Tulisan
ini saya akan awali dengan beberapa pertanyaan, yang pertama; mengapa dalam
hidup ini harus ada perencanaan? mengapa harus ada manajemen, menajemen waktu,
manajemen sumber daya alam, menejemen sumber daya manusia bahkan manajemen
qolbu? Bisakah manusia hidup tanpa perencanaan dan manajemen? Apa jadinya jika
manusia hidup tanpa perencanaan/manajemen. Sekali lagi, mengapa harus ada
perencanaan atau manajemen? Mengapa kita harus disiplin? mengapa kita harus
teratur?. Mengapa harus ada jadwal?. Ada yang mengatakan itu semua dilakukan agar
hidup ini menajdi lebih berarti, efektif dan efisien. Ada pula yang mengatakan
agar hidup lebih berkualitas. Ada pula yang mengatakan agar hidup tidak sia-sia
supaya tidak menyesal diakhir, dan banyak lagi jawaban-jawaban lainnya yang
intinya mengatakan agar bisa mengotimalkan “waktu” dan “kehidupan”.
Hal semacam
ini bisa ita saksikan dari diri kita sendiri betapa seolah-olah kita “didorong”
agar bisa taat dengan aturan-aturan yang ada, baik dorongan itu bersumber dari
kesadaran sendiri, maupun atas dorongan orang lain. Bisa kita saksikan
disekitar kita banyak orang-orang seakan “berlomba” atau beradu cepat dengan
waktu. “Kegelisahan” terhadap waktu pernah dirasakan semua orang meski
masing-masing memiliki kesadaran yang berbeda-beda terhadap waktu. Sehingga jika
diperhatikan sejatinya manusia “khawatir” terhadap laju waktu yang tak pernah
berhenti. Mengapa harus khawatir? Khawatir terhadap siapa?
Pepatah
yang berbunyi “Gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”
menunjukan sinyal bahwa ada semacam “kekhawatiran” supaya hidup “tidak gagal”
alias “berhasil”. Dan ada fenomena menarik yang mungkin pernah kita saksikan
bahkan kita rasakan sendiri ketika seorang yang “tidak khawatir” dengan laju
waktu alias tidak disiplin berinteraksi dengan orang yang begitu disiplin. Saat
membuat janji telah disepakati bahwa jadwal bertemu pukul 10.00, namun ternyata
salah satu pihak tidak menepatinya sehingga membuat “marah” pihak lain karena
merasa telah dirugikan dengan ketidakdisiplinannya. Mengapa harus “marah”?
Konsep
“manajemen” yang pernah saya pahami menunjukan arti “keterbatasan”. Sebagai
contoh adalah saat membahas tentang Sumber Daya Alam (SDA) baik yang bisa
secara cepat diperbaharui maupun yang lambat diperlukan “manajemen”. Mengapa perlu
manajemen, karena sifatnya yang “terbatas” sehingga harus dilakukan “perencanaan/manajemen”
dalam penggunaannya supaya bisa dimanfaatkan secara optimal. Hal ini juga
berlaku terhadap SDM. Seperti kita tahu akhir-akhir ini berjamuran para “Trainer”
yang pada intinya ingin membangkitkan “potensi” luabiasa dalam diri manusia
agar bisa mengoptimalkan segala modal “kecerdasan” yang ada.
Saya membayangkan
jika seandainya semuanya bersifat “Abadi” mungkinkah manusia mengenal yang
namanya konsep “perencanaan” dalam hidupnya? Apakah mereka akan tertarik
membahas konsep perencanaan /manajemen waktu, membuat jadwal, berangkat
pagi-pagi agar tidak terjebak macet bahkan apakah seseorang akan “marah”
seperti kasus yang saya contohkan diatas?.
Baik
yang sadar akan hal ini tentunya menunjukan bahwa perencanaan itu penting
adanya, sekaligus juga menunjukan kepada kita bahwa sadar maupun terpaksa sadar
seseorang menunjukan keterikatannya dengan waktu. Perencanaan, manajemen,
waktu, jadwal, disiplin, masa lalu, kini dan masa depan sejatinya menunjukan
kepada kita bahwa kita membutuhkan itu semua. Mengapa butuh? Tentu karena ada “nilai”
yang dijunjung tingggi. Nilai-nilai tersebut berbeda-beda ada yang mengusung
nilai materi semata (Time is Money), waktu adalah kerja, dan ukurannya
berdasarkan sudut pandang moral manusia yang sifatnya sekuler (keduniawian dan
kekinian).
Sedangkan
dari sisi lain ada yang mengatakan bahwa
kesadaran akan pentingnya perencanaan/manajemen lebih dari hanya sekedar yang
bersifatnya keduniawian atau kemanusiaan semata. Tetapi diorong oleh aspek “keimanan”.
Setiap perencanaan/manajemen yang dilaksanakan seseorang sejatinya didasari
oleh aspek iman didalam hatinya. Semuanya dikembalikan kepada Allah Tuhan
Semesta Alam. Perencanaan/manajemen menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang Maha
Besar dan menunjukan bahwa manusia dan benda-benda fana lainnya hanya bersifat
fana (rusak) dan tidak abadi. Semuanya akan kembali kepada-Nya. Innalillahii wa
Inna Ilaihi Raaajiuun.
demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3 kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3 kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(Al Asr: 1-3)
Semarang,
8 Oktober 2012
Anton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar