Sabtu, Desember 17, 2011

KETIKA “HOBBI PENCITRAAN” MENJADI PENYAKIT PERJUANGAN

Masa muda adalah masa transisi menuju kedewasaan (katanya). Dimasa ini pula benih-benih kematangan berfikir mulai tersemai. Berbeda ketika masa kanak-kanak, mungkin lebih banyak bermain-mainnya ketimbang seriusnya. Walaupun ada sebagian kondisi anak-anak yang “kurang beruntung”. Mereka terpaksa atau dipaksa tumbuh lebih dewasa oleh keadaan. Kematangan berfikir mereka tumbuh secara premature tidak seperti anak-anak pada umumnya. Masa-masa bermain mereka terampas oleh tuntutan keadaan. Mereka tidak bisa menikmati keceriaan masa kanak-kanak. Sejuta fantasi dalam memandang dunia di sekitarnya “dimatikan” oleh lingkungan disekitarnya tanpa menaru empati terhadap kapasitas si anak tersebut. Sadar ataupun tidak “pembunuhan imajinasi” itu terjadi secara terus menerus. Imajinasi yang seharusnya menghiasi hari-hari si anak dirampas kemudian diganti dengan tanggungan-tanggungan pikiran “orang dewasa” yang semestinya belum saatnya diketahui oleh si anak. Nah itu pandangan subjektif saya mengenai kondisi anak-anak di daerah sekitar saya. Setujukah anda jika ada orang yang mengatakan bahwa kondisi yang dialami anak-anak yang “kurang beruntung” itu baik untuk kehidupan si anak dimasa yang akan datang?.
            Ada yang mengatakan bahwa “kedewasaan itu adalah sebuah pilihan”. Saya berpendapat bisa jadi ada 2 kemungkinan. Yang pertama, faktor-faktor pembentuk kedewasaan sudah cukup mendukung untuk seseorang bersikap dewasa. Namun ia mengabaikan dan memilih untuk tetap menutupi kedewasaanya itu dengan dalih “mencari aman” alias tidak mau memilki tanggungan-tanggungan atau beban pikiran layaknya orang dewasa. Sehingga pilihan untuk tidak ingin bersikap dewasa dilakukannya dalam keadaan sadar dan dalam otoritas dirinya. Yang kedua, sikap dewasa sebagai sebuah pilihan karena tidak ada pilihan lain selain harus bersikap dewasa. Hal ini seperti saya sudah uraikan diatas karena sebuah tuntutan keadaan yang membentuknya untuk bersikap dewasa.
            Lingkungan kampus yang didalamnya mayoritas dihuni oleh mahasiswa yang notabene para pemuda-pemudi sering kali menunjukan anomali-anomali (keanehan). Sering kali saya melihat dosen membesarkan hati para mahasiswa termasuk saya didalamnya bahwa mahasiswa itu sudah dewasa dan sikapnya harus lebih dewasa dibandingan masa SMA.
            Memang tanggung jawab sebagai “mahasiswa” (Maha-Siswa) berbeda dibandingkan Siswa. Ruang-ruang ekspresi lebih diberikan agar kematangan berfikir menjadi tumbuh, sehingga nantinya ketika lulus dari bangku kuliah mampu hidup didimensi kehidupan yang sesungguhnya.
           Anomali-anomali itu antara lain ketika mahasiswa itu (kebetulan atau tidak) terjun dalam sebuah organisasi kemahasiswaan dan terikat dalam sebuah tanggung jawab organisasi. Tentunya dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menggeneralisasi kepada seluruh mahasiswa organisatoris (katanya) karena saya yakin tetap ada sosok-sosok mahasiswa yang gigih dan bertanggung jawab terhadap organisasinya. Terlepas jenis aliran organisasinya apakah itu yang berbau umum atau agama. Saya memperhatikan ada tipe orang yang hobinya “cari aman” alias tidak ingin menanggung resiko perjuangan (istilah kerennya). Tipe orang seperti ini terlihat setengah-setengah, hanya membebek, sedikit pragmatis (apa dulu manfaatnya?), tidak ingin berpayah-payah alias mendambakan kondisi aman, bukan tipe pembaharu atau pejuang, tidak tahan banting, bahkan apatis. Jika kira-kira memberikan keuntungan baginya baik materi maupun imateri ia ikut bergabung, tapi jika tidak, ia bersikap mengalir saja bagai air, tunggu keadaan, jika terlihat  kembali aman ia akan ikut bergabung kembali. Ia enggan menjadi tumbal perjuangan. Lebih tepatnya bukannya tidak ingin menjadi tumbal perjuangan, ia mau berkorban tapi harus bersama-sama tidak sendirian. Tapi ia telah terlanjur “merasa” dijadikan tumbal sendiri untuk kepentingan bersama. Nah “perasaan” itulah yang menahannya untuk enggan “berkorban”. Padahal mungkinkah dalam sebuah organisasi terlepas lingkupnya besar ataupun kecil organisasi itu akan hidup tanpa sebuah pengorbanan baik pengorbanan pikiran, harta bahkan jiwa?
               Sehingga berimbas kepada kinerja dalam sebuah organisasi tersebut. Organisasi lebih banyak disibukkan oleh permasalahan-permasalahan internal dibandingkan visi atau tujuan yang ingin dicapai. Energi-energi yang dialokasikan untuk pencapaian visi menjadi terkuras bahkan habis ditengah jalan untuk mengurusi hal-hal sepele yang kurang atau bahkan tidak substantif. Sehingga program-program dalam sebuah organisasi menjadi tidak oprimal.
                Nah lalu apa kaitan kedewasaan dengan berorganisasi? Kaitannya adalah ketika sebuah organisasi-organisasi  tertentu di lingkungan kampus baik intra maupun ekstra terlepas ideology yang diusung membutuhkan sumber daya manusia selalu terlihat kesulitan. Apakah fenomena ini adalah sebuah sunnatullah?  Kesulitan dalam arti ketika mecari orang-orang yang “bersemangat dan tangguh”. Bersemangat dalam arti memperoleh ilmu dalam organisasi yang digelutinya, bersemangat jatuh bangun untuk memperjuangkan visi misi yang diusungnya. Kemudian tangguh, maksudnya adalah tergabungnya ia dalam sebuah organisasi dalam bingkai kesadaran bukan untuk “bersenang-senang” belaka, bukan untuk “hanya sekedar” aktualisasi diri, tapi untuk memperjuangkan sebuah idealisme bukan narsis-narsisan alias pencitraan. Apalagi pencitraan pribadi.
            Pencitraan menurut saya sah-sah saja jika untuk kepentingan organisasi, untuk kepentingan mencapai visi organisasi bukan pencitraan pribadi. Bukan organisasi dijadikan alat mem-populerkan diri karena dalam sebuah organiasi kita tidak bekerja sendiri tapi kerja tim. Bukan hanya numpang nampang nama dalam sebuah organisasi. Bukan hanya kangka-kongko tidak jelas juntrungannya. Bukan hanya sekedar mengharapkan setifikat diakhir kepengurusan, bahwa saya pernah ikut organisasi itu lho… padahal saya percaya kita semua membutuhkan orang-orang yang memiliki dedikasi real bukan hanya nama. Dan saya sekali lagi percaya bahwa  dalam kehidupan di masyarakat, masyarakat tidak akan peduli kita lulusan apa, lulusan Universitas mana, IPK nya 3 atau 4.5, aktif ikut dalam organisasi mana saja. Tapi meminjam istilah yang digunakan Bapak Daoed Joesof yang masyarakat perlukan adalah bukti yang “bernilai” bukan bukti yang terjelaskan.
             Semoga kita semua menjadi mahasiswa yang “bertanggung jawab”, bersikap dewasa, tangguh dan yang paling penting tidak hobi mencari citra. Kita dibesarkan dalam rahim organisasi untuk meneruskan, memperbaiki, mengganti posisi-posisi senior kita dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga “dewasa itu sebuah pilihan” itu cukup relevan dan sangat dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan.

Dalam Kamar_ Wisma Zaid bin Tsabit,
13 Desember 2011
Anton

Tidak ada komentar: