Senin, April 02, 2012

KEKERASAN ATAS NAMA CINTA


Apakah “cinta” itu kata kerja, kata sifat, kata benda, ataukah kata keterangan?
apakah cinta itu hanya sekedar kata?



Akhir-akhir ini saya menemukan fenomena luarbiasa dikalangan teman-teman sesama kawula muda. Saya menyaksikan dimedia-media (khusunya media elektronik) kata “cinta” begitu sering diucapkan. Bahkan saat ini muncul program-program acara yang secara jelas mengusung tema tentang “cinta”. Khususnya cinta antara laki-laki dan perempuan. Mungkin sejak zaman dahulu kala, “cinta” telah menjadi bahasan yang tak akan pernah habis untuk dikupas hingga sekarang. Bisa jadi sebanyak apapun waktu yang dialokasikan untuk “mengerti” apa itu “cinta” tak akan pernah cukup untuk bisa dimengerti. “Cinta” bisa dirasakan semua manusia secara universal. Cinta tidak hanya didominasi kalangan elit saja tapi juga bisa dirasakan oleh kalangan melilit. Oleh sebab itu cinta memang bukan “barang” yang bisa dimonopoli kaum tertentu saja tapi ia adalah milik bersama.
Cinta” dalam pengertian tertentu bisa dipahami setiap orang sesuai keyakinannya masing-masing, kemudian dalam keyakinanya itu maka muncullah ekspresi-ekspresi yang termanifestasi (terwujud) dalam bentuk perkataan, sikap, dan juga benda atau karya real. Ada seseorang yang jika mendengar katanya saja menjadi bersemangat, bahagia, apatis hingga membuatnya selalu bersedih jika mendengar kata Cinta (mungkin gara-gara ada sindrom Madesu) dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki pengalamannya masing-masing mengenai rasa “Cinta” dalam hidupnya.
Walaupun tujuan tulisan ini untuk lebih menyoroti persoalan “rasa Cinta antara lelaki dan perempuan”, namun saya akan terlebih dahulu mengajak para pembaca yang budiman untuk melihat pengertian cinta secara umum menurut beberapa ahli, sehingga kita bisa bersama-sama belajar dalam memahaminya. Gunanya adalah agar pembahasan mengenai “Cinta” lebih fokus dan tidak melebar. Terlebih-lebih “Cinta” merupakan bahasan yang cukup abstrak.
Apalagi sering terjadi “Kekerasan atas nama Cinta” ada dimana-mana. Kekerasan bukan hanya yang bersifat fisik, namun juga bersifat psikis. Kata Cinta dengan gampangnya diumbar kesana-kemari. Padahal ia tidak mengerti apa itu Cinta?. Cinta dimengerti hanya seenaknya perutnya saja. Sebagai contoh kontradiksi-kontradiksi yang saya temui antara lain dikalangan sahabat-sahabat tercinta saya.
Katanya “Cinta” kok sering berantem?
Katanya “Cinta” kok suka mukul?
Katanya “Cinta” kok sering dusta?
Katanya “Cinta” kok sampai 1234567 tahun lebih masih saja statusnya “berpacaran”? 
(seharusnya itu sudah di DO! sorry saya belum pernah denger ada yang pacaran lebih dari 7 tahun jadi Cuma sampai 7).
Katanya “Cinta” kok punya cabang dimana-mana (kaya PT aja?
Katanya “Cinta” kok masih suka jajan (kayak anak kecil)?
Bahkan ada yang bunuh diri gara-gara Cintanya ditolak (TERLALU),
Kok mengucapkan kata-kata kasar kepada orang yang dicintainya (penduduk ragunan dibawa-bawa)?
Ada yang main dukun.. (hadeeeh jadi Syirik)

Ya…namanya juga kisah kasih orang yang menjalin Cinta” begitu jawabnya. Padahal sebagian besar dari definisi yang sudah saya tulis diatas mengatakan bahwa Cinta itu “kasih sayang” dan memberikan kebaikan-kebaikan. Apakah Cinta dipahami dipahami hanya sebatas kata? Ah mungkin mereka menjalani Cinta tanpa panduan alias otodidak.
Kemudian saya juga ingin mempertanyakan kepada kaum-kaum yang menganut paham pacaran. Pacaran (katanya) adalah ikhtiar untuk mendapatkan jodoh menuju jenjang pernikahan. Katanya lagi “Jodoh itu ada ditangan Allah, dan kita diperintahkan harus berusaha! Klo gak berusaha yang gak bakal ketemu jodohnya. Begitu kurang lebih ungkapan yang sering kita dengar. Tapi usaha yang bagaimanakah?. Terkadang saya bertanya-tanya jika memang jodoh ada ditangan Allah dan kita diperintahkan harus berusaha. Apakah usaha yang kita lakukan sudah dijanlankan sesuai dengan (Tuntunan/metode/cara/) yang diperintahkan-Nya lewat surat Cinta dan Sunnah Rosul-Nya ataukah justru kita melenceng dan kita menjalaninya menurut keinginan kita. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

DEFINISI CINTA

Beberapa pengertian Cinta yang saya kutip dari beberapa sumber perihal definisi Cinta; Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang (Wikipedia). Cinta adalah kasih sayang yang mendalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Cinta adalah perasaan yang kuat pada lawan jenis karena hubungan yang personal (Miriam Webster). Cinta adalah perasaan sayang pada orang lain (Dictionary.com). Cinta adalah ikatan atau perasaan yang kuat yang menimbulkan rasa hormat dan sayang (Addictionary.com). Cinta adalah perasaan sayang dan tertarik yang sangat kuat pada seseorang (Answer.com). Cinta adalah fenomena sosial dan kognitif (Ilmu Psikologi). Cinta adalah emosi yang dalam dan kompleks yang membuat seseorang bertindak heroik (Ehow.com). Cinta adalah emosi positif yang kuat (Lexipedia.com). Cinta adalah perasaan sayang pada seseorang (Encarta). Cinta adalah keterikatan rasa sayang pada lawan jenis (Biologi.online.org).

Pendapat Al-Ghazali Tentang Cinta

Dari sekian banyak definisi-definisi berdasarkan kamus, saya juga ingin membandingkan pengertian Cinta oleh salah satu Ulama yang telah sama-sama kita kenal, sebut saja Imam Al-Ghazali. Beliau adalah seorang Ulama yang hidup pada abad ke dua belas (1058-1111 M). Beliau sudah mengelaborasi dasar-dasar filosofis perihal cinta dengan begitu rinci. Menurut beliau ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
  1. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
  1. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
  1. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya Cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka Cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan seseorang juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d.      Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e.       Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
Dengan membaca uraian Imam Al-Ghazali saya menjadi tergugah, Ulama yang hidup pada abad dua belas telah begitu rinci menjelaskan dasar-dasar filosofis cinta. Padahal pada abad saat beliau hidup merupakan abad-abad kritis Umat Islam dimana benih-benih “kemunduran” nampak terlihat pada diri umat Islam.
Penting kiranya kita sebagai pemuda dan pemudi agar lebih “dalam” menengok pemikiran-pemikiran para ulama terdahulu. Karena masih banyak pemikiran-pemikiran mereka yang menurut saya jauh lebih “canggih” dan relevan untuk masa kini dibandingkan pemikiran-pemikiran para “Ulama Barat” yang kecendrungan sekuler dan membiaskan bahkan menghilangkan aspek-aspek keilahian.

Note :
Tulisan ini terinspirasi ketika saya sedang makan di warteg. Ada dua muda-mudi (sebut saja bunga dan kumbang) yang sedang berselisih pendapat tentang “hubungannya”. Kemudian diperkuat oleh pemandangan yang tidak asing lagi di Bundaran Widyapuraya Undip. Banyak “pasangan-pasangan” yang merajut mimpi disana. Laksana dunia hanya milik mereka berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak. Hahaha
Refernsi
Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf « Belajar Memaknai Hidup”.htm. (Anonim) www.google.com (Online) diunduh tanggal 1 April pukul 23.00
Definisi Cinta” htm www. google.com (online) diunduh tanggal 1 April pukul 22.50.

Wisma Zaid bin Tsabit, 1-2 April 2012

3 komentar:

Galih Hidayatullah mengatakan...

Abang, nanti kalo posting lagi, perhatikan jenis huruf, ukuranhuruf dan paragraf.
Agar lebih mudah dibaca.

Saran pake huruf Verdana ukuran Normal.
Untuk paragraf,perbahasan dikasih jarak 2 enter.

Bang Anton mengatakan...

okeee

Bang Anton mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.