Senin, Oktober 01, 2012

Kemerdekaan Diri

Tak menyangka, itulah kesan yang saya rasakan setelah mengikuti sebuah kajian pada tanggal 30 September 2012. Awalnya perasaan saya biasa-biasa saja saat panitia menyampaikan tema materi yang disampaikan oleh ustad yang sama. Ada Semacam perasaan bosan atau jenuh. Terbukti hampir selama materi disampaikan saya kurang fokus bahkan sempat tertidur. Mungkin serasa menjadi beban. Walaupun fisik hadir ditempat sambil duduk manis, tetapi pikiran melayang kemana-mana.


Dan akhirnya saya sampai juga pada materi yang kedua. Judul materi yang disampaikan adalah tentang makrifatullah atau dalam bahasa Indonesia-nya artinya mengenal Allah. Pikiran saya saat mendengar judul ini terasa hambar. Mungkin karena seringnya saya mendapatkan materi ini dalam kajian-kajian dikesempatan lain, sehingga pikiran saya seperti menolak informasi yang menimbulkan over lapping. Ditambah sang ustad menuliskannya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Arab.


Sambil “duduk manis” diatas kursi, berusaha memfokuskan pikiran mentap slide demi slide yang disajikan, memandang gerak-gerik sang ustad menuliskan istilah-istilah bahasa Arab pada papan tulis berwarna putih (White Board), juga secara batin “berperang” melawan kantuk berat, saya berusaha setia mengoptimalkan kesadaran.

Dan semakin dalam sang ustad menyampaikan materi mengenai makrifatullah, pikiran saya seolah-olah tergerak untuk lebih memperhatikannya. Sepertinya saya tergugah dalam kantuk. Segera-lah kantuknya menjadi hilang. Padahal jam menunjukkan detik-detik akhir.

Sang Ustad sambil mengengam spidol menerangkan seputar makrifatullah. Dalam panah-panah yang beliau  gambar diatas papan tulis. beliau secara umum menjelaskan sub-sub makrifatullah secara umum terdiri dari; pentingnya mengenal Allah (Ahamiyyatu Ma’rifatullah), cara menuju Allah (Ath-Thariq Ila Ma’rifatullah) dan penghalang yang mengenal Allah (Al Mawani Fii Ma’rifatullah)

Setelah itu beliau menerangkan bahwa secara fitrah manusia cendrung untuk mengenal penciptanya yakni Allah, namun sayang kondisi lingkungan begitu mempengaruhi sehingga bisa menjauhkannya dan mendekatkannya kepada Allah. Kecendrungan manusia untuk mengenal tuhannya (Allah) karena manusia dibekali oleh Akal-nya. Dengan mengutip pendapat Sayid Qutub beliau menyampaikan “sekiranya manusia hanya dibekali akal saja niscaya bekal itu (akal) cukup untuk mengantarkan-nya untuk menemukan Allah”.  Lanjut beliau meneruskan “namun  Allah dengan ke-Maha Pemurahan-Nya menurunkan agama sebagai jalan untuk memudahkan hambanya untuk bisa mengenalnya.

Sang Ustad meneruskan bahwa Makrifatullah telah diterangkan secara dalil antara lain; dalil naqli (nash-nash dalam Alquran) yang begitu banyak memerintahkan dan memotivasi manusiaberiman kepada Allah, kemudian dalil aqli (akal) yang memotivasi manusia supaya menggunakan akal-nya untuk memikirkan segala ciptaan-Nya, serta dalil fitri (fitrah manusia yang mengakui Allah sebagai Tuhan).

Selanjutnya beliau membandingkan dengan kondisi manusia yang menafikan Allah (Atheis) dimana sesungguhnya seorang atheis itu dengan akal dan “hawa nafsu” nya” mendustai Ayat-ayat Allah, bahkan dengan sengaja tidak mengakui kebenaran adanya Allah. Dan atas perbuatannya itu sesungguhnya ia berusaha untuk melupakan Allah, namun sejatinya apa yang mereka lakukan justru akan membuat mereka lupa akan dirinya sendiri. Hal ini sangat mengerikan sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Hasyr ayat :19 “ Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik”. 

Kegelisahan atau kegalauan dalam menghadapi hidup sejatinya menandakan bahwa seseorang belum/tidak menjadikan Allah sebagai sandaran. Orang tersebut tidak/belum yakin atas segala ketentuan-ketentuan Allah. Dan seseorang yang mengenal Allah dan menjadikan Allah satu-satunya sandaran justru akan membuatnya memiliki martabat dihadapan sesama manusia. Al hasil ia tidak mudah diperbudak oleh  pengaruh manusia yang bisa menjadi ancaman untuk menjajah kemerdekaannya. Dengan kata-lain orang yang beriman seharusnya “sangat” merdeka, optimis dalam menjalani hidup karena ia yakin Allah-lah yang Maha Kuasa.

Dan terakhir sebagai penutup beliau menyimpulkan bahwa dengan mengenal Allah dan yakin kepada-Nya justru akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang dan akan berbuah kepada kemerdekaan (QS 6:9), ketenangan (QS 13:28), berkah (QS 7:94), kehidupan yang baik (QS 16:97), surga (QS 10: 25-26), keridhaan Allah (QS: 9). Semoga bermanfaat.

Kaliwiru, 30 September 2012
Inspirasi dari SM 2012
*ditambah referensi buku" Yasmin, Ummu (Penyunting).2007. "Materi Tarbiyah: Panduan Kurikulum bagi Da'i dan Murobbi..Solo: Gema Insani Press