Apakah
anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini? pertanyaan itu
dilontarkan oleh Bambang Nugroho, seorang coach/trainer
nasional dalam acara konsolidasi Forum Zakat(FOZ) se-Jawa Tengah di ruang Aula
MAJT (Masjid Agung Jawa tengah) pada tanggal 27 Juli 2012 lalu. Pesertapun
terhenyak dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Beliau kemudian kembali
mengulangi pertanyaan-nya untuk kedua kalinya “Apakah anda ikhlas menerima
kenyataan yang anda rasakan saat ini?”.
Dalam
forum tersebut Coach Bambang Nugroho
menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam diri seseorang akan merasakan dua keadaan
yakni feel good dan keadaan feel bad. Feel good yakni suatu keadaan dimana seseorang sedang merasa
nyaman, senang, bahagia, tenang, dan tentram dsb. Sedangkan feel bad adalah kebalikannya yakni suatu
keadaan dimana seseorang dalam keadaan tidak bahagia; sedih, dengki, iri, mangkel, dsb. Padahal kondisi pikiran
itu amat mempengaruhi segala tindakan seseorang. Sehingga dengan kata lain
kondisi pikiran secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan dan
produktivitas seseorang.
Beliau
menyampaikan sebuah hasil penelitian yang ditemukan oleh Prof. Dr Sarlito
Wirawan, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang mengatakan bahwa 80%
orang Indonesia merasa tidak bahagia dan hanya 20 % orang Indonesia yang
merasabahagia. Lalu apa yang akan terjadi dengan Indonesia melihat kenyataan hanya
80% saja orang Indonesia merasakan kebahagiaan? tentunya sungguh memprihatinkan,
bisa diduga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia dalam keadaan tidak
produktif!. Asumsinya adalah bahwa orang yang tidak bahagia bisa dipastikan
tidak optimal dalam menjalankan aktifitasnya.
Selain
itu beliau juga menjelaskan proses pembentukan emosi, dimana emosi dipengaruhi
oleh bahan baku yang terdapat dalam otak manusia. Bahan baku itu dalam istilah ilmu
syaraf disebut dengan “Amygdala”. Amygdala-lah yang menghasilkan berbagai emosi
dalam diri manusia. Beliau mengibaratkan Amygdala ibarat mesin yang
menghasilkan emosi positif, negatif maupun netral. Bahan-bahan baku dalam
Amygdala tersebut antara lain; persepsi, cara pandang, asosiasi, respon, dan
interpretasi. Bahan-bahan baku itu sejatinya merupakan “keluarga” dalam
pikiran. Kemudian bahan baku itu adalah bahan baku bagi Amygdala dalam
memproduksi rasa senang, sedih, semangat dsb.
Dengan menjelaskan cara kerja
Amygdala dalam diri seseorang, maka akan memudahkan kita dalam menganalisis seseorang
dalam memandang realita yang dihadapinya. Ada sebuah ilustrasi menarik yang
beliau sampaikan terkait seseorang dalam memandang kebahagiaan. Ada 2 orang pemuda
lajang memperoleh hal yang sama (baca; nasi kotak) pada saat Ta’jilan. Orang
pertama bisa menerima dengan lapang dada dan beryukur ketika membuka nasi kotak
itu, sedangkan pemuda kedua merasa kecewa dan tidak berlapang dada bahkan
kurang bersyukur. “Yah isinya cuma begini” ucapnya sedikit kecewa.
Ilustrasi
lainnya beliau mencontohkan ada 2 orang pemuda lajang yang bekerja sebagai
karyawan dalam sebuah perusahaan tertentu mendaparkan gaji yang sama (baca; 1
juta/bulan). Pemuda pertama menerima gaji yang ia dapat dengan lapang,
sedangkan pemuda yang kedua merasa “tidak puas”karena ia menganggap gaji
tersebut terlalu kecil. Itu semua merupakan perkara cara pandang dalam melihat
realita. Tentunya dari cara pandang yang berbeda walaupun realita yang dihadapi
sama ternyata akan menghasilkan output rasa yang berbeda.
Tentang
kebahagiaan, beliau menjelaskan bahwa kebahagiaan “tidak punya urusan” dengan
jabatan, titel, atau faktor-faktor eksternal atau diluar seseorang. Karena
telah banyak kasus menunjukkan ternyata jabatan, kekeyaan dan segala
embel-embel yang bersifat eksternal “gagal” membuat seseorang merasa bahagia. Banyak
orang-orang kaya malah tidak bisa menikmati kekeyaannya dan tidak merasa
bahagia atas segala pencapaian yang telah ia peroleh. Kebahagiaan tidak bisa
didapatkan meski dengan materi yang belimpah. Kebahagiaan
juga bukan hak monopoli orang tertentu, tetapi merupakan hak bagi orang yang
memilihnya.
Manusia
memang dihadapkan oleh realita yang selalu tidak ideal dan kita harus berusaha
mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima ketidak ideal-an itu. Banyak
hal-hal yang kita inginkan seharusnya begini, seharusnya begitu, tetapi
nyatanya tidak seperti apa yang dibayangkan karena realita yang dihadapi selalu
bahkan mustahil ideal. Oleh karena itu kita jangan selalu menuntut
kesempurnaan. Kita jangan terjebak ingin menjadi perfeksonis(menuntut segala
sesuatu selalu sempurna) karena bisa dipastikan kita tidak akan bahagia.
Oleh
sebab itu sangat penting untuk mengarahkan pikiran dalam menghadapi realita
yang dihadapi dengan asupan-asupan yang positif seperti rasa syukur, husnuzhan,
merendahkan diri kepada Allah SWT, karena segala aktivitas yang kita lakukan
dimulai dari CARA BERFIKIR.
Semarang
Wisma UI II, 27 Juli 2012
Anton
Tidak ada komentar:
Posting Komentar