Tak menyangka, itulah kesan yang saya rasakan setelah mengikuti sebuah
kajian pada tanggal 30 September 2012. Awalnya perasaan saya biasa-biasa saja
saat panitia menyampaikan tema materi yang disampaikan oleh ustad yang sama.
Ada Semacam perasaan bosan atau jenuh. Terbukti hampir selama materi
disampaikan saya kurang fokus bahkan sempat tertidur. Mungkin serasa menjadi
beban. Walaupun fisik hadir ditempat sambil duduk manis, tetapi pikiran
melayang kemana-mana.
Dan akhirnya saya sampai juga pada materi yang kedua. Judul materi
yang disampaikan adalah tentang makrifatullah atau dalam bahasa Indonesia-nya artinya
mengenal Allah. Pikiran saya saat mendengar judul ini terasa hambar. Mungkin
karena seringnya saya mendapatkan materi ini dalam kajian-kajian dikesempatan
lain, sehingga pikiran saya seperti menolak informasi yang menimbulkan over lapping. Ditambah
sang ustad menuliskannya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Arab.
Sambil “duduk manis” diatas kursi, berusaha memfokuskan pikiran mentap
slide demi slide yang disajikan, memandang gerak-gerik sang ustad menuliskan
istilah-istilah bahasa Arab pada papan tulis berwarna putih (White Board), juga
secara batin “berperang” melawan kantuk berat, saya berusaha setia
mengoptimalkan kesadaran.
Dan semakin dalam sang ustad menyampaikan materi mengenai makrifatullah,
pikiran saya seolah-olah tergerak untuk lebih memperhatikannya. Sepertinya saya
tergugah dalam kantuk. Segera-lah kantuknya menjadi hilang. Padahal jam
menunjukkan detik-detik akhir.
Sang Ustad sambil mengengam spidol menerangkan seputar makrifatullah.
Dalam panah-panah yang beliau gambar diatas papan tulis. beliau secara
umum menjelaskan sub-sub makrifatullah secara umum terdiri dari; pentingnya mengenal
Allah (Ahamiyyatu Ma’rifatullah), cara menuju Allah (Ath-Thariq Ila
Ma’rifatullah) dan penghalang yang mengenal Allah (Al Mawani Fii Ma’rifatullah)
Setelah itu beliau menerangkan bahwa secara fitrah manusia cendrung
untuk mengenal penciptanya yakni Allah, namun sayang kondisi lingkungan begitu
mempengaruhi sehingga bisa menjauhkannya dan mendekatkannya kepada Allah.
Kecendrungan manusia untuk mengenal tuhannya (Allah) karena manusia dibekali
oleh Akal-nya. Dengan mengutip pendapat Sayid Qutub beliau menyampaikan
“sekiranya manusia hanya dibekali akal saja niscaya bekal itu (akal) cukup
untuk mengantarkan-nya untuk menemukan Allah”. Lanjut beliau meneruskan
“namun Allah dengan ke-Maha Pemurahan-Nya menurunkan agama sebagai jalan
untuk memudahkan hambanya untuk bisa mengenalnya.
Sang Ustad meneruskan bahwa Makrifatullah telah diterangkan secara dalil antara lain;
dalil naqli (nash-nash dalam Alquran) yang begitu banyak memerintahkan dan
memotivasi manusiaberiman kepada Allah, kemudian dalil aqli (akal) yang
memotivasi manusia supaya menggunakan akal-nya untuk memikirkan segala
ciptaan-Nya, serta dalil fitri (fitrah manusia yang mengakui Allah sebagai
Tuhan).
Selanjutnya beliau membandingkan dengan kondisi manusia yang menafikan
Allah (Atheis) dimana sesungguhnya seorang atheis itu dengan akal dan “hawa
nafsu” nya” mendustai Ayat-ayat Allah, bahkan dengan sengaja tidak mengakui
kebenaran adanya Allah. Dan atas perbuatannya itu sesungguhnya ia berusaha
untuk melupakan Allah, namun sejatinya apa yang mereka lakukan justru akan
membuat mereka lupa akan dirinya sendiri. Hal ini sangat mengerikan sebagaimana
diterangkan dalam surat Al-Hasyr ayat :19 “ Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, sehingga
Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang
fasik”.
Kegelisahan atau kegalauan dalam menghadapi hidup sejatinya menandakan
bahwa seseorang belum/tidak menjadikan Allah sebagai sandaran. Orang tersebut
tidak/belum yakin atas segala ketentuan-ketentuan Allah. Dan seseorang yang
mengenal Allah dan menjadikan Allah satu-satunya sandaran justru akan
membuatnya memiliki martabat dihadapan sesama manusia. Al hasil ia tidak mudah
diperbudak oleh pengaruh manusia yang bisa menjadi ancaman untuk menjajah
kemerdekaannya. Dengan kata-lain orang yang beriman seharusnya “sangat”
merdeka, optimis dalam menjalani hidup karena ia yakin Allah-lah yang Maha
Kuasa.
Dan terakhir sebagai penutup beliau menyimpulkan bahwa dengan mengenal
Allah dan yakin kepada-Nya justru akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan
seseorang dan akan berbuah kepada kemerdekaan (QS 6:9), ketenangan (QS 13:28),
berkah (QS 7:94), kehidupan yang baik (QS 16:97), surga (QS 10: 25-26),
keridhaan Allah (QS: 9). Semoga bermanfaat.
Kaliwiru, 30 September 2012
Inspirasi dari SM 2012
*ditambah referensi buku" Yasmin, Ummu (Penyunting).2007.
"Materi Tarbiyah: Panduan Kurikulum bagi Da'i dan Murobbi..Solo: Gema
Insani Press