Kamis, Maret 19, 2015

Menimbang Sensitivitas Mahasiswa



Meski mendapatkan bully dari jagad masyarakat di sosial media lantaran sikapnya yang lamban, akhirnya mahasiswa bergerak juga. Di awali dengan demonstrasi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Brawijaya (Unibraw) di Malang Jawa Timur  dan BEM se-Jawa Barat (16/3/15), akhirnya BEM Universitas Indonesia (UI) mulai bergerak melakukan unjuk rasa memprotes kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Mereka menilai dalam satu tahun  ini kondisi Indonesia semakin memprihatinkan. Di tandai dengan naiknya harga BBM, Tarif Dasar Lintrik, Pajak yang tinggi, dan hukum yang carut-marut.

Mahasiswa sebagai ‘kaum elit’ dinilai lamban dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Ketika mendapatkan tekanan dari publik baru mereka bergerak. Rupanya di era gadget saat ini kontrol publik terhadap kebijakan pemerintah cukup efektif. Namun yang di sayangkan adalah mengapa yang menjadi sasaran bully justru kaum mahasiswa?. Akankah ini pertanda bahwa mahasiswa semakin luntur sensitivitasnya?
Dalam perjalanan sejarah, mahasiswa  selalu berada di garda terdepan yang membawa panji-panji perubahan. Lihatlah mahasiswa-mahasiswa Hindia Belanda (sekarang Indonesia) di awal abad 20, meski mereka terlahir dari keluarga berada (Priyayi) dan dididik dengan gaya barat yang kental dengan muatan kapitalistik, akan tetapi mereka mempunyai semangat yang tinggi membebaskan masyarakat dari kungkungan kebodohan yang sistemik walaupun harus kita akui ada juga mahasiswa yang pro status kuo. Bukan hanya bermodal semangat saja, mereka berdebat tentang konsep Indonesia di masa yang akan datang.
Mereka menyadari posisi masyarakat Hindia Belanda ternyata tidak sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan bekal pengetahuannya, mereka ingin merintis suatu perubahan. Pada tahun 1908 Boedi Utomo (BU) berdiri sebagai organisasi pelopor yang memunculkan kesadaran pentingnya persamaan derajat antar bangsa. Bung Hatta bahkan mengatakan meskipun gerakannya hanya meliputi Jawa dan Madura namun BU ibarat lonceng yang mempelopori lahirnya kesadaran nasional. Terlalu besar arus yang harus mereka lawan sehingga gerakan BU belum menyentuh ranah politik, hanya menyentuh ranah pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.
            Setiap zaman memang memiliki semangat dan tantangan yang berbeda. Apalagi generasi yang lahir di era cyber saat ini dibesarkan oleh mimpi-mimpi iklan Mereka terbiasa hidup dan makan enak, di tambah sistem pendidikan kita yang akhir-akhir ini masih terjebak arus kapitalistik. Sehingga jika tidak dibenahi bangsa kita akan minus mahasiswa yang berkualitas. Di sinilah tantangannya apakah sistem pendidikan yang diberikan kepada mereka selama ini hanya menjadikan mereka sebagai manusia yang pandai bekerja (alat produksi) ataukah menjadikan mereka sebagai manusia yang kritis?. Sebagai kaum yang mendapatkan akses pendidikan lebih dari rakyat kebanyakan, sejatinya merekalah yang memiliki sensitivitas yang tinggi mengawal kebijakan pemerintah ke depan dengan segala konsep-konsep yang mereka pelajari di kampus. Mahasiswa bukan hanya sekadar “tukang pukul” yang siap dipakai atau ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis kelompok tertentu. Apalagi di era keterbukaan ini mereka tidak akan kesulitan untuk mendapatkan dukungan civil society (masyarakat sipil) melalui jejaring sosial media. Mahasiswa adalah kaum intelektual yang di masa depan menjadi tonggak perubahan dengan bekal konsep yang matang. Ada sebuah ungkapan: “munculnya gerakan penindasan pada waktu yang sama akan melahirkan gerakan perlawanan”. Tentunya di masa yang akan datang akan muncul generasi-generasi baru yang siap bergerak mengantisipasi lahirnya penindasan.

Tidak ada komentar: