Apakah
“cinta” itu kata kerja, kata sifat, kata benda, ataukah kata
keterangan?
apakah
cinta itu hanya sekedar kata?
Akhir-akhir
ini saya menemukan fenomena luarbiasa dikalangan teman-teman sesama
kawula
muda. Saya menyaksikan dimedia-media (khusunya media elektronik) kata
“cinta” begitu sering diucapkan. Bahkan saat ini muncul
program-program acara yang secara jelas mengusung tema tentang
“cinta”. Khususnya cinta antara laki-laki dan perempuan. Mungkin
sejak zaman dahulu kala, “cinta” telah menjadi bahasan yang tak
akan pernah habis untuk dikupas hingga sekarang. Bisa jadi sebanyak
apapun waktu yang dialokasikan untuk “mengerti” apa itu “cinta”
tak akan pernah cukup untuk bisa dimengerti. “Cinta” bisa
dirasakan semua manusia secara universal. Cinta tidak hanya
didominasi kalangan elit saja tapi juga bisa dirasakan oleh kalangan
melilit. Oleh sebab itu cinta memang bukan “barang” yang bisa
dimonopoli kaum tertentu saja tapi ia adalah milik bersama.
“Cinta” dalam pengertian
tertentu bisa dipahami setiap orang sesuai keyakinannya
masing-masing, kemudian dalam keyakinanya itu maka muncullah
ekspresi-ekspresi yang termanifestasi (terwujud) dalam bentuk
perkataan, sikap, dan juga benda atau karya real.
Ada seseorang yang jika mendengar katanya saja menjadi bersemangat,
bahagia, apatis hingga membuatnya selalu bersedih jika mendengar kata
Cinta (mungkin gara-gara ada sindrom Madesu)
dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki pengalamannya
masing-masing mengenai rasa “Cinta” dalam hidupnya.
Walaupun tujuan tulisan ini untuk
lebih menyoroti persoalan “rasa Cinta antara lelaki dan perempuan”,
namun saya akan terlebih dahulu mengajak para pembaca yang budiman
untuk melihat pengertian cinta secara umum menurut beberapa ahli,
sehingga kita bisa bersama-sama belajar dalam memahaminya. Gunanya
adalah agar pembahasan mengenai “Cinta” lebih fokus dan tidak
melebar. Terlebih-lebih “Cinta” merupakan bahasan yang cukup
abstrak.
Apalagi sering terjadi
“Kekerasan atas nama Cinta” ada dimana-mana. Kekerasan bukan
hanya yang bersifat fisik, namun juga bersifat psikis. Kata Cinta
dengan gampangnya diumbar kesana-kemari. Padahal ia tidak mengerti
apa itu Cinta?. Cinta dimengerti hanya seenaknya perutnya saja.
Sebagai contoh kontradiksi-kontradiksi yang saya temui antara lain
dikalangan sahabat-sahabat tercinta saya.
Katanya
“Cinta” kok sering berantem?
Katanya
“Cinta” kok suka mukul?
Katanya
“Cinta” kok sering dusta?
Katanya
“Cinta” kok sampai 1234567 tahun lebih masih saja statusnya
“berpacaran”?
(seharusnya itu sudah di DO! sorry saya belum
pernah denger ada yang pacaran lebih dari 7 tahun jadi Cuma sampai
7).
Katanya
“Cinta” kok punya cabang dimana-mana (kaya PT aja?
Katanya
“Cinta” kok masih suka jajan (kayak anak kecil)?
Bahkan
ada yang bunuh diri gara-gara Cintanya ditolak (TERLALU),
Kok
mengucapkan kata-kata kasar kepada orang yang dicintainya (penduduk
ragunan dibawa-bawa)?
Ada
yang main dukun.. (hadeeeh jadi Syirik)
“Ya…namanya
juga kisah kasih orang yang menjalin Cinta” begitu jawabnya.
Padahal sebagian besar dari definisi yang sudah saya tulis diatas
mengatakan bahwa Cinta itu “kasih sayang” dan memberikan
kebaikan-kebaikan. Apakah Cinta dipahami dipahami hanya sebatas kata?
Ah mungkin mereka menjalani Cinta tanpa panduan alias otodidak.
Kemudian saya juga ingin
mempertanyakan kepada kaum-kaum yang menganut paham pacaran. Pacaran
(katanya) adalah ikhtiar untuk mendapatkan jodoh menuju jenjang
pernikahan. Katanya lagi “Jodoh itu ada ditangan Allah, dan kita
diperintahkan harus berusaha! Klo gak berusaha yang gak bakal ketemu
jodohnya. Begitu kurang lebih ungkapan yang sering kita dengar. Tapi
usaha yang bagaimanakah?. Terkadang saya bertanya-tanya jika memang
jodoh ada ditangan Allah dan kita diperintahkan harus berusaha.
Apakah usaha yang kita lakukan sudah dijanlankan sesuai dengan
(Tuntunan/metode/cara/) yang diperintahkan-Nya lewat surat Cinta dan
Sunnah Rosul-Nya ataukah justru kita melenceng dan kita menjalaninya
menurut keinginan kita. Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.
DEFINISI
CINTA
Beberapa pengertian Cinta yang
saya kutip dari beberapa sumber perihal definisi Cinta; Cinta adalah
sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah perasaan
afeksi terhadap seseorang (Wikipedia). Cinta adalah kasih
sayang yang mendalam (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Cinta adalah
perasaan yang kuat pada lawan jenis karena hubungan yang personal
(Miriam Webster). Cinta adalah perasaan sayang pada orang lain
(Dictionary.com). Cinta adalah ikatan atau perasaan yang kuat yang
menimbulkan rasa hormat dan sayang (Addictionary.com). Cinta adalah
perasaan sayang dan tertarik yang sangat kuat pada seseorang
(Answer.com). Cinta adalah fenomena sosial dan kognitif (Ilmu
Psikologi). Cinta adalah emosi yang dalam dan kompleks yang membuat
seseorang bertindak heroik (Ehow.com). Cinta adalah emosi positif
yang kuat (Lexipedia.com). Cinta adalah perasaan sayang pada
seseorang (Encarta). Cinta adalah keterikatan rasa sayang pada lawan
jenis (Biologi.online.org).
Pendapat
Al-Ghazali Tentang Cinta
Dari sekian banyak
definisi-definisi berdasarkan kamus, saya juga ingin membandingkan
pengertian Cinta oleh salah satu Ulama yang telah sama-sama kita
kenal, sebut saja Imam Al-Ghazali. Beliau adalah seorang Ulama yang
hidup pada abad ke dua belas (1058-1111 M). Beliau sudah
mengelaborasi dasar-dasar filosofis perihal cinta dengan begitu
rinci. Menurut beliau ada
tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya,
yaitu sebagai berikut:
- Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya
akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena
itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau
seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang
manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan
bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya,
sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan,
maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
- Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens
pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu
obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang
diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta
terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan
kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya.
Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang.
Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah
seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang
dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan
terwujud.
- Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama
yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan
jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari
hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan
hidupnya.
Selanjutnya
al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya Cinta.
Pada
gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada
cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai.
Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a.
Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan
keberlangsungan hidup
Orang yang
mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya
ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika
seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian
menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka
tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal
bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta
kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya,
maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b.
Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya,
setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini
merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci
kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya,
setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar
menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif
duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah
ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan
seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi
atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman
bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian
dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang
Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut
pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena
masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika
kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka Cinta
kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang
memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah
berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha
Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh
makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap
diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat
banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada
gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan
dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c.
Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak
dirasakan
Mencintai
kebaikan seseorang
juga
merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada
orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat
baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung.
Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya,
meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan
sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu
akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung
kelaliman dan korupsi sang pejabat.
Hal ini pun
pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena
bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah
yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah
memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis
Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta,
misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan
Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d.
Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang
indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap
oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu,
juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak
orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam
Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir
inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat
batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat
lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun
keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada
gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah
yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang
yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa,
dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia
pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas
Tuhan untuk dicintai.
e.
Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu
menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara
keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul
dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman
dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua
orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat
kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian
inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling
mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan
ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan
pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks
kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul.
Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat
lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah.
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam
dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara
terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa
seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru
sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan
lain-lain.
Terkait dengan
sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau
menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang
tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi).
Keserasian
tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang
yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.
Dengan membaca uraian Imam
Al-Ghazali saya menjadi tergugah, Ulama yang hidup pada abad dua
belas telah begitu rinci menjelaskan dasar-dasar filosofis cinta.
Padahal pada abad saat beliau hidup merupakan abad-abad kritis Umat
Islam dimana benih-benih “kemunduran” nampak terlihat pada diri
umat Islam.
Penting kiranya kita sebagai
pemuda dan pemudi agar lebih “dalam” menengok pemikiran-pemikiran
para ulama terdahulu. Karena masih banyak pemikiran-pemikiran mereka
yang menurut saya jauh lebih “canggih” dan relevan untuk masa
kini dibandingkan pemikiran-pemikiran para “Ulama Barat” yang
kecendrungan sekuler dan membiaskan bahkan menghilangkan aspek-aspek
keilahian.
Note
:
Tulisan
ini terinspirasi ketika saya sedang makan di warteg. Ada dua
muda-mudi (sebut saja bunga dan kumbang) yang sedang berselisih
pendapat tentang “hubungannya”. Kemudian diperkuat oleh
pemandangan yang tidak asing lagi di Bundaran Widyapuraya Undip.
Banyak “pasangan-pasangan” yang merajut mimpi disana. Laksana
dunia hanya milik mereka berdua, sedangkan yang lainnya ngontrak.
Hahaha
Refernsi
“Konsep
Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf « Belajar Memaknai Hidup”.htm.
(Anonim) www.google.com
(Online) diunduh tanggal 1 April pukul 23.00
“Definisi
Cinta” htm www. google.com (online) diunduh tanggal 1 April pukul
22.50.
Wisma
Zaid bin Tsabit, 1-2 April 2012
3 komentar:
Abang, nanti kalo posting lagi, perhatikan jenis huruf, ukuranhuruf dan paragraf.
Agar lebih mudah dibaca.
Saran pake huruf Verdana ukuran Normal.
Untuk paragraf,perbahasan dikasih jarak 2 enter.
okeee
Posting Komentar