Rabu, Oktober 19, 2011

Cerita di atas Kereta Api Ekonomi 3-5 Januari 2011


 
Waktu itu pukul 14.00 aku berangkat dengan hati sedikit kecewa dengan orang tuaku. Aku berangkat menuju Semarang dengan menggunakan jasa kereta api ekonomi jurusan Pasar Senen-Malang (Jawa Timur). Sebenarnya aku seharusnya berangkat ke Semarang menggunakan kereta api jurusan Pasar senen- Stasuin Poncol (Semarang) pukul 21.30, namun karena aku kehabisan tiket, dan ter lihat tulisan di loket jurusan yang ke Stasuin Poncol “TUTUP tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”. Aku menyakinkan lagi dengan bertanya kepada petugas loketnya dan Satpam yang berdiri didepan loket, ternyata memang tidak ada. Kalaupun ada, aku harus membeli tiket kelas bisnis dengan harga Rp. 150.000 itupun tidak dapat tempat duduk, alias berdiri. Padahal harga normalnya Rp 100.000 dan sudah dapat tempat duduk. Dalam hati aku bergumam “beuh mahal bangeet, berdiri lagi, ogah ah”. Akhirnya aku harus menerima kekecewaan yang kedua kalinya. Hatiku semakin galau, rongga dada ini semakin sesak, seperti ada sesuatu yang menekan. Dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa aku harus mengalami kejadian ini semua? Apakah kejadian ini sungguhan? Mengapa kejadian ini harus aku alami ketika mendekati ujuan akhir semesterku tanggal 6 Januari besok? Aku seperti tidak percaya dengan kejadian yang aku alami. Biasanya aku tidak pernah kehabisan tiket ketika berangkat dari Jakarta. Tapi kejadian ini benar-benar harus aku alami, dan ini adalah pengalaman pertamaku kehabisan tiket. tetapi aku diberi tahu oleh pak Satpam bahwa besok (tanggal 5 Januari) ada kereta Jurusan ke Stasiun Poncol Semarang, nama keretanya “Matraman Jaya” pukul 2 siang dan sampai ke Stasiun Poncol pukul 10 malam, ia sambil menunjukan telunjuknya ke arah papan loket. Luarbiasa keramaian di stasiun Senen waktu itu. Mungkin karena suasana mudik atau arus balik pasca tahun baru sehingga harga tiket melambung. Dengan hati yang sedikit tenang karena masih ada kesempatan berangkat besok pukul 2 siang, Rasa kecewa yang menyelimuti hati pun sedikit terobati.
Tubuhku yang dalam keadaan sedikit melemah segera menjauhi loket, kulihat di depan loket ada kursi panjang dan seorang pedagang asongan sedang duduk menggendong dagangannya. Dalam keadaan sedikit kecewa aku duduk di kursi panjang itu tanpa permisi kepada pedagang asongan itu. Jiwaku sendiri dalam keramaian. Aku masih membayangkan peristiwa-peristiwa yang mengiringku hingga sampai ke Stasiun Senen. Perjalanan dari rumah yang diantar ayahku hingga ke Masjid Riyadlus Shalihin (Marisha) Parung dengan sepeda motor Honda Legenda “Jadul” kesayangannya, mencium dengan hangat tangan ayah, Stasiun Lebak Bulus yang sumpek, perjalanan ke Stasiun Senen dengan kemacetannya yang menyiksa masih hangat terekam oleh ingatanku. Aku seperti mengulang peristiwa-peristiwa yang ku alami dalam sendiri. Dalam kesibukan dengan pikiranku, tiba-tiba aku disapa oleh si Pedagang asongan usia 40an yang ada disampingku. Perawakannya kurus, hitam, tapi sangat ramah. Spontan saja aku terkejut. Ia bertanya dalam bahasa Jawa “ajeng ten pundi Mas?” (artinya mau kemana mas?). Kemudian aku jawab “ke Semarang Pak tapi kehabisan tiket”. Mendengar aku berbicara dalam bahasa Indonesia, kemudian dia bertanya lagi dalam bahasa Indonesia “Semarangnya dimana, kerja?” aku jawab “Semarangnya di daerah Tembalang, enggak pak, saya masih kuliah semester 6 di Undip”. Dia menjawab lagi “owh mau kuliah…” dalam hatiku aku menduga sepertinya pedagang asongan ini kurang tahu banyak tentang Semarang dan segala hal mengenai perkuliahan, karena dia hanya cukup menjawab singkat seperti itu. Karena aku sering ditanya seperti itu oleh sesama penumpang kereta api dengan pertanyaan yang tidak jauh berbeda tapi pertanyaanya lebih variatif dan jawabannyapun tidak sederhana mulai dari bertanya mau kemana, asalnya dari mana, pekerjaan, fakultas adan jurusan, tempat kost, bahkan berlanjut sampai bercerita lebar tentang pengalamannya, saudara atau anaknya yang kuliah. Tapi itu hanya dugaanku saja bisa jadi si pedagang asongan itu memang sedang tidak ingin banyak bicara.
Untungnya aku mempunyai kakak perempuan yang menikah dengan orang Tanah Abang, langsung saja aku segera menelepon kakaku yang di Tanah Abang dan memberitahu perihal yang aku alami, juga agar ia bisa menampungku untuk menginap semalam dirumahnya. Teleponku pun diangkatnya dengan nada sedikit prihatin dan khawatir, akhirnya kakak iparku bersedia menjemputku dan diminta untuk menunggu.
Obrolanku dengan si Pedagang asonganpun berlanjut. Kali ini pembicaraan menjadi semakin mencair, dan akupun merasa lega. Kemudian sambil makan Pop Mie yang aku beli darinya aku mulai bertanya perihal jati diri pedagang asongan itu. “nama bapak siapa dari mana asalnya? Ia memberitahu namanya tapi aku lupa siapa namanya. Ia berasal dari Jawa Timur tepatnya Madiun. Lalu aku Tanya lagi “sudah berapa lama di Jakarta Pak”? ia menjawab “wah sudah lama mas, sudah lima belas tahun saya merantau” lalu aku menjawab lagi “ wah lama juga ya pak”. Dengan sendirinya ia bercerita ngalor ngidul. Aku lantas menjadi pendengar yang baik, selintas aku mendengar istilah “mencari sesuap nasi”, “pekerjaan yang sulit dikampung”, “demi keluarga”. Aku selalu senang mendengar cerita atau pengalaman orang-orang ketika bercerita di Stasiun. Bagiku mendengar pengalama-pengalaman orang yang lebih dahulu merasakan asam garam kehidupan adalah sesuatu yang sangat berharga. Oleh sebab itu jika ada orang yang bercerita, aku dengan semangat mendengarkannya. Dengan mendengar pengalaman-pengalan orang yang hidup lebih dahulu dariku, aku berharap banyak pelajaran berharga yang aku peroleh, sisi positifnya akan aku ambil dan sisi negatinya cukup aku ketahui saja dan tidak aku tiru. Semoga jika suatu saat aku mengalami peristiwa yang serupa, aku mampu bertindak lebih arif. Rasa kecewa ku hilang seketika ketika ia bercerita panjang lebar tentang sisi-sisi kehidupannya. Apakah aku ia jadikan sebagai teman curhatnya? Aku juga tidak mengerti. Yang pasti ia bercerita mulai dari latar belakang keluarganya, anak dan istrinya, pertama kali ia datang ke Jakarta dan meninggalkan keluarga di Madiun. Aku sempat terfikir terkadang seseorang memang butuh didengar, dimengerti dan juga perlu berbagi dengan yang lain. Mungkin akulah salah satu orang yang kebetulan dicurhati si pedagang asongan itu.
Mendengar panjang lebar ceritanya, aku merasa semakin tentram, damai, sejuk, malu dengan diriku sendiri karena selama ini aku kurang bersyukur dengan keadaan. Ternyata setiap orang memang memiliki sisi-sisi kehidupan yang berbeda-beda. Dan aku merasa si pedagang asongan itu tidak lebih beruntung dari kehidupan yang aku alami. Ia hanya tamat SD, sedangkan aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk merasakan suasana perkuliahan dikelas, diberi uang saku, menikmati ceramah dosen, berorganisasi dsb. Sedangkan jika mendengar cerita si pedagang asongan itu lagi-lagi aku merasa sangat jauh berbeda seperti apa yang ia alami. Tapi dengan semangat ia tidak menyerah, ia hijrah ke Jakarta untuk memperbaiki hidupnya, iapun menikah dan punya anak. Ia jalani setahap demi setahap fase-fase kehidupan, berjualan dari pagi buta hingga malam untuk menghidupi keluarga di kampung. Bahkan yang lebih miris lagi ia jarang pulang, ia pulang jika ada hal-hal yang ia anggap wajib seperti hajatan keluarga, lebaran, lahiran istri, dan jika ada keluarga seperti anak dan istrinya yang sakit parah. Bahkan ia bercerita dengan bangga suatu ketika ia bertarung dengan waktu karena ia harus menjadi wali dalam pernikahan adik perempuannya, ia tidak sayang mengeluarkan uang banyak membeli tiket kereta kelas bisnis. Jawabnya sederhana “demi keluarga uang tak jadi soal”. Dalam hati aku terhenyak “orang Indonesia memang luar biasa”.
Kakak iparkupun datang. Kulihat dari jauh ia terlihat sedang mencari-cari seseorang, padahal jarakku dengannya cukup dekat, mungkin saking ramainya ia sampai tidak mengenalku. Aku langsung memanggil-manggilnya sambil melambaikan tangan. Sambil mengucapkan permisi, akupun naik motor kakak iparku dan aku dibawa menginap dirumahnya.
Keesokan harinya tepat pukul 07.30 akupun diantar lagi oleh kakak iparku untuk membeli tiket untuk pemberangkatan pukul 14.00 siang. Jarak antara kediaman kakaku dengan Stasiun lumayan jauh dan aku merasa sudah cukup merepotkan kakak iparku. Aku tidak ingin menjadi bebannya untuk bolak-balik mengantarkanku dari rumahnya kestasiun nanti akan sangat membuang waktu dan tenaga. Akhirnya aku meminta agar kakak nanti tidak usah menungguku mengantri membeli tiket, kakak cukup kembali lagi saja kerumah bekerja lagi di Bengkel. Aku menjelaskan kepadanya untuk masalahku selama menunggu pemberangkatan pukul dua tidak usah terlalu difikirkan. Iapun mengiayakan permintaaku, ia kembali kerumahnya.
Setelah mendapatkan tiket, tujuanku selanjutnya adalah menuju masjid dekat Pasar Senen, aku lupa nama masjidnya. Setelah sampai didepan pintu masjid, aku terkejut melihat gerbang masjid di gembok dan dengan kondisi masjid yang sangat sepi. “waduh istirahat dimana ini?” gumamku. Setelah aku mondar-mandir disekitar masjid, aku bertanya kepada petugas parkir didekat masjid, “permisi pak numpang tanya, kok gerbang masjid di kunci ya?”. Ia menjawab “lewat belakang mas, belok ke kanan trus ada pintu kecil masuk”. Aku heran dengan keadaan disekitarku. Dalam hati aku bertanya-tanya motor-motor banyak sekali parkir dibelakang masjid tapi masjidnya kok sepi?. Aku merasa lain sendiri, banyak orang disekitarku berduyun-duyun berkendara motor untuk memakirkan motornya tapi aku dengan PD nya berjalan kaki melewati motor demi motor kearah pintu kecil di belakang masjid. Setelah melewati pintu kecil itu, aku langsung duduk diserambi kiri masjid. “Masjid yang aneh, kok gak ada orang yang singgah dan sholat duha sama sekali ya? udah sepi, adem pula” gumamku. Setelah merebahkan tubuh tiba-tiba menyusul seseorang dengan mata yang tertuju kearahku, namun ketika pandangan mataku berpapasan dengan pandangannya ia seolah-olah tidak sedang memperhatikanku. Aku tidak kenal siapa orang itu, tapi sepertinya aku melihatnya ketika sedang sibuk memakirkan motor. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan didalam masjid, terkadang ia masuk, terkadang ia keluar, juga ia seperti sedang sibuk mengecek mesin-mesin mobil yang terparkir didalam masjid. Hanya ada aku dan dia yang ada didalam masjid, tanpa bicara sepatah katapun. Akhirnya aku bosan berdiam diri, aku segera mencairkan suasana dan mulai mengajak bicara “pak, kok didalem sepi bangeet ya, kok jam segini pintu gerbang depan dikunci?” ia menjawab “begini mas jadi disini tuh sering terjadi kehilangan, dan antisipasi saja supaya preman dan pengemis itu tidak masuk kedalam masjid, yaa karena sering kehilangan, dan gerbang senagaja dikunci nanti dibuka ketika sholat dzuhur”. Dari kalimatnya saja aku langsung paham sebenarnya aku sedang diawasi atau mungkin juga sedang dicurgai. Tanpa panjang lebar aku langsung berkemas-kemas sambil berkata kepada orang itu “owh begitu pak, wah maaf pak saya tidak tahu”. Dengan rasa malu bercampur jengkel aku langsung meninggalkan masjid itu. Dalam hati aku kesal sekali “mengapa gak bilang aja pak,, klo jam sgitu masjid gak boleh dimasukin malah gw kayak pencuri diawasin, heeeuh!!! Apa susahnya sih ngomong “mas gak boleh masuk masjid jam sgitu karena aturannya memang seperti itu dan untuk mengantisipasi terjadinya banyak kehilangan barang-barang masjid”. Dalam perjalanan menuju kestasiun yang berada 100 m di dekat masjid, aku benar-benar merasa jengkel kepada petugas parkir yang merangkap sebagai takmir itu. Mungkin dia segan dan tidak enak dengan ku, tapi sikap segannya benar-benar menjengkelkan. Lebih baik menerima penolakan secara tegas dari pada penolakan yang ditutup-tutupi dengan dalih untuk menghormati.
Seperti gelandangan aku mencari-cari mushola disekitar Stasiun. Tubuhku benar-benar lelah. Ingin rasanya tidur sejenak menghilangkan pegal-pegal yang ada di sekitar pergelangan pinggang dan punggung. Dengan kemurahan Allah akhirnya mushola itu ku temukan jauh dipojok Stasiun. Tentunnya seperti pepatah dalam bahasa Inggris “nothing free lunch in this world” tidak ada makan siang gratis didunia ini apa lagi di Jakarta. Aku harus mengeluarkan uang retrbusi, karena memang di mushola itu ada penunggunya yaitu petugas penjaga mushola.
Didalam mushola tertulis dengan jelas “DILARANG TIDUR DI DALAM MUSHOLA!”. Padahal mata ini ibarat bola lampu seperti lampu ukuran lima watt “keyap-kreyep”. Ada seorang wanita setengah tua tidak menghiraukan larangan itu sama sekali, ia tidur saja tanpa merasa berdosa, akibatnya si petugas yang lumayan sangar itu segera menegurnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya “mbak.. mbak.. mbak bangun mbak, jangan tidur!” katanya. Kontan saja aku yang masih dalam posisi duduk dengan mata yang redup senja terkejut dan takut. Aku punya siasat dan aku beruntung juga diberi kebiasaan buruk atau mungkin menurut sebagian orang baik, aku tidur dalam posisi duduk. Dalam posisi duduk aku tidak terlalu di curigai tidak seperti mbak yang baru saja ditegur oleh petugas yang bagaikan reptil melintang diatas sajadah. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam akhirnya berlalu. Setelah sholat dzuhur, dzikir, SMS-an, baca majalah politik yang aku beli di sekitar Stasiun, cukup menjadi teman setiaku menunggu tiba pukul 2 siang. Akupun naik kereta “Matraman Jaya” dan alhamdulillah aku dapat tempat duduk. Didalam kereta keadaanya seperti biasa ramai, berdesak-desakan, panas, dan gaduh. Kegaduhan berasal dari para penumpang dan juga dari pedagang asongan yang menggoda-goda penumpang dengan berbagai macam barang dagangannya. Ada yang menjual koran bekas, koran baru, TTS (teka-teki silang), boneka anak-anak, minuman, makanan ringan, senter, batu batere handphon, dan macam-macam. Aku sudah tenang dengan kursi yang ku tempati. Aku hanya melihat-lihat saja penumpang-penumpang lain yang masih sibuk mencari kursi.
Ketika aku sedang merebahkan punggungku ke kursi, datanglah seorang anak kecil usianya sekitar 8-9 tahun duduk disekitarku menawarkan kipas anyaman yang terbuat dari bambu seharga Rp 2000. Aku menggelengkan kepala tanda tidak ingin membeli kipasnya. Majalah politik aku letakkan di atas pahaku. Sikap aneh anak itu baru aku sadari ketika kepala anak itu semakin mendekat kearah pahaku, sambil mengeja-ngeja tulisan yang terdapat dalam majalah. Aku terkejut dan aku sapa si anak kecil itu “suka baca dik?” ia mengangguk lemah. Aku bertanya lagi “masih sekolah? Kelas berapa? Ia menjawab dengan suara yang agak serak ia menjawab pertanyaanku “masih, di Senen, kelas 5”.
Sambil melihat-lihat keramaian didalam dan diluar aku tersadar bahwa si adik kecil penjual kipas ini masih belum beranjak dari kursi yang ada didekatku, aku kembali bertanya ”dik, jual kipas dengan siapa?” ia menoleh kearahku, dan menjawab “sama ayah”. Sambil memegang uang yang disimpan di plastik bening transparan dan terlihat sekali lipatan-lipatan uang seribuan, lima ribu, sepuluh ribu, serta sejumlah uang logam. Dengan mata yang sedikit kuyu, ia masih bersemangat menawarkan kipas-kipas itu kepada penumpang yang sedang duduk dikursinya masing-masing. Dasar anak kecil aku langsung menasihatinya agar lebih hati-hati dalam menyimpan uang, aku minta ia merapihkan lipatan-lipatan uang yang berantakan tak karuan itu. Aku kasihan dan khawatir uang yang sudah diperolehnya dengan panas-panasan didalam kereta nanti hilang atau dirampas pencuri. Lalu ia sedikit merapihkan uang-uang itu walaupun aku perhatikan masih terlihat kacau. Tak lama kemudian ia berhenti menawarkan kipas-kipasnya. Ia kelelahan dan tidur diatas kursi yang belum berpenumpang dengan posisi tertelungkup. Wajahnya ia sandarkan ke atas pahanya, sedangan kipas-kipas dagangannya masih ia genggam kuat di tangannya. Ia tertidur. Aku dengan bapak-bapak penumpang yang posisinya di depanku tersenyum melihat anak kecil itu. Aku pandangi anak kecil itu dengan seksama dalam hati aku bergumam “luarbiasa, sekecil itu ia sudah harus bekerja keras membantu ayahnya menjajakan kipas-kipas bambu itu, ia kelelahan. Tapi ia mampu menjualnya dan hampir terjual semua kipas-kipasnya. Aku membandingkan dengan diriku ketika seumurannya, sepertinya aku belum pernah mengalami ataupun terbayang harus berjualan di tempat-tempat ramai seperti itu. Apakah aku sanggup? yang ada dalam pikiran waktu itu adalah bermain dan bermain, senang-senang tak terpikir sedikitpun bagaimana kerasnya ayah mencari uang untuk mencukupi kehidupanku”.
Melihat anak kecil itu aku merasa kasihan ataukah kagum sulit membedakannya, karena kedua rasa itu bercampur. Lagi-lagi kereta ekonomi itu selalu memberiku pelajaran berharga mengenai kehidupan. Hatiku menjadi sejuk, tentram dan tenang, betapa aku beruntung sekali dibesarkan dalam keluarga yang mungkin lebih baik dari keluarga si kecil itu. Ketika aku masih di Sekolah dasar ayah dan ibuku tak mengijinkan aku bekerja. Pernah aku meminta kepada ayah aku ingin membantunya bekerja di ladang, tapi apa reaksi ayah “udah Anton belajar aja yang bener gak usah mikirin bapak, bapak mah udah biasa”. Seorang anak yang sudah bisa melihat dan berfikir tentunya terketuk hatinya ketika melihat kerasnya orang tua bekerja, dan ingin sekali bisa membantu meringankan pekerjaanya. Tapi itulah uangkapan kasih sayang orang tua ia hanya ingin anaknya bahagia, berkecukupan, dan bagaimanapun jenis pekerjaannya yang penting halal, ia akan melakukannya demi anak.
“Dik bagun! Kereta sudah mau jalan ntar kebawa ke Jawa lho” ucapku. Si adik itu terkejut dan tanpa banyak celoteh ia segera bangkit dan bangun lalu ia beranjak kearah depanku. Iapun luput dari pandanganku, tak tahu lagi kemana ia pergi. “Terimakasih dik kamu telah memberi pelajaran berharga kepadaku tentang kehidupan” gumamku dalam hati. Sekitar 5 menit kemudian kereta berwarna kuning itupun berangkat. Kursi disebelahku langsung ditempati oleh penumpang yang belum mendapatkan tempat duduk. Ia adalah penumpang yang tidak mendapatkan kursi. Namun karena penumpang yang booking tempat duduk itu belum muncul, jadi untuk sementara kursi itu ia tempati sambil menunggu penumpang asli datang. Aku menduga penumpang asli itu kemungkinan naik dari Stasiun Jatinegara atau Bekasi.
Dugaanku ternyata benar, ketika kereta Matraman Jaya singgah di Stasiun Jatinegara untuk menjemput penumpang, penumpang itu naik kereta dari Sasiun Jatinegara. Pria berumur 40 tahun-an itu berperawakan sedang menggunakan topi, jaket kulit hitam, celana jeans dan berkumis tebal. Awalnya aku agak sedikit takut dengan pria yang bertampang sangar itu. Sambil mencocokan huruf tempat duduk ia berkesimpulan bahwa kursinya ada disebelah kursiku yang sedang diduduki pria muda yang sedikit gaul itu. Sambil berkata dengan sopan ia memberi tahu kepada pria muda itu “maaf mas tempat duduk saya” ucap pria berkumis itu sambil menunjuk kode huruf kursi yang terdapat diatas kursi. Langsung saja pria muda itu segera bangkit dan beranjak dari kursinya, ia sadar pria berkumis itu lebih berhak duduk dikursi setelah ia menunjukan kode huruf kursi. Begitulah suka dukanya naik kereta ekonomi senang atau tidak senang kita harus mengikuti aturan main yang sudah berlaku. Lalu pria muda itu nanti duduk dimana? Ya terserah, mau duduk lesehan di bawah ataupun lesehan didekat pintu masuk itu sudah menjadi risiko.
Pria berkumis itu duduk disampingku. Tak tanggung tanggung ia langsung mengeluarkan 2 hape sekaligus yang satu Blackberry, dan yang satunya lagi Nokia tipe berapa aku tidak terlalu paham, yang pasti 2 hapenya keren sekali. Ia sibuk SMS-an, juga layaknya seperti customer service ia sibuk mengangkat telepon dan juga menelepon. “ni orang sibuk amat sih”? gumamku dalam hati. Hampis setengah jam ia sibuk SMS, telpon sana-telpon sini, dan juga terlihat penumpang yang lainpun memperhatikannya dengan sekasama.
Akhirnya pria itu memecah kesunyian dengan menyapa kita semua yang duduk saling hadap berhadapan, berbasa-basi bertanya asal dan tujuan pemberangkatan dan kitapun tengelam dalam obrolan-obrolan seputar apapun. Ia bertanya tentang asalku dan tujuan pemberangkatanku. Pertanyaanya aku jawab seperti biasa. Ternyata ia adalah seorang wartawan harian “pilar”, sebuah harian yang ada di Provinsi Jawa Timur. Aku agak kurang percaya, masak seorang wartawan dan juga seorang koordinator wartawan Jawa Timur mau naik kereta ekonomi?. Dari gaya bicaranya memang ia aktif sekali ketika kami tenggelam dalam suasana ngobrol. Wawasannya terlihat luas sekali, kritis sehingga memunculkan rasa kagum bagi kami semua. Ia menceritakan bahwa ia wartawan khusus yang menangani masalah-masalah hukum dan kriminal. Aku sangat tertarik dengan cerita-ceritanya. Muncul banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulutku suka duka mejadi wartawan. Ia panjang lebar bercerita pengalamannya ketika pertama kali ia bergabung dengan harian “Pilar”. Dan yang paling membuatku terkejut adalah ia seorang lulusan Teknik Industri. Tapi ia mempunyai minat dengan dunia jurnalis. Akhirnya dengan nekat dan percaya diri ia mendaftar ke redaksi harian pilar. aku kurang tahu pasti bagaimana secara detail kisahnya, namun yang pasti ia bisa diterima bergabung dengan harian “pilar”. Pria berkumis itu sangat senang bercerita. Ia memberitahukan ia tidak hanya berprofesi sebagai wartawan saja, tapi ia juga merupakan agen yang mengirimkan tenaga kerja ke Brunai, ia memiliki cabang di Brunai. Nah inilah alasan dia mengapa memilih naik kereta ekonomi, katanya untuk menghemat biaya, karena ia mengajak 5 calon pekerja yang akan dikirim ke Brunai.
Ia bercerita bahwa jaman sekarang, lulusan perguruan tinggi apapun tapi tidak menguasai informasi dan jaringan, maka akan kesulitan memperoleh pekerjaan. Makannya mumpung masih kuliah kamu belajar yang serius, apa lagi basic kamu sastra dan tertarik dengan duania jurnalisme pula. mumpung masih muda kamu harus mencari sebanyak mungkin pengalaman dan perluas jaringan. Dan juga satu keterampilan lagi yang harus kamu kuasai adalah marketing. Ia bercerita dengan logat Jawa Timur yang keras dan bersemangat.
Ia juga menjelaskan kepadaku ada beberapa tipe wartawan, yang pertama wartawan foto, yang kedua wartawan tulis, yang ketika wartawan gambar. Maksud gambar disini adalah ia merekam momen-momen unik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kamu tinggal tentukan saja minat kamu dimana. Dengan percaya diri ia bercerita “gampang kok mencari uang, kamu beli handycam yang murah saja merk Cina juga gak apa-apa, kamu rekam saja momen-momen unik di sekitarmu” kemudian sambil mengeluarkan handycam ia mencontohkan kepadaku contoh hasil suntingan gambarnya. Aku dengan saksama melihatnya, terlihat ia merekam peristiwa kemacetan diasuatu tempat tanpa suara dan hanya gambar bergerak saja. Sambil menjelaskan aspek-aspek gambar yang penting yang harus aku ambil. Hatiku senang bukan kepalang didalam kereta pengap itu ada orang yang sangat berbaik hati berbagi ilmu kepadaku.
Ia berujar lagi katanya “sekarang jika mau jadi wartawan gak usah masuk jurusan komunikasi juga bisa, nah contohnya saya, saya dari teknik tapi bisa jadi wartawan. Yang penting kamu harus tahu informasi, percaya diri dengan kemampuan,dan nekat saja. Ia mengajarkan lagi kepadaku teknik-teknik ketika diwawancara. Intinya ketika diwawancara kita dalam menjawab pertanyaan jangan gugup, percaya diri, jangan terlihat minder, tunjukan saja kemampuan terbaik kita dan gunakan bahasa-bahasa yang meyakinkan ketika menjawab pertanyaan. Ia mencontohkan salah satu pernyataan ketika ia ditanya oleh intervewer mengapa ia mendaftar di harian “pilar” ia menjawab dengan bahasa meyakinkan “saya ingin bergabung dengan harian ini pak”. Akhirnya aku benar-benar merasa nyaman duduk disamping seorang wartawan ini. Dalam hati “yaa Allah beruntung sekali aku berangkat hari ini banyak sekali hikmah dan ilmu yang kudapatkan” aku berkesimpulan memang terkadang kita sering berperasangka dengan keadaan yang Allah berikan kepada kita jika keadaan itu menurut kita tidak menyenangkan tapi bagi Allah yang Maha Tahu keadaan yang tidak menyenangkan itu adalah yang terbaik, namun kita belum menyadarinya dan lebih banyak berprasangka buruk kepada Allah.
Beginilah ceritanya…
Berita gembira namun miris itu aku dapatkan setelah aku ditelepon oleh adik perempuanku. Sebuah berita gembira, karena memang berita inilah yang selalu aku nantikan. Kata adikku lewat telepon, aku ingin dibelikan laptop baru, wow kontan saja aku yang sedang makan di warteg depan kontrakan, sejenak aku pending. Kemudian masih lewat telepon aku diminta pulang untuk menentukan merk apa yang akan dipilih. Aku yang masih di Semarang tentunya memilih laptop dengan merk dan kualias terbaik, wong disuruh milih kok. Aku meminta kepada adikku agar laptopnya dikirim lewat jasa pengiriman berhubung sudah mendekati ujian, juga karena bertepatan dengan arus balik mahasiswa ke kampus. Tapi adik dan ayahku bersikeras agar aku pulang walaupun hanya sehari saja. Akhirnya tanpa berfikir panjang aku segera membeli tiket kereta ekonomi jurusan Stasiun Poncol- Jakarta. Pukul 11.00 aku ditelpon oleh adikku dan pada hari itu pula tepatnya pukul 12.30 aku berangkat ke Stasiun. Sampai di stasiun aku harus sedikit sabar menunggu petugas loket, karena loket baru akan dibuka pukul 14.00, aku tidak tahu mengapa harus dimulai pada pukul tersebut.
Aku menghabiskan waktu dari kontrakanku menuju stasiun dengan menggunakan jasa bus sekitar satu jam. Sehingga aku harus menunggu loket dibuka sekitar setengah jam.
Setelah loket dibuka dan mengantri dibelakangi beberapa orang, aku berhasil membeli tiket kereta dan mendapat tempat duduk. Alhamdulillaah aku senang sekali. Setelah tiket kudapatkan akupun lantas bergegas kembali ke kontrakan untuk berkemas-kemas. Aku harus mengejar sang waktu agar aku bisa kembali ke Stasiun minimal satu jam sebelum pemberangkatan pukul 19.00.
Setelah sampai diwisma aku langsung beres-beres dan mencari teman yang bisa mengantarkanku sampai stasiun. Sudah meminta sana dan meminta sini aku belum mendapatkan seorangpun yang bersedia mengantarkanku ke Stasiun. Padahal aku sudah memberi tahu untuk bensin aku yang tanggung. Tapi waktu sudah menunjukan pukul 14.00 aku belum mendapatkan seseorang yang bersedia mengantarkanku. Aku semakin panic, jika terus-terusan menghabiskan waktu untuk mencari seorang kesana-kesini nanti waktuku akan habis, dalam hati apakah aku harus naik bus saja? Padahal menunggu bus pun butuh waktu yang cukup lama, melihat jarangnya bus yang lewat.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah ada seorang teman yang bersedia mengantarkaku sampai stasiun namanya Mas Cahyudi teman satu kontrakanku, jurusannya adalah Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP angkatan 2007. Ia asli Lombok Nusa Tenggara Barat. Ia bersedia mengantarkanku menuju stasiun Poncol.
Tembalang hari itu mendung sekali seolah-olah hujan mau tumpah ruah, tapi anehnya tidak tumpah-tumpah, hanya gerimis kecil saja. Akhirnya sekitar pukul 16.10 kita berangkat dari Tembalang menuju Stasiun Poncol dan kurang dari setengah jam kita sudah sampai disana. Aku sangat berterima kasih sekali kepada Mas Cahyudi yang sudah berbaik hati dan bersedia mengantarkanku sampai ke Stasiun. Akupun berjabat tangan dan berpelukan dengannya. Ia kembali ke tembalang, kulihat ia berbalik arah, menjauh dan semakin menjauh hingga tak terlihat lagi sosoknya. Aku langsung masuk kedalam Stasiun. Aku duduk-duduk di kursi yang disediakan. Sambil menunggu shalat magrib, aku menikamati suasana hiruk pikuk stasiun. Ada yang terburu-buru mengejar kereta yang dianggapnya mau berangkat padahal belum berangkat. Ada penjual nasi, minuman, dan lalu lalang petugas kereta api. Sesekali aku membaca buku. Untungnya aku membawa buku, jika tidak mungkin waktuku akan terbuang sia-sia untuk melamun dan memperhatikan hiruk pikuk stasiun saja. Aku membaca buku “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1” kumpulan surat dan memoar Imam Asy Syahid Hasan Al- Banna dari Mesir. Akhirnya magrib pun tiba. Usai solat, aku langsung naik kereta. Duduk di kursi yang disediakan sesuai kode huruf yang kudapat. Waktu itu menunjukan pukul 18.30. Setengah jam lagi aku berangkat. Sambil meletakan barang-barangku ditempat barang yang disediakan tidak jauh dari kursi. Aku seperti biasa menyapa penumpang lain yang berhadapan denganku bertanya asal dan tujuan pemberangkatan. Akhirnya pukul 19.05 keretapun berangkat.
Pukul 03.30 dini hari kereta sampai di Stasiun Senen. Seperti biasa aku langsung menuju mushola sholat subuh. Alhamdulillah aku sudah menjama solat Isya ketika sholat magrib di Stasiun Poncol. Setelah solat aku menuju kearah tempat KOPAJA yang seperti biasa membawa penumpang kearah Lebak Bulus. Dengan keadaan fisik yang sedikit remuk karena hampir semalaman berada didalam kereta, sudah pasti aku tidak bisa tidur dengan nyaman, karena aku harus selalu waspada dengan barang-barang bawaanku. Rasa kantukpun menemaniku ketika dalam perjalanan menuju terminal Lebak Bulus. Sesekali aku tertidur dan terbangun didalam KOPAJA butut itu. Kota Jakarta dipagi hari cukup sepi dan hening KOPAJA butut itu melesat cepat, rata-rata dengan kecepatan 80 km/jam. Aku salut dengan Pak Supir yang edan itu. Sepertinya ia sudah tak sayang lagi dengan KOPAJA bututnya, ia melaju cepat sekali, ada lubang kecilpun ia libas, sehingga terdengar keras sekali bunyi-bunyi besi beradu. Sesekali kepalaku terantuk besi yang ada di depan kursiku, sakit sekali. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa protes, mungkin penumpang-penumpang yang lain juga berfikiran sama denganku. Hanya menyimpan rasa jengkelnya didalam hati. Jakarta dipagi hari cukup megah, dikanan kiriku berdiri bagunan-bangunan megah bertingkat tingkat menunjukan kesombongannya. Tapi walaupun megah tetaplah ia Jakarta, Kota keras yang menyimpan banyak seribu cerita pedih bagi mereka-mereka yang tidak mampu hidup dan bersaing.
Aku menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Setelah sampai di Terminal Lebak Bulus, aku langsung disambut dengan angkot biru kearah Parung dengan nomor trayek 106. Haripun semakin siang. Lalu lalang kendaraanpun semakin ramai dengan angkutan-angkutan umum dan juga kuda besi. Perjalananku dari Lebak Bulus kearah Parung tidak semulus seperti dari arah Stasiun Senen ke Lebak Bulus. Lalu lalang kendaraanku mulai bermunculan. Serbuan kendaraan roda dua dari arah Bogor seperti prajurit-prajurit perang, ramai sekali. Namun demikian akhirnya aku sampai ke Perempatan Pasar Parung dengan keadaan selamat.
Dari Pohon Jublek yang menjadi ikon si Pasar Parung, aku berjalan kaki kearah Ciseeng. Menuju arah Ciseeng, ayahku sudah menungguku didepan bengkel mesin jahit. Dari kejauhan ayahku sedang memarkirkan motornya, sepertinya ia juga sedang memperhatikanku dari kejauhan. Akupun mendekat, sambil mengucapkan salam, ku jabat dan ku cium tangan yang sudah mulai keriput itu. Tanpa banyak bicara sebagaimana ciri khas ayahku, ia langsung memboncengiku sampai rumah. Setelah sampai dirumah sekitar pukul 06.45, seperti biasa ibu dan keluarga menyambutku, bertanya-tanya perihal perjalananku.
Akupun langsung menuju kamar dan ambruk di tempat tidur. Sejenak cerita selesai karena aku dalam keadaan tidur, hehe. Siang pukul 11.00 aku terbangun dan mulai bertanya-tanya perihal laptop baru yang dijanjikan itu. Aku hanya punya kesempatan dirumah hanya dua hari. Tanggal 3 ketika aku sampai adalah hari Jumat. Aku kira sales laptop yang menawarkan laptop itu selalu stand by jika orang tuaku menghubungi dan meminta laptop itu di bawa kerumah, namun ceritanya menjadi lain, si Sales itu sedang tidak berada dirumah. Akupun memberitahu tentang perihal keberangkatanku kembali ke Semarang, namun ia benar-benar belum bisa mengabulkan membawakan laptop hari Jumat sedangkan hari sabtu minggu perusahaannya laptopnya tutup. Aku juga menjadi jengkel sendiri entah kepada diriku yang saking bahagianya sampai tidak terpikirkan aku pulang disaat yang kurang tepat. Aku juga mempersalahkan adik dan ayahku mengapa mereka memaksa menyuruhku pulang.
Dirumah aku hanya menggigit jari. Tidak jelas apa yang harus aku lakukan. Ujian sudah dekat, mata kuliah pada hari pertama yang diujikan adalah Bahasa Belanda. Jujur saja aku benar-benar kesulitan belajar Bahasa Belanda, gelap sekali. Banyak kosakata yang belum aku pahami, sedangkan buku-bukuku tertinggal di Semarang, lalu bagaimana aku memantapkan mata kuliah itu untuk ujian besok? Aku belum sepenuhnya siap. Tapi ketika aku berada dirumah, aku menghabiskan waktu untuk mendalami “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin” dan alhamdulillah hampir setengah jilid buku yang tebalnya 336 halaman itu aku selesaikan.
Tanggal 4 Januari pukul 14.00 dengan hati dongkol, aku pamit dan kembali ke Semarang. Uang saku yang tersisa aku pakai untuk ongkos ke Semarang. Sehingga ayah tidak perlu memberi uang tambahan lagi. Seperti biasa sebelum ayah mengantarkan aku ke Masjid Riyadlu Shalihin (Marisha). Sesuai dengan pesan nenek yang rumahnya tidak jauh dengan rumah kami, aku mempir sejenak kerumah nenek yang sudah sangat renta. Pendengarannya pun sudah lemah sekali. Sehingga aku harus mengeluarkan tangan ekstra keras sekali. Kulihat nenek sedang berada dibelakang rumah, menyapu halaman belakang. Aku hampiri nenek yang membelakangiku. Ia tidak menghiraukan aku sama sekali mungkin karena pendengarannya lemah, jadi ia tidak merasakan kedatanganku. Ia seperti biasa menyapu. Karena aku harus berpacu dengan waktu, aku menyapa nenek dengan mengucapkan salam terlebih dahulu, tentunya dengan suara yang sedikit menggelegar. “Assalaamu’alaikum! sapaku. Baru ia nengok “eh ntong mau balik lagi ke Semarang? Kok cepet benerr? Sambil kujabat tangan nenek aku menjawab pertanyaan nenek “IYA YOT SAYA BESOK ADA UJIAN JADI HARUS PULANG KE SEMARANG LAGI”. Ia terlihat sedikit menyayangkan kepulanganku ke Semarang yang super singkat itu. oyot (panggilan untuk nenek dan engkong panggilan untuk kakek) lantas mengeluarkan uang disakunya sebesar 20.000 rupiah dan memberikannya kepadaku. “udah simpen aja yot buat jajan oyot aja, klo saya mah udah ada” jawabku. Ia lantas berujar lagi dengan logat Betawi “ati-ati yaa tong, ntong kan mau pergi jauh ntar ntong ora sempet nemuin oyot lagi” katanya. “nanti juga saya balik lagi yot” ia berujar lagi “oyot mah takut kayak engkong dulu” katanya.
Memang dahulu ketika aku pertama sekali ke Semarang aku sempat berpamitan dengan kakekku ketika ia masih hidup. Aku ingat sekali kata-kata terakhir yang kakek ucapkan kepadaku “ntong sekola jauh amaat di Jawa, engkong mah lagi sakit sakitan, engkong di atas kasur melulu sekarang mah moga-moga aja nanti pas pulang ntong masih sempet nemuin engkong lagi, engkong mah takut nanti pas pulang engkong dah mati”. Kakeku seolah-olah sudah merasakan bahwa ajalnya memang tidak akan lama lagi. Dan ucapannya ternyata benar ketika hari pertama ujian, aku mendapat kabar dari ayahku via telepon bahwa kakek sudah menutup mata. Aku kaget bukan kepalang. Jika saat itu belum ujian mungkin aku langsung pergi ke Stasiun untuk membeli tiket pulang. Namun karena masih minggu-minggu ujian terpaksa aku harus fokus terlebih dahulu dengan ujian. Dan setelah ujian usai aku baru pulang dan aku merayakan tahlilan pada saat hari yang ke tujuh.
Setelah berpamitan dengan nenek aku langsung menuju perempatan Pasar Parung. Disana ngkot biru jurusan Lebak Bulus dengan nomor trayek 106 sudah siap menunggu. Seperti biasa aku mencium tangan ayahku sebagai tanda perpisahan. Ayahku yang tidak banyak bicara hanya berucap “ati-ati loe!” aku menjawab singkat “Ya”. Ia langsung berbalik arah dan menghilang. Setelah menunggu sekitar lima menit akhirnya angkot yang ku tunggu-tunggu datang juga.
Sore itu suasana ramai sekali waktuku terbuang sia-sia dijalan, aku terjebak macet. Kemacetan mulai aku rasakan di sekitar Pondok Cabe Jakarta Selatan. Dengan kesabaran hati akhirnya aku sampai si Terminal Lebak Bulus Pukul 18.30. Biasanya pukul 18.30 seharusnya aku sudah berada di Terminal Pukul 18.00 jadi aku terlambat sekitar.
Tidak berapa lama dari terminal aku langsung naik KOPAJA jurusan Lebak Bulus-Pasar Senen. Kopaja yang tampangnya sudah usang itu melesat dengan cepat. Namun dasar memang Jakarta saat itu bertepatan dengan arus balik karyawan dari Jakarta menuju Bogor dan sekitanya, sehingga aku sesekali terjebak kemacetan. Hal yang paling membosankan adalah ketika dalam keadaan terjebak macet. Asap kenalpot dan udara Jakarta yang panas membuat kepalaku sedikit pening. Ditambah dengan banyaknya pengamen-pengamen jalanan yang kerak masuk KOPAJA. Dari Lebak Bulus hingga Stasiun Senen, sudah tiga pengamen masuk bus. Mulai dari pengamen yang benar-benar menghibur dengan indah dan merdu suaranya, sampai engamen yang bernyanyi tanpa nada alias buruk sekali suaranya. Muncul firasat tidak enak didalam pikiranku, apakah aku dapat tiket nanti?.
Akupun tiba di Stasiun pukul 20.30 dengan fisik yang mulai melemah, ditambah barang-barang bawaan yang beratnya sekitar 2 kg semakin menguras fisikku. Padahal aku hanya membawa 2 stel pakaian dan 2 stel celana ditambah 1 buku. Tapi terasa berat sekali. Dan firasaku benar 100% aku kehabisan tiket kereta api Tawang Jaya. Aku menguatkan hati dengan kata-kata yang tertulis “TUTUP tiket habis kapasitas penumpang sudah 150%”.
*SEKIAN*


Tidak ada komentar: