Minggu, Oktober 21, 2012

Masih Trendkah Pacaran diabad 21?


Pada suatu hari ada salah seorang sahabat bertanya kepada saya. Pertanyaanya menurut pandangan saya agak klasik tapi cukup membuat saya terkejut. Bukan karena isi pertanyaannya, namun karena pertanyaan itu muncul dari seorang sahabat yang menurut saya jarang bahkan tidak pernah membahas masalah itu jika kebetulan berdiskusi bersama saya. Pertanyaannya seperti ini  “Ton apakah bisa muncul perasaan cinta tanpa melalui Pacaran?. Dengan wajah agak penasaran ia terus menatap saya. Mungkin ia ingin segera mendengar jawaban saya atau mungkin hanya sekedar melihat respon saya atas pertanyaan itu. 

Sudah lama kiranya saya tidak mendengarkan pertanyaan seperti itu lagi agaknya membuat saya berfikir jawaban apa yang harus saya berikan kepada sahabat saya yang satu ini. Dengan sedikit mengerutkan dahi saya mulai berbicara memberikan tanggapan semampu saya. “Menurut saya itu (rasa cinta tanpa via pacaran) bisa saja tumbuh tanpa melaui “pacaran” buktinya banyak kakak-kakak senior saya yang sudah menikah tanpa melalui pacaran namun dengan metode ta’aruf langgeng-langgeng aja tuh, bahkan anak-anaknya sudah banyak” celetuk saya sambil tertawa. Mendengar tangapan saya dia  langsung tersenyum dan tidak bertanya lagi.
Pertanyaan sahabat saya itu mungkin hanyalah salah satu saja. Sering kali umum bahkan saya sendiri dahulu beranggapan bahwa mustahil akan muncul rasa cinta tanpa pacaran. Lalu jika jalinan rumah tangga tanpa dilandasi rasa cinta bagaimana bisa membangun rumah tangga?. Mungkin pertanyaan itu masih cukup kuat menghantui kita semua. Tetapi faktanya sebagaimana saya ungkapkan diatas bahwa ternyata ada pasangan yang sama sekali awalnya belum berjumpa sama sekali bahkan perjumpaannya itu adalah pada saat-saat taaruf saja toh bisa membangun rumah tangga secara baik.
Inilah yang membuat saya berfikir dan bertanya-tanya bagaimana bisa itu terjadi? relevankah “berpacaran” dengan munculnya “rasa cinta”? relevankah “pacaran” dengan kelanggengan rumah tangga?.
Dan akhirnya untuk sementara saya berkesimpulan bahwa “pacaran” bukanlah  faktor dominan yang sering kali dijadikan “riual wajib” yang mesti dilalui oleh muda-mudi yang ingin membangun rumah tangga. Hingga saat ini pacaran sering dianggap sebagai “jalan” untuk mempertemukan cinta diantara dua manusia. Tetapi jika dipikir kembali mungkin ada yang perlu di klarifikasi terkait makna “pacaran “.
Pacaran umumnya dijadikan sarana untuk bertemu antara dua manusia (tentunya laki-laki dan perempuan). Pacaran sering  dijadikan sarana untuk bertemu secara fisik dua manusia untuk “menjajakan” diri-nya masing-masing agar memperoleh kecocokan jiwa (tentu juga raga) dengan tujuan untuk jenjang yang lebih serius, karena memang tujuan “tulus” pacaran (katanya) ialah untuk membangun rumah tangga. Dan untuk memperoleh kecocokan itu ternyata memerlukan waktu. Uniknya waktunya untuk mencocokkan itu antara masing-masing pelaku pacaran berbeda-beda. Saya menemukan ada yang hanya berjalan satu minggu, satu bulan, satu tahun, empat tahun, bahkan saya mendengar ada yang mencapai tujuh tahun!. Ada yang sukses dan ada juga yang gagal. Begitulah dinamika pacaran hingga saat ini. Bahkan baru-baru ini muncul sebuah konsep baru yakni TTM (Teman Tapi Mesra). Sedikit saya jelaskan TTM ini. Setahu saya, TTM itu memang berbeda dengan pacaran. TTM ini tidak terikat sebagaimana pacaran. Jika dalam “konvensi pacaran” umumnya ada hak dan kewajibannya, sedangkan TTM bisa dikatakan tidak terikat dengan itu semua. Ia sifatnya lebih bebas dari pacaran. Aktifitasnya mungkin sama saja dengan pacaran tetapi secara “deklare” tidak terlalu mengikat sebagaimana pacaran.
Kembali lagi kepada konsep pacaran, sebagaimana saya telah jelaskan dalam kalimat sebelumnya bahwa pacaran sering kali dijadikan sarana untuk “mempertemukan” dua hati. Pertayaan sahabat saya sebelumnya mungkin ia menyangsikan bagaimana bisa muncul “rasa cinta” tanpa proses sebagaimana pacaran? Kemudian saya menjawabnya “bisa saja” dengan penjelasan sekilas seperti saya jelaskan diatas. Argumen saya begini, bisa jadi orang yang sebelumnya tidak pernah pacaran bahkan tidak saling jumpa namun bisa dipertemukan dalam bangunan rumah tangga dengan metode taaruf sejatinya juga telah melakukan sebuah “pertemuan”. Tentu pertemuan yang saya maksudkan bukanlah pertemuan fisik saja sebagaimana pacaran. Bukan dengan ritual jalan bareng dan ritual malam mingguan. Pertemuan yang saya maksud adalah pertemuan batin yang mereka sendiri-pun tidak mengetahui bahwa telah terjadi pertemuan batin diantara mereka berdua sebelumnya. Sehingga meskipun mereka tidak pernah berjumpa namun secara batin sesungguhnya mereka telah “akrab” dan cocok. Mengapa bisa cocok? Mungkin karena landasan cinta mereka karena Tuhan. Mereka mencintai atas nama Allah. “Aku mencintaimu karena Allah” begitu juga dengan benci. Cinta karena Allah maksudnya adalah mencintai sebagaimana Allah memerintahkan seorang hamba bagaimana harus mencintai dan membenci sebagaimana Allah memerintahkan seorang hamba harus membenci. Dengan kata lain cinta yang dibangun berlandaskan nilai-nilai ketuhanan atau nilai ketauhidan. Allah-lah yang menjadi ukuran mereka dalam hal cinta dan benci. Ukurannya bukan manusia (Humanisme). Jadi tatkala mereka berdua selalu mendekatkan diri kepada Allah bisa jadi sejatinya mereka dipertemukan dalam pusaran yang sama. Jika masing-masing mereka semakin mendekat pada pusaran itu (Allah) sesungguhnya mereka juga semakin saling mendekat dan disitulah terjadi “pertemuan batin”. Begitu juga disaat salah satu dari mereka menjauh, sesungguhnya masing-masing diantara mereka berpisah atau dalam keadaan tidak bertemu.
Sedangkan bisa jadi bagi orang yang “mengamalkan” pacaran dimana landasan cintanya bukan berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, namun hanya berdasarkan syahwat semata (mungkin karena kecantikan rupanya semata, kekayaan, kemolekan tubuhnya dan aspek-aspek jasadiyah lainnya). Jika syahwat yang menjadi ukuran kiranya akan sulit menemukan cinta sejati. Pasalnya syahwat itu sendiri adalah melekat pada manusia (humanisme), sedangkan yang namanya manusia ia akan selalu fluktuatif. Jika yang dicintai tidak sesuai seperti yang diinginkan pasti nanti akan timbul kekecewaan-kekecewaan. Jika rupa yang dahulu membuat terpesona nyatanya lama-kelamaan pudar sudah kecantikan atau ketampanannya, akhirnya timbullah rasa bosan untuk mencintai.
         Mereka yang tidak berpacaran menjadikan perintah Allah sebagai jalan mendapakan jodohnya. Bukankah dalam Alquran secara jelas diterangkan “Janganlah sekali-kali mendekati zina!”. Mendekati saja tidak boleh. Konteks pacaran baik masa lalu maupun masa kini jika dibenturkan dengan firman tersebut tentunya telah bersebrangan. Sehingga bisa dikatakan bahwa konteks pacaran tidak sesuai dengan perintah Allah. Selain itu bahwa untuk memperoleh jodoh seseorang tidak perlu menjalankan metode pacaran, toh ada juga bahkan banyak pasangan yang langgeng menjalani kehidupan rumah tangganya tanpa via pacaran. Jadi pacaran bukanlah “ritual wajib” yang harus dilalui muda-mudi untuk menggapai jodohnya karena ternyata sudah bukan trendnya lagi berpacaran, lagipula tidak ada kejelasan relevansi  antara pacaran dan rasa cinta.
Tengah Malam Menjelang  Pagi,
Tepatnya pukul 00.55 (waktu selesai ngetik)
Ba’da Nongton Political Training 2
Pake Laptop Ketua Kamda Semarang
Sambil Digigit Nyamuk –Nyamuk Nakal
Disamping Isna Irawan Yang
 Sedang Asyik Baca Novel Punya Saya
Judulnya “Ken Dedes Sang Penggoda”
Ditengah Semaraknya Senior-Senior Pada Nikah.
BIB Ungaran, 21 Oktober,  2012-10-2012

2 komentar:

Unknown mengatakan...

tema klasik tpi ok juga :)

Bang Anton mengatakan...

hehehehee...... Yo nte Jalani yang pagemane?