Rabu, Oktober 19, 2011

Revolusi Hijau Pada Masa Orde Baru (Tugas Kuliah ku)

Pendahuluan
Instabilitas politik Orde lama dan inskonsistensi pembangunan ekonominya terutama dalam pemenuhan kebutuhan pangan mendorong pemerintah Orde Baru menjalankan strategi dasar pembangunan, yaitu berfokus pada pembangunan ekonomi dan penciptaan stabilitas politik yang kokoh. Strategi ini terwakili oleh jargon negara ketika itu yakni “ekonomi yes, politik no”. implementasi awak pembangunan ekonomi ditempuh pemerintah dengan menetapkan GBHN yang berfokus pada pembangunan pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Arah pembangunan pertanian awal Orde baru ditunjukan untuk memacu peningkatan produksi pangan (terutama beras) secara cepat agar kebutuhan pangan rakyat terpenuhi dan impor beras yang tinggi dikurangi. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah mengadopsi kebijakan revolusi hijau dari negara barat. Sehingga pada dekade tahun 1960-an pemerintah berupaya keras meningkatkan produksi padi nasional dalam rangka mewujudkan Swa Sembada Beras, dan mengatasi krisis (kelangkaan) beras yang terjadi saat itu. Program besar ini diawali dengan suatu program “Action Research” oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat – Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (IPB-belum terbentuk), dengan tujuan mengajak para petani padi agar bersedia menggunakan ilmu pengetahuan dan menerapkan teknologi produksi padi modern dalam mengelola usaha pertaniannya. Mengubah pertanian tradisional menjadi pertanian moderen merupakan perjuangan panjang. Program “Action Research” dilaksanakan dalam bentuk Proyek Panca Usaha Karawang, di atas hamparan lahan sawah seluas 100 hektar tersebar di tiga desa dengan kondisi tata air dan ragam prilaku petani yang berbeda. Pelaksana lapangan juga harus menghadapi petani yang terhinggapi oleh phobia terhadap pendatang (orang asing). Untuk mengawal pelaksanaan transfer teknologi kepada para petani, Fakultas Pertanian melakukan pembimbingan dan pendampingan secara terus-menerus dengan menempatkan para mahasiswa untuk tinggal dan hidup bersama para petani binaannya. Program penerapan iptek di atas hamparan sawah seluas 100 hektar berlangsung sangat sukses. Keberhasilan tersebut kemudian diperluas ke seluruh Indonesia secara bertahap dalam bentuk program BIMAS (Bimbingan Masal) dengan melibatkan seluruh Fakultas Pertanian di Indonesia melalui Program KKN (Kuliah Kerja Nyata). BIMAS dikembangkan lebih lanjut menjadi Program INMAS (Intensifikasi Masal) seiring dengan keberhasilan para peneliti merakit varietas padi moderen dan upaya untuk melakukan introduksi teknologi revolusi hijau. Indonesia harus berjuang selama lebih dari 20 tahun untuk swa sembada beras, yaitu pada tahun 1984.
Revolusi hijau dan Pengendalian Petani
Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada (kecukupan penyediaan) sejumlah bahan pangan di beberapa negara yang sebelumnya selalu kekurangan persediaan pangan (pokok), seperti India, Bangladesh, Tiongkok, Vietnam, Thailand, serta Indonesia, untuk menyebut beberapa negara. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.
Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting ; penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia secara optimal, penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Agar Revolusi Hijau dapat berjalan dengan lancar, dirancanglah suatu konsep rekayasa social politik ekonomi. Kelembagaan dan perangkat-perangkat birokrasi dibangun untuk menjamin terlaksananya revolusi hijau sampai ke tingkat petani. Sehingga keberlanjutan program revolusi hijau dapat terkontrol secara ketat dan sistemik.
Dalam subsistem sarana produksi pertanian (saprotan), pemerintah menjamin kelancaran penyediaan saprotan dalam jumlah yang memadai dan harga terjangkau. Awalnya komitmen ini ditempuh dengan membuka keran impor saprotan (pupuk, pestisida, dan benih). Lalu diikuti pembangunan pabrik pupuk pada dasawarsa 1970-an. Pemerintah, pada saat bersamaan mulai memberikan subsidi yang sangat besar dalam pengadaan pupuk dan pestisida, mendatangkan berbagai varietas benih padi unggul ke Indonesia, mengimpor dan memproduksi berbagai alat atau mesin pertanian dalam jumlah besar, serta mengatur persediaan dan distribusi saprotan secara sentralistik melalui berbagai BUMN, PUSKUD, INKUD sampai ke tingkat bawah (KUD).
Dalam subsistem budidaya, intervensi dan pengendalian pemerintah dalam pelaksanaan revolusi hijau dilakukan secara intensif dan sistematis. Pemerintah memperkenalkan suatu pola budidaya baru kepada petani lewat Bimbingan Massal (BIMAS) Intensifikasi. Lewat program ini, petani dipaksa secara sistemik untuk menerapkan suatu teknologi atau metode budidaya tertentu. Agar efektivitas introduksi teknologi budidaya revolusi hijau terjamin, rezim Orde baru membentuk suatu birokrasi (institusi) penyuluhan. Institusi ini bertugas melakukan penyeragaman dan control terhadap penerapan teknologi budidaya secara sentralistik dan sistematis. Institusi ini bekerja secara intesif untuk memassalkan peket teknologi revolusi hijau ditingkat petani. Lewat penyuluhan massal tersebut, petani diajari metode budidaya pangan (baca: padi) baru dianggap yang lebih menguntungkan. Tidak ada lagi kebebasan bagi petani untuk menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan atau utnuk memilih metode bertani yang akan diterapkan. Semua harus mengikuti arahan pemerintah (PPL). Bahkan diawal program BIMAS, sering terjadi kekarasan seperti: intimidasi dan penganiayaan karena petani menolak teknologi baru itu.
Dalam subsistem pengolahan, pemerintah melakukan control atas kualitas gabah yang dihasolkan petani, yaitu dengan melakukan standaraisasi mutu beras berdasarkan kadar air atau remenden. Padahal, dipihak lain, dipihak lain, pemerintah membatasi akses petani terhadap penguasaan dan pemilikan teknologi (penanganan pasca panen). Subsistem pemasaran dikontrol oleh pemerintah melalui kebijakan (penetapan) harga dasar gabah. Kebijakan tersebut dimaksudakan untuk meredam fluktuasi harga yang merugikan petani pada konsumen. Adanya Patoka harga dasar, diasumsikan dapat melindungi kepentingan petani dan konsumen. Petani diharapkan dapat enerima harga jual yang layak, sedangkan konsumen masih dapat menjangkaunya. Namun dalam prakteknya, harga riil yang diterima petani sering dibawah harga dasar. Bahkan, harga ditingkat petani biasanya sangat rendah (tidak layak). Nilai tambah terbesar justru dinikmati pedagang yang sering melakukan spekulasi dnegan menimbun stok. Politik harga dasar, cendrung lebih ditunjukan untuk mengamankan pengadaan stok pangan nasional ketimbang untuk meningkatkan pengadaan pendapatan petani. Rekayasa kelembagaan dilakukan pemerintah dengan membentuk KUD-KUD yang berperan sebagai agen penyedia saprotan, penyalur kredit usaha tani dan sekaligus sebagai penampung (pembeli) beras dari para petani atau pedagang perantara. Fungsi lambung sebagai tempat penyimpanan beras rakyat digantikan oleh gudang penyimpanan (beras) KUD. Fungsi ini semakin mempertegas kuatnya control negara atas penyediaan pangan.
Dibidang permodalan, pemerintah menyediakan dan fasilitas bagi petani untuk memperoleh kredit usaha tani (KUT) lewat bang atau KUD. KUT diperlukan untuk membeli saprotan dan membayar tenaga kerja (buruh). Niat baik pemerintah pengadaan kredit bagi petani, sayangnya sering menemukan kegagalan. Masalah yang sering dikeluhkan petani adalah : prosedur perolehan KUT yang terlalu rumit dan birokratis, adanya persyaratan berupa agunan (jaminan) serta pola pembayaran kredit yang tidak mengikuti musim tanam. KUT kebanyakan hanya bisa diakses oleh segelintir petani bermodal. Penmgadaan kredit tersebut menjadi awal dari munculnya ketergantungan patani pada input eksternal (pupuk kimia, benih, dan pestisida).
Dampak Revolusi hijau di Indonesia
Revolusi hijau mendapat kritik sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan kelestarian lingkungan karena mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Oleh para pendukungnya, kerusakan dipandang bukan karena Revolusi Hijau tetapi karena ekses dalam penggunaan teknologi yang tidak memandang kaidah-kaidah yang sudah ditentukan. Penerapan Revolusi Hijau sebagai paket teknologi yang padat modal mau tidak mau membutuhkan investasi dalam jumlah yang besar. baik dalam rangka pembangunan infrastruktur pendukung, maupun dalam implementasi program itu sendiri di tingkat petani. Pembangunan sarana, prasarana dan fasilitas tersebut menandai dimulainya era ketergantungan Indonesia terhadap bantuan dan pinjaman luar negeri, baik dalam bentuk uang maupun barang modal.
Memang awalnya, teknologi Revolusi Hijau di Indonesia dapat menaikan tingkat produksi pangan khususnya padi secara spektakuler. Pada decade 1970-an, Indonesia masih mengimpor 1,5 juta ton beras pertahun. Tetapi pada tahun 1985, Indonesia mampu mengekspor 1,5 juta ton beras. Antara tahun 1968 sampai 1984, produkai beras meningkat rata-rata sekitar 5% pertahun. Tetapi kesuksesan ini tidak bertahan lama.
Berdasarkan data BPS, kenaikan produktivitas lahan sawah khususnya di Jawa, sejak decade 1980-an, telah menunjukan pelandaian (leveling off). Padahal data BPS pada periode tahun 1980 sampai tahun 1991, menunjukan bahwa konsumsi pupuk terus meningkat. Gejala penurunan produktivitas lahan ini menunjukan adanya penurunan efisiensi penggunaan (penyerapan) pupuk dimana tingkat kenaikan produksi persatuan pupuk yang digunakan (ditambahkan) makin menurun. Penggunaan pupuk kimia yang berlebih dan secara terus menerus merupakan factor penyebab utama merosotnya produktivitas lahan-lahan sawah di Jawa.
Gambaran diatas setidaknya menunjukan bahwa hasil dari teknologi revolusi hijau telah mencapai titik jenuh atau titik puncak produktivitas (yield ceilings). Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa menurunnya produksi pangan dipacu oleh alih fungsi (konvensi) lahan; dari fungsi pertanian ke non pertanian, secara besar-besaran di Jawa dan diluar Jawa, tetapi penurunan tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebijakan teknologi revolusi hijau. Impor beras sebesar 2,5 juta ton yang dilakukan Bulog pada awal tahun 1998 ini, semakin mempertegas daya tahan revolusi hijau yang menyokong swa sembada beras di Indonesia. Dipihak lain, revolusihijau telah menimbulkan banyak masalah baru yang semakin kompleks dan sulit dipecahkan.
Studi kualitatif yang dilakukan ELSPPAT (Juli s.d. September 1997) di berbagai tempat di pulau Jawa, menunjukan bahwa teknologi revolusi hijau telah menimbulkan kerusakan ekosistem yang parah. Hal ini sebenarnya telah dilaporkan oleh IRRI Los Benos sebelas tahun lalu. Penggunaan pupuk (anorganik) dan pestisida secara besar-besaran dan tak terkendali telah menurunkan tingkat kesuburan lahan serta menimbulkan pencemaran lingkungan dan ledakan (serangan) hama penyakit yang tidak terkendali. Kondisi ini selain menimbulkan petani secara ekonomis, jugatelah mengganggu kesehatan dan mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain dimuka bumi.
Selain kerusakan lingkungn dan ancaman kelangsungan hidup manusia, teknologi revolusi hijau telagh memunculkan masalah lain, yaitu ketergantungan petani. Diantaranya adalah ketergantungan petani terhadap input eksternal buatan pabrik seperti pupuk kimia (anorganik), pestisida dan bahan sintesis lain. Ketergantungan ini sebenarnya belum tentu berarti jelek, tetapi karena nilai tukat produk pangan di Indonesia sangat rendah, maka ketergantungan itu cendrung memberatkan petani secara ekonomis.
Masuknya revolusi hijau dan menghilangkan pranata social budaya masyarakat local seperti : tanggung jawab social dalam penyediaan lapangan kerja, pengelolaan sumber daya alam secara kolektif (missal: lumbung desa, bank kompos, pengaturan air), tradisi gotong royong, serta teknologi dan pengetahuan local. Di Jawa misalnya, sistem budidaya yang berlandaskan penanggalan jawa (pranatamangsa), hampir tidak dikenal lagi. Pemaparan diatas setidaknya telah cukup untuk menggambarkan kegagalan revolusi hijau untuk menyejahtrakan petani. Bahkan jika dilihat dari kerusakan lingkungan yang terjadi, revolusi hijau telah mengancam kelangsungan makhluk hidup dibumi.
Kemudian yang disayangkan kebijakan pembangunan pertanian rezim Orde baru khususnya di subsistem budidaya tanaman pangan tidak banyak berubah, yaitu: masih sarat dengan muatan teknologi revolusi hijau. Hingga menjelang tumbangnnya rezim, kebijakan Orde Baru terus menempatkan petani dibawah baying-bayang BIMAS. Bahkan, program BIMAS selama tiga decade telah memantapkan ketergantungan petani Indonesia terhadap teknologi revolusi hijau.
Pemerintah bersikap acuh tak acuh terhadap dampak negative dan korban akibat revolusi hijau. Bahkan, kebijakan pertanian pemerintah masih melegitimasi pemaksaan terselubung terhadap petani. Lewat kebijakan perundang-undangan produk rezim Orde Baru yaitu: UU No. 12/1992 tentang sistem Budidaya Tanaman, pemerintah melakukan pembatasan sistematis dimana petani masih diwajibkan “berpartisipasi dalam pembangunan”. Dalam prakteknya, “berpartisipasi dalam pembangunan” berarti : kewajiban (baca: keharusan) petani untuk melaksanakan program tertentu yang telah direncanakan pemerintah.
Kewajiban tersebut merupakan pengingkaran terhadap kebebasan dan hak-hak petani untuk memilih sendiri corak produksinya. Kewajiban itu juga menciptakan ketergantungan petani terhadap pemerintah dan kaum kapitalis (pemodal). Petani tidak lagi punya kemandirian menentukan program kemandirian menentukan pilihan teknologinya sendiri dalam proses produksi. Lebih lanjut, kondisi ini ikut menyebabkan banyak sumber daya dan teknologi local yang dimiliki petani tidak termanfaatkan, bahkan diambil secara paksa dari tangan petani.










Daftar Pustaka
  • Tjondronegoro, S. M. P. (1989). “Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa”. Seminar Perubahan Sosial dan Demokrasi Pedesaan. PAU Ilmu Sosial. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
  • Djojohadikoesoemo. S. (1989). Perkembangan Ekonomi Indonesia Selama Empat Tahap Pelita 1969/1970-1988/1989. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia. Jakarta.
  • Koenjtorojakti, Dorojatun. Kemiskinan di Indonesia. Editor. Yayasan Obor. Jakarta.
  • Gudon Else dan Daniel, “Menggugat Revolusi Hijau”. Dalam Jurnal Wacana No. 12/Juli-Agustus 1998.
  • Soetikno, I. (1983). Politik Agraria Nasional.UGM Press. Yogyakarta