Selasa, Januari 29, 2013

...Cerita lama dari Borobudur


Kesan terhadap masa lalu yang pernah saya alami kiranya memang tidak akan pernah hilang. Meski peristiwa itu telah berlangsung beberapa tahun yang lalu, namun “ruhnya” tetap hadir dalam dimensi masa kini bahkan mungkin dimasa depan. Kesan itu masih membekas kuat sebagai pelajaran hidup bagi saya. Dan dalam catatan singkat ini saya hanya ingin berbagi cerita kepada teman-teman semua.

Saat itu memang saya masih menjadi mahasiswa baru di Jurusan Ilmu Sejarah FIB Undip tepatnya semester dua. Dalam tradisi akademik, kami mahasiswa semester  dua harus menyelenggarakan Studi Budaya (SB). Dalam tradisi-tradisi senior sebelumnya, biasanya tujuan SB di semester dua adalah mengunjungi situs-situs sejarah pada masa klasik, yakni kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Akhirnya teman-teman satu angkatan sepakat untuk mengunjungi situs candi yang berada di Yogyakarta antara lain seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Plaosan dan lain-lain.

Bagi saya detik-detik ketika akan tiba di Kompleks Candi Borobudur adalah menyenangkan sekali. Maklum, saya memang baru pertama kali secara langsung mengunjunginya. Saya hanya sering melihatnya dilayar kaca, dan melalui film saja. Sehingga perasaan saya benar-benar mengharu biru saat itu.

Ketika berada dihalaman depan Candi Borobudur, saya sangat kagum sekali. Ditambah pemandu wisata fasih mendeskripsikan tiap sudut Candi Borobudur beserta makna filosofisnya. Imajinasi saya seakan berada pada masa-masa klasik. Saya sangat menikmati sekali.

Perlahan-lahan kami dibawa naik setahap demi setahap mengelilingi Candi Borobudur. Dimulai dari tahap pertama kami diperlihatkan sebuah relief bergambar aneh. Relief-relief tersebut melukiskan manusia-manusia dengan rupa menyeramkan. Saya masih ingat ada yang memiliki telinga sangat lebar dan ada juga yang memiliki mulut lebar. Manusia-manusia dalam gambar tersebut perwujudannya tidak lazim. Menurut pemandu wisata bahwa perwujudan-perwujudan manusia tersebut adalah akibat dari perbuatannya sendiri yang menggunakan telinga dan mulutnya untuk hal-hal yang jelek. Sebenarnya masih ada lagi penggambaran relief-relief tidak lazim di lantar dasar. Namun karena ditutup oleh bata-bata penyangga, sehingga kami hanya melihat bagian sedikit saja. Mengapa ditutup? Menurut keterangan yang saya dapatkan relief itu memang sengaja ditutup dengan bata-bata disampingnya agar bagian Dasar Candi Borobudur yang sudah berusia ratusan tahun itu kuat menopang tumpukan-tumpukan batu diatasnya. Meskipun begitu relief-relief yang berada dilantai dasar tersebut telah didokumentasikan.

Akhirnya saya tiba pada sebuah relief yang membuat saya terkesan itu. Saya lupa relief tersebut berada pada tingkatan yang keberapa, tetapi relief tersebut bercerita mengenai kehidupan Sidharta Gautama (SG).

Dengan piawai seorang pemandu mengisahkan:

 “Alkisah SG merupakan seorang pengeran dari Kerajaan Kapilawastu. Ia dilahirkan dan hidup dalam lingkungan kerajaan. Sejak kecil hingga dewasa ia hidup serba berkecukupan. Semua yang ia butuhkan telah tersedia di dalam kerajaan. Ia selalu dihadapkan dengan realitas kerajaan yang bertabur kemegahan dan kebahagiaan. Kemana-mana SG selalu mendapatkan pengawalan yang ketat oleh para punggawa kerajaan. Bahkan ketika ia sudah mengnjak usia dewasa dan hendak menikah, diadakan sayembara kepada seluruh gadis-gadis yang akan dijadikan istrinya.

Pada suatu ketika ia merasa ingin melihat keadaan diluar kerajaan. Dorongan itu begitu kuat memaksanya. Hingga akhirnya ia bersama para pegawal kerajaan pergi keluar area kerajaan. Jauh dan semakin jauh dari kerajaan ia melihat realitas yang asing baginya. Tidak seperti suasana kerajaan yang megah dan penuh dengan kebahagiaan. Ia bertemu dengan sekelompok pengemis yang kelaparan dan keadaanya sungguh memprihatinkan. Realitas itu begitu menggugahnya sekaligus membuatnya terkejut (shock). Ia mengalami shock berat yang begitu menyesakkan dada. Mengapa harus ada kenyataan seperti itu?. Kemudian ia bersama seluruh pengawalnya melanjutkan perjalanan. Mereka menemukan sebuah gubuk yang keadaanya reyot sekali. Terdengar dari dalam suara rintihan. SG melihat kedalam, ternyata ada seorang lelaki yang sedang skarat melawan penyakitnya. Lalu tak berapa lama kemudian lelaki itu meninggal dihadapannya. SG semakin gelisah melihat itu semua. Peristiwa demi peristiwa yang ia alami pada hari itu begitu merisaukannya. Ada rasa kecewa kepada keluarganya yang selama ini mengurungnya didalam kerajaan yang penuh dengan kemegahan itu. SG kemudian memutuskan pergi mengambara mencari makna hidupnya. Ternyata kebahagiaan, kecukupan, kehormatan yang ia terima belum bisa membuat hatinya tentram.”

Begitu piawai sang pemandu mengkisahkan membuat saya sejenak tertegun. Luar biasa sekali kisah ini. Bahwa memang banyak sekali guru-guru kehidupan disekitar kita. Kenyataan hidup sering kali sulit untuk dimengerti oleh nalar. Inginnya begini, inginnya begitu. Dan saat kenyataan-kenyataan asing terpampang dihadapan, ia bagaikan gunungan tanda-tanya yang tidak hanya membuat kita kebingungan, dan kegelisahan. Hanya kepada Tuhan-lah kita meminta pertolongan dan petunjuk-Nya.

Semarang, 28 Januari, 2013