Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diam diartikan; tidak bersuara (tidak
berbicara), tidak bergerak (tetap di tempat), tidak berbuat (berusaha) apa-apa.
Kondisi ini tentunya jika merujuk dari pengertian KBBI berlaku untuk benda
hidup maupun benda tak hidup. Adakah benda yang benar-benar diam di dunia ini?.
Dalam ilmu kimia kita pernah belajar bahwa benda-benda berdasarkan massa
jenisnya ada benda padat, benda cair, dan gas. Bahkan masing-masing jenis itu
dalam kondisi tertentu mampu berubah dari jenis satu ke jenis yang lain. Perpindahan
itu menandakan bahwa benda-benda itu selalu bergerak/berubah.
Suatu hari ketika mata kita menengadah ke
langit, kita melihat gumpalan awan tebal menyelimuti langit, lalu awan itu
berubah menjadi air hujan. Kita mengetahui rahasia bahwa benda-benda tersebut
tidaklah diam tatkala semakin berkembangnya ilmu pengetahuan kurang lebih satu
abad yang lalu, yang perlahan-lahan membuka tabir dunia yang penuh rahasia ini.
Benda yang kita anggap diam sesungguhnya tidaklah diam, namun bergerak begitu
dinamis. Bumi tempat manusia berpijak ini pun berotasi dan berevolusi. Tidak
ada yang diam!. Benda mati yang kita anggap diam itu saja ternyata tidak diam.
Lalu, bagaimana dengan manusia? Tentu
manusia sebagai benda hidup akan lebih kompleks lagi. Adakah manusia yang
benar-benar diam di muka bumi ini? saya bisa mengatakannya tidak ada manusia yang
diam jika berdasar argumen-argumen di atas. Diamnya seseorang adalah klaim
lantaran ketidakmampuan melihat pergerakan sehingga menafikan setiap gerakannya.
Hal ini sering kali terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Seorang bos pada
suatu perusahaan menegur karyawannya karena dianggap tidak produktif, lalu
karyawan tersebut memprotes bosnya yang tidak memberikan waktu yang cukup bagi
dirinya untuk membuktikan ide-idenya agar memperoleh laba maksimal. Sang Bos
tidak terima protes tersebut lalu kemudian balik membalas bahwa karyawan
tersebut tidak becus memenuhi tuntutan perusahaan. Dalam hal ini bos menafikan
gerak si karyawan karena ada parameter gerak yang lebih dalam waktu yang
ditentukan. Dalam hal ini memang banyak faktor yang menjadi alasan.
Pada masa pergerakan nasional Indonesia pernah
terjadi perdebatan sengit sekitar tahun 30-an antara Bung Karno dan Bung Hatta
mengenai strategi perjuangan. Bung Hatta berpandangan bahwa membangun kekuatan
yang utama adalah mencerdaskan masyarakat terlebih dahulu dengan memberikan
pendidikan. Beliau melihat masyarakat Indonesia belum siap menggantikan
Pemerintah Kolonial Belanda jika kapasitasnya belum siap. Adapun Bung Karno
punya pendirian lain bahwa yang utama adalah mobilisasi massa dengan
agitasi-agitasi yang membakar semangat. Di sinilah awal pergesekan pemikiran
dua bung besar ini terjadi.
Kalau boleh menafsirkan sebenarnya telah
terjadi ketidaksinkronan dua tokoh besar tersebut dalam memaknai gerak. Bung
Hatta melihat bahwa membangun gerakan itu perlu persiapan yang matang. Persiapan
yang matang itu adalah dengan mencetak kader-kader yang andal untuk kebutuhan
di masa depan. Menyiapkan sumber daya manusia sebagai kebijakan yang strategis.
Adapun Bung Karno melihat bahwa kebijakan yang stategis adalah memobilisasi
massa sebanyak-banyaknya agar mampu digerakan merebut rezim penjajah.
Bisa jadi Bung Hatta beranggapan bahwa
mendidik adalah adalah bentuk aksi/gerak yang paling penting dalam strategi
perjuangannya yang tidak dipahami oleh Bung Karno waktu itu. Begitupun
sebaliknya Bung Karno menilai bahwa tindakan Bung Hatta itu lambat dan kurang
strategis. Perbedaan memahami gerak dan membaca masa depan inilah yang menjadikan
perbedaan pemikiran dua pendiri bangsa tersebut. Tidaklah bijaksana bagi
saya mengajak pembaca cenderung memenangkan salah satu dari dua tokoh besar
tersebut. Setiap kita bisa menilai masing-masing dan memetik pelajaran berharga
dalam setiap kejadian.
Membaca masa depan bukanlah perkara yang
mudah. Masa depan terlalu suram untuk dimengerti. Dan yang bisa dilakukan saat
ini adalah membaca ‘masa depan’ yang telah berubah menjadi masa lalu yang sarat
dengan pelajaran. Mahatma Gandhi (1869-1948) bahkan membaca sikap diam sebagai senjata ampuh
yang membunuh penjajah Inggris tanpa kekerasan. Ajaran Ahimsa (mogok) massal yang
terorganisir ternyata membuat perusahaan-perusahaan Inggris bangkrut. Bahkan
hingga saat ini ajaran mogok massal itu masih sangat efektif sebagai senjata
kaum buruh di berbagai negara dari ancaman majikan yang menindas. Perjanjian Linggarjati
(1946) yang awalnya dianggap merugikan bangsa Indonesia justru mampu menggerakkan
dunia Internasional memihak Indonesia yang baru berdiri walaupun tumbalnya
Sutan Syahrir harus dilengerkan.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah ternyata
dalam memahami gerak dan diam tidaklah sederhana. Apalagi menyangkut dimensi
kemanusiaan yang kompleks. Diamnya seseorang banyak sekali alasan yang
melingkupinya. Bisa jadi diamnya seseorang adalah gerak dalam bentuk yang lain
karena ada motif tertentu. Dan dalam konteks produktivitas, belum tentu orang
yang diam memperoleh hasil yang optimal jika diamnya semata-mata hanya diam
saja alias tidak memiliki nilai tambah serta targetan yang jelas. Begitupun sebaliknya
belum tentu orang yang banyak gerak akan memperoleh hasil yang optimal jika
hanya sebatas gerak tanpa sasaran yang jelas. Kualitas diam dan gerak inilah
yang penting. Gerak yang berkualitas dan diam yang berkualitas.
Magelang, 16 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar