Sabtu, Februari 11, 2012

Bahasa Versus “Koruptor”


Saya akan membeli “Coconut Ice”
Saya akan membeli “Es Kelapa”

Sekilas dua kalimat di atas tidak jauh berbeda. Kalimat pertama saya tulis memakai bahasa Inggris dalam penyebutan ‘es kelapa’, dan pada kalimat kedua saya tulis dengan bahasa Indonesia. Dua–duanya bertujuan sama yakni menerangkan bahwa Saya akan membeli ‘es kelapa’. Dalam bahasa tulis, mungkin belum begitu terasa pengaruh “emosinya”, namun  akan nampak terasa bagi pemakai dan pendengar jika diungkapkan secara lisan. Ternyata berbahasa bukan hanya perkara kata-kata, akan tapi juga mengandung “rasa/emosi” sesuai konteksnya.
Berbahasa tidak bisa dilepaskan oleh hegemoni suatu bangsa. Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan banyak negara-negara maju. Bahasa juga melambangkan identitas. Pemakaian kata Coconut Ice bisa berimplikasi lebih prestisius dibandingkan kata Es Kelapa. Apalagi masyarakat umumnya menganggap bahwa menggunakan bahasa Inggris menyimpan keistimewaan tersendiri. Bahasa Inggris melambangkan kemajuan dan kemodern-an. Bisa dikatakan bahwa bahasa erat kaitannya dengan mentalitas.
Lalu apa kaitannya bahasa dengan pemberantasan korupsi?. Penegakan hukum di negara kita masih terkesan tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ada ungkapan menarik di masyarakat, seorang “maling” ayam harus babak belur dihakimi massa, namun “koruptor” yang mencuri milyaran uang rakyat masih bisa tersenyum, bahkan hingga di bui pun terkadang masih memperoleh perlayanan yang istimewa. Padahal konteksnya sama-sama  mengambil hak orang lain.
Politik Bahasa Pada Masa Pergerakan
Begitu penting fungsi bahasa dalam membentuk karakter bangsa, tokoh pendiri bangsa H. Agus Salim (1884-1954) dalam sidang Volksraad tahun 1920-an di Batavia berpidato menggunakan bahasa Indonesia (dulu Melayu). Menggunakan bahasa Melayu pada waktu itu merupakan hal yang biasa, apalagi di sampaikan dalam sidang Volksraad. Ada kejadian menarik ketika ia sedang menyampaikan pidato. Dalam Pidatonya, terdapat perkataan “Ekonomi” kemudian ditanya oleh Bergmeyer (wakil dari Zending di Volksraad). Sambil mengejek ia bertanya kepada H. Agus Salim "Apa kata ekonomi dalam bahasa Melayu?". H. Agus Salim membalas "Coba tuan sebutkan apa Belandanya?”. Dalam bahasa Belanda sendiri istilah ekonomi tidak ada dan Bergmeyer pun tertohok. Usaha H. Agus Salim ini kemudian diikuti pula oleh pemimpin-pemimpin pergerakan lainnya yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia sehingga mendorong lahirnya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Salah satu kesepakatannya adalah menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak boleh di kesampingkan begitu saja dalam membentuk moral bangsa. Bahkan dalam upaya membentantas korupsi, “politik bahasa” merupakan kebijakan yang sangat strategis. Terdapat 200 juta-an lebih masyarakat Indonesia yang menggunakan Bahasa Indonesia. Itu artinya Bahasa Indonesia memiliki kekuatan yang besar dalam membangun bangsa. Tidak berlebihan kiranya ungkapan  Laksamana Hang Tuah, bahasa menunjukan bangsa.
Perkuat Kontrol Sosial
Selama ini upaya pemberantasan korupsi terlihat begitu formal dan ekslusif. Masyarakat seakan-akan hanya menjadi penonton dalam upaya pemberantasan korupsi oleh segelintir penegak hukum. Memang masyarakat dihimbau agar bersama-sama memberantas korupsi namun baru sekadar formalitas belum sampai ke jantung masyarakat. Bahasa Indonesia terbukti mampu mempersatukan masyarakat Indonesia yang beragam. “Politik Bahasa” yang dilakukan para pendiri bangsa juga terbukti mampu membawa bangsa ini menuju kemerdekaan. Korupsi merupakan penyakit bangsa yang harus disembuhkan, dan sudah saatnya Bahasa Indonesia ada di garda terdepan
Mengikut sertakan masyarakat luas dalam memberantas korupsi yang sistemik tidak cukup hanya formal yuridis yang bersifat jangka pendek semata, namun juga harus menggunakan strategi kultural yang berjangka panjang. Tidak semua masyarakat ahli hukum dan memahami detail-detail proses hukum bagi tersangka korupsi.  Istilah-istilah seperti “Maling”, “Pencuri”, “Perampok”, “Pencopet” merupakan kata-kata yang menunjukan tindakan seseorang yang mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kata-kata tersebut berasal dari serapan bahasa-bahasa daerah. Tekanannya  memberikan stigma lebih negatif ketimbang penyebutan dengan bahasa Inggris (Korupsi/koruptor). Stigma negatif itu amat berguna untuk menumbuhkan budaya malu atas perilaku yang tercela yang kian biasa dalam masyarakat kita. 
Semarang 18 Juli 2012 di revisi di Bogor Tanggal 27 Juli 2014

Tidak ada komentar: