Selasa, November 08, 2011

Kisah Andre dan Aisyah “Terpenjara oleh masa lalu”

Suatu ketika seorang Guru Sekolah Dasar memberikan pertanyaan kepada murid-muridnya yang masih kelas 3 SD “anak-anak siapa yang yang tahu nama Presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia?” dengan bersemangatnya berberapa muridnya mengangkat tangan dan Sang Guru pun memilih murid yang paling sigap mengacungkan tangan paling tinggi untuk menjawab terlebih dahulu “iya Andre silakan jawab ucap Guru tersebut “Pak Harto Bu…” tanpa tedeng aling Sang Guru mematahkan jawaban Si Murid begitu saja “Salah!!! Tertawalah seluruh teman-temannya sekelas membuat Andre jadi kikuk dan malu sehingga wajahnya yang putih itu kian memerah. Kemudian Sang Guru beralih ke murid yang lain “Iya Aisyah silahkan jawab! Ucap Sang Guru, Aisyah menjawab “SBY bu!” Sang Guru dengan tawa sinis mematahkan Si Murid “salah! Ini lagi malah SBY!!! Akhirnya lagi-lagi Aisyah menjadi bahan tertawaan teman-temannya sekelas yang hanya bisa menertawakan.

Andre dan Aisyah memang murid yang lumayan aktif di kelas, ucapannya ceplas-ceplos serta paling aktif dalam menyampaikan pertanyaan walaupun pertanyaannya terkesan aneh dan lucu. Sayangnya semakin sering mereka bertanya, semakin sering pula mereka jadi bahan tertawaan baik oleh Sang Guru maupun teman-temannya yang lain. “Aduh-aduh Andre pertanyaan kamu ini ada-ada saja” ucap Sang Guru sambil tertawa pada suatu ketika. Begitupun perlakuannya terhadap Aisyah.

Simpel sekali Sang Guru mengomentari pertanyaan muridnya seakan-akan tanpa beban. Padahal Sang Murid selalu teringat tentang peristiwa yang menimpanya ketika mereka dijadikan bahan tertawaan serta ejekan teman-temannya yang lain. Dalam perjalanan pulang mereka merenungi detik-detik peristiwa “memalukan” tersebut. Dan merekapun menjadi frustasi dan sikap “kehati-hatipun” mulai tertanam dalam diri mereka. Sikap kehati-hatian itu cendrung terselimuti oleh perasaan khawatir dan takut yang berlebihan. Mereka takut jika akan mengulangi kesalahan yang kedua kalinya, mereka khawatir jika nanti akan dijadikan bahan tertawaan lagi oleh Guru dan teman-temannya yang lain. Mereka telah sukses membangun raksasa ketakutan didalam pikirannya sendiri. Sehingga rasa percaya diri mereka mulai goyah, dan ketika ada pertanyaan-pertanyaan, mereka mulai sangat hati-hati apakah sudah yakin betul pertanyaan itu akan mampu dijawab dengan benar apa tidak. Padahal sebenarnya ia ingin menjawab dan sudah tahu jawabannya tapi hati mereka masih “ciut” takut lagi-lagi jawabannya keliru. Akhirnya mereka hanya bisa gigit jari dan dengan pelan menjawab pertanyaan Sang Guru sebatas bibir mereka. Sayang seribu sayang tembok-tembok ketakutan sudah terlalu tebal menutup pita suara mereka sehingga lidah mereka kelu dan mereka hanya bisa menjawab didalam hati ….”yah klo jawabannya seperti itu tadi seharusnya aku yang jawab” tapi semuanya sia-sia karena mereka tidak berani menjawab pertanyaan.

Kini Andre dan Asiyah telah menjadi anak yang “aman” dari bahan omongan teman-temannya dan juga bahan omongan guru-gurunya. Tapi satu hal yang hilang dari mereka. Mareka telah berubah menjadi anak yang sedikit pendiam. Mereka cendrung menjadi anak yang pasif, hingga menjelang kelas 6 mereka semakin terbiasa dengan sikap baru mereka. Dimana sikap itu sebenarnya bukanlah karakter mereka yang sesungguhnya. Mereka semakin menikmatinya. Dan secara tidak sadar cap “pendiam” pun telah melekat dalam dirinya.

Andre dan Aisyah kini sudah dewasa. Mereka memang beruntung bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Perguruan Tinggi. Mereka kuliah di Universitas yang berbeda. Mereka memang anak yang pintar secara akademik, tapi mereka cukup pendiam yang bersahaja. Sepertinya mereka masih menikmati keheningan sikap dalam bergaul. Dan terhadap dosen pun mereka cukup baik walaupun kurang terlalu populer dan dikenal. Mereka tetap terpenjara oleh masa lalunya.

Teman-teman pernahkah kita mengalami peristiwa seperti Andre dan Aisyah? Tanpa sadar mungkin sikap kita saat ini masih dibayang-bayangi oleh trauma masa lalu. Mungkin karakter kita saat ini bukanlah karakter kita yang sesungguhnya, melainkan sebuah pelarian. Mungkin ketika pada masa TK, SD, SMP, SMA, dimana ada moment-momen tertentu yang amat berpengaruh terhadap sikap kita, sehingga moment itu btelah merubah sikap kita. Oleh karena itu marilah sama-sama kita kembalikan jatidiri kita yang mungkin sudah lama terkubur oleh masa lalu yang suram. Marilah kita renungkan kembali diri kita ketika masa-masa kecil kita masa-masa keemasan yang tiba-tiba terampas oleh “guru-guru” serta lingkungan kita sendiri yang secara tidak sengaja membunuh karakter kita.

AYO BANGKIT KEMBALIKAN KEPERCAYAAN DIRI YANG TELAH TERAMPAS!!!!!
Note: Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan tokoh itu hanya kebetulan semata. Dan tidak semua guru memiliki berperilaku seperti cerita diatas, hehehe^_^

Semarang, 5 November 2011
Wisma Zaid Bin Tsabit
Anton

1 komentar:

Na'imah Awan mengatakan...

keren postingannya....

sudah saatnya guru2 di negri ini mulai beralih dari pekerjaan "mengajar" menjadi "pendidik". karena anak2 bukanlah botol kosong yang bisa diisi oleh guru dengan seenaknya saja, tapi justru guru mengarahkan bagaimana anak bisa mengisinya sendiri. bertumuh dengan diri....

(mau daftar jadi guru???he...)