Rabu, Oktober 19, 2011

Belajar Itu Asyik


Manusia merupakan makhluk pembelajar. Hal ini dapat kita lihat hingga saat ini manusia sebagai makhluk yang dibekali akal oleh Sang Pencipta selalu membuat pembaharuan dan pembaharuan, baik dari sisi sains dan teknologi. Pembaharuan-pembaharuan ini terjadi karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu selalu ingin tahu. Manusia sebagai makhluk berbudaya selalu bertanya tentang segala sesuatu yang ada disekeilingnya. Rasa ingin tahu dan selalu bertanya itulah yang semakin membuatnya penasaran, kemudian dari rasa penasarannya maka timbul keinginan untuk belajar dan mengkaji untuk mengungkap setiap misteri yang senantiasa menghantui benaknya.
Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, maka dorongan untuk belajar dan mengkajipun kian dinikmati. Ia tidak akan merasa puas selama tembok-tembok misteri yang menghalanginya masih angkuh menutupinya dari kebenaran. Ia akan terus dan terus mencari sampai ia menemukan apa yang ia cari yaitu kebenaran yang hakiki.
Untuk mencari kebenaran yang hakiki itulah, maka manusia dalam proses pencariannya melakukan berbagai macam usaha-usaha untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya mengenai sesuatu yang ia cari. Salah satu usaha-usaha dalam proses pencarian itu adalah belajar.
Saat ini makna belajar telah direduksi. Belajar sering dimaknai sebagai sebuah aktivitas yang identik dengan institusi sekolah dengan waktunya yang dibatasi. Padahal belajar ya belajar, kapanpun dan dimanapun, oleh siapapun dan dari siapapun. Kegiatan belajar bukan disekolah saja, kegiatan belajar ada dimana-mana, di rumah, di jalan, di hutan, di pantai dan sebagainya. Dan waktunya pun bisa dilakukan dalam kondisi apapun tidak hanya ketika pada hari-hari biasa saja, namun juga bisa dilakukan di hari-hari libur.
Belajar itu Asyik apa lagi yang kita pelajari adalah sesuatu yang kita minati dari lubuk hati. Belajar itu Asyik apa lagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah orang yang kita senangi. Belajar itu Asyik apalagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah seorang yang mengajarkannya dengan hati, belajar itu Asyik apalagi seseorang yang membantu kita dalam belajar adalah seorang yang membimbing dengan penuh pengertian bukan menuntut apalagi menghakimi.
Menurut hemat penulis, Asyik dan tidak Asyiknya dalam proses belajar sesungguhnya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
  1. Cara Guru dalam menyampaikan materi
Di sekolah formal maupun non formal, sosok guru dalam proses tidak dapat dipisahkan. Guru siapapun orangnya dan dari mana asalnya merupakan sosok yang memiliki ilmu yang “lebih” dari murid-muridnya. Baik dari kapasitas ilmunya, keteladanannya maupun pengalamannya. Ia adalah sosok rujukan bagi para murid, tidak hanya dijadikan rujukan dalam sisi intelektualitas saja, namun juga dari sisi keteladan sikapnya. Asyik dan tidak Asyiknya dalam proses belajar sesungguhnya lebih kepada proses penyampaian bukan isinya. Karena materi pelajaran adalah sesuatu yang netral. Materi pelajaran akan diterima dengan baik oleh para murid jika proses penyampaiannya pun baik begitupun sebaliknya materi pelajaran akan sukar diterima oleh para murid jika proses penyampainnya kurang baik. Hendaknya para guru tidak hanya berpatokan dengan kuantitas materi pelajaran yang disampaikan atau jumlah pertemuan yang dilakukan, tapi para guru hendaknya mempertimbangkan kualitas penyampaian materi. Para guru hendaknya introspeksi diri, sudahkan ia secara sepenuh hati dalam menyampaikan materi? Sudahkah ia menyelami dunia para murid-muridnya? Sudahkan ia menyampaikan dengan hati yang tulus?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih sebatas proses penyampaian belum lagi mempertanyakan kapasitasnya secara intelektual sebagai seorang pendidik. Kapasitas intelektual seorang guru sangat mempengaruhi dalam proses penyampaian materi pelajaran. Karena seorang guru yang kurang memahami materi yang akan disampaikan akan mempunyai kecendrungan kurang menarik dalam proses penyampaiannya. Kecendrungan guru-guru seperti itu hanya menyampaikan materi seperti benda mati kering tanpa makna. Hal inilah yang menimbulkan kejenuhan dikalangan murid-murid. Sebagian guru sering kali tidak mengabaikan kondisi psikologis para murid-muridnya. Seolah-olah menjadi seorang guru hanya sebatas menggugurkan kewajiban saja. Datang ke sekolah secara rutin kemudian menyampaikan materi-demi materi hanya sekedar mengejar target layaknya sebuah industri. Dari sebagian guru yang rutin itu jika di analisis lagi hanya berapa persen dimulai dari proses penyampaian serta kapasitasnya sudahkan berkualitas ?. Bahkan celakanya ada sebagian guru yang jarang masuk ke sekolah dan jika masuk pun hanya sekedar menyalin catatan dari buku pelajaran ke papan tulis, kemudian memerintahkan murid-muridnya untuk menghafalkannya. Jika kita jeli memperhatikan perilaku murid-murid dalam menilai guru tentunya bisa kita jadikan landasan untuk mengambil kebijakan dalam menilai guru. Kita sering melihat jika dipenghujung kelulusan para murid akan menceritakan pengalaman mereka mengenai guru-guru kesayangan dan guru-guru yang paling membosankan. Biasanya guru-guru yang menjadi idola adalah tipe guru yang selalu memposisikan diri sebagai teman dan tidak mengambil jarak dengan murid-muridnya. Ia senantiasa hadir dan memiliki perhatian terhadap kondisi murid-muridnya. Dengan kata lain seorang guru adalah sahabat yang keberadaanya tidak hanya menstransfer ilmu saja, namun ia menjadi orang tua yang senantiasa membimbing dan merasuk kedalam relung-relung emosi murid-muridnya.
Memang sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang guru yang ideal. Namun hendaknya seorang guru adalah manusia-manusia yang berkualitas dan menjadi sosok-sosok inspirator bagi murid-muridnya. Karena dari sosoknyalah penerus-penerus bangsa ini akan dilahirkan. Seorang guru hendaknya sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam petuahnya yang terkenal Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madio Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yang artinya di depan harus memberi teladan, ditengah-tengah membangun karsa atau ide, dan di belakang memberi dorongan atau motivasi. Jelas pesan tersebut lebih memanusiakan manusia bukan menjadikan manusia menjadi alat produksi seperti robot.
  1. Suasana dan tempat belajar
Seperti saya sudah paparkan diatas bahwa belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Belajar tidak hanya terkungkung dalam bangunan sekolah saja. Belajar bisa dilakukan di alam terbuka, ditengah-tengah masyarakat, dirumah, di tempat-tempat bersejarah dan sebagainya. Adakalanya kejenuhan ditimbulkan karena suasana belajar yang monoton. Tidak terjadi dinamisasi dalam proses belajar dan mengajar baik dari pihak guru dalam menyampaikan maupun dari suasana tempat belajar. Sehingga kejenuhanpun tidak bisa dihindari lagi. Kondisi jenuh inilah yang seharusnya segera di antisipasi oleh pengelola pendidikan juga khususnya oleh para guru. Jangan biarkan kejenuhan menghantui murid dalam belajar. Karena perasaan jenuh menyebabkan tidak terserapnya pengetahuan-pengetahuan secara optimal oleh murid.
Kondisi tempat belajar sangat berpengaruh terhadap antusiasme murid. Tentunya akan terasa berbeda ketika belajar didalam kelas dengan belajar di alam terbuka. Belajar tidak hanya dimaknai mendengarkan dan menghafalkan pelajaran-pelajaran yang ada didalam buku. Belajar bisa dilakukan dengan Learning By Doing ( belajar melalui tidakan ) seperti yang dilakukan oleh sekolah-sekolah alam. Menurut hemat penulis, sekolah-sekolah formal perlu meniru sistem yang diterapkan dalam sekolah alam. Belajar dengan secara langsung dipraktekan akan lebih berkesan dan tidak mudah dilupakan oleh murid. Para murid diasah karakter dan mentalnya melalui permainan-permainan yang mendidik. Bukan hanya diasah menjadi manusia-manusia ahli teori dan siap pakai seperti robot. Namun mereka lebih di bangun karakternya seperti kedisiplinan, kejujuran, rela berkorban, keberanian dan sebagainya. Suasana belajar harus egaliter tidak diskriminatif karena setiap murid memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Belajar di alam terbuka tidak harus selalu mengeluarkan biaya besar. Jika letak sekolah kebetulan terletak didesa, belajar dialam terbuka justru akan semakin mudah karena suasana desa yang masih asri. Namun jika letak sekolah berada di kota, belajar dialam terbuka bisa dilakukan di taman-taman kota, tempat-tempat bersejarah yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Sebenarnya jika seorang guru adalah orang yang kreatif dan memiliki kemauan maka akan lebih menghidupkan dan memberi semangat kepada murid sehingga belajarpun akan terkesan menyenangkan dan mengasyikan.
Seperti saya sudah jelaskan dalam alinea-alinea sebelumnya bahwa asyik atau tidak asyiknya proses belajar bagi para murid, lebih karena persoalan metode bukan isi. Oleh sebab itu perlakukanlah murid-murid kita dengan cara terbaik, sebagaimana kita juga ingin diperlakukan demikian. Berilah perhatian kepada mereka dengan sepenuh hati layakna kita juga ingin diperhatikan. Kita jangan pernah menganggap murid-murid sebagai “objek” anggaplah mereka sebagai “subjek”. Hal ini dengan sangat tajam telah di ajarkan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walaupun hingga saat ini tidak sedikit pula orang-orang melupakannya.

Tidak ada komentar: