Rabu, Januari 28, 2015

Sosial Media dan Masa Depan Generasi Muda


Pada abad 21 ini, generasi muda kita dihadapkan pada keadaan yang begitu kompleks. Komplesitas kehidupan yang di hadapi ini mungkin tidak terbayangkan oleh manusia yang lahir dan tumbuh di era 60, 70, 80, bahkan 90-an.  Globalisasi sebagai sebuah fenomena telah menjerat semua negara tak terkecuali Indonesia. Majunya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) seakan menihilkan ruang dan waktu, sehingga informasi masyarakat di berbagai belahan dunia bisa di akses dalam waktu hitungan detik. Benturan kebudayaan semakin tak terelakkan. Siapa yang mampu mendominasi teknologi informasi, bisa dipastikan adalah aktor utama dalam mengendalikan perubahan sosial dalam masyarakat. 

Kondisi dunia seperti inilah yang menjadi lingkungan generasi muda kita tumbuh dan berkembang. Mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit apakah harus menerima, menolak, ataukah melakukan penyesuaian. Semua pilihan tersebut memiliki konsekuensi. Jika menolaknya (resisten), mereka akan menjadi manusia yang terkucilkan. Jika menerima, taruhannya adalah jati diri. Jika menerima dengan penyesuaian,  negara harus memiliki agenda besar  menyeleksi  kebudayaan tersebut hingga betul-betul sesuai dengan kebudayaan bangsa, dan itu tidak mudah. Nampaknya pilihan ketiga ini adalah pilihan yang paling bijak sebagai konsekuensi logis negara berkembang yang tersubordinasi (khususnya dalam hal informasi) oleh negara maju. 

Berdasarkan penelitian Semiocast, sebuah lembaga riset media sosial yang berpusat di Paris Prancis merilis bahwa jumlah pemilik akun Twitter di Indonesia adalah yang terbesar kelima di dunia. Indonesia berada di posisi kelima dengan jumlah akun 19,5 juta, Inggris Raya menempati posisi keempat dengan 23,8 juta akun. Sementara itu, posisi satu ditempati Amerika Serikat dengan 107,7 juta, posisi kedua diraih Brasil dengan 33,3 juta, dan Jepang di posisi ketiga dengan 29,9 juta akun. Adapun Facebook, menurut pantauan Social Bakers, sebuah lembaga riset media sosial independen dunia asal Praha Republik Ceko merilis bahwa sampai dengan tahun 2013 pengguna Facebook di Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia dengan jumlah pengguna mencapai 51.515.480 orang. Dan pada tahun yang sama, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia saat ini telah mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, sebanyak 95% menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Jelas sekali bahwa Indonesia merupakan negara yang begitu banyak terkena imbas dari kemajuan teknologi informasi tersebut terutama generasi muda. 

Kita menyaksikan nilai dan norma yang telah lama menjadi acuan hidup dalam masyarakat semakin luntur. Nilai-nilai seperti gotong royong, tepa slira, kian luntur. Masyarakat kita yang terkenal dengan keramahannya, kesopanannya, kini berubah menjadi masyarakat mudah marah, permisif (serba boleh) dan Pragmatis. Banyak ahli menyampaikan bahwa akar dari semua sifat negatif ini disebabkan menjangkitnya sifat materialistisme dalam kehidupan kita. Materislisme telah menjadi berhala hingga lahirlah semboyan 3 H yakni "halal-haram-hantam". Demi materi, manusia menjadi serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Di sisi lain, keluarga sebagai kelompok terkecil dalam sebuah bangsa tidak mampu berperan secara optimal memantau perkembangan kepribadian anak. Peran keluarga sebagai tempat sosialisasi primer tersaingi dengan “dunia lain” yakni dunia maya. Majunya perangkat bebasis gadget saat ini menjadi dunia baru generasi muda kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Mulai sejak pagi hari hingga larut malam, generasi muda kita lebih intens dengan gadget disakunya.

Penyebaran informasi berjalan sangat cepat tanpa bisa dibendung. Pembentukan lembaga-lembaga pengawas informasi oleh negara tidak seimbang, seakan-akan sebagai pemantas saja bahwa negara ini masih peduli dengan nasib generasi mudanya. Meskipun jika diperhatikan negara kita seolah tak berdaya. Kebebasan informasi masih begitu liar mengancam mental anak-anak kita. Jika kita membaca berita kenakalan-kenakalan remaja hari ini sudah semakin parah. Beberapa waktu yang lalu kita mendengar berita miris ada seorang siswi kelas XII SMA di Kota Tangerang melahirkan bayi di kebun (news.okezone.com 27/11/14). Belum lagi kasus lainnya seperti tawuran, narkoba, aborsi dll. 

Kemajuan Teknologi Informasi Peluang atau Ancaman?
Dengan munculnya teknologi internet di tahun 2000-an kemudian dilanjutkan menjamurnya jejaring sosial semakin merangsang mereka mengeksplore apa saja yang ada. Dalam hitungan detik mereka bisa melihat apa yang terjadi di belahan dunia lain tanpa ada batasan (sensor). Mereka bebas melihat apa saja dengan pengawasan yang minim bahkan tanpa pengawasan. Informasi yang baik dan yang buruk bisa mereka akses secara mudah sehingga sampai ada ungkapan bahwa kebaikan dan keburukan di era cyber saat ini tidak berjarak. Satu detik mereka bisa mengakses acara siraman rohani akan tetapi satu detik kemudian mereka bisa pula mengganti channel melihat pula situs esek-esek. 

Di negara liberal, mungkin tidak menjadi masalah melakukan zina asalkan tidak menganggu keteriban umum. Apalagi teknologi di bidang kesehatan semakin canggih sehingga tingkat aborsi bisa disiasati dengan menggunakan alat pelindung atau obat-obatan khusus. Mirisnya lagi di negeri ini malah praktik-praktik seperti di negara liberal (Kondomisasi) beberapa waktu yang lalu hampir digulirkan oleh Kementrian Kesehatan (Kompas.com 1/12/13). Ya, memang itulah yang dikehendaki oleh negara-negara liberal yakni meniadakan batasan-batasan yang mengekang kebebasan individu. Tidak heran nilai dan moral yang bersumber pada ajaran agama mendapakan serangan bertubi-tubi oleh kaum liberal. Agama menurut mereka tidak perlu masuk ke wilayah umum. Agama tidak perlu mengatur kehidupan sosial masyarakat. Bahkan beberapa media massa atheis menjadikan agama sebagai sumber olok-olok. Masih kuat diingatan kita, salah satu majalah atheis di Prancis Charlie Hebdo memuat kartun Nabi Muhammad SAW. 

Atas nama kebebasan mereka bebas menyerang siapa saja tanpa memperdulikan perasaan umat lain. Semangat kebebasan ini rupanya ingin juga di tularkan ke negara-negara muslim termasuk Indonesia. Bukan dengan cara kasar seperti agresi militer, namun dengan cara yang sangat halus, bahkan mereka hanya mengendalikan dari jarak jauh melalui tangan-tangan anak bangsa yang materialistis. Di Indonesia, kita bisa menyaksikan sendiri tanyangan-tayangan di televisi, hampir semuanya tidak mendidik. Beberapa program televisi yang sudah ditegur oleh KPI diantaranya Yuk Keep Smile (Trans TV), Dahsyat (RCTI), Pesbukers (ANTV), D'Terong Show (Indosiar), Ganteng-Ganteng Serigala (SCTV), Oh Ternyata The Merindings (Trans TV), Halo Selebriti (SCTV), Mata Lelaki (Trans7), Masih Dunia Lain (Trans TV), Kuis Kebangsaan (RCTI) (Republika 26/12/14). Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah salah satu chanel televisi menayangkan prosesi nikah aktor yang dianggap sebagai publik figur secara ekslusif. Jika kita perhatikan acara-acara tersebut memang tidak berkualitas. Acara tersebut lebih mungutamakan aspek bisnis dari pada pendidikan. Padahal tanyangan tersebut menggunakan frekuensi publik. Lalu bagaimana upaya yang bisa kita lakukan ketika frekuensi publik lebih di dominasi  program-program yang kurang mendidik ketimbang  yang mendidik?. 

Pondok Sebagai Benteng Perdaban
Anak-anak kita adalah penerus kita. Mereka di masa yang akan datang akan mengantikan kita menjadi profesional di bidangnya masing-masing. Mereka harus kita bina dengan baik. Jangan biarkan masa keemasan mereka hancur disebabkan kondisi yang rusak. Era kebabasan ini telah melumpuhkan sendi-sendi moral. Generasi muda kita “dipaksa” mengikuti standar moral orang-orang “barat”. Bisa jadi memang anak-anak kita mendapatkan pendidikan di sekolah oleh guru-guru mereka, serta mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tua. Itupun jika sekolah dan orang tua menjalankan fungsinya dengan baik. Jika tidak, otomatis mereka akan berguru pada lingkungan mereka yang terhegemoni nilai-nilai tidak Islami. Apalagi serangan-serangan dari luar melalui media massa begitu proaktif dan semakin bagus pengemasannya. 

Pelajar-pelajar kita hari ini dan juga di masa yang akan datang sangat membutuhkan pegangan di tengah masa yang membingungkan ini. Dalam memilih lembaga pendidikan, mungkin sistem Boarding School (Sistem Keasramaan/ kepondokan) bisa menjadi pilihan yang tepat bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Meski bukan satu-satunya sistem yang paling baik, namun sistem ke asramaan/kepondokan bisa meminimalisir pengaruh-pengaruh negatif dari luar. Pondok sebagai tempat yang kondusif bisa memudahkan proses penanamkan akhlak Islami kepada anak. Terkadang ada ungkapan-ungkapan negatif seperti “Biasanya anak yang keluar dari pondok lebih “liar” di banding yang ada di luar pondok.” Seharusnya kita tentu tidak hanya terfokus melihat hal yang negatifnya saja, tapi fokus melihat kebaikannya juga. Banyak juga lulusan pondok yang berhasil dan berkahlak baik. Pembentukan karakter anak bisa dilakukan tanpa terusik oleh asupan informasi yang buruk.  

Saat ini yang menjadi tantangan terbesar pendidik adalah gencarnya tanyangan-tanyangan yang kurang mendidik dari media massa baik cetak maupun elektronik (termasuk media sosial). Dan kita memahami bahwa negara saat ini belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal. Jika pengawasan terhadap media sosial lemah, anak-anak kita akan meniru perilaku-perilaku negatif dari media sosial. Belajar dari pengalaman rezim Orba—meski banyak catatan---rezim tersebut sangat menyadari pentingnya pengendalian informasi dalam pembentukan karakter sehingga dibentuklah departemen yang menangani arus informasi, yakni Departemen Penerangan. Namun Orba menyalahgunakan departemen tersebut untuk kepentingan kelompok bukan untuk kepentingan bangsa. Departemen yang seharusnya untuk melindungi anak-anak bangsa dari pengaruh negatif justru digunakan untuk membungkam lawan politik. 

Oleh sebab itu dalam proses membentuk karakter memang diperlukan sinergisitas berbagai pihak. Kita perlu mengarahkan anak-anak kita dari tontonan yang tidak menuntun agar jiwa mereka tidak terlarut hegemoni liberalisme. Ada pepatah mengatakan, “Menguasai jiwa suatu bangsa sama dengan menguasai segala-galanya”. Lindungi generasi muda kita sekarang juga. 
Anton S.Hum
Pengajar SMA IT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang

Tidak ada komentar: