Meski
mendapatkan bully dari jagad masyarakat di sosial media lantaran
sikapnya yang lamban, akhirnya mahasiswa bergerak juga. Di awali dengan
demonstrasi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Brawijaya
(Unibraw) di Malang Jawa Timur dan BEM
se-Jawa Barat (16/3/15), akhirnya BEM Universitas Indonesia (UI) mulai bergerak
melakukan unjuk rasa memprotes kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi. Mereka
menilai dalam satu tahun ini kondisi
Indonesia semakin memprihatinkan. Di tandai dengan naiknya harga BBM, Tarif
Dasar Lintrik, Pajak yang tinggi, dan hukum yang carut-marut.
Mahasiswa
sebagai ‘kaum elit’ dinilai lamban dalam mengontrol kebijakan pemerintah. Ketika
mendapatkan tekanan dari publik baru mereka bergerak. Rupanya di era gadget
saat ini kontrol publik terhadap kebijakan pemerintah cukup efektif. Namun yang
di sayangkan adalah mengapa yang menjadi sasaran bully justru kaum
mahasiswa?. Akankah ini pertanda bahwa mahasiswa semakin luntur sensitivitasnya?
Dalam
perjalanan sejarah, mahasiswa selalu berada
di garda terdepan yang membawa panji-panji perubahan. Lihatlah mahasiswa-mahasiswa
Hindia Belanda (sekarang Indonesia) di awal abad 20, meski mereka terlahir dari
keluarga berada (Priyayi) dan dididik dengan gaya barat yang kental dengan
muatan kapitalistik, akan tetapi mereka mempunyai semangat yang tinggi
membebaskan masyarakat dari kungkungan kebodohan yang sistemik walaupun harus
kita akui ada juga mahasiswa yang pro status kuo. Bukan hanya bermodal
semangat saja, mereka berdebat tentang konsep Indonesia di masa yang akan
datang.
Mereka
menyadari posisi masyarakat Hindia Belanda ternyata tidak sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan bekal pengetahuannya, mereka ingin merintis
suatu perubahan. Pada tahun 1908 Boedi Utomo (BU) berdiri sebagai organisasi
pelopor yang memunculkan kesadaran pentingnya persamaan derajat antar bangsa.
Bung Hatta bahkan mengatakan meskipun gerakannya hanya meliputi Jawa dan Madura
namun BU ibarat lonceng yang mempelopori lahirnya kesadaran nasional. Terlalu
besar arus yang harus mereka lawan sehingga gerakan BU belum menyentuh ranah
politik, hanya menyentuh ranah pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan.
Setiap zaman memang memiliki
semangat dan tantangan yang berbeda. Apalagi generasi yang lahir di era cyber
saat ini dibesarkan oleh mimpi-mimpi iklan Mereka terbiasa hidup dan makan
enak, di tambah sistem pendidikan kita yang akhir-akhir ini masih terjebak arus
kapitalistik. Sehingga jika tidak dibenahi bangsa kita akan minus mahasiswa
yang berkualitas. Di sinilah tantangannya apakah sistem pendidikan yang
diberikan kepada mereka selama ini hanya menjadikan mereka sebagai manusia yang
pandai bekerja (alat produksi) ataukah menjadikan mereka sebagai manusia yang kritis?.
Sebagai kaum yang mendapatkan akses pendidikan lebih dari rakyat kebanyakan,
sejatinya merekalah yang memiliki sensitivitas yang tinggi mengawal kebijakan
pemerintah ke depan dengan segala konsep-konsep yang mereka pelajari di kampus.
Mahasiswa bukan hanya sekadar “tukang pukul” yang siap dipakai atau ditunggangi
oleh kepentingan-kepentingan pragmatis kelompok tertentu. Apalagi di era
keterbukaan ini mereka tidak akan kesulitan untuk mendapatkan dukungan civil
society (masyarakat sipil) melalui jejaring sosial media. Mahasiswa adalah
kaum intelektual yang di masa depan menjadi tonggak perubahan dengan bekal konsep
yang matang. Ada sebuah ungkapan: “munculnya gerakan penindasan pada waktu yang
sama akan melahirkan gerakan perlawanan”. Tentunya di masa yang akan datang
akan muncul generasi-generasi baru yang siap bergerak mengantisipasi lahirnya penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar