pemujaan.
Saat
ini dalam buku-buku sejarah yang menganut paradigma “Barat” masih menyebutkan
bahwa asal-usul kehidupan manusia berawal dari kehidupan yang primitif lalu
perlahan-lahan secara evolutif maju dan modern. Hal itu masih diyakini sebagai
“kebenaran” sejarah. Padahal “kebenaran” sejarah adalah proses. “Kebenaran”
sejarah tersebut bukanlah akhir. Saat sesuatu yang dianggap “kebenaran”
tersebut terbantahkan, maka “kebenaran’ lama tergantikan oleh “kebenaran” baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar