Langit masih kelabu disekitar Terminal
Lebak Bulus Jakarta Selatan. Bayangan kilatan petir terlihat memantul
disisa-sisa genangan air hujan diatas permukaan jalan raya. Kilatan itu segera
diiringi gemuruh besar bagaikan suara ledakan bom dari jarak yang sangat jauh.
Gemuruhnya teredam oleh bisingnya kenalpot kendaraan yang berlalu lalang.
Memang sejak tadi sore hujan begitu deras mengguyur wilayah Jakarta Bogor dan
sekitarnya.
Aku masih beruntung tidak basah kuyup meskipun hujan menemani
sepanjang perjalanan. Aku sudah berada didalam angkot saat hujan mulai turun
deras sehingga butiran-butiran air hujan tidak sampai menerpa tubuhku.
Hampir setengah jam aku berdiri di Halte.
Waktu menunjukkan pukul 17. 25 WIB Namun kopaja yang ku nanti belum juga
datang. Mungkin untuk yang kesekian kalinya aku singgah pada halte yang sama
setiap kali melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Semarang. Ya, seperti
biasa halte kusam itu selalu penuh oleh para calon penumpang dari segala usia
mulai dari anak-anak, hingga kakek nenek berusia lanjut. Hampir semua mata
tertuju pada deretan angkutan jalan raya mencari-cari jenis angkutan yang
sesuai untuk mengantarkan perjalanan mereka. Teriakan lantang para kernet
memecah perhatian kami. Adakalanya para calon penumpang menganggukkan kepala
tanda terima. Namun adakalanya terikan para kernet itu dibalas dengan gelengan.
Aku masih berdiri tegak dengan
menggendong tas rasel terisi penuh disisi halte. Dengan tatapan siaga aku
memperhatikan satu demi satu kendaraan yang lalu lalang. Aku tidak ingin kopaja
yang kunanti-nanti sejak tadi terlewatkan begitu saja. Seperti kejadian yang
sudah-sudah karena asyik berbincang dengan calon penumpang lain, kopaja yang
kunanti sejak tadi terlewatkan begitu saja. Padahal untuk menunggu
kedatangannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Itulah uniknya menunggu di Halte
sekitar Terminal Lebak Bulus, meski ada halte, namun seperti tidak ada halte,
bus-bus terkadang tidak berhenti dihalte. Sehingga para penumpang tetap saja
kepanikan untuk memberhentikan bus dan Kopaja.
Yang ditunggu akhirnya datang juga.
Kopaja tua bernomor P.20 itu terlihat kecil dari kejauhan. Ia berada
ditengah-tengah jalan raya. Sesekali ia luput dari pandanganku karena
terhalangi oleh bus berukuran besar didepanya. Kopaja itu terus mendekat.
Suaranya berat.
Aku dan para penumpang lainnya melambai-lambaikan
tangan. Sang kernetpun mengkondisikan kendaraan lainnya agar memberikan
kesempatan agar kopaja itu bisa menepi. Kopaja sudah terlihat agak penuh.
Meskipun begitu kami tetap merangsek keatas. Tidak ada pilihan lain. Angkutan
umum murah meriah yang bisa mengantarkan kami langsung menuju Terminal Senen
hanyalah kopaja ini. Meski ada angkutan lain seperti taxi, tetapi karena
harganya yang lebih murah meriah, angkutan umum ini masih menjadi primadona.
Cukup mengeluarkan uang Rp 2000 kita bisa sampai ke Terminal Senen.
Aku sudah menduga bahwa aku pasti akan
berdiri didalam kopaja. Dugaanku bukanlah sembarang dugaan. Tetapi berdasarkan
pengalaman yang sudah-sudah. Apalagi muatan kopaja sebelum aku naiki saja sudah
terlihat penuh. Dan dugaanku benar sekali. Kursi didalam kopaja telah habis,
hanya ada ruang-ruang kosong di bagian paling belakang kendaraan dekat pintu
belakang, disela-sela kanan kiri kusi dan bagian paling depan dekat pintu
depan. Dibagian paling depan sudah ditempati beberapa penumpang yang sepertinya
sejak tadi berdiri. Dan yang menjadi perhatianku mungkin juga perhatian seluruh
penumpang adalah didalam kopaja yang sesak itu seorang ibu sambil menggendong
putrinya yang masih balita serta satu anak perempuan berusia sekitar lima tahun
disisinya begitu kompak bernyanyi. Dan kami mengerti mereka adalah pengamen
jalanan.
Sang balita polos itu begitu serius
menatap wajah bundanya yang sedang bernyanyi. Sesekali juga menatap wajah
penumpang lainnya. Terkadang ia meringis pelan pertanda tidak nyaman dengan
keadaan. Namun sang bunda terus menghiburnya agar tetap tenang. Sedangkan si
gadis kecil ini sambil berdiri terus bernyanyi dengan suaranya yang lantang dan
fasih. Entah lagu apa yang sedang ia dendangkan? Bunda dan si gadis kecil ini
begitu kompak. Meski nada-nadanya berantakan. Tetapi kekompakan suaranya
melantukan bait demi bait syair sungguh luarbiasa. Sebagian penumpang tersenyum
melihat si gadis kecil ini bernyanyi. Entah tersenyum bangga atau karena iba.
Perasaankupun teraduk menjadi satu. Seorang penumpang tua ibu-ibu begitu
antusias menyaksikan si gadis kecil bernyanyi. Posisi duduk sang ibu memang
tepat berada didepannya. Sesekali sang ibu tua spontan menggenggam lengan
tangan si gadis ketika tiba-tiba sang supir kopaja nge-rem mendadak menepi ke
pinggir menurunkan penumpang yang ingin berhenti. Ya, ada rasa kekhawatiran
yang wajar sang ibu tua itu. Ia khawatir apabila si gadis kecil yang sedang
asyik bernyanyi itu tersungkur. Dan setelah tarikan kopaja kembali normal,
kedua perempuan pengamen itupun terus berdendang.
“Maaah kapan pulang?” gadis kecil itu
bertanya kepada bundanya. Suaranya begitu lantang. Ia berhenti bernyanyi, hanya
suara bundanya terdengar sayup-sayup bernyanyi. “ Iyaaa nanti juga pulang!,
terusin nyanyinya”! ucap sang bunda kepada putrinya dengan nada agak keras. “
Horeee asyik pulang, Asyik pulang, akhirnya pulaaaang” suara itu keluar dari
mulut manis sang gadis kecil dengan polosnya. Sebagian penumpang termasuk aku
tersenyum melihat tingkah gadis kecil itu. Ya, semoga pemandangan ini adalah
yang terakhir bagiku saat melewati ibukota.
Cerita Perjalanan Lebak Bulus ke
Terminal Senen 7 November 2012.
Ditulis di Semarang, 19 November 2012
Anton