Rangkuman
Tragedi
1965 adalah tragedi besar dalam sejarah Indonesia yang perlu
mendapatkan perhatian banyak kalangan. Perhatian-tidak hanya sekedar
perhatian saja. Namun perhatian yang harus diiringi oleh i’tikad
baik dalam rangka membangun bangsa kedepan. Tragedi 1965 telah
menimbulkan banyak perpecahan dikalangan anak bangsa.
Persoalan-persoalan tersebut antara lain: terjadinya stigmanisasi
dalam masyarakat terhadap golongan tertentu (PKI) secara masif dan
berlebihan. Rezim telah melakukan propaganda-propaganda yang tidak
proporsional bahkan menyuburkan api permusuhan antar golongan
masyarakat. Dengan kekuasaannya, rezim telah menanamkan kepada
generasi muda kisah sejarah sepihak dalam upaya melanggengkan
kekuasaanya. Rezim dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan
bangsa demi pembangunan, telah menumpulkan daya intelektual
masyarakat secara tersistematis. Beratus-ratus ribu bahkan ada yang
mengatakan jutaan orang yang di cap sebagai penghianat, harus
mendapatkan perlakuan diskriminatif secara turun temurun, padahal
secara hukum mereka belum terbukti sebagai pihak yang paling
bertangung jawab atas peristiwa tersebut. Namun hak-hak mereka sangat
dibatasi. Walaupun pemerintahan saat ini telah mencabut
pendiskriminasian tersebut dan mengembalikan hak-hak mereka seperti
warganegara yang lainnya, namun secara sosial masih belum membuahkan
hasil. Mayoritas masyarakat masih belum bisa menerima mereka.
Kemudian konflik-konflik kerap kali terjadi secara sengit. Masyarakat
rupanya belum bisa menerima mereka walupun secara undang-undang telah
ditetapkan. Solusi dari permasalahan tersebut antara lain; pertama,
lewat jalur hukum seperti pencabutan TAP-TAP MPR yang masih
mendiskriminasikan. Kemudian dengan melalui jalur-jalur pematangan
intelektual seperti menghidupkan diskusi-diskusi akademis dikalangan
mahasiswa dan masyarakat umum. Kemudian bisa dengan jalur seni
seperti pembuatan film, karya sastra (novel) dan kompetisi dikalangan
masyarakat dalam mengupas tragedi 1965.
PENDAHULUAN
Selama
ini, yang menjadi perdebatan sengit para ahli sejarah maupun
dikalangan masyarakat awam mengenai tragedi 1965 pasca runtuhnya
rezim Orde Baru adalah mengenai siapakah yang menjadi dalang
peristiwa berdarah G30S. Munculnya kembali pertanyaan mengenai
keabsahan cerita sejarah versi penguasa yang selama tiga dasawarsa
‘dipaksakan’ kepada seluruh anak negeri oleh rezim Orde Baru,
serentak membuat bingung generasi muda. Kebingungan tersebut
disebabkan cerita sejarah yang selama ini mereka yakini kebenarannya
melalui guru-guru sejarah, buku-buku pelajaran sejarah, film,
seminar-seminar yang diselenggarakan di sekolah dari SD, SMP, SMA
bahkan Perguruan Tinggi harus didekonstruksi kebenarannya. Hal ini
menimbulkan Shock
bagi mereka. Mereka semakin bertanya-tanya yang mana sesungguhnya
cerita sejarah yang bisa dipercaya?. Kebingungan tersebut sangat
wajar dan cukup beralasan, karena sebagai anak bangsa, tentunya
mereka ingin mengetahui perjalanan sejarah bangsanya. Rasa ingin tahu
mereka sangat besar dengan munculnya banyak pertanyaan-pertanyaan
penting seperti; mengapa peristiwa itu terjadi, siapakah pihak-pihak
yang terlibat, bagaimana peristiwa itu terjadi, apa dampak-dampak
dari peristiwa itu? dsb. Rasa ingin tahu itu membuktikan bahwa
mereka selalu membutuhkan penjelasan sejarah dalam upaya pemuasan
rasa ingin tahu mereka. Pertanyaan itu akan selalu muncul bagi
mereka-mereka yang ingin mengetahui peristiwa-peristiwa penting dalam
hidupnya.
Kisah sejarah versi
penguasa sudah terlampau kuat bersemayam dibenak mereka khususnya
mengenai tragedi 1965, hingga merekapun meyakininya sebagai sebuah
kebenaran mutlak, dan mereka sulit menerima kebenaran-kebenaran yang
lain selain kisah sejarah versi penguasa. Landasan berfikir mereka
dalam memahami sejarah versi penguasa (Orde Baru) sudah terlanjur
terpatri kuat. Selama tiga dasawarsa rezim telah mencuci otak anak
bangsa dengan kisah-kisah sejarah sepihak dan tidak proporsional.
Kisah yang hanya membesarkan pihak-pihak tertentu dan mengecilkan
pihak-pihak yang menjadi lawannya. Pemerintah dengan powernya
menutup rapat-rapat upaya penafsiran sejarah yang dilakukan pihak
lain dengan dalih stabilitas keamanan dan pembangunan. Akhirnya
rakyat yang jadi korban kemanusiaan.
Kekuatan
sejarah inilah yang menarik mereka, dan membuat mereka selalu ingin
tahu apa yang terjadi pada masa lalu. Tentunya rasa ingin tahu mereka
bukan tanpa tujuan. agar mereka dapat bercermin dan mengambil
pelajaran dari para pendahulu mereka dalam menjalani hidup. Mereka
berusaha mengambil pelajaran-pelajaran berharga dari peristiwa masa
lalu yang dianggap penting dan berharga, dan berusaha sebisa mungkin
menghindari hal-hal buruk yang terjadi pada masa lalu agar tidak
terulang lagi dimasa yang akan datang. Namun sangatlah tidak mungkin
sebagai mereka mengambil pelajaran masa lampau untuk dijadikan
pijakan untuk menapaki masa depan bersandarkan pada kisah sejarah
yang penuh dengan prasangka-prasangka. Seolah-olah mereka yang hidup
saat ini harus menanggung beban sejarah yang cukup berat dan membuat
mereka seperti kehilangan arahan.
Generasi muda saat
ini sebagian besar merupakan generasi yang pernah merasakan hegemoni
sebuah rezim, khususnya rezim Orde Baru. Namun ada juga yang sama
sekali belum pernah mengalaminya, tetapi masih merasakan
pengaruh-pengaruh dari kebijakan-kebijakannya. Karena tidak lagi
disebut sebagai genaerasi muda jika ukuran mudanya dihitung dari
rezim sebelumnya yaitu rezim Orde Lama. Orde Baru secara resmi lahir
tahun1969 dan berakhir tahun 1998 yang dilengserkan dengan kekuatan
mahasiswa, sehingga jika seseorang yang lahir pada awal tahun
berdirinya Orde Baru, maka usianya kira-kira tiga puluhan tahun-an.
Oleh karena itu seseorang yang lahir pada tahun tersebut masih bisa
digolongkan sebagai generasi muda, apalagi yang lahir pada tahun
tujuh puluhan, delapan puluhan, atau sembilan puluhan. Generasi yang
lahir pada masa awal pembentukan rezim Orde Lama, tahun 1959-an
sampai dengan tahun 1966, mungkin tidak dapat digolongkan sebagai
generasi muda lagi, karena jika dilihat dari usianya yang sudah tidak
bisa di golongkan muda.
Pengolongan usia
tersebut dalam mengkategorikan muda dan tua dalam sebuah generasi
dirasa cukup penting untuk mengetahui persepsi-persepsi mereka
terhadap sebuah peristiwa, khususnya peristiwa G30S.
Generasi-generasi yang lahir pada masa pra Orde Baru sebagian besar
mengalami dan melihat secara langsung peristiwa berdarah tersebut.
Sedangkan generasi yang lahir pada masa Orde Baru hanya mengetahui
peristiwa tersebut melalui cerita-cerita baik secara lisan maupun
dari buku-buku sejarah atau film-film yang dibuat pada masa itu.
Karena mereka merupakan generasi yang tidak melihat dan mengalami
secara lansung peristiwa 1965.
Selanjutnya generasi
yang lahir pada awal berdirinya rezim Orde Baru mengkonsumsi
kisah-kisah sejarah yang dibuat oleh penguasa lewat buku-buku sejarah
dan film-film. Dimana rakyat diwajibkan menonton film wajib
“G30S/PKI” dengan embel-embel partai politik yang dijadikan
sasaran propaganda pemerintah, yang mengatakan bahwa partai tersebut
adalah yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa berdarah 1965,
bahkan yang lebih ekstrim lagi mereka dicap mengerikan sebagai setan,
penghianat, pembunuh sadis, bahkan atheis oleh pemerintah. Namun
rezim yang sukses melakukan propaganda dan cuci otak tiga generasi
anak bangsa tersebut, harus kandas ditelan zaman akibat ulah dan
perbuatannya sendiri dan akhirnya rezim tersebut dilengserkan oleh
kekuatan mahasiswa. Padahal ketika awal berdirinya rezim, menurut
catatan sejarah didirikan dengan bantuan para mahasiswa dan dari
golongan agama.
Pembahasan mengenai
kebenaran sejarah peristiwa 1965 mulai marak sejak lengsernya
pemerintahan Orde Baru. Sedikit demi sedikit fakta sejarah mulai
menemukan jalan terangnya. Buku-buku serta artikel bak jamur yang
tumbuh dimusim semi. Hal ini mungkin terlihat aneh bahkan mustahil
terjadi pada zaman Orde Baru masih berkuasa. Buku-buku yang secara
khusus menyingkap tragedi berdarah tersebut dengan argumennya
masing-masing berdasarkan bukti-bukti sejarah, saling menentang satu
dengan yang lainnya. Munculnya banyak penerbit yang menerbitkan buku
tentang tragedi tesebut yang disertai analisisnya mengenai siapakah
pihak yang paling bertanggung jawab semakin membuat bingung generasi
muda.
Memang hal ini dapat
dimaklumi bahwa rezim pada masa itu dengan dalih menjaga stabilitas
negara, membungkam pihak-pihak yang ‘dianggap’ dapat menggangu
stabilitas negara, melarang kebebasan pers dan dengan sangat
protektif bahkan tidak segan-segan melakukan pembredelan serta
‘mengamankan’ pihak-pihak yang mengkritik setiap
kebijakan-kebijakannya. Media digunakan hanya untuk memberitakan
hal-hal yang baik mnurut mereka saja, sedangkan kebobrokan mereka
ditutup-tutupi. Memang stabilitas pemerintahan bisa terwujud, namun
hanya bersifat semu dan hanya kamuflase belaka, karena memang
pemerintah memiliki kekuatan untuk memadamkan pergolakan, sehingga
terlihat seolah-olah stabil. Namun ternyata keadaan tersebut menjadi
bom waktu dan memang terbukti bom tersebut meledak dan yang menjadi
korban adalah rezim Orde Baru sendiri dan juga rakyat yang tidak tahu
menahu.
Rezim yang telah
abai bahwa selama ini telah meninggalkan pendidikan kekerasan bagi
generasi selanjutnya. Sehingga lihat saja negara yang selama 32 tahun
terlihat aman, makmur, ramah-tamah penduduknya namun setelah Orde
Baru lengser, budaya-budaya kekerasan nampak mulai terlihat, seperti
kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei bahkan hingga sekarang, dimana
rakyat seolah-olah tidak memperoleh pendidikan ke-Bhinekaan sama
sekali, tawuran antar desa, suku, pelajar bahkan mahasiswa. Padahal
semboyan pemerintah Orde Baru adalah mengamalkan Pancasila Secara
Konsekuen. Lantas apa hasilnya selama 32 tahun dengan semboyannya
itu, bahkan secara berkala dan kontinyu memberikan doktrinasi
ke-Pancasila-an dengan P4 nya?.
Apalagi mengenai
tragedi 1965 dimana dampak setelah peristiwa tersebut sampai hari ini
masih dirasakan baik oleh para simpatisan PKI. Dimana walaupun saat
ini pemerintah lewat undang-undangnya telah mengembalikan serta
menyetarakan hak-hak mereka sebagaimana warga negara biasanya. Namun
secara sosial, mereka masih belum diterima secara baik oleh
masyarakat. Pemarjinalan terhadap mereka masih cukup kuat. Kemudian
stereotype
dalam
masyarakat masih cukup subur, bahwa orang-orang yang pernah
dikategorikan sebagai golongan ‘kiri’, komunis, atau PKI adalah
orang-orang yang kejam, sadis, anti Pancasila, bahkan atheis.
Stereotype
tersebutlah
yang hingga saat ini yang menjadi pandangan umum dalam masyarakat,
sehingga dengan dasar pandangan tersebut, masyarakat menganggap bahwa
tidak mungkin ada konsensus diantara mereka. Hal inilah yang sampai
saat ini selalu menimbulkan konflik berkepanjangan. Pihak-pihak yang
bertikai seperti golongan Komunis (PKI) versus Tentara, Komunis
versus Islam, bagaikan minyak didalam air, tidak pernah bisa menyatu.
Masing-masing golongan mengklaim secara subjektif kebenaran
masing-masing tanpa ada usaha konsolidasi. Bahkan Satu dengan yang
lainnya terjadi saling serang dan ingin menghabisi satu dengan yang
lainnya. Padahal golongan-golongan tersebut adalah unsur penting bagi
negara Indonesia. Seandainya mereka bisa saling toleransi dan
bekerjasama untuk membangun Indonesia kedepan, mungkin bangsa ini
akan lebih baik. Dimana perbedaan-perbedaan bisa saling
dikompromikan.
- Rekonstruksi tragedi 1965 secara objektif sebagai upaya rekonsiliasi
Berbicara mengenai
rekonsiliasi berarti berbicara mengenai sebuah harapan atau
keinginan-keinginan yang bisa dikompromikan atau dipertemukan
sehingga pihak-pihak yang saling bertikai memperoleh kesepakatan dan
kesepahaman untuk kembali menata kehidupan bersama dengan mengurangi
ego masing-masing, serta saling terbuka dan mengormati satu dengan
yang lainnya. Dalam hal ini peristiwa sejarah yang memberikan dampak
perselisihan serta permusuhan yaitu peristiwa 1965. Kemudian harus
jelas pula siapa-siapa yang terkena dampak dari peristiwa 1965
tersebut, sehingga proses rekonsiliasi mempunyai tujuan dan sasaran
yang jelas mengenai siapa-siapa yang harus direkonsiliasi. Tanpa
menentukan pihak-pihak yang harus direkonsiliasi dan hanya melakukan
rekonsiliasi secara sepihak atau tidak melibatkan salah satu pihak
yang terlibat dalam peristiwa tersebut, maka usaha rekonsiliasi bisa
dikatakan sebagai usaha yang kontraproduktif.
Semua pihak
khususnya generasi muda harus bersikap terbuka terhadap informasi dan
jangan sekali-kali menutup diri. Jangan biarkan kebebasan kita
sebagai manusia ditutup-tutupi oleh ketidaktahuan kita sendiri,
sehingga membuat kita eksklusif
dan tidak berusaha mendengar pendapat orang lain. Dengan sikap
terbuka dan bersedia mendengar pendapat orang lain, maka kita sebagai
manusia telah memberikan kesempatan bagi diri sendiri untuk
menggunakan akal budi dalam menimbang suatu kebenaran yang
disampaikan menurut orang lain. Setiap orang mempunyai cara pandang
yang berbeda-beda dalam memahami sebuah fenomena, oleh karena itu
sebagai makluk sosial kita di tuntun harus menekan ego kita dan
secara terbuka berusaha menghormati pendapat-pendapat yang
disampaikan orang lain.
Tragedi 1965
merupakan tragedi bersejarah dimana sebagian besar mungkin seluruh
rakyat Indonesia sudah mengetahuinya, walaupun mungkin ada juga yang
belum secara mendalam mengetahui latar belakang peristiwa tersebut,
dan hanya sekedar mengetahui bahwa pada tahun 1960-an pernah terjadi
peristiwa bersejarah lewat buku-buku sejarah versi penguasa. Disini,
pelajaran sejarah memiliki peran penting dalam membangun karakter dan
pola pikir masyarakat (pelajar, mahasiswa dan masyarakat secara
umum). Dimana guna sejarah selain memberikan pendidikan juga akan
memberikan ispirasi bagi yang mempelajarinnya. Inspirasi yang
diperoleh oleh seseorang akan menentukan pola pikir serta sikap
berdasarkan kisah sejarah. Begitu pentingnya penafsiran yang jernih
terhadap sejarah, akan sangat berguna bagi seseorang untuk dijadikan
pijakan serta arahan-arahan untuk menafsirkan masa depan dengan
berbagai macam tantangannya.
Oleh karena itu
menurut saya, penulisan sejarah terlepas dari siapa yang menulis
perlu diberikan kebebasan. Dengan demikian hasil-hasil penulisan
sejarah akan menemukan bentuknya masing-masing. Mungkin setiap orang
punya pandangan yang berbeda-beda dan mengklaim ‘keabsahannya’
masing-masing. Tapi itulah proses pendewasaan tanpa bersikap
demikian, bangsa ini selamanya akan menjadi bangsa yang kerdil dan
kekanak-kanakkan. Mungkin para penulisnya adalah pihak yang
memenangkan dan mengambil kekuntungan-keuntungan dari peristiwa
tersebut, namun penulisnya ada juga dari pihak yang dikalahkan atau
korban, mungkin juga penulisnya berasal dari pihak yang terfitnah dan
termanfaatkan oleh salah satu pihak yang bertikai. Dalam hal ini
semuanya akan menjadi serba mungkin, dan wajah penulisan sejarah yang
dihasilkanpun akan bermacam-macam sesuai masing-masing perspektif
penulis.
Perang informasi
menurutku adalah hal yang wajar dan memang eranya saat ini adalah
perang dalam bentuk demikian. Namun demikian tentunya dampak yang
diakibatkan sangat besar karena akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan. Pertentangan dalam kehidupan adalah sebuah
hal yang wajar tinggal bagaimana kita menggunakan sarana-sarana yang
ada untuk merekonsiliasikan pertentangan-pertentangan tersebut.
Setiap orang akan selalu terikat dengan kepentingan-kepentingan. Oleh
karena itu yang perlu diperhatikan adalah mengkompromikan
kepentingan-kepentingan itu, dan mencari titik-titik persamaan bukan
perbedaan-perbedaannya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memang
diciptakan beragam, hal tersebut merupakan hal yang kodrati dan kita
tidak bisa menyalahinya.
Dengan demikian
untuk mengungkap kemelut sejarah gelap 1965, masyarakat (ahli
sejarah, baik akademis maupun amatiran) perlu diberikan kebebasan dan
perlindungan hukum untuk mengekspresikan kebebasannya dalam
manafsirkan peristiwa sejarah. Apalagi saat ini dimana bayang-bayang
Orde Baru walaupun masih terasa namun pengaruhnya tidak sekuat
dahulu. Sehingga sangat mungkin para penulis sejarah mendapatkan
perlindungan hukum dari pemerintah dengan membuat undang-undang
khusus penulisan sejarah.
Memang kepentingan
politik dan penulisan sejarah sulit dipisahkan dan terkadang
peristiwa sejarah sebagai hal yang “suci” dalam pengkisahannya
sering dimuati kepentingan-kepentingan. Mungkin ada benarnya juga
ungkapan yang mengatakan “sejarah itu milik penguasa”. Memang
sejak zaman kerajaan-kerajaan, tulisan sejarah selalu dijadikan alat
propaganda untuk melegitimasi kekuasaan. Oleh karena itu untuk
mengimbangi sejarah yang identik dengan kepentingan penguasa maka
sejarah yang ditulis oleh rakyat yang independen perlu mendapat
perlindungan hukum yang tegas !. Hal ini penting untuk mengantisipasi
agar tidak terjadi politisasi dalam tulisan sejarah, sebab jika
tulisan sejarah telah terpolitisasi, tentu akan memberikan dampak
yang cukup serius dan menyesatkan bagi masyarakat. Kemudian
pemerintah juga harus menindak tegas pihak-pihak yang masih melakukan
sweeping
terhadap buku-buku yang dianggap ‘kiri’ atau ‘komunis’ karena
tindakan tersebut merupakan tindakan pembodohan bagi masyarakat. Di
zaman sekarang, aksi-aksi pembakaran tersebut sudah tidak berlaku.
Masyarakat harus mengetahui dan menimbang secara cerdas sebuah ajaran
atau paham sehingga mereka dapat mempertimbangkan baik-buruknya.
Masyarakat jangan dipaksa menghindari sesuatu ajaran dimana mereka
sendiri belum tahu atas dasar apa mereka menghindarinya. Jangan
biarkan masyarakat diajarkan untuk berbuat taqlid
buta
(pembebek).
Kemudian yang
paling utama bagi seluruh anak bangsa harus memiliki pandangan yang
jauh kedepan dan berfikir jangka panjang. Indonesia harus menapaki
masa depan dengan segala tantangan besar. Luka masa lampau harus
segera diobati, karena jika luka tersebut dibiarkan saja membusuk
tanpa ada upaya pengobatan dan penyembuhan, maka selama-lamanya
Indonesia akan mengalami cacat mental yang berlarut-larut tak
berkesudahan. Dalam sebuah artikelnya Witaryono S. Reksoprodjo
membagi 3 permasalahan pokok dalam melihat Tragedi 1965:
“Guna lebih mudah
memahami tragedi '65 dalam prespektif saat ini, maka kita harus
melihatnya dalam rangkaian persoalan-persoalan yang secara pokok
terbagi atas 3 (tiga) masalah besar, yakni:
Masalah Pertama
menyangkut peristiwanya itu sendiri, yakni adanya Gerakan 30
September 1965 dengan terjadinya tindakan penculikan dan pembunuhan
terhadap para jenderal/perwira TNI Angkatan Darat yang kemudian
dikenal sebagai para Pahlawan Revolusi.
Masalah Kedua adalah
tragedi pasca peristiwa G30S/1965, yakni pada kurun waktu September
1965 sampai dengan sekitar tahun 1970, dimana terjadinya aksi-aksi
penculikan, penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan, perampasan
hak-hak pribadi, pemerkosaan, pembunuhan, pembantaian serta
pelanggaran-pelanggaran HAM berat terhadap para anggota PKI dan
mereka yang dituduh simpatisan komunis serta kaum nasionalis para
pendukung Bung Karno.
Masalah
Ketiga adalah terjadinya pemberian stigma dan proses diskriminasi,
yang masih berlangsung secara terus menerus hingga saat ini, terhadap
mereka yang dianggap terlibat G30S/1965 atau mereka yang dituduh
sebagai kaum komunis maupun Soekarnois, termasuk isteri-suami,
anak-cucu beserta seluruh keluarganya.“1
Mungkin
juga sebagai sebuah usaha untuk mendamaikan dan memudahkan dalam
memahami tragedi rumit 1965, perlu juga melakukan upaya membuka
misteri itu dari titik akibat-akibat yang ditimbulkannya. Seperti
yang di ungkapkan oleh Budiawan dalam pengantar yang ditulis oleh Dr.
Asvi Warman Adam:
“sebaiknya
debat tentang siapa yang menjadi dalang tragedi 1965 itu dikurangi,
dan perhatian lebih dialihkan pada dampak sesudahnya, yakni
pembantaian massal dan penahanan massal tanpa proses pengadilan pada
1965-1966 (dan dampak sosial-psikologisnya pada tahun-tahun
selanjutnya bahkan sampai hari ini).2
Penggalian
peristiwa dengan menggunakan menganalisis akibat-akibat, seperti
pembantaian missal pasca tragedi, serta diskriminasi-diskriminasi
yang dialami oleh pihak-pihak yang “tertuduh” hingga keperistiwa
awal dalam tragedi 1965 mungkin bisa menjadi alternatif baru dan
lebih memudahkan pemahaman kita mengenai motif apa saja dibalik
pembunuhan-pembunuhan para jendral tersebut, kemudian akibat-akibat
itu juga sangat membantu pihak-pihak mana saja yang memiliki
kepentingan-kepentingan dan diuntungkan atau juga pihak yang paling
dirugikan dari peristiwa tersebut. Akibat-akibat dalam peristiwa ini
merupakan konsekuensi atau mungkin juga tujuan-tujuan yang hendak
diperjuangkan oleh pihak yang berkepentingan.
Oleh
karena itu perlu adanya pemetaan-pemetaan atau juga upaya
menginventaris akibat-akibat yang ditumbulkan dari peristiwa 1965.
Penginventarisan permasalahan mengenai dampak, bisa dilakukan dan
dimulai saat ini. Karena keadaan saat ini merupakan produk-produk
masa lampau. Wajah Indonesia saat ini adalah produk-produk yang
dibuat oleh para senior dimasa lampau.
Upaya-upaya
konkret yang harus segera pemerintah lakukan:
Sejujurnya
menurut penulis, peristiwa mengenai tragedi 1965 sudah menemukan
titik terangnya, tinggal menunggu saja keberanian dari pemerintah
untuk melaksanakan rekonsiliasi. Pemerintah harus meminta maaf
sedalam-dalamnya kepada para korban. Ungkapan maaf secara lisan saja
belumlah cukup, karena para korban telah terlampau lama menderita.
Para korban mengalami keterasingan dari lingkungan masyarakat,
diskriminasi, stigma yang cukup buruk oleh saudara sebangsa sendiri
selama bertahun-tahun! Seolah-olah mereka keberadaan mereka tidak
diakui dinegaranya sendiri. Kemudian belum lagi para korban yang
berada diluar negeri yang terpaksa tidak bisa pulang, mereka berpisah
selama bertahun-tahun dengan keluarga tercinta di Indonesia. Hak
kewarganegaraan mereka dicabut, sehingga mereka dengan segala
perjuangannya harus hidup diluar negeri tanpa jaminan yang jelas,
mereka hidup terkatung-katung. Oleh karena itu atas nama bangsa
rekonsiliasi sangat perlu diwujudkan. Seandainya memungkinkan dan
tidak menimbulkan polemik besar dalam masyarakat, rekonsiliasi bisa
diawali lewat jalur perundang-undangan terlebih dahulu yang lebih
substansi. Penulis sangat mendukung sekali pendapat yang disampaikan
oleh M.D.Kartaprawira, dalam melaksanakan tahap-tahap rekonsiliasi:
- Pertama, harus dicabut TAP MPRS No XXXIII/1967 tentang pencopotan kekuasaan Soekarno sebagai presiden. Sebab akibat dari pelaksanaan TAP tersebut Bung Karno beserta banyak pendukung-pendukungnya ditahan tanpa proses hukum. TAP tersebut tidak saja merupakan legitimasi kudeta Soeharto, tapi juga merupakan pelanggaran HAM.
- Kedua, harus dicabut TAP MPRS No.XXV/1966 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya beserta ajaran marxisme-leninisme di Indonesia. Sebab pelarangan sesuatu ideologi adalah merupakan pelanggaran HAM seseorang dan bertentangan dengan prinsip demokrasi.
- Ketiga, semua peraturan-peraturan hukum diskriminatif terhadap para korban pelanggaran HAM 1965-66 harus dihapus secara tuntas dan konsekuen. Tanpa pecabutan peraturan-peraturan tersebut sama saja melanjutkan kesempatan tindakan pelanggaran HAM seperti telah terjadi di masa lalu. 3
Tiga
poin tahap-tahap tersebut sangat fundamental dan strategis dalam
upaya rekonsiliasi. Selanjutnya yang paling penting adalah pemerintah
saat ini harus sesegera mungkin melakukan rehabilitasi bagi
korban-korban, kemudian mengembalikan hak-hak mereka sebagai warga
negara sebagaimana warga lainnya, tidak mendiskriminasikan mereka
dalam berbagai aspek, toh sampai saat ini juga masih banyak tarik
ulur mengenai kebenaran peristiwa berdarah tersebut. Jika sikap
diskriminasi masih terus diberlakukan bagi mereka yang “tertuduh”
sebagai simpatisan PKI atau Komunis yang melakukan pemberontakan,
berarti pemerintah telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena
secara tidak jernih memberlakukan hukum secara serampangan dimana
pemberlakuan hukum tersebut memberikan dampak serius bagi pihak-pihak
yang baru menyandang status “tertuduh”. Lagi pula seandainya para
simpatisan komunis yang terbukti melakukan pemberontakan, apakah
hukuman mereka sedemikian berat dan harus dimusnahkan dari bumi
Indonesia, kemudian anak serta keturunan mereka harus menerima
perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah?. Kemudian perlu juga
dingat bahwa keadaan politik internasional pun memiliki andil yang
cukup besar terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia, karena
sebagaimana kita tahu bahwa pada masa itu masih dalam suasana perang
dingin, dimana terjadi perebutan pengaruh yang cukup seru antara blok
barat dengan blok timur. Blok barat dengan ideologi liberalismenya
yang dikomandoi oleh Amerika Serikat, dan blok timur dengan ideologi
komunismenya yang dikomandoi oleh Uni Soviet. Kemudian hal ini perlu
mendapatkan sorotan dari pemerintah. Indonesia merupakan objek yang
diperebutkan dari kedua Blok yang bertikai tersebut.
Kemudian
pemerintah juga dalam upaya pelurusan sejarah dan paradigma
masyarakat perlu melakukan upaya-upaya serupa seperti halnya rezim
Orde Baru melakukan Brain Wash kepada rakyat untuk mengimbangi
doktrin-doktrin yang menyimpang dari peristiwa 1965. Memang dalam
upaya mengimbangi dan merubah paradigma masyarakat yang telah
terlanjur terdoktrin oleh kisah sejarah versi penguasa perlu
tahap-tahap dan kontinuitas dalam pelaksanaanya.
Usaha-usaha
yang bisa dikategorikan radikal bisa ditempuh dengan jalur merubah
sistem pendidikan:
- Pemerintah, lewat Mentri Pendidikan harus memformat kembali silabus pelajaran sejarah khusunya mengenai peristiwa 1965.
Buku-buku
pelajaran sejarah versi Orde Baru yang di jadikan bahan ajar di
sekolah-sekolah mulai dari SD, SMP, SMA, sampai dengan Perguruan
Tinggi perlu di format ulang. Subjektivitas kisah sejarah versi Orde
Baru perlu diluruskan dengan analisis-analisis yang lebih objektif
dan proporsional. Walaupun sejarah sebagai kisah tidak bisa objektif
seratus persen, namun analisis-analisis yang lebih proporsional
terhadap tragedi 1965 perlu dilakukan dan dituliskan. Kisah sejarah
versi Orde Baru terlihat sekali hanya dijadikan alat pembenaran
sepihak oleh penguasa, dan hanya dijadikan alat propaganda untuk
mematikan lawan poliknya (PKI dan Sukarnois) dengan mengabaikan
fakta-fakta dilapangan yang ternyata banyak sekali
kontradiksi-kontradiksi antara fakta dengan kisah yang diberitakan
pemerintah (Orde Baru). Pemerintah mewajibkan kepada guru-guru
sejarah untuk menggunakan pedoman buku ajar yang baru dalam
memberikan pengajaran.
- Pemerintah secara serius melakukan lokakarya dan pelatihan kepada guru-guru sejarah se-Indonesia secara berkala, serta dimasukan kedalam program pemerintah.
Penyuluhan
dan pelatihan dalam menyampaikan sejarah terhadap guru-guru sejarah
merupakan upaya yang sangat penting dimana guru sejarah memiliki
peran yang sangat strategis dalam mentransfer nilai-nilai dan
karakter kepada siswa lewat kisah sejarah. Penyuluhan dimulai dari
guru-guru tingkat SD, SMP, SMA, bahkan sampai keperguruan tinggi.
Penyuluhan ini adalah upaya menyamakan persepsi tentang bagaimana
peristiwa sebenarnya. Adakalanya sebagian guru-guru kurang mengikuti
perkembangan-perkembangan analisa sejarah ter up date dan menganggap
sejarah sebagai kisah yang statis. Hal tersebut berdampak mandegnya
informasi yang disampaikan terhadap siswa. Para siswa menerima begitu
saja penyampaian kisah sejarah yang disampaikan oleh guru-guru
mereka, padahal guru tersebut mengalami ketertinggalan informasi
mengenai perkembangan analisa sejarah terbaru. Bisa juga guru-guru
tesebut dalam menyampaikan kisah sejarah hanya dari satu sumber.
Padahal untuk memahami sejarah, perlu melihat berbagai hasil analisis
dengan mengkaji berbagai literatur. Singkatnya guru-guru sejarah
harus kaya akan sumber literatur. Dengan demikian maka upaya
penyamaan persepsi antar guru sejarah akan berjalan dengan baik dan
merata.
- Pemerintah khususnya Menteri Pendidikan melalui programnya harus secara berkala melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat umum.
Sebagian
besar masyarakat masih awam terhadap peristiwa 1965. Masyarakat juga
perlu mendapatkan pemahaman yang benar mengenai peristiwa 1965.
Sampai saat ini masyarakat masih apriori jika mendengar istilah
‘kiri’, ‘komunis’, dan ‘PKI’. Istilah-istilah tersebut
menimbulkan stereotype dalam masyarakat. Rezim Orde Baru telah
mempolitisasi istilah-istilah tersebut secara berlebihan dengan
pendekatan budaya dan agama dalam masyarakat. Istilah-istilah yang
terpolitisasi tersebut perlu ditafsirkan kembali secara benar agar
masyarakat tidak terkecoh dan emosional dengan membabi buta
melakukan tindakan anarki terhadap para korban (para simpatisan
PKI). Bentuk penyuluhan dapat berupa mengadakan seminar-seminar
didesa-desa.
- Pemerintah harus serius memproduksi film-film sejarah khusunya mengenai peristiwa 1965.
Pembuatan
film sejarah ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi pembentukan
karakter masyarakat. Dimana telah terbukti bahwa penyampaian pesan
lewat film akan lebih mudah di tangkap dan dipahami oleh masyarakat.
Masyarakat akan lebih mampu memahami peristiwa yang rumit namun
menyenangkan, sehingga upaya pemerintah dalam pemebentukan paradigma
masyarakat akan lebih efektif. Memang pasti membutuhkan biaya yang
cukup besar dan pertimbangan apakah banyak pihak didalam negeri yang
mau menjadi sponsor?. Jika kendalanya biaya, mungkin pemerintah bisa
mencari sponsor-sponsor dari luar negeri. Hal ini pernah dilakukan
oleh negara Amerika Serikat dalam upaya membangun kepercayaan diri
bangsanya. Sejarah mencatat bahwa tentara Amerika serikat mengalami
kekalahan total dan misinya mengalami kegagalan dalam upaya
penumpasan Khmer Merah di Vietnam. Namun untuk membangun kesan
positif dan kepercayaan diri rakyatnya, maka dibuatlah film berseting
peperangan di Vietnam. Dimana dalam tokoh utamanya “Ramboo”
merupakan tentara yang cukup tangguh di medan perang, dan selalu
memperoleh kemenangan. Padahal faktanya tidak demikian, namun film
tersebut berhasil mengebalikan kepercayaan diri rakyatnya. Kemudian
contoh selanjutnya bahwa film memiliki peran strategis dalam
penyampaian pesan dan nilai-nilai dalam masyarakat di buktikan oleh
negara Cina. Film-film klasik dan kontemporer Cina cukup berhasil
membentuk karakter masyarakatnya. Banyak sekali produksi film-film
Cina seperti Wong Fei Hung, Confusius, Yip Man, Bruce Lee, dsb.
Dimana masyarakat tidak hanya semakin kuat rasa nasionalisnya namun
juga masyarakat akan semakin mencintai kebudayaannya. Oleh karena itu
pembuatan film berlatar sejarah yang membangkitkan nasionalisme,
kepercayaan diri, semangat persatuan dan kesatuan perlu diusahakan.
Melihat minat baca rakyat Indonesia masih tergolong rendah maka upaya
ini merupakan alternatif yang efektif.
Usaha-usaha
yang lebih evolutif bisa dilakukan dengan mempertajam aspek
intelektual (congnitif) masyarakat dengan cara:
- Pemerintah lebih memfasilitasi masyarakat untuk membudayakan diskusi, bisa dengan mendatangkan pihak-pihak yang berkonflik. Pemerintah bisa menghadirkan para pelaku sejarah atau lintas generasi dengan mengundang generasi tua atau generasi yang hidup pada masa Orde Lama. Dimana generasi tua tersebut memberikan informasi kepada generasi muda yang lahir pasca rezim Orde Baru berdiri bagaimana keadaan pada masa 60-an dimana pertarungan politik cukup panas. Sehingga generasi muda semakin cerdas dalam menilai kemudian menghilangkan kesalahpahaman dalam menilai masing-masing pihak.
- Pemerintah juga mendorong para sastrawan untuk menovelkan kisah-kisah sejarah bangsa khususnya peristiwa 1965. Peran sastrawan cukup strategis dalam upaya pencerdasan bangsa dan membentuk karakter. Saat ini cukup marak novel-novel berlatar sejarah dan mulai banyak digemari oleh masyarakat, tinggal dioptimalkan dan pemerintah tentunya perlu mensupport mereka dalam berkarya. Bisa juga pemerintah mengadakan kompetisi penulisan novel sejarah khusunya peristiwa 1965. Upaya ini mungkin akan semakin menambah semangat para sastrawan dalam berkarya.
PENUTUP
Bangsa
ini harus segera bangkit dan harus dewasa, harus segera berbenah
diri, jangan menjadi bangsa yang hanya bisa dimanfaatkan dan hanya
dijadikan alat. Seiring berjalannya waktu kita juga telah menyaksikan
runtuhnya sebuah ideologi besar pada akhir abad 20, dimana dahulu
ideologi yang dibanggakan dan oleh sebagian orang itu menjanjikan
mimpi indah. Namun toh kita bisa melihatnya sekarang. Setelah
komunisme runtuh, maka yang menjadi pemenang adalah Amerika dengan
kapitalismenya. Imperialisme dan kapitalisme inilah sesungguhnya yang
menjadi “musuh
bersama”.
Kemudian
seharusnya kita sebagai generasi penerus harus peka dan sadar diri
bahwa hingga saat ini negara kita belum merdeka sepenuhnya, atau
menurut istilah Bung Karno belum berdikari (berdiri di kaki sendiri).
Dengan melihat kenyataan ini semua, kita akan melihat sebuah pola
gerakan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memiliki kekayaan
negara kita, dalam hal ini pihak yang mengusung ideologi kapitalisme,
dimana sampai saat ini negara kita belum mandiri secara ekonomi
lebih-lebih dalam bidang politik.
Hal yang sangat
penting untuk didiskusikan bagi kita dalam rangka menyamakan persepsi
adalah berdasarkan perjalanan sejarah, kita melihat pada masa era
Orde Lama (Demokrasi Terpimpin), Bung Karno banyak sekali
mengungkapkan tentang berbahayanya cengkraman imperialisme. Kemudian
jika kita melihat fakta hari ini Indonesia dipenuhi oleh
produk-produk buatan asing khususnya Amerika dan Jepang.
Investasi-investasi kedua negara besar tersebut mencengkram
Indonesia. Sumber daya alam Indonesia yang luar biasa ternyata tidak
mampu dikelola dengan baik oleh bangsa ini. Namun justru Indonesia
menjadi surga bagi kedua negara maju tersebut. Sumber daya alamnya
dari hari-kehari semakin habis bukan untuk kemakmuran bangsa sendiri.
Sejarah seharusnya telah menjadi petunjuk bagi kita agar berhati-hati
terhadap cengkraman imperialisme. Namun sampai saat ini bangsa kita
masih belum mampu mejadikan sejarah sebagai guru terbaik. Ironis!
CATATAN
KAKI
1
Witaryono S.
Reksoprodjo, “Rehabilitasi Para Korban ’65 dalam Persfektif
Rekonsiliasi dan Kepentingan Nasional, dimuat dalam Bunga Rampai
Cyntha Wirantaprawira: “Menguak Tabir 1 Oktober 1965 Mencari
Keadilan: Lifting the Curtain of the
Coup of Oktober 1 st 1965 Suing of the Justice. (Lembaga Persahabatan
Jerman-Indonesia :46-47), Jerman.
2
Budiawan, dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam pengantar karya Robert
Cribb (editor),
Indonesian
Killing Of 1965-1966, (Mata
Bangsa: xxii-xxiii), Yogyakarta
DAFTAR
PUSTAKA
Wirantaprawira,
Chyntha.2005. Menguak Tabir Peristiwa 1 Oktober 1965 Mencari Keadilan
: Lifting the Curtain of the Coup of Oktober 1 st 1965 Suing of the
Justice. Jerman: Lembaga Persahabatan Jerman-Indonesia
Cribb,
Robert (editor). 1990. Indonesian Killing Of 1965-1966. Australia:
Monash University diterjemahkan oleh Erika S dkk. 2004 (cetakan
ke-4). Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta: Mata
Bangsa
Soedjono,
Imam. 2006. Sang Berlawan: Membongkar Tabir Pemasluan Sejarah PKI.
Yogyakarta: Resis Book
Ricklef.
2005 (cetakan ke-2). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi
Scott.
“Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno”. Dalam Journal
Pasifik Affair no.58. English Departement University Of California,
Barkeley United States of America. Dialih bahasakan oleh Waluyo
Subagyo Kartanegara (cetakanke-2). 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar