Selasa, Mei 28, 2013

Militer dan Politik Pada Masa Demokrasi Liberal Tahun 1950-1959


PENDAHULUAN
Era 1950-1959 adalah era dimana Indonesia menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950) atau biasa disebut era Demokrasi Liberal. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.

Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Penerapan konstitusi tentu akan berdampak terhadap pola-pola ketatanegaraan termasuk hubungan antara sipil dan militer, karena didalam konstitusi itulah diatur mengenai peran politik keduanya.
Hubungan sipil-militer disuatu negara selalu mengalami pasang surut, adakalanya sehat dan ada kalanya menegangkan, bahkan buruk sekali.Hubungan ini berlangsung terus menerus tanpa henti dari masa ke masa.Oleh karena itu hubungan sipil-militer menjadi permasalahan yang abadi, baik dinegara maju maupun dinegara berkembang.Para analis politik yang sedang mengkaji hubungan sipil-militer sering tidak mencapai kata sepakat mengenai kriteria apa yang harus digunakan untuk menandai apakah hubungan itu “baik” atau “buruk”. Dinegara maju demokratis, hubungan sipil-militer biasanya dikatakan baik apabila ditandai militer berada dalam bidang profesinya yang ketat dan dikatakan buruk apabila militer diluar bidangnya. Salah satu cara untuk mengukurnya adalah memeriksa bagaimana pemimpin sipil dan militer menangani perbedaan kebijakan antar mereka sendiri; hubungan sipil-militer yang terbaik akan ditemukan dinegara dimana otoritas sipil mampu memenangkan perselisihan dengan militer tersebut. (Yulianto, 2002 :1)
Di Indonesia, dalam perjalanan sejarahnya pola hubungan sipil-militer bisa dilihat sejak masa perang menegakkan Kemerdekaan, atau masa Revolusi tahun 1945-1949, masa Republik Indonesia memakai Undang-Undang Sementara (UUD-S), Demokrasi Terpimpin (UUD 1945), Era Orde Baru (1966-1998) dan hingga sekarang.
Oleh sebab itu dalam makalah singkat ini penulis ingin berusaha melihat bagaimana konstitusi sebagai pedoman bernegara diaplikasikan dalam hubungan sipil dan militer khususnya pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959).

MILITER DAN POLITIK PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
Keterlibatan militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Kesadaran akan pentingnya peranan militer dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah tumbuh dalam jiwa para pemuda Indonesia. Mereka meminta kapada Soekarno selaku Presiden RI agar membentuk suatu badan militer.Kemudian pada tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).Anggota BKR diambil dari bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, dan kelompok lainnya.
Pada akhir tahun 1949 terjadi perubahan konstitusional Republik Indonesia Serikat dan Undang-undang Sementara 1950 (UUDS 1950) yang berasakan Demokrasi Liberal.Perubahan konstitusi ini berdampak pada menurunnya peran politik militer bahkan menghendaki militer tidak boleh ikut campur dalam bidang politik.Kepemimpinan militer diambil oleh sekelompok kecil “Teknokrat Militer”, kebanyakan mereka lulusan akademi militer Belanda di zaman sebelum perang serta memiliki kemampuan teknis yang menjadikan mereka perwira-perwira terlatih.Beberapa perwira dari kalangan teknokrat ini mengambil sikap untuk tidak terlibat langsung dalam politik dan memusatkan perhatian untuk membina tentara sebagai kekuatan yang stabil dan efektif.Perwira-perwira tersebut diantaranya adalah Kolonel A.H Nasution (Kepala Staf Angkatan darat yeng berusia masih sangat muda yaitu 30 tahun). Mereka menyadari bahwa dengan kemampuannya belumlah sematang para pemimpin politik pemerintahan, disamping karena konstitusi tidak menghendaki TNI tampil sebagai kekuatan politik, maka para pemimpin politik itu sepakat menyerahkan sepenuhnya pemerintahan negara ketangan pemimpin politik yang lebih senior dan lebih berpengalamana dalam bidang politik. Disamping itu para pemimpin militer pada waktu itu juga menyadari bahwa mereka bukanlah wakil dari korps perwira secara keseluruhan dan tidak memgang mandat untuk mengambil langkah-langkah tindakan dibidang politik atas nama seluruh perwira. Militer pada waktu itu sebagai satuan-satuan tempur local daripada militer yang terintegrasi.Sehingga banyak pada komandan didaerah yang berbeda prinsip dan pandangan dengan pemimpin militer di Jakarta.Inisiatif program yang diambil pemimpim Jakarta dianggap bukanlah mewakili kepentingan militer non professional didaerah-daerah. Mereka masih beranggapan bahwa sumbangan tentara dalam masa revolusi tetap memberikan hak sama untuk meneruskan peran politik dimasa sekarang setelah kemerdekaan dimenangkan. Pemahaman militer tentang dirinya sebagai kekuatan non politik tidak bertahan lama dan segera ditarik kembali ke arena politik.Hal ini bukan karena ambisi politik para perwira, militer atau pandangan dangkal politisi, tetapi karena semata-mata keadaan politik memang sedang kacau balau, struktur kekuasaan sudah tidak menentu lagi sehinga militer tidak mungkin membiarkan dirinya terpencil dalam kancah kehidupan politik.Pemerintah demi pemerintahan berturut-turut terbentuk dari koalisi rapuh kelompok yang menguasai Markas Besar Angkatan Darat tidak mampu menegakkan kewibawaannya terhadap saingan-saingannya mereka didaerah-daerah. Dalam keadaan semacam ini, maka yang dapat diharapkan adalah bahwa persaingan antar kelompok dikalangan tentara akan dilibatkan dalam pertentangan antara pemerintah dan oposisi di parlemen, dan masing-masing sekutunya sendiri. (Yulianto, 2002: 2019)
Perpecahan-perpecahan didalam tubuh militer tentara mencerminkan asal-usulnya pada masa-masa Belanda, Jepang, dan revolusi.Pimpinan pusat berada ditangan Nasution, Simatupang, dan lain-lain yang menginginkan profesionalisme dalam tentara, suatu sikap yang menguntungkan orang-orang semacam mereka, dan struktur herarkis yang dapat mereka kendalikan.Lawan mereka adalah para pemglima daerah yang lebih menyukai semangat revokusi, desentralisasi militer, dan hirarki yang minimum.(Riklefs, 2005: 476)
Awal 1950 keterlibatan militer dalam pemerintahan menurun. Pada sat itu militer ditempatkan sebagai instrumental force. Tetapi situasi ini tidak berlangsung lama karena militer sendiri terlibat dalam krisis politik pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”.Pada peristiwa ini, militer menuntut dibubarkannya Dewan Perwakilan Sementara.Kerana menurut pandangan mereka DPRS telah merugikan militer.(Cholisin, 2002 : 28)
Keterlibatan militer dalam pemerintahan baru diakui secara resmi saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957.  Dewan Nasional dibentuk bertujuan membantu kabinet dalam menjalankan program kerjanya. Menurut Adna Buyung, sikap militer tersebut sebenarnya hanya ingin mengurang pengaruh partai politik dan mendesak pemerintah agar kembali pada UUD 1945.  Inilah jalan memasuki masa Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 10 Februari 1958 Mayor Jenderal Nasution membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB).FNPIB terdiri dari buruh, tani, pemuda dan militer.Tujuan resminya membebaskan Irian Barat dari Belanda dan tujuan lainnya sebagi alat politik Angkatan Darat untuk mendorong paham demokrasi terpimpin berdasarkan UUD 1945.(Adnan Buyung, 2002:34)
Krisis politik terbesar pertama yang melibatkan militer kedalamnya adalah : Peristiwa “17 Oktober 1952”. Dengan dukungan pemerintah secara berturut-turut antara tahun 1950-1952, kepemimpinan militer teknokratik telah berupaya membina suatu kekuatan yang lebih kecil, lebih berdisiplin, dan lebih professional. Rencana mereka mengadakan rasionalisasi dan demobilisasi ditentang oleh rakyat banyak perwira bekas PETA yang kurang terlatih, yang merasa kedudukannya mereka akan diturunkan sebanding dengan perwira-perwira yang telah “diwesternisasi” dari Jakarta dan Bandung. Ketika para politisi oposisi mendukung para perwira bekas PETA, sebagai bagian dari serangan mereka terhadap pemerintah, maka perwira peta tentu saja menerima dukungan tersebut dalam usaha melawan kepemimpinan tentara. Tetapi apa yang oleh pihak oposisi diparlemen dianggap sebagai penggunaan yang sah dari penguasa sipil terhadap angkatan bersenjata, siterima oleh pihak tentara sebagai campur tangan dalam soal-soal imtern angkatan darat yang tidak dapat diterima dan dibiarkan. Tidak terpengaruh dengan sistem Demokrasi Parlementer, suatu kelopmpok perwira di Jakarta mengorganisasi suatu demonstrasi massa didepan istana presiden tanggal 17 Oktober 1952, semntara delegasi perwira-perwira senior menempati presiden Soekarno dan mendesaknya untuk membubarkan parlemen. Peristiwa 17 Oktober ini sesungguhnya bukanlah udaha kudeta dari pemimpin-pemimpin TNI Angkatan Darat untuk menggulingkan pemerintah. Namun lebih tepat dikatakan sebagai cerminan kekecewaan mereka sebagai teknokrat-teknokrat milioter terhadap usaha-usaha kelompok sipil yang menghalangi mereka melakukan apa yang mereka anggap sebagai kebijakan penting. Tetapi, sebenarnya mereka menyadari bahwa pembubaran parlemen akan menempatkan mereka kedalam posisi yang amat kuat untuk melakukan tindakan-tindakan politik lebih lanjut. (Harould Crouch, 1986: 27-28)
Presiden Soekarno memutuskan tidak hanya tidak hanya menolak tuntutan pembubaran tersebut, tetapi juga mendukung bekas para perwira PETA yang telah melakukan serentetan kudeta terhdapa beberapa panglima daerah yang mempunyai hubungan dengan beberapa panglima daerah yang mempunyai hubungan dengan kepala staf Angkatan darat.Akhirnya pada tahun 1952 Presiden Soekarno memberhentikan kepala staf Angkatan darat dan perwira-perwira teknokrat lainnya. Peristiwa 17 Oktober 1953 ini menunjukan bahwa jika tentara tetap terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang kurang lebih seimbang, para perwira akan memanfaarkan kesempatan-kesempatan politik yang ditimbulkan oleh persaingan sengit diantara kelompok-kelompok sipil umyuk melanjutkan kepentingan-kepentingan kelompok mereka sendiri, sekalipun mereka belum dapat membayangkan peranan politik yang luas sebagai tujuan jangka panjang. (Harould Crouch, 1986: 27-28)









KESIMPULAN

Bahwa dengan terjadinya perubahan konstitusi jelas mempengaruhi hubungan militer dengan sipil.Awal 1950 keterlibatan militer dalam pemerintahan menurun. Pada sat itu militer ditempatkan sebagai instrumental force. Tetpi situasi ini tidak berlangsung lama karena militer sendiri terlibat dalam krisis politik pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”.Pada peristiwa ini, militewr menuntut dibubarkannya Dewan Perwakilan Sementara.Kerana menurut pandangan mereka DPRS telah merugikan militer.
Keterlibatan militer dalam pemerintahan baru diakui secara resmi saat Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada tanggal 6 Mei 1957.  Dewan Nasional dibentuk bertujuan membantu kabinet dalam menjalankan program kerjanya. Menurut Adna Buyung, sikap militer tersebut sebenarnya hanya ingin mengurang pengaruh partai politik dan mendesak pemerintah agar kembali pada UUD 1945.  Inilah jalan memasuki masa Demokrasi Terpimpin.