Sabtu, Juli 28, 2012

bahagia itu hanya persoalan cara pandang



Apakah anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini? pertanyaan itu dilontarkan oleh Bambang Nugroho, seorang coach/trainer nasional dalam acara konsolidasi Forum Zakat(FOZ) se-Jawa Tengah di ruang Aula MAJT (Masjid Agung Jawa tengah) pada tanggal 27 Juli 2012 lalu. Pesertapun terhenyak dengan pertanyaan yang tak terduga itu. Beliau kemudian kembali mengulangi pertanyaan-nya untuk kedua kalinya “Apakah anda ikhlas menerima kenyataan yang anda rasakan saat ini?”.
Dalam forum tersebut Coach Bambang Nugroho menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam diri seseorang akan merasakan dua keadaan yakni feel good dan keadaan feel bad. Feel good yakni  suatu keadaan dimana seseorang sedang merasa nyaman, senang, bahagia, tenang, dan tentram dsb. Sedangkan feel bad adalah kebalikannya yakni suatu keadaan dimana seseorang dalam keadaan tidak bahagia; sedih, dengki, iri, mangkel, dsb. Padahal kondisi pikiran itu amat mempengaruhi segala tindakan seseorang. Sehingga dengan kata lain kondisi pikiran secara tidak langsung akan mempengaruhi tindakan dan produktivitas seseorang.
Beliau menyampaikan sebuah hasil penelitian yang ditemukan oleh Prof. Dr Sarlito Wirawan, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang mengatakan bahwa 80% orang Indonesia merasa tidak bahagia dan hanya 20 % orang Indonesia yang merasabahagia. Lalu apa yang akan terjadi dengan Indonesia melihat kenyataan hanya 80% saja orang Indonesia merasakan kebahagiaan? tentunya sungguh memprihatinkan, bisa diduga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia dalam keadaan tidak produktif!. Asumsinya adalah bahwa orang yang tidak bahagia bisa dipastikan tidak optimal dalam menjalankan aktifitasnya.
Selain itu beliau juga menjelaskan proses pembentukan emosi, dimana emosi dipengaruhi oleh bahan baku yang terdapat dalam otak manusia. Bahan baku itu dalam istilah ilmu syaraf disebut dengan “Amygdala”. Amygdala-lah yang menghasilkan berbagai emosi dalam diri manusia. Beliau mengibaratkan Amygdala ibarat mesin yang menghasilkan emosi positif, negatif maupun netral. Bahan-bahan baku dalam Amygdala tersebut antara lain; persepsi, cara pandang, asosiasi, respon, dan interpretasi. Bahan-bahan baku itu sejatinya merupakan “keluarga” dalam pikiran. Kemudian bahan baku itu adalah bahan baku bagi Amygdala dalam memproduksi rasa senang, sedih, semangat dsb.
            Dengan menjelaskan cara kerja Amygdala dalam diri seseorang, maka akan memudahkan kita dalam menganalisis seseorang dalam memandang realita yang dihadapinya. Ada sebuah ilustrasi menarik yang beliau sampaikan terkait seseorang dalam memandang kebahagiaan. Ada 2 orang pemuda lajang memperoleh hal yang sama (baca; nasi kotak) pada saat Ta’jilan. Orang pertama bisa menerima dengan lapang dada dan beryukur ketika membuka nasi kotak itu, sedangkan pemuda kedua merasa kecewa dan tidak berlapang dada bahkan kurang bersyukur. “Yah isinya cuma begini” ucapnya sedikit kecewa.
Ilustrasi lainnya beliau mencontohkan ada 2 orang pemuda lajang yang bekerja sebagai karyawan dalam sebuah perusahaan tertentu mendaparkan gaji yang sama (baca; 1 juta/bulan). Pemuda pertama menerima gaji yang ia dapat dengan lapang, sedangkan pemuda yang kedua merasa “tidak puas”karena ia menganggap gaji tersebut terlalu kecil. Itu semua merupakan perkara cara pandang dalam melihat realita. Tentunya dari cara pandang yang berbeda walaupun realita yang dihadapi sama ternyata akan menghasilkan output rasa yang berbeda.
Tentang kebahagiaan, beliau menjelaskan bahwa kebahagiaan “tidak punya urusan” dengan jabatan, titel, atau faktor-faktor eksternal atau diluar seseorang. Karena telah banyak kasus menunjukkan ternyata jabatan, kekeyaan dan segala embel-embel yang bersifat eksternal “gagal” membuat seseorang merasa bahagia. Banyak orang-orang kaya malah tidak bisa menikmati kekeyaannya dan tidak merasa bahagia atas segala pencapaian yang telah ia peroleh. Kebahagiaan tidak bisa didapatkan meski dengan materi yang belimpah. Kebahagiaan juga bukan hak monopoli orang tertentu, tetapi merupakan hak bagi orang yang memilihnya.
Manusia memang dihadapkan oleh realita yang selalu tidak ideal dan kita harus berusaha mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima ketidak ideal-an itu. Banyak hal-hal yang kita inginkan seharusnya begini, seharusnya begitu, tetapi nyatanya tidak seperti apa yang dibayangkan karena realita yang dihadapi selalu bahkan mustahil ideal. Oleh karena itu kita jangan selalu menuntut kesempurnaan. Kita jangan terjebak ingin menjadi perfeksonis(menuntut segala sesuatu selalu sempurna) karena bisa dipastikan kita tidak akan bahagia.
Oleh sebab itu sangat penting untuk mengarahkan pikiran dalam menghadapi realita yang dihadapi dengan asupan-asupan yang positif seperti rasa syukur, husnuzhan, merendahkan diri kepada Allah SWT, karena segala aktivitas yang kita lakukan dimulai dari CARA BERFIKIR.
Semarang Wisma UI II, 27 Juli 2012
Anton
            

Tidak ada komentar: