Senin, November 10, 2014

Peristiwa-Peristiwa Dramatisku


Saya percaya setiap orang punya pengalaman-pengalaman “dramatis”  dalam hidup. Bisa jadi peristiwa yang dialami dramatis bagi orang tertentu, namun belum tentu bagi yang lain. Kata “Dramatis” seolah-olah seperti adegan film menyentuh yang dibuat-buat oleh sang sutradara . Tapi ini bukan rekaan, namun asli pengalaman saya. Semoga sharing-sharing saya ini bermanfaat. Bukan bermaksud pamer. Lagi pula apa yang harus saya pamerkan dari kisah “dramatis” ini. Saya mencoba berusaha mengabadikannya dalam kata-kata. Mungkin banyak sekali peristiwa-peristiwa dramatis yang pernah saya alami, namun tidak semua saya ingat kembali. Jadi kisah ini mungkin hanya beberapa saja yang masih terekam dalam kenangan.


Pertama, saya ingat sekali ketika saya dan adik saya Si Atun (Hasanah)adik kandung saya bermain-main di Sekolah Dasar (SD) Karya Bhakti, mungkin usia saya baru 5 tahun dan adik saya 3 tahun. Saya dan si Atun menunggu kaka saya Elis yang masih belajar di dalam. Waktu itu si Atun nangis kepingin di belikan Es Mambo (Es Potong). Dia tiba-tiba menangis minta di belikan. Waktu itu saya yang momong di Atun tidak membawa uang sepeserpun. Tapi si Atun terus meraung-raung memaksa minta di belikan. Saya sudah berupaya mendiamkan Si Atun dengan berbagai cara, tapi tangisannya justru makin keras. Saya benar-benar panik. Saya takut di marahin guru karena kerasnya tangisan suara si Atun. 

Lama juga si Atun meraung-raung. Aku benar-benar jengkel waktu itu. “Ini bocah kenapa ya nangis kagak mau berenti?”. Alhamdulillah akhirnya ada Bang Herman lewat di depan kami, mungkin karena kasihan melihat kami akhirnya Bang Herman Mengeluarkan selembar uang Rp 100 rupiah klo saya tidak salah. Uang tersebut kemudian di berikan ke Si Atun, dan akhirnya kami bisa beli Es Mambo. Si Atun pun kembali tenang dan tidak nangis lagi. Kakak saya yang tadi saya lihat masih belajar di dalam kemudian keluar kelas karena pelajaran sudah selesai. Lalu aku bilang ke Kakaku klo Si Atun dari tadi nangis melulu. Kakaku Cuma senyum-senyum aja, lalu ia menggendong si Atun sampe rumah. Aku pun menceritakan kembali perihal nangisnya si Atun di Sekolah. Sejak itu aku menolak untuk membawa Si Atun ke Sekolah lagi. 

Peristiwa kedua yakni,  saat Aku dan Si Atun main di belakang rumah. Saat itu yang momong kami adalah Mpok Elis. Kebetulan di belakang rumah banyak sekali buah kelapa setengah tua. Kalau di kampung kami kelapa itu di sebut Daogan. Mirip-mirip kata degan sebagaimana kita kenal. Ya. Aku dan Si Atun sedang asyik main buah kelapa. Aku waktu itu sedang membawa golok. Dasar anak kecil yang suka mencoba-coba, aku belajar mengupas kelapa dengan menggunakan golok. Si Atun waktu itu posisinya ada di hadapanku. Ketika golok itu sedang aku ayunkan ke buah kelapa, ternyata tangan si Atun tiba-tiba ingin memegang buah kelapa. Kejadiannya terjadi begitu cepat. Tiba-tiba Si Atun berteriak-teriak kesakitan. Oh ternyata jari kelingkingnya terluka karena tergores golok yang aku gunakan. Aku benar-benar panik. Si Atun berterika kesakitan, Aku juga berteriak ketakutan sembari bilang tangan Si Atun berdarah. Kakaku juga berteriak kepanikan. Lukanya cukup lebar, tangan Si Atun yang mungil itu seolah-olah mau putus. Langsung seketika itu juga aku di marahi sama Ibuku. Aku semakin terkurung ketakutan. Seingatku, aku waktu itu ngumpet di pojok rumah. Kakaku Mpok Elis sepertinya sangat tidak bisa menerima kenyataan tangan adiknya terluka. Ia merasa sangat kecewa kepadaku. Ia juga merasa gagal sebagai kakak dalam momong kami. Aku lihat ia tidur terus-menerus. Sepertinya ia sangat frustasi, merasa bersalah. Peristiwa itu cukup membekas dalam ingatanku mungkin juga ingatan Mpok Elis dan Si Atun. Jari kelingking si Atun sekarang tidak lurus seperti kebanyakan tangan pada umumnya, tapi agak sedikit bengkok. Jika aku pandangi jari kelingkingnya, terkadang aku teringat kembali perstiwa yang telah terjadi belasan tahun yang lalu. Seakan-akan baru saja terjadi. Masih teringat kuat momen-momen kepanikan ketika tangan si Atun berlumuran darah. 

Ketiga, ketika itu saya masih kelas 6 SD, hari-hari terakhir menjelang meninggalkan sekolah itu begitu terasa. Saya harus siap berpisah dengan kawan-kawan lama. Waktu itu aku memang sedang kasmaran dengan seorang perempuan kampung sebelah teman sekelasku. Ya, semacam cinta monyet. Aku tertarik kepada seorang perempuan yang aku anggap hebat. Ia anak yang cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Bahasa inggrisnya juga luar biasa. Anaknya juga tidak sombong dan mudah akrab. Aku masih ingat waktu itu aku sedang ulangan. Kebetulan ia dapat menyelesaikan ulangan terlebih dahulu, sedangkan aku, masih pusing dengan soal-soal yang aku anggap sulit dikerjakan. Entah mengapa ia masih memperhatikanku dari balik kaca. Aku merasa di perhatikan. Dia sepertinya ingin membantuku menyelesaikan soal-soal ulangan tersebut. Ia dari balik kaca memberikan semacam kode dengan tangannya. Aku tidak paham sama sekali maksudnya. Tapi kepeduliannya membuat hatiku tersentuh dan semakin kagum kepadanya. Sayang momen-momen itu tidak berlangsung lama, karena pengumuman kelulusan segera dilakukan oleh sekolah. Dan entah bagaimana setelah aku di daftarkan masuk MTs Nurul Falaah, aku tidak menjumpai mereka lagi, khusunya si perempuan tersebut, hingga sekarang aku tidak pernah bertemu lagi. Bahkan sudah lupa raut wajahnya. Mungkin dia sudah menikah dan punya anak. 

Keempat, peristiwa ini terjadi saat saya kelas 9 MTs. Memang ketika aku masih Mts, Kondisi perekonomian keluargaku sangat memprihatinkan. Peternakan lele ayah sedang lesu, sehingga tidak ada lagi pemasukan buat keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga tidak punya keterampilan lain selain menjadi kuli upahan. Waktu itu benar-benar sulit secara keuangan. Ongkos untuk aku sekolah saja terkadang kewalahan. Bahkan pinjam ke kakak pertamaku. Di sisi lain ibuku seperti biasa tidak mengerti keadaan, siang-malam ia selalu bertengkar dengan ayah. Pertengkaran mulut kerap kali terjadi. Apa yang mereka ributkan tidak jauh-jauh yakni persoalan uang. Semuanya benar-benar masuk ke relung hatiku. Imbasnya di sekolah aku pun menjadi kurang semangat. Aku lebih senang menyendiri. Akusering merenung meratapi kondisi keluargaku yang lagi krisis. 

Waktu itu aku akan menghadapi ujian sekolah. Dan supaya bisa mengikuti ujian tersebut aku dan para siswa yang lain di minta oleh pihak sekolah untuk membayar uang ujian sebesar tiga ratus ribuan. Pemberitahuan itu sudah jauh-jauh hari di sampaikan oleh pihak sekolah agar orang tua kami bisa membayarnya segera. Pengumuman itu sudah aku sampaikan ke orang tua. Entah mungkin sedang tidak ada uang, orangtuaku tidak terlalu merespon. Lama-kelamaan menjadi terlupakan. Hingga tiba saatnya ketika menjelang batas 3 hari waktu yang ditetapkan sekolah, aku dan beberapa siswa yang lain belum juga membayarnya. Akibatnya pihak sekolah memberikan peringatan terakhir, jika belum juga di bayarkan, aku dan beberapa kawan akan terancam tidak ikut ujian. Aku dan kawan-kawan di kumpulkan di tengah lapangan, disuruh berbaris, sembari mendengarkan wejangan dari kepala sekolah. Sungguh aku sangat malu sekali. Apalagi teman-teman yang sudah bayar melihat kami dari berbagai sudut. Benar-benar tertekan perasaanku. 

Apa yang aku alami aku ceritakan di rumah. Orang tuaku mungkin juga sedang pusing bagaimana dalam sehari bisa punya uang tiga ratus ribu. Mereka terlihat panik. Bahkan ayahku yang sedikit tempramental pernah sampai mengungkapkan kalimat yang sangat tidak enak di dengar. “Berhenti saja lah sekolah!”. Kemudian ibu saya segera menanggapi dengan pernyataan tandingan “ Eh Elu jangan begitu, Elu pengen anaklu bodo kaya kita?”. Begitu kira-kira sedikit pertengkaran yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Di tengah kegelisahan kami mencari pinjaman, tiba-tiba Bang Mukhlis datang dan duduk di bale depan rumahku. Entah mungkin dia mendengar percakapan orang tuaku atau mungkin merasa iba, ia lalu menawarkan pinjaman uang. Orang tuaku sangat senang. Alhamdulillah akhirnya ada orang yang bisa minjemin uang. Aku pun sedikit lega. Karena aku bisa segera membayarkan ke pihak sekolah. Dan yang paling menggermbirakanku adalah ketika pengumuman kelulusan, namaku di sebut sebagai juara dua nilai tertinggi Ujian Nasional, meskipun nilai Ujian Sekolahku mendapat peringkat sepuluh. Orang tuaku diundang datang. Ayahku yang datang merasa sangat bangga karena namaku di sebut.  Kemudian aku bersalaman dengan beberapa perwakilan guru yang berdiri di atas pangung. Aku ingat Pak Omad Guru Bahasa Inggris menyalamiku sembari menepuk pundakku. "Semoga menjadi orang sukses!". Aku benar-benar merasakan aura emosional guru-guru tersebut.

Kelima, peristiwa ini terjadi saat aku melakukan daftar ulang di SMUN 1 Parung (sekarang SMAN 1 Parung). Setelah aku di terima sebagai siswa baru di SMUN 1 Parung, aku langsung mengikuti proses daftar ulang yang sudah ditentukan oleh pihak sekolah. Ya, di tahun 2005, aku lupa bulan dan tanggalnya. Yang pasti waktu itu aku dan ayah, datang ke Sekolah untuk daftar ulang membayarkan segala macam biaya. Seingatku waktu itu biaya keseluruhan yang aku harus setorkan adalah Rp. 2.540.000. Untuk ukuran waktu itu bagi keluarga kami, angka itu cukup besar. Namun berhubung SMUN 1 Parung telah di kenal sebagai sekolah yang bagus, Ayahku merasa bersemangat mendaftarkanku. Di tambah tetanggaku banyak yang memujiku berhasil masuk ke SMUN 1 Parung yang terkenal selektif dalam menerima siswa baru. Aku sangat mengerti bahwa ayah tidak punya uang banyak di kantongnya. Dia hanya membawa uang sebesar Rp 600.000. Ketika lagi antre, ayahku selalu berbisik-bisik ketelingaku bahwa ia sangat gelisah “Boleh gak ya bayar 600.000 dulu?”. Aku hanya terdiam lesu saja sembari berharap ada keringanan dari sekolah. Ketika kami sedang galau, tiba-tiba ibu-ibu di barisan paling depan sembari meminta keringanan kepada pihak sekolah bahwa dia belum sanggup membayar secara penuh, namun satu juta terlebih dahulu dan sisanya menyusul. Sontak saja aku dan ayah makin panik. Ibu-ibu yang bawa uang satu juga saja sampe segitunya meminta keringanan. Lalu kami yang hanya bawa uang 600.000 nasibnya bagaimana?.

Alhamdulillah, akhirnya ayahku di perbolehkan menyetorkan uangnya sebanyak 600.000 dan aku diperbolehkan ikut proses selanjutnya yakni wawancara, dan mengukur baju seragam. Hatiku tenang sekali waktu itu. Peristiwa itu semakin membuat aku menyadari bahwa memang keluarga saya secara ekonomi bisa dikatakan kedalam golongan kurang mampu. Adapun aku melihat teman-teman yang lain sekilas mereka banyak berasal dari kalangan menengah ke atas. Meskipun tidak aku pungkiri ada yang lebih miskin dari keluargaku. Bersambung....
Bogor, 10 November 2014

Tidak ada komentar: