Selasa, Mei 28, 2013

Penerapan Sistem Demokrasi Liberal Tahun 1950-1959 di Indonesia


Pendahuluan

Indoensia sebagai Negara yang baru berdiri (17 Agustus 1945 ) dalam perjalanannya mengalami pasang surut dalam menerapkan sistem demokrasi. Indonesia setidaknya telah melalui empat masa demokrasi dengan berbagai versi. Pertama adalah demokrasi liberal dimasa kemerdekaan 1945-1959). Kedua adalah Demokrasi Terpimpin 1959-1966), ketika Presiden Soekarno membubarkan konstituante dan mendeklarasikan demokrasi terpimpin. Ketiga adalah Demokrasi Pancasila (1966-1998) yang dimulai sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Keempat adalah demokrasi yang saat ini masih dalam masa transisi (1998-). Nampaknya pasang surut penerapan sistem demokrasi itu bisa dipahami karena sebagai negara yang baru merdeka sedang dalam proses mecari bentuknya.


Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi liberal ternyata pada saat itu belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi Indonesia. Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya. Sementara demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarno (setelah melihat terlalu lamanya konstituante mengeluarkan undang-undang dasar baru) telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang diperlihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia sebagai salah satu kekuatan militer yang patut diperhitungkan di Asia. Namun pada sisi lain segi ekonomi rakyat kurang terperhatikan akibat berbagai kebijakan politik pada masa itu.

Kemudian Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah  sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin (Wasino, 2009: 8).

Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya 13 menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965 (Wasino, 2007; Ricklefs, 2005: 508-557).

Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto. Hal itu dapat dipahami karena  selama 32 tahun Suharto memimpin pemerintahan, tidak ada presiden lain selain dirinya. Oleh karena sebagai penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Suharto (Wasino, 2009: 13).



Demokrasi Parlementer (Liberal)

            Demokrasi parlementer (Liberal) dipemerintahan kita telah dipraktekkan pada masa berlakunya UUD 1945 periode pertama (1945-1949) kemudian dilanjutkan pada masa berlakunya UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan UUDS 1950. Pelaksanaan demokrasi parlementer tersebut secara yuridis resmi berakhir pada tanggal 5 Juli 1959 bersamaan dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 (Asri Tapa, 2009: 59).

Pada masa berlakunya Demokrasi Parlementer (1945-1949), kehidupan politik dan pemerintahan tidak stabil, sehingga program pembangunan dari suatu pemerintahan tidak dapat dilakukan dengan baik dan berkeseimbangan. Salah satu penyebab ketidaktsabilan tersebut ialah sering bergantinya pemerintahan yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan. Hal ini terjadi karena dalam negara demokrasi dengan sistem pemerintahan parlementer, kedudukan negara berada dibawah DPR dan keberadaanya sangat bergantung kepada dukungan DPR, dan pemerintahan lain adalah timbulnya perbedaan pendapat yang sangat mendasar diantara partai politik yang ada saat itu (Asri Tapa, 2009: 60). Namun demikian, berbagai kabinet yang jatuh-bangun pada masa itu telah memperlihatkan berbagai ragam pribadi beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin namun mudah dijatuhkan oleh parlemen dengan mosi tidak percaya (Irwan Prayitno, 2009:1)

 


Sistem  Multi  Partai


Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam sistem kepartaian menganut sistem multi partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem multi partai yang dianut, maka partai – partai inilah yang menjalankan pemerintahan melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 – 1959, PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet (Anonim, Wartawarga 2011).

Sistem multi partai disamping mencerminkan adanya kehidupan demokrasi di   dunia politik Indonesia, juga memicu terjadinya konflik antarpartai pada saat itu. Pengaruh partai politik pada saat itu sangat besar terhadap kelangsungan hidup suatu kabinet pemerintahan. Sering dilakukannya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik antar partai yang sering terjadi,. Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing (Arif Hilman Arda, 2010).

Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika politik selama masa Demokrasi  Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet yang satu ke kabinet yang lain. Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari 12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan (Rusli Karim, 1983 : 48)

Di era Demokrasi Liberal, sistem multipartai sangat mendukung terciptanya kehidupan demokrasi di Indonesia. Partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak berperan penting dalam kelancaran proses demokratisasi. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik, sangat berperan penting dalam penyaluran kepentingan ini terhadap pemerintah.

Pada kenyataannya  peranan setiap partai dalam menyalurkan aspirasi pendukung masing-masing, dihadapkan kepada dua pilihan,yaitu berusaha untuk menggabungkan kepentingan-kepentingan dari seluruh partai atau memperjuangkan kepentingan masing-masing dimana konsekuensinya adalah terjadinya banyak konflik antar partai. Ideologi dari masing-masing partai yang sangat mempengaruhi jenis kepentingan yang mereka perjuangkan terkadang menjadi alat untuk saling menjatuhkan.

Konflik antarpartai yang didasari oleh perbedaan ideology kemungkinan besar dipengaruhi oleh sosialisasi politik yang diperoleh para pendukung partai dari partai politik masing-masing. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik bertanggung jawab untuk semaksimal mungkin memberikan pemahaman mengenai ideologi dari partai tersebut kepada masyarakat sehingga terbentuk sikap dan orientasi politik yang didasari oleh ideologi tersebut. Setiap partai politik berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Karena itu suatu hal yang wajar apabila terjadi konflik diantara Masyumi dan NU, karena proses sosialisasi politik yang mereka terima berbeda. Terlebih lagi bila dua partai yang berideologi berbeda akan sangat besar potensi konflik yang ada  pada proses menjalankan peran masing-masing, contohnya antara PNI dengan Masyumi yang berbeda dalam hal yang menyangkut peran Islam dalam negara. PNI menuduh Masyumi menggunakan simbol-simbol Islam untuk menentang simbol-simbol nasionalis. Masyumi menyangkal tuduhan ini dengan menyatakan bahwa perjuangan partai untuk “negara berdasarkan Islam”itu bertentangan dengan Pancasila. Contoh lain antara PKI dengan tiga partai lainnya. PKI dengan semboyannya, yakni : “PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat” (Herbert Feith, 1999:22) mencoba mencari pengaruh dengan mengatas namakan diri sebagai partai yang memperjuangkan hak-hak rakyat. rakyat.

Konflik-konflik diatas jelas membuat situasi politik menjadi tidak stabil dan itu memang merupakan konsekuensi dari banyaknya partai pada saat itu. Fungsi lain dari partai politik yang juga dapat menyebabkan terjadinya konflik antar partai adalah sebagai wadah rekruitmen politik. Terkadang setiap partai politik cenderung mempunyai sasaran tersendiri berupa kelompok-kelompok sosial untuk direkrut menjadi anggota partai yang turut aktif dalam kegiatan politik partai. Kecendrungan ini berdampak kepada adanya suatu pengidentikkan suatu partai dengan sebuah kelompok sosial didalam masyarakat. Contohnya PKI yang identik dengan kelompok petani, karena memang sasaran utama dari rekruitmen politik yang dilakukan oleh PKI adalah kalangan petani. Masyumi identik dengan kelompok Islam modernis yang seringkali bertentangan dengan kelompok Islam konservatif yang identik dengan NU. Dan PNI pun dengan konsep nasionalismenya di identikkan dengan kaum elit pemerintah yang mempunyai prinsip mempertahankan jiwa-jiwa nasional. Adanya pemisahan secara extrim kelompok-kelompok sosial ini dapat memancing terjadinya konflik antar kelompok sosial tersebut sehingga sulit tercapai suatu integrasi secara sosial. Sama halnya dengan sulitnya tercipta integrasi politik disebabkan adanya konflik antar partai politik yang ada.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan ujicoba demokrasi. Ujicoba demokrasi dapat terjadi karena banyak faktor, salah satu faktor terpenting  adalah pemahaman para elite tentang konsepsi demokrasi. Ada yang beranggapan bahwa demokrasi harus dijalankan menurut model parlementer, ada yang berpandangan menurut model presidensiil. Kedua konsepsi itu saling tarik-menarik yang hingga kini masih mencari bentuknya.

Masa Liberal di Indonesia (1950-1959) biasa pula disebut masa kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun.

Kabinet disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan dengan itu pada masa Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi berlarut-larut. Dan puncaknya pada tanggal 5 Juli 1959 lahirlah dekrit presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno yang menandai berakhirnya sistem ini dan kembali kepada UUD 1945.




Daftar Pustaka



Wasino. 2009. “Demokrasi Dulu, Kini dan Esok” Disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009.

Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan  Populer Gramedia,1999.

Karim, Drs.M.Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: C.V. Rajawali Jakarta,1983.



Jurnal

Asri Tapa.  “Perjalanan Demokrasi di Indonesia”. Dalam Jurnal Hipotesis Tahun 1 No. 2 tahun 2009

Irwan Prayitno. 2009. “Perkembangan Demokrasi di Indonesia Cabaran dan Pengharapan”



Internet



www. WartaWarga.com

www.arifhilda’sarga.blogspot.com