Kesan terhadap masa lalu yang pernah saya alami kiranya memang
tidak akan pernah hilang. Meski peristiwa itu telah berlangsung beberapa
tahun yang lalu, namun “ruhnya” tetap hadir dalam dimensi masa
kini bahkan mungkin dimasa depan. Kesan itu masih membekas kuat sebagai
pelajaran hidup bagi saya. Dan dalam catatan singkat ini saya hanya
ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua.
Saat itu
memang saya masih menjadi mahasiswa baru di Jurusan Ilmu Sejarah FIB
Undip tepatnya semester dua. Dalam tradisi akademik, kami mahasiswa
semester dua harus menyelenggarakan Studi Budaya (SB). Dalam
tradisi-tradisi senior sebelumnya, biasanya tujuan SB di semester dua
adalah mengunjungi situs-situs sejarah pada masa klasik, yakni
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Akhirnya teman-teman satu angkatan
sepakat untuk mengunjungi situs candi yang berada di Yogyakarta antara
lain seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi
Plaosan dan lain-lain.
Bagi saya detik-detik ketika akan
tiba di Kompleks Candi Borobudur adalah menyenangkan sekali. Maklum,
saya memang baru pertama kali secara langsung mengunjunginya. Saya hanya
sering melihatnya dilayar kaca, dan melalui film saja. Sehingga
perasaan saya benar-benar mengharu biru saat itu.
Ketika
berada dihalaman depan Candi Borobudur, saya sangat kagum sekali.
Ditambah pemandu wisata fasih mendeskripsikan tiap sudut Candi Borobudur
beserta makna filosofisnya. Imajinasi saya seakan berada pada masa-masa
klasik. Saya sangat menikmati sekali.
Perlahan-lahan kami
dibawa naik setahap demi setahap mengelilingi Candi Borobudur. Dimulai
dari tahap pertama kami diperlihatkan sebuah relief bergambar aneh.
Relief-relief tersebut melukiskan manusia-manusia dengan rupa
menyeramkan. Saya masih ingat ada yang memiliki telinga sangat lebar dan
ada juga yang memiliki mulut lebar. Manusia-manusia dalam gambar
tersebut perwujudannya tidak lazim. Menurut pemandu wisata bahwa
perwujudan-perwujudan manusia tersebut adalah akibat dari perbuatannya
sendiri yang menggunakan telinga dan mulutnya untuk hal-hal yang jelek.
Sebenarnya masih ada lagi penggambaran relief-relief tidak lazim di
lantar dasar. Namun karena ditutup oleh bata-bata penyangga, sehingga
kami hanya melihat bagian sedikit saja. Mengapa ditutup? Menurut
keterangan yang saya dapatkan relief itu memang sengaja ditutup dengan
bata-bata disampingnya agar bagian Dasar Candi Borobudur yang sudah
berusia ratusan tahun itu kuat menopang tumpukan-tumpukan batu
diatasnya. Meskipun begitu relief-relief yang berada dilantai dasar
tersebut telah didokumentasikan.
Akhirnya saya tiba pada
sebuah relief yang membuat saya terkesan itu. Saya lupa relief tersebut
berada pada tingkatan yang keberapa, tetapi relief tersebut bercerita
mengenai kehidupan Sidharta Gautama (SG).
Dengan piawai seorang pemandu mengisahkan:
“Alkisah
SG merupakan seorang pengeran dari Kerajaan Kapilawastu. Ia dilahirkan
dan hidup dalam lingkungan kerajaan. Sejak kecil hingga dewasa ia hidup
serba berkecukupan. Semua yang ia butuhkan telah tersedia di dalam
kerajaan. Ia selalu dihadapkan dengan realitas kerajaan yang bertabur
kemegahan dan kebahagiaan. Kemana-mana SG selalu mendapatkan pengawalan
yang ketat oleh para punggawa kerajaan. Bahkan ketika ia sudah mengnjak
usia dewasa dan hendak menikah, diadakan sayembara kepada seluruh
gadis-gadis yang akan dijadikan istrinya.
Pada suatu
ketika ia merasa ingin melihat keadaan diluar kerajaan. Dorongan itu
begitu kuat memaksanya. Hingga akhirnya ia bersama para pegawal kerajaan
pergi keluar area kerajaan. Jauh dan semakin jauh dari kerajaan ia
melihat realitas yang asing baginya. Tidak seperti suasana kerajaan yang
megah dan penuh dengan kebahagiaan. Ia bertemu dengan sekelompok
pengemis yang kelaparan dan keadaanya sungguh memprihatinkan. Realitas
itu begitu menggugahnya sekaligus membuatnya terkejut (shock). Ia mengalami shock
berat yang begitu menyesakkan dada. Mengapa harus ada kenyataan seperti
itu?. Kemudian ia bersama seluruh pengawalnya melanjutkan perjalanan.
Mereka menemukan sebuah gubuk yang keadaanya reyot sekali. Terdengar
dari dalam suara rintihan. SG melihat kedalam, ternyata ada seorang
lelaki yang sedang skarat melawan penyakitnya. Lalu tak berapa lama
kemudian lelaki itu meninggal dihadapannya. SG semakin gelisah melihat
itu semua. Peristiwa demi peristiwa yang ia alami pada hari itu begitu
merisaukannya. Ada rasa kecewa kepada keluarganya yang selama ini
mengurungnya didalam kerajaan yang penuh dengan kemegahan itu. SG
kemudian memutuskan pergi mengambara mencari makna hidupnya. Ternyata
kebahagiaan, kecukupan, kehormatan yang ia terima belum bisa membuat
hatinya tentram.”
Begitu piawai sang pemandu mengkisahkan
membuat saya sejenak tertegun. Luar biasa sekali kisah ini. Bahwa memang
banyak sekali guru-guru kehidupan disekitar kita. Kenyataan hidup
sering kali sulit untuk dimengerti oleh nalar. Inginnya begini, inginnya
begitu. Dan saat kenyataan-kenyataan asing terpampang dihadapan, ia
bagaikan gunungan tanda-tanya yang tidak hanya membuat kita kebingungan,
dan kegelisahan. Hanya kepada Tuhan-lah kita meminta pertolongan dan
petunjuk-Nya.
Semarang, 28 Januari, 2013