Rabu, Oktober 19, 2011

Melihat kembali makna pendidikan serta perkembangannya


Latar Belakang 
 
Janji negara :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Memajukan kesejahtraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan. Dengan pendidikan, kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa dimata dunia internasional. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Daoed Joesoef tentang betapa pentingnya pendidikan: “pendidikan merupakan alat yang menentukan sekali untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam membina dan memilih hidup yang baik,yang sesuai dengan martabat manusia”. Pendidikan akan terasa gersang apa bila tidak berhasil mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas (baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh factor-faktor pendidikan. Negara maju seperti Amerika tidak akan menjadi negara yang ditakuti dunia bila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan kita. Kemudian Jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya mengapa Jepang menajdi Negara berteknologi tinggi?. Jepang adalah negara yang menghargai pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan daripada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan.
Belakangan ini banyak masyarakat yang mengeluhkan sistem pendidikan di Indonesia. Seolah-olah pendidikan di Indonesia tidak pernah habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli dengan pendidikan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya wacana-wacana serta kritik-kritik terhadap lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan dianggap belum mampu mencetak generasi-generasi yang berkarakter dan bermoral baik. Bisa dikatakan pendidikan sudah jauh melenceng dari hakikat pendidikan yang sebenarnya dan sama sekali tidak sesuai dengan yang dicita-citakan para pejuang-pejuang pendidikan terdahulu salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1999. Lembaga survey internasional The Polotical and Economic Risk Consultancy (PERC), menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup dikawasan Asia. Dalam laporan surveinya yang ditunjukan dalam skala 0 (nol) hingga 10, dimana nilai nol menunjukan kondisi paling ideal, Singapura mencatat angka rata-rata 1,55 untuk korupsi dan 2,75 untuk kronisme. Hongkong masing-masing mencatat angka 4,56 dan 3,68. Sementara Jepang mencatat angka masing-masing 4,25 dan 4. Disisi lain Indonesia mencatat skor paling buruk, yakni 9.91 untuk korupsi dan 9.09 untuk kronisme.
Kemudian berdasarkan salah satu tulisan di Kedaulatan Rakyat, 2 Mei 2006 disebutkan bahwa dari tahun ke tahun pendidikan Indonesia selalu menempati urutan ke sekian ratus dari ratusan negara yang di survei. Misalnya pada tahun 2003, mutu pendidikan negara kita menurut hasil penelitian Human Depelopment Index (HDI) pendidikan di Indonesia menempati urutan ke 112 dari 175 negara. Padahal di era 50-an Malaysia mengimpor guru dari negara kita tercinta dan sekarang menempati urutsn ke- 58. Kemudian Singapura menempati urutan ke-28. Padahal Singapura mencontoh konsep pendidikan yang di idekan oleh Ki Hajar Dewantara. 
 
Rumusan Masalah 
 
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis berusaha merumuskan masalah yang nanti akan berusaha di jawab dalam Bab Pembahasan. Rumusan masalah tersebut antara lain:
  1. Bagaimana pendidikan dimaknai dari waktu ke waktu?
  2. Bagaimana arah tujuan pendidikan pemerintah?
Tujuan Penulisan 
 
Makalah ini ditulis bertujuan untuk menguraikan dinamika pendidikan dari waktu ke waktu, guna mencari permasalahan mendasar yang selalu menjadi momok bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sehingga dengan melihat masalah-masalah mendasar tersebut akan di peroleh rumusan-rumusan solusi untuk menangani permasalah pendidikan di Indonesia. 
 
Kepustakaan 
 
Dalam makalah sederhana ini penulis menggunakan sumber-sumber buku dan artikel baik dari sumber cetak maupun sumber elektronik. Salah satu buku yang penulis jadikan pedoman ialah tulisan M. Joko Susilo yang berjudul Pembodohan Siswa Tersistematis. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang dikutip dari berbagai media khususnya artikel serta reportase mengenai seluk beluk pendidikan di Indonesia. Didalam buku tersebut juga terdapat tawaran-tawaran mengenai konsep pendidikan untuk masa depan. Selain itu karena penulis mengalami keterbatasan sumber literature, maka penulis mencari sumber alternatif yaitu sumber-sumber dari internet. Dalam bahasan mengenai sejarah pendidikan, penulis banyak mengutip artikel-artikel dari internet. 
 
Pembahasan 
 
Makna Pendidikan

Freitz R Tambunan (2004) menjelaskan bahwa kata pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harfiah berarti “menarik keluar dari” sehingga pendidikan adalah sebuah aksi membawa seseorang pais (anak atau peserta didik) keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung, kesituasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri dan bertanggung jawab. Pendidikan yang demokratis tidak bertujuan menciptakan manusia siap kerja, tetapi membentuk manusia matang dan berwatak yang siap belajar terus, siap menciptakan lapangan kerja (Job Creator), dan siap mengadakan transformasi diri lewat pendidikan. Maka pendidikan adalah sebuah proses pedagogis (dari kata Yunani pais-paidea) dimana seorang pais dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi seorang Human – manusia matang, intelek, dan Kultural. John Dewey (1916), dalam Freitz Tambunan (2004) menyampaikan pesan revolusioner: masyarakat yang demokratis harus menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua warganya serta kualitas yang sama. Kemudian Horance Mann berpendapat bahwa hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan. Tujuan pendidikan dalam suatu negara demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan lainnya.

Sejarah Pendidikan di Indonesia

Pendidikan Pada Masa Hindu-Budha

Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman, putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman. Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan. Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa (India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala. Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi pendahuluan dan persiapan lainnya.
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi. Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal). Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Pada masa Hindu-Budha, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa: (1) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi; (2) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain; (3) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu; (4) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.


Sejak abad ke-7 M, lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai (dikenal sebagai jalur perdagangan “Po-ssu” atau Persia). Daerah-daerah pesisir yang kala itu merupakan vassal (bawahan) dari kerajaan inti yang terletak di pedalaman, menjadi tempat persinggahan yang menarik bagi para pedagang dari banyak negeri seberang seperti Arab, Persia dan India. Nilai-nilai baru yang dibawa para pedagang muslim semisal dari Gujarat diterima hangat oleh raja-raja pesisir. Sebagaimana kemudian tercatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam permulaan di Indonesia muncul di daerah pesisir seperti kerajaan Perlak (1292) dan kerajaan Samudera Pasai (1297). Dari sini pula dapat terbaca bahwa penyebaran Islam di Indonesia bermula dari pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir Sumatera Utara (jalur Selat Malaka) baru kemudian menyebar ke Jawa dan seterusnya ke wilayah Timur Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. Metode pembelajaran adalah sorogan (murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru) dan halaqah atau wetonan (guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama). Mereka yang kemudian berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai (guru/pengasuh), santri (murid), masjid, pemondokan (asrama) dan kitab kuning (referensi atau diktat ajar). Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar/masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa dan sastra Arab, tafsir, hadits, fikih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh dan lainnya. Di pesantren, seorang santri memang dididik agar dapat menjadi seorang yang pandai (alim) di bidang agama Islam dan selanjutnya dapat menjadi pendakwah atau guru di tengah-tengah masyarakatnya.
Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin beroleh perhatian. Contoh paling menarik untuk disebutkan adalah sistem pendidikan Islam yang tampak telah terstruktur dan berjenjang di kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874). Secara formal, kerajaan ini membentuk beberapa lembaga yang membidangi masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Balai Seutia Hukama (lembaga ilmu pengetahuan); (2) Balai Seutia Ulama (jawatan pendidikan dan pengajaran); (3) Balai Jamaah Himpunan Ulama (kelompok studi para ulama dan sarjana pemerhati pendidikan). Adapun jenjang pendidikannya dapat disebutkan sebagai berikut: (1) Meunasah (madrasah), berada di tiap kampung. Disini diajarkan materi elementer seperti: menulis dan membaca huruf hijaiyah, dasar-dasar agama, akhlak, sejarah Islam dan bahasa Jawi/Melayu; (2) Rangkang (setingkat MTs), berada di setiap mukim. Disini diajarkan Bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fikih dan lain-lain; (3) Dayah (setingkat MA), berada di setiap ulebalang. Materi pelajarannya meliputi: fikih, Bahasa Arab, tawhid, tasawuf/akhlak, ilmu bumi, sejarah/tata negara, ilmu pasti dan faraid; (4) Dayah Teuku Cik (setingkat perguruan tinggi atau akademi), yang di samping mengajarkan materi-materi serupa dengan Dayah tetapi bobotnya berbeda, diajarkan pula ilmu mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin ketika memerintah kerajaan Perlak (1243-1267 M) disebutkan pernah mendirikan majelis ta’lim tinggi, semacam lembaga pendidikan tinggi yang dihadiri oleh para murid yang sudah mendalam ilmunya untuk mengkaji beberapa kitab besar semacam al-Umm karangan Imam Syafi’i. Pembiayaan pendidikan pada masa- tersebut berasal dari kerajaan. Tetapi perlu dicatat disini bahwa hal ini sangat tergantung pada kondisi kerajaan dan faktor siapa yang sedang menjadi raja.

Pendidikan di Zaman Kolonial Portugis

Penjelajahan bangsa Portugis, seperti disebutkan B. Schrieke, hingga sampai ke Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbenturan antara dunia Islam –dunia Barat sejak abad pertengahan dan juga dukungan kemajuan bidang militer dan kemaritiman mereka. Beberapa peristiwa penting yang lekat dalam ingatan yang melatari hal ini antara lain: (1) Konsili Clermont tahun 1095 M dimana Paus Urbanus II mendeklarasikan Perang Salib melawan dunia Islam; (2) Konstantinopel, pusat imperium Bizantium, direbut Sultan Muhammad II tahun 1453 M; (3) Bulla Paus berjudul Romanus Pontifex tertanggal 8 Januari 1455 M yang berisi pernyataan menghadiahkan Afrika untuk dikristenkan oleh Portugis; (4) Kota Granada lepas dari kekuasaan Islam tahun 1492 M; (5) Bulla Paus berjudul Inter Caetera Divinae tahun 1493 M membagi dunia menjadi dua bagian, masing-masing untuk Portugis dan Spanyol; (6) Perjanjian Tordesillas tanggal 7 Juni 1494 M, menguatkan Bulla Paus tahun 1493 M, memberi hak istimewa kepada dua bangsa tersebut untuk melakukan conquistadores (penaklukan).
Portugis pertama kali singgah di Malaka tahun 1509 M setelah sebelumnya menaklukkan kerajaan Goa di India. Ini berarti Portugis hadir di Indonesia hampir satu dekade setelah Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak di pulau Jawa. Tahun 1511 M Malaka sudah dapat dikuasai oleh Portugis di bawah Afonso de Albuquerqe (1459-1515 M). Dua tahun kemudian, Pati Unus putra Raden Patah memimpin armada menyerang kekuasaan Portugis di Malaka, tetapi berakhir dengan kegagalan. Berikutnya Portugis bergerak untuk menguasai daerah rempah-rempah yang berpusat di Maluku (berasal dari istilah bahasa Arab: Jazirat al-Mulk, yakni kepulauan raja-raja). Ketika Portugis menjejakkan kakinya di Maluku, seperti diutarakan oleh Russell Jones, Islam telah mengakar di kalangan penduduk setempat sekitar 80 tahun. Di daerah ini khususnya Ambon, melalui peran ordo Jesuit hingga tahun 1560 M, tercatat ada sekitar 10.000 orang yang memeluk Roma Katholik dan bertambah menjadi 50.000 hingga 60.000 pada tahun 1590 M. Sementara ordo Dominikan mampu mengkonversikan kedalam agama Roma Katholik sekitar 25.000 orang di kepulauan Solor. Dari catatan Ismatu Ropi, Katholik Roma ini merupakan fase kedua masuknya Kristen ke Indonesia melalui jasa ordo Jesuit di bawah payung organisasi Society of Jesus dan ordo Dominikan yang turut hadir bersama armada Portugis. Fase pertama adalah masuknya Gereja Timur Nestorian yang ditengarai sempat muncul di Sibolga Sumatera Utara sekitar abad ke-16 juga. Sedangkan fase ketiga adalah Kristen Protestan yang muncul bersamaan dengan armada pelayaran Belanda.
Praksis pendidikan pada masa Portugis ini secara mendasar dikerjakan oleh organisasi misi Katholik Roma. Baru pada tahun 1536, di bawah Antonio Galvano, penguasa Portugis di Maluku, didirikan sekolah seminari yang menerima anak-anak pemuka pribumi. Selain pelajaran agama, mereka juga diajari membaca, menulis dan berhitung. Sekolah sejenis dibuka di Solor dimana bahasa Latin juga diajarkan kepada murid-muridnya. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikan dapat pergi ke Goa – India yang ketika itu merupakan pusat kekuatan Portugis di Asia. Perkembangan pendidikan di zaman Portugis ini dapat dinyatakan berpusat di Maluku dan sekitarnya, sebab di daerah-daerah lain kekuasaan Portugis kurang begitu mengakar.

Pendidikan di Zaman Penjajahan Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
Kondisi pendidikan di zaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di zaman Portugis atau Spanyol. Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma. Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relative terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya. Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk, tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Jikalaupun ada, itu hanya berada di pusat konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya.
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual. Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool (Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
(2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
(3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
(4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya ditutup tahun 1755.
(5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
(6) Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.; (4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.
Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan) yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar, kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan (gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang, sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris. Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816) kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia.
Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892).
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat) golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera; dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing. Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1) Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.

Pendidikan di Zaman Pendudukan Jepang

 

 

Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4) Pendidikan Tinggi.
Guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M. Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; (2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3) Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1) Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2) Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Pendidikan Pasca Kemerdekaan
Dinamika formulasi cita-cita pendidikan nasional
Badan Pekerja KNIP mengusulkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (29 Desember 1945): (1) Perlu ada perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Yang paling mendasar adalah mengubah faham individualisme menjadi faham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. (2) Demi persatuan dan keadilan sosial, sekolah harus dibuka untuk segala lapisan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. (3) Sistem pendidikan perlu berorientasi vokasi, leadership dan pemberantasan buta huruf. (4) Pendidikan agama perlu diberi perhatian seksama dengan asas kemerdekaan beragama. Adapun madrasah dan pesantren sangat perlu mendapat perhatian dan bantuan nyata dari pemerintah. (5) Pengembangan optimal pendidikan tinggi termasuk memanfaatkan bantuan guru besar asing dan pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri. (6) Wajib belajar 6 tahun yang diharapkan telah merata dalam jangka waktu satu dekade (10 tahun). (7) Pendidikan teknik dan ekonomi khususnya pertanian, industri, pelayaran dan perikanan perlu mendapat perhatian istimewa. (8) Pendidikan kesehatan dan olahraga hendaknya dilaksanakan secara teratur. (9) Pendidikan gratis bagi siswa Sekolah Rakyat. Sedangkan bagi siswa Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi diupayakan pengaturan pembiayaan dan tunjangan yang luas agar dapat membantu akses bagi mereka yang kurang mampu.
Usulan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Mendikjar (Dr. Mr. T.S.G. Mulia) dengan membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara dengan penulis Soegarda Poerbakawatja. Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pengajaran ini adalah rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Mendidik warga negara yang sejati, sedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk warga negara dan masyarakat.” Pengertian “warga yang sejati” itu kemudian dijabarkan sifat-sifatnya dalam pedoman bagi guru-guru yang dikeluarkan oleh Kementerian PP dan K pada tahun 1946, yaitu: (1) Berbakti kepada Tuhan YME. (2) Cinta kepada alam. (3) Cinta kepada negara. (4) Cinta dan hormat kepada ibu-bapak. (5) Cinta kepada bangsa dan kebudayaan. (6) Keterpanggilan untuk memajukan negara sesuai kemampuannya. (7) Memiliki kesadaran sebagai bagian integral dari keluarga dan masyarakat. (8) Patuh pada peraturan dan ketertiban. (9) Mengembangkan kepercayaan diri dan sikap saling hormati atas dasar keadilan. (10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur baik dalam pikiran maupun tindakan. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu lebih menekankan pada aspek penanaman semangat patriotisme.
Pada bulan Desember 1949, terjadi perubahan ketatanegaraan dimana UUD 1945 diganti dengan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat. Meski landasan idiil (yaitu Pancasila) tidak berubah, tetapi formulasi tujuan pendidikan mengalami perubahan. Hal ini tampak dalam UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang disahkan oleh Presiden RI (Mr. Assaat) dan Mendikjar RI (S. Mangunsarkoro), yaitu: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”Rumusan tujuan pendidikan ini kemudian dituangkan kembali dalam UU No. 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang sesungguhnya merupakan pemberlakuan kembali UU No. 4 tahun 1950 untuk seluruh wilayah RI. Formulasi cita-cita ini menunjukkan bahwa pendidikan ketika itu telah mengadaptasi pemikiran demokrasi yang tengah berkembang sehingga sifat-sifat ini pula yang ditanamkan kepada generasi mudanya.
Tujuan pendidikan nasional kembali mengalami perubahan ketika politik negara dikendalikan faham Manipol-Usdek di bawah pimpinan Bung Karno sejak 1959. Dalam Kepres RI No. 145 tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila disebutkan bahwa: “Tujuan Pendidikan Nasional kita baik yang diselenggarakan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak Swasta, dari Pendidikan Prasekolah sampai Pendidikan Tinggi, supaya melahirkan warga negara Sosialis Indonesia yang susila, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya Masyarakat Sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila, yaitu: (a) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (b) Perikemanusiaan yang adil dan beradab, (c) Kebangsaan, (d) Kerakyatan, (e) Keadilan Sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol/Usdek.” Formulasi ini ternyata tidak bertahan lama karena peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 yang menyadarkan rakyat tentang motif politik PKI di balik cita-cita pendidikan tersebut. Selanjutnya, pada masa Orde Baru melalui Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah: “Membentuk manusia Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
Pada tahun 1973, MPR hasil pemilu mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973 yang dikenal dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya menyebutkan rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.” Tujuan ini kemudian mengalami reformulasi kembali dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.”
Demikianlah, melalui beberapa ilustrasi formulasi tujuan pendidikan dalam sejarah Indonesia dapat dipahami bahwa dinamika yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita sangat erat terkait dengan dinamika politik, ekonomi, serta sosio-kultural masyarakat. Pendidikan memang diakui sebagai wahana pencerdasan dan pembudayaan masyarakat, tetapi bagaimanapun juga, di samping faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi senantiasa saja menjadi pertimbangan yang memberi warna dan corak bagi perkembangan pendidikan yang ada.

formulasi cita-cita pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berikut ini:

Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional (Pasal 3).
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4).

Paradigma Pendidikan Masa Depan

Bagi negara, pendidikan merupakan salah satu tugas yang terpenting, karena pendidikan merupakan kebutuhan pokok manusia yang intimewa. Pendidikan merupakan hak manusia yang berakar dalam aneka kebutuhan pokok manusia sebab manusia tidak bisa mengembangkan hidupnya tanpa pendidikan minimum dan bermutu. Jika transfer cultural terjadi secara alamiah seperti pada masyarakat primitif, manusia akan tetap terbelakang dan tidak akan terjadi sebuah transformasi social yang perlu untuk meningkatkan mutu kehidupan. Sebagai makhluk budaya, manusia harus mengalami transfer cultural karena hanya dengan cara itulah manusia dapat mengatasi berbagai keterbatasan kodratnya. Tanpa pendidikan manusia akan tetap kerdil, tergilas kekuatan dan kekuasaan alam, terpenjara pesona magis misteri, dan seperti kata Asinov, tingkat kesadarannya hanya sebatas ide curiousity (instink) binatang dan tidak akan berubah menjadi creative curiousityi, cirri orang terdidik. Dengan demikian hak pendidikan bukan hanya sekedar kebutuhan pokok fisik, tetapi juga kebutuhan pokok yang khas manusiawi yang akhirnya didasarkan atas martabat manusia yang tidak bisa ditawar.
Begitu pentingnya pendidikan untuk kemajuan sebuah bangsa. Sindhuanata (2001) dalam Fretz R Tambunan (2004) mernerangkan bahwa pada tahun 1972 The International Comission For Education Development daru UNESCO sudah mengingatkan bangsa-bangsa, jika ingin membangun dan berusaha memperbaiki kehidupan sebuah bangsa, harus dimulai dengan pendidikan, karena pendidikan adalah kunci. Tanpa kunci itu egala usaha akan sia-sia. Kesadaran akan pendidikan inilah yang membuat negara maju memberikan prioritas tinggi terhadap pendidikan, mengadakan modernisasi dan penyempurnaan lembaga-lembaga pendidikan, tidak segan-segan mengadakan pembaharuan, termasuk meningkatkan anggaran pendidikan secara progresif.
Negara-negara maju melihat investasi di bidang pendidiakan akan menghasilkan high rate of return dimasa depan. Kini kemajuan disebuah negara makin diukur dengan semakin murahnya pendidikan yang bermutu sehingga tidak menjadi beban bagi warganya. Di Indonesia pendidikan masih menjadi beban berat, bahkan sudah distigma sebagai “kegelisahan disepanjang zaman”.
Pendidikan adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Tentu untuk menjalani proses tersebut tidak mudah, apalagi satus sekolah kita menurut Waras Kamdi (2004) “dibangun” dibawah subsuktural industry dan dunia usaha. Akibatnya terjadi diferensiasi pengetahuan disekolah-sekolah yang mendudukan siswa-siswa sekolah sebagai alat produksi. Mengarahkan pendidikan hanya untuk memenuhi tuntutan lapangan kerja membuat sekolah tidak jauh berbeda dengan pabrik-pabrik robot. Ini jelas bertentangan dengan esensi pendidikan itu sendiri yang ingin memartabatkan manusia dengan pengembangan berbagai macam kemampuan, bakat, talenta yang dimilikinya secara maksimal. Melaui paradigm baru pendidikan akan membawa arah perubahan baru pendidikan nasional. Pembaharuan itu akan berimplikasi sangat luas. Waras Kamdi (2004) menambahkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga ranah yang akan mengalami perubahan mendasar.
Pertama, perubahan visi kurikulum, dari visi kurikulum efisiensi social kekurikulum yang fleksibel dan egaliter, atau dalam sebutan lain dari watak kurikulum industrial kapitalistik ke demokratis. Kurikulum efisiensi social yang berakar pada tradisi pendidikan kita dikembangkan atas dasar kebutuhan spesifik masyarakat (ekonomik-industrial).
Ketika masyarakat mendefinisikan lapangan kerja (area okupasi) dan lembaga pendidikan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja dimasyarakat, kurikulum pendidikan disusun berdasarkan okupasi yang ada. Wujud nyatanya adalah KBK. Dengan demikian apa yang dikerjakan lembaga pendidikan sebagai instrument produksi menjadi terfokus dan efisisen. Karakteristik utamanya adalah manajemen keilmuan dan sekolah dikelola seperti pabrik, tujuan pendidikan dirumuskan dengan rigid berdasarkan analisis pekerjaan, muatan kurikulum bersifat utilitarian dan antgonisme terhadap muatan akademik tingkat tinggi, membedakan kurikulum berdasar pada prediksi peran social, dan pengukuran bersifat eksak dan standar yang cermat.
Sedangkan kurikulum yang fleksibel dan egaliter lebih sebagai strategi untuk membelajarkan orang, mengembangkan potensi individu. Karakteristik utamanya membuat semua siswa dapat belajar, subjek matter dituukan pada pencapaian (analisis, sintesis, dan evaluasi) dan kecakapan pemecahan masalah, member kesempatan yang sama kapada siswa yang beragam, mendidika anak kedalam wacana yang praktik disiplin akademik, otentik dalam hubungan atara belajar didalam dan diluar sekolah, pengembangan watak yang penting dan kebiasaan berfikir yang produktif, dan mendorong tumbuhnya praktik demokratik dimasyarakat.
Kedua, prubahan pada ranah pembelajaran. Praktik pembelajaran yang kini dikuasai oleh teknik asosiasi dan behavioristik akan digeser teori belajar kognitif dan konstruktivistik. Praktik belajar yang berbasis teori asosiasi dan behavioristik ditandai: konsepsi bahwa pikiran terbentuk oleh asosiasi stimulus-respons, belajar merupakan akumulasi butiran atomistic pengetahuan, belajar melalui irutan yang ketat, setiap tujuan pembelajaran dinyatakan secara eksplisit, test-teach-test sebagai pola umum jaminan belajar, tes isomorfis dengan belajar, dan motivasi berdasarkan reinforcement positif dalam tahapan belajar.
Dengan paradigma baru, praktik pembelajaran seperti itu akan digeser oleh praktik pembelajaranyang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara social dan cultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pegetahuannya sendiri dalam konteks social, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perpektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat belajar tingkat tinggi, dalam hal ini proses dinilai sama penting dengan hasil belajar, dan berfikir cerdas dikonsepsikan mencangkup “mentakognisi” atau kemampuan memonitor belajar dan berfikir sendiri. Seperti kerangka pikir Steven (1970), pembelajaran mengandung 2 hal, formation dan information. Pembelajaran ukan hanya mengusung informasi, tetapi juga proses membangun watak dan identitas personal.
Ketiga, prubahan strategi dan fungsi penilaian. Pengukuran yang eksak dan berstandar presisi dan teknik tes (objektif) terstandar dan isomorfis serta perannya sebagai alat untuk “menghakimi” siswa mengakar kuat pada tradisi pendidikan kita kini.
Paradigma baru yang mengajarkan kurikulum sebagai strategi untuk membelajarkan siswa, dan pembelajaran sebagai proses fasilitasi agar siswa mudah membangun pengetahuan, maka penilaian bukanlah terpisah dari proses belajar. Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran untuk mendudkung proses belajar, dan siswa aktif mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.

Tidak ada komentar: