Pada
suatu hari ada salah seorang sahabat bertanya kepada saya. Pertanyaanya menurut
pandangan saya agak klasik tapi cukup membuat saya terkejut. Bukan karena isi
pertanyaannya, namun karena pertanyaan itu muncul dari seorang sahabat yang
menurut saya jarang bahkan tidak pernah membahas masalah itu jika kebetulan
berdiskusi bersama saya. Pertanyaannya seperti ini “Ton apakah bisa muncul perasaan cinta tanpa
melalui Pacaran?. Dengan wajah agak penasaran ia terus menatap saya. Mungkin ia
ingin segera mendengar jawaban saya atau mungkin hanya sekedar melihat respon
saya atas pertanyaan itu.
Sudah lama kiranya saya tidak mendengarkan
pertanyaan seperti itu lagi agaknya membuat saya berfikir jawaban apa yang
harus saya berikan kepada sahabat saya yang satu ini. Dengan sedikit
mengerutkan dahi saya mulai berbicara memberikan tanggapan semampu saya.
“Menurut saya itu (rasa cinta tanpa via pacaran) bisa saja tumbuh tanpa melaui
“pacaran” buktinya banyak kakak-kakak senior saya yang sudah menikah tanpa
melalui pacaran namun dengan metode ta’aruf
langgeng-langgeng aja tuh, bahkan anak-anaknya sudah banyak” celetuk saya
sambil tertawa. Mendengar tangapan saya dia
langsung tersenyum dan tidak bertanya lagi.
Pertanyaan sahabat saya itu mungkin hanyalah salah
satu saja. Sering kali umum bahkan saya sendiri dahulu beranggapan bahwa
mustahil akan muncul rasa cinta tanpa pacaran. Lalu jika jalinan rumah tangga
tanpa dilandasi rasa cinta bagaimana bisa membangun rumah tangga?. Mungkin
pertanyaan itu masih cukup kuat menghantui kita semua. Tetapi faktanya
sebagaimana saya ungkapkan diatas bahwa ternyata ada pasangan yang sama sekali
awalnya belum berjumpa sama sekali bahkan perjumpaannya itu adalah pada
saat-saat taaruf saja toh bisa
membangun rumah tangga secara baik.
Inilah yang membuat saya berfikir dan bertanya-tanya
bagaimana bisa itu terjadi? relevankah “berpacaran” dengan munculnya “rasa
cinta”? relevankah “pacaran” dengan kelanggengan rumah tangga?.
Dan akhirnya untuk sementara saya berkesimpulan
bahwa “pacaran” bukanlah faktor dominan
yang sering kali dijadikan “riual wajib” yang mesti dilalui oleh muda-mudi yang
ingin membangun rumah tangga. Hingga saat ini pacaran sering dianggap sebagai
“jalan” untuk mempertemukan cinta diantara dua manusia. Tetapi jika dipikir
kembali mungkin ada yang perlu di klarifikasi terkait makna “pacaran “.
Pacaran umumnya dijadikan sarana untuk bertemu
antara dua manusia (tentunya laki-laki dan perempuan). Pacaran sering dijadikan sarana untuk bertemu secara fisik
dua manusia untuk “menjajakan” diri-nya masing-masing agar memperoleh kecocokan
jiwa (tentu juga raga) dengan tujuan untuk jenjang yang lebih serius, karena
memang tujuan “tulus” pacaran (katanya) ialah untuk membangun rumah tangga. Dan
untuk memperoleh kecocokan itu ternyata memerlukan waktu. Uniknya waktunya
untuk mencocokkan itu antara masing-masing pelaku pacaran berbeda-beda. Saya
menemukan ada yang hanya berjalan satu minggu, satu bulan, satu tahun, empat tahun,
bahkan saya mendengar ada yang mencapai tujuh tahun!. Ada yang sukses dan ada
juga yang gagal. Begitulah dinamika pacaran hingga saat ini. Bahkan baru-baru
ini muncul sebuah konsep baru yakni TTM (Teman Tapi Mesra). Sedikit saya
jelaskan TTM ini. Setahu saya, TTM itu memang berbeda dengan pacaran. TTM ini
tidak terikat sebagaimana pacaran. Jika dalam “konvensi pacaran” umumnya ada
hak dan kewajibannya, sedangkan TTM bisa dikatakan tidak terikat dengan itu
semua. Ia sifatnya lebih bebas dari pacaran. Aktifitasnya mungkin sama saja
dengan pacaran tetapi secara “deklare” tidak terlalu mengikat sebagaimana
pacaran.
Kembali lagi kepada konsep pacaran, sebagaimana saya
telah jelaskan dalam kalimat sebelumnya bahwa pacaran sering kali dijadikan
sarana untuk “mempertemukan” dua hati. Pertayaan sahabat saya sebelumnya
mungkin ia menyangsikan bagaimana bisa muncul “rasa cinta” tanpa proses
sebagaimana pacaran? Kemudian saya menjawabnya “bisa saja” dengan penjelasan
sekilas seperti saya jelaskan diatas. Argumen saya begini, bisa jadi orang yang
sebelumnya tidak pernah pacaran bahkan tidak saling jumpa namun bisa
dipertemukan dalam bangunan rumah tangga dengan metode taaruf sejatinya juga
telah melakukan sebuah “pertemuan”. Tentu pertemuan yang saya maksudkan bukanlah
pertemuan fisik saja sebagaimana pacaran. Bukan dengan ritual jalan bareng dan
ritual malam mingguan. Pertemuan yang saya maksud adalah pertemuan batin yang
mereka sendiri-pun tidak mengetahui bahwa telah terjadi pertemuan batin
diantara mereka berdua sebelumnya. Sehingga meskipun mereka tidak pernah
berjumpa namun secara batin sesungguhnya mereka telah “akrab” dan cocok.
Mengapa bisa cocok? Mungkin karena landasan cinta mereka karena Tuhan. Mereka
mencintai atas nama Allah. “Aku mencintaimu karena Allah” begitu juga dengan
benci. Cinta karena Allah maksudnya adalah mencintai sebagaimana Allah
memerintahkan seorang hamba bagaimana harus mencintai dan membenci sebagaimana
Allah memerintahkan seorang hamba harus membenci. Dengan kata lain cinta yang
dibangun berlandaskan nilai-nilai ketuhanan atau nilai ketauhidan. Allah-lah
yang menjadi ukuran mereka dalam hal cinta dan benci. Ukurannya bukan manusia
(Humanisme). Jadi tatkala mereka berdua selalu mendekatkan diri kepada Allah
bisa jadi sejatinya mereka dipertemukan dalam pusaran yang sama. Jika
masing-masing mereka semakin mendekat pada pusaran itu (Allah) sesungguhnya
mereka juga semakin saling mendekat dan disitulah terjadi “pertemuan batin”.
Begitu juga disaat salah satu dari mereka menjauh, sesungguhnya masing-masing
diantara mereka berpisah atau dalam keadaan tidak bertemu.
Sedangkan bisa jadi bagi orang yang “mengamalkan”
pacaran dimana landasan cintanya bukan berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, namun
hanya berdasarkan syahwat semata (mungkin karena kecantikan rupanya semata,
kekayaan, kemolekan tubuhnya dan aspek-aspek jasadiyah lainnya). Jika syahwat
yang menjadi ukuran kiranya akan sulit menemukan cinta sejati. Pasalnya syahwat
itu sendiri adalah melekat pada manusia (humanisme), sedangkan yang namanya
manusia ia akan selalu fluktuatif. Jika yang dicintai tidak sesuai seperti yang
diinginkan pasti nanti akan timbul kekecewaan-kekecewaan. Jika rupa yang dahulu
membuat terpesona nyatanya lama-kelamaan pudar sudah kecantikan atau
ketampanannya, akhirnya timbullah rasa bosan untuk mencintai.
Mereka
yang tidak berpacaran menjadikan perintah Allah sebagai jalan mendapakan
jodohnya. Bukankah dalam Alquran secara jelas diterangkan “Janganlah
sekali-kali mendekati zina!”. Mendekati saja tidak boleh. Konteks pacaran baik
masa lalu maupun masa kini jika dibenturkan dengan firman tersebut tentunya
telah bersebrangan. Sehingga bisa dikatakan bahwa konteks pacaran tidak sesuai
dengan perintah Allah. Selain itu bahwa untuk memperoleh jodoh seseorang tidak
perlu menjalankan metode pacaran, toh ada juga bahkan banyak pasangan yang
langgeng menjalani kehidupan rumah tangganya tanpa via pacaran. Jadi pacaran
bukanlah “ritual wajib” yang harus dilalui muda-mudi untuk menggapai jodohnya
karena ternyata sudah bukan trendnya lagi berpacaran, lagipula tidak ada
kejelasan relevansi antara pacaran dan
rasa cinta.
Tengah Malam Menjelang Pagi,
Tepatnya pukul 00.55 (waktu
selesai ngetik)
Ba’da Nongton Political Training
2
Pake Laptop Ketua Kamda Semarang
Sambil Digigit Nyamuk –Nyamuk
Nakal
Disamping Isna Irawan Yang
Sedang Asyik Baca Novel Punya Saya
Judulnya “Ken Dedes Sang
Penggoda”
Ditengah Semaraknya Senior-Senior
Pada Nikah.
BIB Ungaran, 21 Oktober, 2012-10-2012
2 komentar:
tema klasik tpi ok juga :)
hehehehee...... Yo nte Jalani yang pagemane?
Posting Komentar