Selasa, September 24, 2013

Apakah Mental Kita Terhegemoni?

 

Indonesia memang telah menyatakan diri merdeka 68 tahun silam tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi butuh waktu 4 tahun agar terbebas dari dominasi Belanda cs yang ingin mengekalkan kembali kekuasaannya di bumi pertiwi ini. Tahun 1949 merupakan penegasan bahwa Indonesia secara sah kembali menjadi Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI). Indonesia kian mantap tegak berdiri sebagai sebuah negara. 


Secara fisik Indonesia memang telah terbebas dari dominasi bangsa penjajah. Namun sudahkah Indonesia terbebas dari ‘hegemoni’ bangsa penjajah? Jawabannya belum tentu. Apa yang di maksud ‘dominasi? Apa yang dimaksud ‘hegemoni’? 

Antonio Gramsci (1891-1937) membedakan antara konsep "dominasi" dan"hegemoni". Dominasi merupakan model penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, sedangkan hegemoni adalah model penguasaan yang lebih halus,yaitu secara ideologis.

Dalam catatannya yang diberi judul Selection from Prison Notebooks, Gramci pernah menganalisa relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektif‘hegemoni’,  ia menganalisa bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, danmedia massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompokpenguasa. Alat kontrol tersebut memainkan peranan penting dalam menciptakanlembaga dan sistem yang melestarikan ideologi kelas  dominan

Dalam konteks Indonesia, siapakah kelompok penguasa? Siapakah kelas dominan yang memainkan pengaruhnya di negeri berpenduduk 250 juta manusia ini?. Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu. Penulis akan terlebih dahulu meraba-raba siapakah aktor yang mendominasi sekaligus yang menanamkan hegemoninya di Indonesia.

Sejak penjajah terusir dari Indonesia, berangusr-angsur kepenguasaan struktural negeri ini telah beralih ke tangan pemimpin-pemimpin bangsa sendiri. Semua pejabat-pejabatnegara yang ada dalam birokrasi beralih ke tangan bangsa Indonesia. Segala bentuk dominasi yang nampak telah didepak dari bumi pertiwi. Penjajah yang mendominasi akan sangat mungkin menghegemoni bangsa yang dijajah, tetapi bukan sebuah keniscayaan mutlak. Bangsa yang tidak mendominasi bukan berarti tidak bisa menghegemoni, karena hegemoni merupakan penguasaan secara halus dan tidakmelulu suatu bangsa datang kesuatu tempat. Adakalanya pancaran ‘hegemoni’ tersebar melalui saluran informasi dengan sendirinya. Adakalanya juga sengaja disebarkan.

Lalu bagaimana dengan bentuk hegemoni yang ‘halus’ alias tak nampak di Indonesia? Sudahkah terusir juga? Apakah cuma sekadar ‘ganti’ baju saja dan melanjutkan sisa-sisa peninggalan penjajah? 

Sebagai ilustrasi saya akan menggunakan contoh dalam perhelatan Miss World  (MW) 2013 yang diselenggarakan di Indonesia. Ajang kontes Ratu Sejagad ini setidaknya telah membagi masyarakat kita menjadi 3 kubu. Kubu pertama merupakan pihak yang mendukung, sedangkan kubu kedua adalah pihak yang menolak. Kubu pendukung  beralasan bahwa tidaklah menjadi masalah MW dilangsungkan di Indonesia. Mereka menilai bahwa dalam pelaksanaannya para peserta MW telah menyesuaikan dengan kebudayaan Indonesia. Lagi pula dengan dilangsungkannya MW di Indonesia justru semakin dikenal di mata dunia. Para peserta juga tidak hanya dinilai dari sisifisiknya saja akan tetapi aspek intelektual, dan behavour. Begitu kira-kira intiatas dukungannya. 

Lain lagi menurut kubu penentang. Mereka yang menentang berpendapat bahwa pelaksanaan MW hanya semakin merendahkan harkat dan martabat perempuan. Perempuan hanya dijadikan tontonan dan komoditas bisnis semata. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pelaksanaan MW adalah bentuk keterjajahan bangsa. Dan banyak lagi alasan-alasan penolakannya.  Bahkan ‘sebagian’ umat Islam ada yang mengambil ‘jalan tengah’ (kubu ke-3/alternatif) dengan membuat acara tandingan serupa Miss Muslimah 2013.

Mengapa ada pihak yang mendukung, menentang, dan menerima setengah-setengah? Ya, kita harus melihat kondisi saat ini dimana bangsa “barat” memang menjadi ‘rujukkan’ peradaban. Berbagai ilmu seperti Filsafat, Bahasa,Ekonomi, Antropologi, Sosiologi, Sejarah, Seni, Fashion, Musik dsb berkembang cukup pesat di “barat”. Parameter kemajuan, kemodernan,kemodisan berada di barat. Orang yang jago ngomongbahasa Inggris dianggap lebih hebat ketimbang orang yang pandai bahasa Latin, Arab, Cina, Jepang, Turki, Jawa bahkan bahasa Indonesia. Memang perihal pasang surut kesohoran bahasa tersebut punya ceritanya masing-masing. Jika pada zaman Yunani dan Romawi bahasa Latin menjadi rujukan masyarakat dunia. Bahasa Arab juga pernah menjadi bahasa internasional selama berabad-abad. Mengapa? karena bangsa Yunani, Romawi Arab pernah ‘menghegemoni’ dunia. Mereka pernah pula menjadi rujukkan bangsa-bangsa. Mereka pernah dijadikan tolak ukur atau kacamata dalam menilai ‘the other”.

Kita sepakat Indonesia adalah bangsa yang besar. Bangsa ini memilikipenduduk yang  besar, memiliki peradaban besar, punya ideologi adi luhung,mengapa harus jadi epigon bangsa ‘barat’ dalam hal para meter kecantikan/keagungan perempuan? Mengapa harus ‘bertengkar” dengan sesama anak bangsa yang telah diikat bersama dengan suatu ideologi yang luas biasa ‘dalam’ nya? Ada dimanakah  Pancasila kita?

Ini adalah perkara mental kita yang telah kelewat minder dan menganggap segala hal yang berasal dari ‘barat’ adalah hebat. Jelas sekali bahwa kericuhan yang terjadi di dalam negeri ini adalah bentuk bahwa masyarakat kita belum bebas dari ‘hegemoni’. Pengaruh-pengaruh peradaban ‘barat’ masih menjadi ‘hantu gentayangan’ yang selalu terepotkan oleh pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Padahal secara penguasaan fisik bangsa Indonesia adalah aktor,tapi nyatanya sebagian besar ‘ruh’ sang aktor masih membawa mental ‘budak’. 

Ya. Sudah seharusnya kita evaluasi bersama bahwa kepenguasaan struktural saja ternyata musti ditopang oleh kepenguasaan secara kultural. Jika tidak ditopang oleh kepenguasaan kultural, bangsa ini hanyalah sebatas kumpulan mayoritas yang diombang-ambing oleh segelintir orang bahkan dari jarak jauhsekalipun.

Tidak ada komentar: