Senin, Maret 16, 2015

Diam



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diam diartikan; tidak bersuara (tidak berbicara), tidak bergerak (tetap di tempat), tidak berbuat (berusaha) apa-apa. Kondisi ini tentunya jika merujuk dari pengertian KBBI berlaku untuk benda hidup maupun benda tak hidup. Adakah benda yang benar-benar diam di dunia ini?. Dalam ilmu kimia kita pernah belajar bahwa benda-benda berdasarkan massa jenisnya ada benda padat, benda cair, dan gas. Bahkan masing-masing jenis itu dalam kondisi tertentu mampu berubah dari jenis satu ke jenis yang lain. Perpindahan itu menandakan bahwa benda-benda itu selalu bergerak/berubah.

Suatu hari ketika mata kita menengadah ke langit, kita melihat gumpalan awan tebal menyelimuti langit, lalu awan itu berubah menjadi air hujan. Kita mengetahui rahasia bahwa benda-benda tersebut tidaklah diam tatkala semakin berkembangnya ilmu pengetahuan kurang lebih satu abad yang lalu, yang perlahan-lahan membuka tabir dunia yang penuh rahasia ini. Benda yang kita anggap diam sesungguhnya tidaklah diam, namun bergerak begitu dinamis. Bumi tempat manusia berpijak ini pun berotasi dan berevolusi. Tidak ada yang diam!. Benda mati yang kita anggap diam itu saja ternyata tidak diam.
Lalu, bagaimana dengan manusia? Tentu manusia sebagai benda hidup akan lebih kompleks lagi. Adakah manusia yang benar-benar diam di muka bumi ini? saya bisa mengatakannya tidak ada manusia yang diam jika berdasar argumen-argumen di atas. Diamnya seseorang adalah klaim lantaran ketidakmampuan melihat pergerakan sehingga menafikan setiap gerakannya. Hal ini sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Seorang bos pada suatu perusahaan menegur karyawannya karena dianggap tidak produktif, lalu karyawan tersebut memprotes bosnya yang tidak memberikan waktu yang cukup bagi dirinya untuk membuktikan ide-idenya agar memperoleh laba maksimal. Sang Bos tidak terima protes tersebut lalu kemudian balik membalas bahwa karyawan tersebut tidak becus memenuhi tuntutan perusahaan. Dalam hal ini bos menafikan gerak si karyawan karena ada parameter gerak yang lebih dalam waktu yang ditentukan. Dalam hal ini memang banyak faktor yang menjadi alasan.
Pada masa pergerakan nasional Indonesia pernah terjadi perdebatan sengit sekitar tahun 30-an antara Bung Karno dan Bung Hatta mengenai strategi perjuangan. Bung Hatta berpandangan bahwa membangun kekuatan yang utama adalah mencerdaskan masyarakat terlebih dahulu dengan memberikan pendidikan. Beliau melihat masyarakat Indonesia belum siap menggantikan Pemerintah Kolonial Belanda jika kapasitasnya belum siap. Adapun Bung Karno punya pendirian lain bahwa yang utama adalah mobilisasi massa dengan agitasi-agitasi yang membakar semangat. Di sinilah awal pergesekan pemikiran dua bung besar ini terjadi.
Kalau boleh menafsirkan sebenarnya telah terjadi ketidaksinkronan dua tokoh besar tersebut dalam memaknai gerak. Bung Hatta melihat bahwa membangun gerakan itu perlu persiapan yang matang. Persiapan yang matang itu adalah dengan mencetak kader-kader yang andal untuk kebutuhan di masa depan. Menyiapkan sumber daya manusia sebagai kebijakan yang strategis. Adapun Bung Karno melihat bahwa kebijakan yang stategis adalah memobilisasi massa sebanyak-banyaknya agar mampu digerakan merebut rezim penjajah.
Bisa jadi Bung Hatta beranggapan bahwa mendidik adalah adalah bentuk aksi/gerak yang paling penting dalam strategi perjuangannya yang tidak dipahami oleh Bung Karno waktu itu. Begitupun sebaliknya Bung Karno menilai bahwa tindakan Bung Hatta itu lambat dan kurang strategis. Perbedaan memahami gerak dan membaca masa depan inilah yang menjadikan perbedaan pemikiran dua pendiri bangsa tersebut. Tidaklah bijaksana bagi saya mengajak pembaca cenderung memenangkan salah satu dari dua tokoh besar tersebut. Setiap kita bisa menilai masing-masing dan memetik pelajaran berharga dalam setiap kejadian.
Membaca masa depan bukanlah perkara yang mudah. Masa depan terlalu suram untuk dimengerti. Dan yang bisa dilakukan saat ini adalah membaca ‘masa depan’ yang telah berubah menjadi masa lalu yang sarat dengan pelajaran. Mahatma Gandhi (1869-1948) bahkan membaca sikap diam sebagai senjata ampuh yang membunuh penjajah Inggris tanpa kekerasan. Ajaran Ahimsa (mogok) massal yang terorganisir ternyata membuat perusahaan-perusahaan Inggris bangkrut. Bahkan hingga saat ini ajaran mogok massal itu masih sangat efektif sebagai senjata kaum buruh di berbagai negara dari ancaman majikan yang menindas. Perjanjian Linggarjati (1946) yang awalnya dianggap merugikan bangsa Indonesia justru mampu menggerakkan dunia Internasional memihak Indonesia yang baru berdiri walaupun tumbalnya Sutan Syahrir harus dilengerkan.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah ternyata dalam memahami gerak dan diam tidaklah sederhana. Apalagi menyangkut dimensi kemanusiaan yang kompleks. Diamnya seseorang banyak sekali alasan yang melingkupinya. Bisa jadi diamnya seseorang adalah gerak dalam bentuk yang lain karena ada motif tertentu. Dan dalam konteks produktivitas, belum tentu orang yang diam memperoleh hasil yang optimal jika diamnya semata-mata hanya diam saja alias tidak memiliki nilai tambah serta targetan yang jelas. Begitupun sebaliknya belum tentu orang yang banyak gerak akan memperoleh hasil yang optimal jika hanya sebatas gerak tanpa sasaran yang jelas. Kualitas diam dan gerak inilah yang penting. Gerak yang berkualitas dan diam yang berkualitas.

Magelang, 16 Maret 2015

Tidak ada komentar: