Saya percaya setiap orang punya
pengalaman-pengalaman “dramatis” dalam
hidup. Bisa jadi peristiwa yang dialami dramatis bagi orang tertentu, namun
belum tentu bagi yang lain. Kata “Dramatis” seolah-olah seperti adegan film menyentuh
yang dibuat-buat oleh sang sutradara . Tapi ini bukan rekaan, namun asli
pengalaman saya. Semoga sharing-sharing saya ini bermanfaat. Bukan bermaksud
pamer. Lagi pula apa yang harus saya pamerkan dari kisah “dramatis” ini. Saya
mencoba berusaha mengabadikannya dalam kata-kata. Mungkin banyak sekali
peristiwa-peristiwa dramatis yang pernah saya alami, namun tidak semua saya
ingat kembali. Jadi kisah ini mungkin hanya beberapa saja yang masih terekam
dalam kenangan.
Pertama, saya ingat sekali
ketika saya dan adik saya Si Atun (Hasanah)adik kandung saya bermain-main di
Sekolah Dasar (SD) Karya Bhakti, mungkin usia saya baru 5 tahun dan adik saya 3
tahun. Saya dan si Atun menunggu kaka saya Elis yang masih belajar di dalam. Waktu
itu si Atun nangis kepingin di belikan Es Mambo (Es Potong). Dia tiba-tiba
menangis minta di belikan. Waktu itu saya yang momong di Atun tidak membawa
uang sepeserpun. Tapi si Atun terus meraung-raung memaksa minta di belikan.
Saya sudah berupaya mendiamkan Si Atun dengan berbagai cara, tapi tangisannya
justru makin keras. Saya benar-benar panik. Saya takut di marahin guru karena
kerasnya tangisan suara si Atun.
Lama juga si Atun meraung-raung.
Aku benar-benar jengkel waktu itu. “Ini bocah kenapa ya nangis kagak mau
berenti?”. Alhamdulillah akhirnya ada Bang Herman lewat di depan kami, mungkin
karena kasihan melihat kami akhirnya Bang Herman Mengeluarkan selembar uang Rp
100 rupiah klo saya tidak salah. Uang tersebut kemudian di berikan ke Si Atun,
dan akhirnya kami bisa beli Es Mambo. Si Atun pun kembali tenang dan tidak
nangis lagi. Kakak saya yang tadi saya lihat masih belajar di dalam kemudian
keluar kelas karena pelajaran sudah selesai. Lalu aku bilang ke Kakaku klo Si
Atun dari tadi nangis melulu. Kakaku Cuma senyum-senyum aja, lalu ia
menggendong si Atun sampe rumah. Aku pun menceritakan kembali perihal nangisnya
si Atun di Sekolah. Sejak itu aku menolak untuk membawa Si Atun ke Sekolah
lagi.
Peristiwa kedua
yakni, saat Aku dan Si Atun main di
belakang rumah. Saat itu yang momong kami adalah Mpok Elis. Kebetulan di
belakang rumah banyak sekali buah kelapa setengah tua. Kalau di kampung kami
kelapa itu di sebut Daogan. Mirip-mirip kata degan sebagaimana kita
kenal. Ya. Aku dan Si Atun sedang asyik main buah kelapa. Aku waktu itu sedang
membawa golok. Dasar anak kecil yang suka mencoba-coba, aku belajar mengupas
kelapa dengan menggunakan golok. Si Atun waktu itu posisinya ada di hadapanku.
Ketika golok itu sedang aku ayunkan ke buah kelapa, ternyata tangan si Atun
tiba-tiba ingin memegang buah kelapa. Kejadiannya terjadi begitu cepat.
Tiba-tiba Si Atun berteriak-teriak kesakitan. Oh ternyata jari kelingkingnya
terluka karena tergores golok yang aku gunakan. Aku benar-benar panik. Si Atun
berterika kesakitan, Aku juga berteriak ketakutan sembari bilang tangan Si Atun
berdarah. Kakaku juga berteriak kepanikan. Lukanya cukup lebar, tangan Si Atun
yang mungil itu seolah-olah mau putus. Langsung seketika itu juga aku di marahi
sama Ibuku. Aku semakin terkurung ketakutan. Seingatku, aku waktu itu ngumpet
di pojok rumah. Kakaku Mpok Elis sepertinya sangat tidak bisa menerima
kenyataan tangan adiknya terluka. Ia merasa sangat kecewa kepadaku. Ia juga
merasa gagal sebagai kakak dalam momong kami. Aku lihat ia tidur terus-menerus.
Sepertinya ia sangat frustasi, merasa bersalah. Peristiwa itu cukup membekas
dalam ingatanku mungkin juga ingatan Mpok Elis dan Si Atun. Jari kelingking si
Atun sekarang tidak lurus seperti kebanyakan tangan pada umumnya, tapi agak
sedikit bengkok. Jika aku pandangi jari kelingkingnya, terkadang aku teringat
kembali perstiwa yang telah terjadi belasan tahun yang lalu. Seakan-akan baru
saja terjadi. Masih teringat kuat momen-momen kepanikan ketika tangan si Atun
berlumuran darah.
Ketiga, ketika itu saya
masih kelas 6 SD, hari-hari terakhir menjelang meninggalkan sekolah itu begitu
terasa. Saya harus siap berpisah dengan kawan-kawan lama. Waktu itu aku memang
sedang kasmaran dengan seorang perempuan kampung sebelah teman sekelasku. Ya,
semacam cinta monyet. Aku tertarik kepada seorang perempuan yang aku anggap
hebat. Ia anak yang cerdas dan selalu menjadi juara kelas. Bahasa inggrisnya
juga luar biasa. Anaknya juga tidak sombong dan mudah akrab. Aku masih ingat
waktu itu aku sedang ulangan. Kebetulan ia dapat menyelesaikan ulangan terlebih
dahulu, sedangkan aku, masih pusing dengan soal-soal yang aku anggap sulit
dikerjakan. Entah mengapa ia masih memperhatikanku dari balik kaca. Aku merasa
di perhatikan. Dia sepertinya ingin membantuku menyelesaikan soal-soal ulangan
tersebut. Ia dari balik kaca memberikan semacam kode dengan tangannya. Aku
tidak paham sama sekali maksudnya. Tapi kepeduliannya membuat hatiku tersentuh
dan semakin kagum kepadanya. Sayang momen-momen itu tidak berlangsung lama,
karena pengumuman kelulusan segera dilakukan oleh sekolah. Dan entah bagaimana
setelah aku di daftarkan masuk MTs Nurul Falaah, aku tidak menjumpai mereka
lagi, khusunya si perempuan tersebut, hingga sekarang aku tidak pernah bertemu
lagi. Bahkan sudah lupa raut wajahnya. Mungkin dia sudah menikah dan punya
anak.
Keempat, peristiwa ini
terjadi saat saya kelas 9 MTs. Memang ketika aku masih Mts, Kondisi
perekonomian keluargaku sangat memprihatinkan. Peternakan lele ayah sedang
lesu, sehingga tidak ada lagi pemasukan buat keluarga. Ayah sebagai kepala
keluarga tidak punya keterampilan lain selain menjadi kuli upahan. Waktu itu
benar-benar sulit secara keuangan. Ongkos untuk aku sekolah saja terkadang
kewalahan. Bahkan pinjam ke kakak pertamaku. Di sisi lain ibuku seperti biasa
tidak mengerti keadaan, siang-malam ia selalu bertengkar dengan ayah.
Pertengkaran mulut kerap kali terjadi. Apa yang mereka ributkan tidak jauh-jauh
yakni persoalan uang. Semuanya benar-benar masuk ke relung hatiku. Imbasnya di
sekolah aku pun menjadi kurang semangat. Aku lebih senang menyendiri. Akusering
merenung meratapi kondisi keluargaku yang lagi krisis.
Waktu itu aku akan menghadapi
ujian sekolah. Dan supaya bisa mengikuti ujian tersebut aku dan para siswa yang
lain di minta oleh pihak sekolah untuk membayar uang ujian sebesar tiga ratus
ribuan. Pemberitahuan itu sudah jauh-jauh hari di sampaikan oleh pihak sekolah
agar orang tua kami bisa membayarnya segera. Pengumuman itu sudah aku sampaikan
ke orang tua. Entah mungkin sedang tidak ada uang, orangtuaku tidak terlalu
merespon. Lama-kelamaan menjadi terlupakan. Hingga tiba saatnya ketika
menjelang batas 3 hari waktu yang ditetapkan sekolah, aku dan beberapa siswa
yang lain belum juga membayarnya. Akibatnya pihak sekolah memberikan peringatan
terakhir, jika belum juga di bayarkan, aku dan beberapa kawan akan terancam
tidak ikut ujian. Aku dan kawan-kawan di kumpulkan di tengah lapangan, disuruh
berbaris, sembari mendengarkan wejangan dari kepala sekolah. Sungguh aku sangat
malu sekali. Apalagi teman-teman yang sudah bayar melihat kami dari berbagai
sudut. Benar-benar tertekan perasaanku.
Apa yang aku alami aku ceritakan
di rumah. Orang tuaku mungkin juga sedang pusing bagaimana dalam sehari bisa
punya uang tiga ratus ribu. Mereka terlihat panik. Bahkan ayahku yang sedikit
tempramental pernah sampai mengungkapkan kalimat yang sangat tidak enak di
dengar. “Berhenti saja lah sekolah!”. Kemudian ibu saya segera menanggapi
dengan pernyataan tandingan “ Eh Elu jangan begitu, Elu pengen anaklu bodo kaya
kita?”. Begitu kira-kira sedikit pertengkaran yang terjadi antara Ayah dan Ibu.
Di tengah kegelisahan kami mencari pinjaman, tiba-tiba Bang Mukhlis datang dan
duduk di bale depan rumahku. Entah mungkin dia mendengar percakapan orang tuaku
atau mungkin merasa iba, ia lalu menawarkan pinjaman uang. Orang tuaku sangat
senang. Alhamdulillah akhirnya ada orang yang bisa minjemin uang. Aku pun
sedikit lega. Karena aku bisa segera membayarkan ke pihak sekolah. Dan yang
paling menggermbirakanku adalah ketika pengumuman kelulusan, namaku di sebut
sebagai juara dua nilai tertinggi Ujian Nasional, meskipun nilai Ujian
Sekolahku mendapat peringkat sepuluh. Orang tuaku diundang datang. Ayahku yang
datang merasa sangat bangga karena namaku di sebut. Kemudian aku bersalaman dengan beberapa perwakilan guru yang berdiri di atas pangung. Aku ingat Pak Omad Guru Bahasa Inggris menyalamiku sembari menepuk pundakku. "Semoga menjadi orang sukses!". Aku benar-benar merasakan aura emosional guru-guru tersebut.
Kelima, peristiwa ini
terjadi saat aku melakukan daftar ulang di SMUN 1 Parung (sekarang SMAN 1
Parung). Setelah aku di terima sebagai siswa baru di SMUN 1 Parung, aku
langsung mengikuti proses daftar ulang yang sudah ditentukan oleh pihak
sekolah. Ya, di tahun 2005, aku lupa bulan dan tanggalnya. Yang pasti waktu itu
aku dan ayah, datang ke Sekolah untuk daftar ulang membayarkan segala macam
biaya. Seingatku waktu itu biaya keseluruhan yang aku harus setorkan adalah Rp.
2.540.000. Untuk ukuran waktu itu bagi keluarga kami, angka itu cukup besar.
Namun berhubung SMUN 1 Parung telah di kenal sebagai sekolah yang bagus, Ayahku
merasa bersemangat mendaftarkanku. Di tambah tetanggaku banyak yang memujiku
berhasil masuk ke SMUN 1 Parung yang terkenal selektif dalam menerima siswa
baru. Aku sangat mengerti bahwa ayah tidak punya uang banyak di kantongnya. Dia
hanya membawa uang sebesar Rp 600.000. Ketika lagi antre, ayahku selalu
berbisik-bisik ketelingaku bahwa ia sangat gelisah “Boleh gak ya bayar 600.000
dulu?”. Aku hanya terdiam lesu saja sembari berharap ada keringanan dari sekolah.
Ketika kami sedang galau, tiba-tiba ibu-ibu di barisan paling depan sembari
meminta keringanan kepada pihak sekolah bahwa dia belum sanggup membayar secara
penuh, namun satu juta terlebih dahulu dan sisanya menyusul. Sontak saja aku
dan ayah makin panik. Ibu-ibu yang bawa uang satu juga saja sampe segitunya
meminta keringanan. Lalu kami yang hanya bawa uang 600.000 nasibnya bagaimana?.
Alhamdulillah, akhirnya ayahku di
perbolehkan menyetorkan uangnya sebanyak 600.000 dan aku diperbolehkan ikut
proses selanjutnya yakni wawancara, dan mengukur baju seragam. Hatiku tenang
sekali waktu itu. Peristiwa itu semakin membuat aku menyadari bahwa memang
keluarga saya secara ekonomi bisa dikatakan kedalam golongan kurang mampu.
Adapun aku melihat teman-teman yang lain sekilas mereka banyak berasal dari
kalangan menengah ke atas. Meskipun tidak aku pungkiri ada yang lebih miskin
dari keluargaku. Bersambung....
Bogor, 10 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar