Sabtu, November 01, 2014

Terdampar




Perjalanan saya sudah sampai di sini. Kini saya terdampar di Magelang, tepatnya di Mungkid Kabupaten Magelang. Sudah 10 bulan saya mengajar di SMA IT ihsanul Fikri Magelang. Selama 10 bulan itu telah banyak kesan yang saya peroleh.  Bertemu dengan orang-orang baru dengan beragam karakteristik, beragam daerah, beragam pengalaman hidup.  Banyak sekali yang ingin saya ceritakan.


Mungkin saya adalah orang yang paling jauh dari yang lainnya. Saya terima tawaran mengajar sejarah di SMA IT Ihsanul Fikri. Perasaan saya waktu itu agak lega sekali. Alhamdulillah akhirnya saya bisa langsung mengajar. Plong sekali perasaan saya. Serasa beban di pundak  lepas,  pikiran saya menjadi ringan. Selama kuliah di Undip 5 tahun 2 bulan, saya merasa berat sekali. Benar-benar capek pikiran menjadi mahasiswa. Bukan karena tugas kuliah, atau merasa berat belajar, tapi karena hal lain, yakni faktor keluarga. Saya pribadi sangat bersemangat dalam belajar. Ketika di kelas pun saya sangat antusias dan apresiasi dengan sering-sering bertanya.  Saya menikmati masa-masa kuliah. Namun di sisi lain ada yang selalu mengganjal di pikiran saya hingga saat ini. 

Secara materi keluarga saya telah membiayai kuliah saya. Meski terkadang banyak sekali keperluan yang belum saya dapatkan. Saya mengerti keadaan keluarga saya yang pas-pasan itu. Sengaja saya sedikit cuek dengan keadaan. Saya tidak ingin terlalu terbawa perasaan karena selalu terkungkung dengan kesulitan-kesulitan keluarga saya. Saya berusaha rasional agar saya bisa fokus belajar daripada terkuras dengan kondisi keluarga saya. 

Mengapa saya menjadi cuek dengan keadaan. Bukan berarti cuek seperti pribahasa “bagaikan kacang lupa kulitnya”. Bukan!. Tapi hal itu sengaja saya lakukan dengan pertimbangan masa depan saya. Ternyata jika saya renungkan, terlalu terbawa emosi mengenai kondisi keluarga, keinginan keluarga, harapan-harapan keluarga itu tidak sepenuhnya membawa jalan kebaikan di masa depan. Meski hal ini tidak saya sampaikan secara terang-terangan kepada keluarga. Saya rasa keluarga saya sulit memahaminya, terutama ibu saya sendiri. Saya ingin pikiran saya merdeka tidak melulu terkungkung dalam ketidakberdayaan. Saya ingin merdeka sedari pikiran.

Saya membaca kondisi keluarga saya memang kurang kondusif t untuk membentuk perilaku anak-anaknya. Mungkin pula dikarenakan kondisi lingkungan masyarakat yang tidak kondusif, sehingga keluarga saya pun menjadi tidak kondusif. 

Sejak kecil saya merasa terkungkung dalam pergaulan. Keinginan-keinginan, cita-cita impian saya kurang mendapatkan dorongan moril dari keluarga. Itu saya sudah sadari ketika masa SMA, sehingga memang sengaja saya memilih menjaga jarak dengan keluarga dengan memutuskan melanjutkan perguruan tinggi di tempat yang jauh yakni Semarang.  Dan alhamdulillah, Allah mengabulkan doa saya. Doa yang selalu saya panjatkan ketika shalat lima waktu. Jadi memang saya sudah merencanakan sejak SMA apa yang ingin saya capai beberapa tahun kemudian. 

Merealisasikan rencana-rencana bukanlah hal yang mudah. Butuh kerja keras, bukan hanya menguras tenaga, tetapi juga menguras pikiran dan perasaan. Yang terakhir inilah bagi saya adalah yang paling berat. Menguras tenaga mungkin meski berat, masih mampu saya lakukan walaupun terseok-seok, berdarah-darah. Tetapi yang paling berat yakni mengondidikan perasaan. Saya merasa menjadi anak yang nekat. Dimana teman-teman saya yang lain telah bekerja, sebagian sudah menikah, tapi saya terus mengejar pendidikan dari SMA hingga sarjana. Padahal pendidikan bukanlah tempat untuk menumpuk kekayaan secara tiba-tiba. Saya sadar betul itu. Dan saya untuk menempuh itu pun masih mendapat biaya orang tua. Masalahnya begini, secara ekonomi sebetulnya keluarga saya mampu membiayai saya. Saya sudah memperhitungkan itu, melihat pendapatan keluarga saya dari beternak cukup banyak. Namun saya melihat keluarga saya tidak punya manajemen yang jelas dalam pengelolaan keuangan sehingga uang tetap saja habis. Jadi saya berpikir daripada uang habis untuk konsumsi jangka pendek saja, lebih baik buat biaya saya sekolah.  Saya berharap siapa tahu di masa depan nasib saya berubah.  Saya berharap ada perubahan dalam kehidupan saya dan keluarga saya. Akhirnya saya “paksakan” orang tua untuk mengalokasikan dana untuk saya kuliah. Alhamdulillah akhirnya mereka dengan senang hati meski mungkin di dalam pikiran mereka penuh dengan kebimbangan, apakah mampu membiayai saya sampai selesai. Biaya kontrakan, biaya hidup, biaya tak terduga lainnya mungkin sedang menggelayuti pikirannya. 

Saya beruntung sekali,sebagian rencana saya sejak beberapa tahun lalu, imajinasi, bayangan yang kerap saya lantunkan dalam doa sebagian telah terwujud. Tinggal melangkah ke tahap selanjutnya. Dari situ saya benar-benar memahami bahwa banyak sekali lika-liku kehidupan yang tak terbayangkan dalam rencana sebelumnya. Dahulu pun saya tak membayangkan sama sekali bahwa saya bisa terdampar di Kota Sejuta Bunga ini.

To be continued...
Mungkid, 1 November 2014

Tidak ada komentar: