Perjalanan saya sudah sampai di sini. Kini saya terdampar di
Magelang, tepatnya di Mungkid Kabupaten Magelang. Sudah 10 bulan saya mengajar
di SMA IT ihsanul Fikri Magelang. Selama 10 bulan itu telah banyak kesan yang
saya peroleh. Bertemu dengan orang-orang
baru dengan beragam karakteristik, beragam daerah, beragam pengalaman hidup. Banyak sekali yang ingin saya ceritakan.
Mungkin saya adalah orang yang paling jauh dari yang
lainnya. Saya terima tawaran mengajar sejarah di SMA IT Ihsanul Fikri. Perasaan
saya waktu itu agak lega sekali. Alhamdulillah akhirnya saya bisa langsung
mengajar. Plong sekali perasaan saya. Serasa beban di pundak lepas,
pikiran saya menjadi ringan. Selama kuliah di Undip 5 tahun 2 bulan, saya
merasa berat sekali. Benar-benar capek pikiran menjadi mahasiswa. Bukan karena
tugas kuliah, atau merasa berat belajar, tapi karena hal lain, yakni faktor
keluarga. Saya pribadi sangat bersemangat dalam belajar. Ketika di kelas pun
saya sangat antusias dan apresiasi dengan sering-sering bertanya. Saya menikmati masa-masa kuliah. Namun di sisi lain ada yang selalu mengganjal di pikiran saya hingga
saat ini.
Secara materi keluarga saya telah membiayai kuliah saya.
Meski terkadang banyak sekali keperluan yang belum saya dapatkan. Saya mengerti
keadaan keluarga saya yang pas-pasan itu. Sengaja saya sedikit cuek dengan
keadaan. Saya tidak ingin terlalu terbawa perasaan karena selalu terkungkung
dengan kesulitan-kesulitan keluarga saya. Saya berusaha rasional agar saya bisa
fokus belajar daripada terkuras dengan kondisi keluarga saya.
Mengapa saya menjadi cuek dengan keadaan. Bukan berarti cuek
seperti pribahasa “bagaikan kacang lupa kulitnya”. Bukan!. Tapi hal itu sengaja
saya lakukan dengan pertimbangan masa depan saya. Ternyata jika saya renungkan,
terlalu terbawa emosi mengenai kondisi keluarga, keinginan keluarga,
harapan-harapan keluarga itu tidak sepenuhnya membawa jalan kebaikan di masa
depan. Meski hal ini tidak saya sampaikan secara terang-terangan kepada
keluarga. Saya rasa keluarga saya sulit memahaminya, terutama ibu saya sendiri.
Saya ingin pikiran saya merdeka tidak melulu terkungkung dalam
ketidakberdayaan. Saya ingin merdeka sedari pikiran.
Saya membaca kondisi keluarga saya memang kurang kondusif t
untuk membentuk perilaku anak-anaknya. Mungkin pula dikarenakan kondisi
lingkungan masyarakat yang tidak kondusif, sehingga keluarga saya pun menjadi
tidak kondusif.
Sejak kecil saya merasa terkungkung dalam pergaulan.
Keinginan-keinginan, cita-cita impian saya kurang mendapatkan dorongan moril
dari keluarga. Itu saya sudah sadari ketika masa SMA, sehingga memang sengaja
saya memilih menjaga jarak dengan keluarga dengan memutuskan melanjutkan
perguruan tinggi di tempat yang jauh yakni Semarang. Dan alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya.
Doa yang selalu saya panjatkan ketika shalat lima waktu. Jadi memang saya sudah
merencanakan sejak SMA apa yang ingin saya capai beberapa tahun kemudian.
Merealisasikan rencana-rencana bukanlah hal yang mudah.
Butuh kerja keras, bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga menguras pikiran
dan perasaan. Yang terakhir inilah bagi saya adalah yang paling berat. Menguras
tenaga mungkin meski berat, masih mampu saya lakukan walaupun terseok-seok,
berdarah-darah. Tetapi yang paling berat yakni mengondidikan perasaan. Saya
merasa menjadi anak yang nekat. Dimana teman-teman saya yang lain telah bekerja,
sebagian sudah menikah, tapi saya terus mengejar pendidikan dari SMA hingga
sarjana. Padahal pendidikan bukanlah tempat untuk menumpuk kekayaan secara
tiba-tiba. Saya sadar betul itu. Dan saya untuk menempuh itu pun masih mendapat
biaya orang tua. Masalahnya begini, secara ekonomi sebetulnya keluarga saya
mampu membiayai saya. Saya sudah memperhitungkan itu, melihat pendapatan
keluarga saya dari beternak cukup banyak. Namun saya melihat keluarga saya
tidak punya manajemen yang jelas dalam pengelolaan keuangan sehingga uang tetap
saja habis. Jadi saya berpikir daripada uang habis untuk konsumsi jangka pendek
saja, lebih baik buat biaya saya sekolah. Saya berharap siapa tahu di masa depan nasib
saya berubah. Saya berharap ada
perubahan dalam kehidupan saya dan keluarga saya. Akhirnya saya “paksakan” orang
tua untuk mengalokasikan dana untuk saya kuliah. Alhamdulillah akhirnya mereka
dengan senang hati meski mungkin di dalam pikiran mereka penuh dengan
kebimbangan, apakah mampu membiayai saya sampai selesai. Biaya kontrakan, biaya
hidup, biaya tak terduga lainnya mungkin sedang menggelayuti pikirannya.
Saya beruntung sekali,sebagian rencana saya sejak beberapa
tahun lalu, imajinasi, bayangan yang kerap saya lantunkan dalam doa sebagian
telah terwujud. Tinggal melangkah ke tahap selanjutnya. Dari situ saya
benar-benar memahami bahwa banyak sekali lika-liku kehidupan yang tak
terbayangkan dalam rencana sebelumnya. Dahulu pun saya tak membayangkan sama sekali
bahwa saya bisa terdampar di Kota Sejuta Bunga ini.
To be continued...
Mungkid, 1 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar