Selasa, November 20, 2012

Kopaja Tua dan Luka

Langit masih kelabu disekitar Terminal Lebak Bulus Jakarta Selatan. Bayangan kilatan petir terlihat memantul disisa-sisa genangan air hujan diatas permukaan jalan raya. Kilatan itu segera diiringi gemuruh besar bagaikan suara ledakan bom dari jarak yang sangat jauh. Gemuruhnya teredam oleh bisingnya kenalpot kendaraan yang berlalu lalang. Memang sejak tadi sore hujan begitu deras mengguyur wilayah Jakarta Bogor dan sekitarnya. 

Aku masih beruntung tidak basah kuyup meskipun  hujan menemani sepanjang perjalanan. Aku sudah berada didalam angkot saat hujan mulai turun deras sehingga butiran-butiran air hujan tidak sampai menerpa tubuhku.

Hampir setengah jam aku berdiri di Halte. Waktu menunjukkan pukul 17. 25 WIB Namun kopaja yang ku nanti belum juga datang. Mungkin untuk yang kesekian kalinya aku singgah pada halte yang sama setiap kali melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Semarang. Ya, seperti biasa halte kusam itu selalu penuh oleh para calon penumpang dari segala usia mulai dari anak-anak, hingga kakek nenek berusia lanjut. Hampir semua mata tertuju pada deretan angkutan jalan raya mencari-cari jenis angkutan yang sesuai untuk mengantarkan perjalanan mereka. Teriakan lantang para kernet memecah perhatian kami. Adakalanya para calon penumpang menganggukkan kepala tanda terima. Namun adakalanya terikan para kernet itu dibalas dengan gelengan.

Aku masih berdiri tegak dengan menggendong tas rasel terisi penuh disisi halte. Dengan tatapan siaga aku memperhatikan satu demi satu kendaraan yang lalu lalang. Aku tidak ingin kopaja yang kunanti-nanti sejak tadi terlewatkan begitu saja. Seperti kejadian yang sudah-sudah karena asyik berbincang dengan calon penumpang lain, kopaja yang kunanti sejak tadi terlewatkan begitu saja. Padahal untuk menunggu kedatangannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Itulah uniknya menunggu di Halte sekitar Terminal Lebak Bulus, meski ada halte, namun seperti tidak ada halte, bus-bus terkadang tidak berhenti dihalte. Sehingga para penumpang tetap saja kepanikan untuk memberhentikan bus dan Kopaja.

Yang ditunggu akhirnya datang juga. Kopaja tua bernomor P.20 itu terlihat kecil dari kejauhan. Ia berada ditengah-tengah jalan raya. Sesekali ia luput dari pandanganku karena terhalangi oleh bus berukuran besar didepanya. Kopaja itu terus mendekat. Suaranya berat.

Aku dan para penumpang lainnya melambai-lambaikan tangan. Sang kernetpun mengkondisikan kendaraan lainnya agar memberikan kesempatan agar kopaja itu bisa menepi. Kopaja sudah terlihat agak penuh. Meskipun begitu kami tetap merangsek keatas. Tidak ada pilihan lain. Angkutan umum murah meriah yang bisa mengantarkan kami langsung menuju Terminal Senen hanyalah kopaja ini. Meski ada angkutan lain seperti taxi, tetapi karena harganya yang lebih murah meriah, angkutan umum ini masih menjadi primadona. Cukup mengeluarkan uang Rp 2000 kita bisa sampai ke Terminal Senen.

Aku sudah menduga bahwa aku pasti akan berdiri didalam kopaja. Dugaanku bukanlah sembarang dugaan. Tetapi berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah. Apalagi muatan kopaja sebelum aku naiki saja sudah terlihat penuh. Dan dugaanku benar sekali. Kursi didalam kopaja telah habis, hanya ada ruang-ruang kosong di bagian paling belakang kendaraan dekat pintu belakang, disela-sela kanan kiri kusi dan bagian paling depan dekat pintu depan. Dibagian paling depan sudah ditempati beberapa penumpang yang sepertinya sejak tadi berdiri. Dan yang menjadi perhatianku mungkin juga perhatian seluruh penumpang adalah didalam kopaja yang sesak itu seorang ibu sambil menggendong putrinya yang masih balita serta satu anak perempuan berusia sekitar lima tahun disisinya begitu kompak bernyanyi. Dan kami mengerti mereka adalah pengamen jalanan.

Sang balita polos itu begitu serius menatap wajah bundanya yang sedang bernyanyi. Sesekali juga menatap wajah penumpang lainnya. Terkadang ia meringis pelan pertanda tidak nyaman dengan keadaan. Namun sang bunda terus menghiburnya agar tetap tenang. Sedangkan si gadis kecil ini sambil berdiri terus bernyanyi dengan suaranya yang lantang dan fasih. Entah lagu apa yang sedang ia dendangkan? Bunda dan si gadis kecil ini begitu kompak. Meski nada-nadanya berantakan. Tetapi kekompakan suaranya melantukan bait demi bait syair sungguh luarbiasa. Sebagian penumpang tersenyum melihat si gadis kecil ini bernyanyi. Entah tersenyum bangga atau karena iba. Perasaankupun teraduk menjadi satu. Seorang penumpang tua ibu-ibu begitu antusias menyaksikan si gadis kecil bernyanyi. Posisi duduk sang ibu memang tepat berada didepannya. Sesekali sang ibu tua spontan menggenggam lengan tangan si gadis ketika tiba-tiba sang supir kopaja nge-rem mendadak menepi ke pinggir menurunkan penumpang yang ingin berhenti. Ya, ada rasa kekhawatiran yang wajar sang ibu tua itu. Ia khawatir apabila si gadis kecil yang sedang asyik bernyanyi itu tersungkur. Dan setelah tarikan kopaja kembali normal, kedua perempuan pengamen itupun terus berdendang.

“Maaah kapan pulang?” gadis kecil itu bertanya kepada bundanya. Suaranya begitu lantang. Ia berhenti bernyanyi, hanya suara bundanya terdengar sayup-sayup bernyanyi. “ Iyaaa nanti juga pulang!, terusin nyanyinya”! ucap sang bunda kepada putrinya dengan nada agak keras. “ Horeee asyik pulang, Asyik pulang, akhirnya pulaaaang” suara itu keluar dari mulut manis sang gadis kecil dengan polosnya. Sebagian penumpang termasuk aku tersenyum melihat tingkah gadis kecil itu. Ya, semoga pemandangan ini adalah yang terakhir bagiku saat melewati ibukota.



Cerita Perjalanan Lebak Bulus ke Terminal Senen 7 November 2012.
Ditulis di Semarang, 19 November 2012
Anton